Monday 8 May 2017

Pembuka Sang Alkemis




Alkemis itu mengambil buku yang dibawa seseorang dalam karavan. Membuka-buka halamannya, dia menemukan sebuah kisah tentang Narcissus.  Alkemis itu sudah tahu legenda Narcissus, seorang muda yang setiap hari berlutut di dekat sebuah danau untuk mengagumi keindahannya sendiri. Ia begitu terpesona oleh dirinya hingga, suatu pagi, ia jatuh kedalam danau itu dan tenggelam. Di titik tempat jatuhnya itu, tumbuh sekuntum bunga, yang dinamakan narcissus. 

Tapi bukan dengan itu pengarang mengakhiri ceritanya. Dia menyatakan bahwa ketika Narcissus mati, dewi-dewi hutan muncul dan mendapati danau tadi, yang semula berupa air segar, telah berubah menjadi danau airmata yang asin. 

"Mengapa engkau menangis?" tanya dewi-dewi itu. 

"Aku menangisi Narcissus," jawab danau. 

"Oh, tak heranlah jika kau menangisi Narcissus," kata mereka, "sebab walau kami selalu mencari dia di hutan, hanya kau saja yang dapat mengagumi keindahannya dari dekat." 

"Tapi... indahkah Narcissus?" tanya danau. 

"Siapa yang lebih mengetahuinya daripada engkau?" dewi-dewi bertanya heran.

"Di dekatmulah ia tiap hari berlutut mengagumi dirinya!" 

Danau terdiam beberapa saat. Akhirnya, ia berkata: 

 "Aku menangisi Narcissus, tapi tak pernah kuperhatikan bahwa Narcissus itu indah. Aku menangis karena, setiap ia berlutut di dekat tepianku, aku bisa melihat, di kedalaman matanya, pantulan keindahanku sendiri."

 "Kisah yang sungguh memikat," pikir sang alkemis.


*Novel Alkemis adalah novel yang kubaca hampir 7 tahun lalu, tapi masih membekas sampai hari ini.

Sunday 7 May 2017

Rumahnya Seorang Muslimah



Sejak kecil aku adalah penyuka rumah. Ketika teman-teman sebaya pilih menghabiskan waktu senggang untuk jalan-jalan, seringkali aku memilih tidak ikut. Bagiku rumah adalah satu-satunya tempat yang paling menyenangkan dimana aku bisa menghabiskan waktu bersama buku, kertas-kertas kusam, benang-benang wol, rajutan, dan deretan bunga di dalam pot. Dulu sekali, saat umurku di bawah sepuluh, saat rumahku benar-benar rumah, bukan kosan dan sejenisnya, aku selalu bersemangat tiap kali bangun di pagi hari Minggu.

Sehabis Subuh, aku akan berjalan-jalan menyusuri jalanan desa untuk sekadar menghirup udara segar. Bagiku, tidak ada yang lebih indah melebihi Subuh di desa. Terkadang saat di perjalanan menuju Musola, saat langit masih benar-benar gelap dan bulan mati, aku akan berhenti di halaman rumah. Menengadahkan kepala, lalu segaris senyum menggambarkan betapa aku begitu bahagia.

Di atas sana bintang-bintang bertaburan. Demi Allah, aku tak pernah menyaksikan bintang sebanyak itu, bahkan sampai terlihat berlapis-lapis, kecuali di kampung halaman. Sedikit matahari mulai naik, aku akan mengunjungi bunga-bunga di depan rumah. Tak jarang aku hanya sekadar duduk mengamati bunga-bunga itu hingga satu jam ke depan. Melihat mereka tumbuh, rasanya seperti menyaksikan sebuah kehidupan yang maha indah. Aku merasa menjadi seorang ibu yang membesarkan bayi-bayi sehat.

Sekitar pukul tujuh pagi, seandainya Ibu memintaku menyiapkan sarapan, maka aku akan segera berlari ke dapur. Tapi jika tidak diminta, maka aku akan sangat bersyukur. Itu artinya sarapan pagi ini akan sangat lezat karena ibuku lah yang menyiapkannya. Usai sarapan dan minum teh bersama keluarga, aku mulai membersihkan rumah. Dari dapur hingga teras depan. Terkadang saat Ibu ada pekerjaan lain, aku juga harus masak. Meskipun tidak sering. Hasil masakanku selalu aneh rasanya, selalu ada saja yang tidak pas di lidah. Terkadang terlalu asin, terlalu manis, atau bahkan aku sendiri bingung apa yang kurang atau terlalu berlebihan dalam masakan tersebut.  

Semuanya selesai. Biasanya itu sekitar pukul 9 pagi. Selanjutnya aku akan mencuci sendiri seragam sekolah dan sepatu, sedangkan untuk pakaian sehari-hari Ibuku yang mengerjakan. Ibu pernah berkata, untuk belajar mandiri maka aku harus mulai belajar mencuci dan mempersiapkan pakaian sendiri. Tapi sampai hari ini, mengurusi pakaian adalah hal yang paling menjengkelkan. Ya, lemariku tak pernah rapi. Seringkali aku baru menyetrika pakaian begitu akan memakainya. Satu kebiasaan buruk ini memang sulit untuk diperbaiki.

Aku sudah mencoba untuk lebih telaten mengurusi pakaian, bahkan sudah pernah mencoba membuat lipatan baju sehabis disetrika dengan sebuah buku, berharap lebar lipatan antara satu baju dan yang lainnya sama, tapi hasilnya tetap saja lemariku terlihat berantakan. Kalaupun berhasil rapi, itu hanya bertahan sehari dua hari saja. Hari ketiga biasanya sudah hancur lagi karena aku selalu tergesa-gesa saat menarik pakaian dari tumpukan. Mungkin nanti setelah berumah sendiri, aku akan minta disiapkan lemari pakaian yang besar. Jadi tak perlu susah-susah melipat. Begitu selesai disetrika, cukup digantung saja. Sepertinya itu akan lebih aman terkendali.

Ya, bagiku aktifitas di rumah memang lebih menyenangkan. Ibu dan Bapak adalah role model yang selalu kujadikan panutan. Mereka tak akan berkunjung ke rumah tetangga jika hanya untuk ngerumpi panjang lebar. Ketika ada tetangga atau warga desa yang datang ke rumah, mereka juga tak mau membicarakan keburukan orang lain. Bapak selalu bicara soal agama, sementara Ibu akan menghidangkan teh dan jamuan. Memang, banyak tamu yang tampak bosan lantas memutuskan segara pulang. Tapi mereka akan berkunjung di minggu selanjutnya. Hubungan silaturrahim selalu terjaga. 

Ibu bilang, jangan terlalu akrab dengan orang lain, karena biasanya hubungan seperti itu justru akan mudah retak. Tapi berlaku baiklah pada semua orang, buatlah ikatan yang harmonis, jangan bedakan hubungan itu antara satu orang dengan yang lainnya. Insya Allah kehidupan yang seperti itu lebih melegakan. Buktinya ketika orang lain memiliki banyak masalah dengan tetangga, kedua orang tuaku tidak. Dua rumah yang paling dekat dengan rumahku selalu saling bahu membahu, saling berkunjung, saling mengantarkan makanan, dan sejenisnya.

Hari ini aku rindu rumah. Hidup di asrama bersama banyak santri terkadang membuatku tak begitu nyaman. Aku merasa saat ini masih dalam proses pencarian jati diri. Di mana seharusnya aku berada. Di mana seharusnya aku menetap untuk menghabiskan sisa umur selanjutnya. Beberapa tempat didatangi, tapi masih belum ada yang memenuhi permintaan batinku selama ini.

Aku ingin tinggal di rumah sendiri, seandainya pun bekerja maka itu adalah pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah, lalu sesekali aku akan keluar, menikmati udara segar, bertemu tetangga, menikmati secangkir kopi sambil menulis di sebuah cafe, atau menghadiri kegiatan. Atau saat tetangga dan karib kerabat berkunjung, aku akan menyiapkan jamuan untuk mereka, memuliakan mereka. Bukan berarti menarik diri dari masyarakat, aku hanya ingin menjalani kehidupan seperti Ibu. Yang jelas, aku tak mau setiap detik dan waktuku harus berlalu di tengah-tengah banyak orang. Hal seperti itu hanya membuatku tertekan.

Beberapa hari lalu aku baru saja menamatkan sebuah novel berjudul ‘Khadijah: Ketika Rahasia Mim Tersingkap’ yang ditulis oleh Sibel Eraslan, seorang penulis Muslimah dari Turki. Ini adalah satu-satunya novel tentang Khadijah ‘Sang Ibunda Kaum Muslimin’, yang paling indah yang pernah kubaca. Ketika mengikuti setiap baris kalimatnya, aku seperti menjelma menjadi sosok Maisaroh, pembantu sekaligus sahabat yang tinggal di rumah Khadijah. Aku menyaksikan seorang Khadijah yang begitu lembut hatinya, indah tutur bahasanya, anggun akhlak dan rupanya, dan dihormati keberadaannya. Sampai-sampai ia mendapat gelar sebagai berliannya kota Makkah, ratu-nya kota Makkah.

Aku juga seperti turut menyaksikan kesedihan Khadijah ketika ia harus ditinggal wafat oleh suami yang pertama, kemudian diam seribu bahasa ketika menjadi korban kebuasan suami kedua. Aku kagum pada keberanian Khadijah ketika ia memutuskan pergi dan meminta cerai dari suaminya yang tak berakhlak itu. Hingga kemudian aku ikut jatuh cinta ketika Khadijah dipertemukan pertama kali dengan seorang pemuda yang namanya diawali dengan huruf Mim... Dulu aku tak begitu paham bagaimana Muhammad bisa jatuh cinta pada Khadijah dan sebaliknya, tapi novel ini berhasil membuatku paham. Sangat paham. Mereka berdua memang pantas untuk saling jatuh cinta.

Bagiku, rumah Al Amin dan Khadijah adalah keindahan. Seperti seluruh masyarakat Makkah yang bercerita satu sama lain, bahwa rumah Al Amin dan Khadijah adalah surga. Sang suami mengurusi perdagangan, dan istri mengurusi hal-hal rumah tangga. Al Amin menjadi ayah yang teduh dan menyenangkan bagi anak-anak Khadijah dengan suaminya yang pertama, sementara hati Khadijah menjadi rumah yang teduh bagi Al Amin. Rumah mereka bercahaya. Terlebih saat Ali dan Zaid bergabung ke dalam rumah itu, lalu Khadijah mulai melahirkan anak-anak Al Amin. Mereka menjadi buah bibir ke seluruh penjuru negeri. Semua orang ingin bertamu ke rumah Khadijah dan Al Amin. Semua orang ingin ikut merasakan kebahagiaan di rumah itu.

Pantaslah, suatu hari, bertahun-tahun setelah kepergian Khadijah, dengan penuh kesedihan, Rasulullah salallahu a’alaihi wassalam, pernah menggoreskan empat buah garis ke tanah dengan cabang pohon kurma.

Ia bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian apa arti dari empat garis ini?”

“Rasul Allah pastilah tahu yang sebenar-benarnya,” jawab mereka.

“Empat garis ini menggambarkan empat wanita ahli surga yang paling mulia.
Khadijah putri Khuwailid
Fatimah putri Muhammad
Istri Firaun, putri Mudzahim, Asiyah
Dan Maryam, putri Imran
Semoga Allah meridhoi mereka.”

Kisah Khadijah membuatku bermimpi. Impian yang memaksaku untuk mengakui satu hal: aduhai betapa indahnya kehidupan seorang wanita Muslimah. Mereka tak punya kewajiban mencari nafkah, kerja begitu keras, karena tempat yang paling benar sesuai kodrat mereka adalah rumah. Di dalam rumah mereka sendiri lah wanita akan merasa dilindungi, dimuliakan, dan mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya. Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa keutamaan shalatnya seorang Muslimah adalah ketika dilaksanakan di rumahnya sendiri. Aku berpikir, mungkin inilah alasan mengapa selama ini pencarianku tak kunjung usai. Mulai dari satu tempat ke tempat lain, kota satu ke kota lain, kurasa semua itu bukan lah pencarian yang tepat. Aku hanya perlu mencari sebuah ‘rumah’, tak peduli rumah itu ada di kota mana, provinsi mana. Dan semoga Allah segera memberiku hadiah sebuah rumah yang nyaman lagi menenteramkan.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...