Saturday 19 August 2017

A Letter of Pains




Mendung menggantung di langit kota. Angin di luar seperti berkejaran menggoyangkan segala yang mereka lalui. Aku yang seharian ini mengurung diri di apartment, akhirnya memilih untuk berjalan keluar. 

Aku sengaja keluar di tengah cuaca seperti ini, karena sejak dulu aku menyukai langit mendung yang disertai angin. Cuaca yang cukup sebagai wakil dari segala perasaan yang menyakiti batinku selama ini. 

Angin menerpa wajah dan hijabku ketika pintu apartment terbuka. Aku merapatkan jaket, menutup pintu, menuruni tiga buah anak tangga, kemudian berjalan ke arah kiri. Daun-daun berwarna oranye hingga kecokelatan berserakan di mana-mana. Kakiku yang terbungkus sepatu boot bertumit terdengar ketukannya tiap kali menyentuh aspal, menjadi irama perjalanan.

Aku tak peduli pada orang-orang yang berjalan cepat di sekitar jalan ini. Yang kuinginkan adalah bercengkerama dengan segenap luka dan kepedihan yang terus terkurung dalam hati, seolah mereka tak punya jalan keluar. Andai hidup ini seperti dalam film, tentu semuanya akan lebih mudah. Nyatanya tidak! Nyatanya sampai saat ini tak ada satu ungkapan pun yang bisa kuucapkan pada orang lain betapa hatiku begitu sakit. Betapa hati ini wujudnya telah memar dan berdarah. 

Terkadang aku iri pada orang lain ketika mereka mendapati cinta sebagai sebuah anugerah terindah. Sementara yang kudapatkan adalah: cinta merupakan petaka terbesar yang membuat hidupku tak tentu arah. Jika ditanya apa dosaku? Maka jawabannya hanyalah karena aku berani jatuh cinta satu kali. Mungkin aku yang tak tahu diri, karena telah menjatuhkan hati ke jurang yang paling dalam sehingga tak ada jalan keluar untuk menariknya kembali. Hati itu, di dasar jurang yang paling gelap, merintih sendirian, kedinginan, kesakitan, dan segala penderitaan lainnya. Tak ada yang tahu, dan mungkin tak ada yang mau tahu! Hhh... lagipula siapa yang mau peduli dengan sepotong hati yang tak lagi utuh?

Aku tahu ini tak benar. Aku tahu semua ini terjadi akibat kecintaanku pada Allah ta’ala yang belum sempurna. Tapi bisakah Tuhan, jika Engkau membantuku menarik kembali hati itu seraya aku menyempurnakan cinta kepada-Mu?

Wajah kuhadapkan ke langit yang hitam. Mendung-mendung di atas sana berjalan seumpama asap, menuju ke suatu tempat. Setelah hampir 20 menit berjalan, sampailah aku di tepian sebuah selat. Jika biasanya air di selat ini begitu tenang, tidak dengan hari ini. Airnya memercik ke segala sisi, membasahi bebatuan di pinggirnya. 

Aku duduk di sebuah kursi panjang. Sendirian. Selama beberapa saat aku memandangi selat di depan, pada kapal-kapal yang entah ingin ke mana atau dari mana. Gagak-gagak putih terbang di segenap penjuru kota. Suara ringkikan mereka terdengar senada dengan angin yang mulai gemuruh.

Satu air mataku jatuh, dan aku tak mau menghapusnya. Aku mengeluarkan sebuah buku berwarna cokelat, juga sebuah pulpen. Meski di kepala ini belum ada ide tentang apa yang harus dituliskan, namun jari-jariku lebih dulu menyentuhkan pulpen itu ke atas kertas.

Mustafa.

Sebuah nama yang indah. Sekaligus menyakitkan. 

Sebuah nama yang ingin sekali tak kukenal, tapi justru terus kudoakan.

Sebuah nama yang menjadi musim semi di hati, namun juga menjadi musim paceklik yang mematikan.

Mustafa. 

Aku berharap—saat ini—bisa mengintip sedikit saja kehidupanmu di sana. 

Apakah sudah ada malaikat kecil di antara kalian?

Aku ingin tahu apakah doa-doa yang selama ini kulangitkan kepada Allah agar kau selalu berbahagia, telah dikabulkan? 

Apa yang bisa kulakukan? Apa yang bisa kulakukan agar berbahagia sementara mereka yang datang namun bukan engkau, pada hakikatnya adalah tidak ada? 

----

Thursday 17 August 2017

Nasehat M Quraish Shihab

 

Keberuntungan kadang memainkan perannya dalam kehidupan manusia, sekalipun kerap tidak masuk akal. Karena itulah takdir mereka.

Boleh jadi keterlambatanmu dari suatu perjalanan adalah keselamatanmu. Boleh jadi tertundanya pernikahanmu adalah suatu keberkahan. Boleh jadi dipecatnya engkau dari pekerjaan adalah suatu maslahat.

Boleh jadi sampai sekarang engkau belum dikarunia anak itu adalah kebaikan dalam hidupmu. Boleh jadi engkau membenci sesuatu tapi ternyata itu baik untukmu, karena Allah Maha Mengetahui Sedangkan engkau tidak mengetahui.

Sebab itu, jangan engkau merasa gundah terhadap segala sesuatu yang terjadi padamu, karena semuanya sudah atas izin Allah. Jangan banyak mengeluh karena hanya akan menambah kegelisahan.

Perbanyaklah bersyukur, Alhamdulillah, itu yang akan mendatangkan kebahagiaan. Terus ucap alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah, sampai engkau tak mampu lagi mengucapkannya.

Selama kita masih bisa tidur tanpa obat tidur, kita masih bisa bangun tidur hanya dengan satu bunyi suara, kita terbangun tanpa melihat adanya alat-alat medis yang menempel di tubuh kita, itu pertanda bahwa kita hidup sejahtera. 

Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah, ucapkan sampai engkau tak mampu lagi mengucapkannya.

Jangan selalu melihat ke belakang karena disana ada masa lalu yang menghantuimu. Jangan selalu melihat ke depan karena terkadang ada masa depan yang membuatmu gelisah. Namun lihatlah ke atas karena di sana ada Allah yang membuatmu bahagia.

Tidak harus banyak teman agar engkau menjadi populer, singa sang raja hutan lebih sering berjalan sendirian. Tapi kawanan domba selalu bergerombol. Jari-jari juga demikian; kelingking, jari manis, jari tengah, jari telunjuk, semuanya berjajar bersampingan kecuali jari jempol dia yang paling jauh diantara keempat itu.

Namun perhatikan engkau akan terkejut kalau semua jari-jari itu tidak akan bisa berfungsi dengan baik tanpa adanya jempol yang sendiri yang jauh dari mereka.
Karena itu, sebenarnya yang diperhitungkan bukanlah jumlah teman yang ada di sekelilingmu akan tetapi banyaknya cinta dan manfaat yang ada di sekitarmu, sekalipun engkau jauh dari mereka.

Menyibukkan diri dalam pekerjaan akan menyelamatkan dirimu dari tiga masalah; yaitu kebosanan, kehinaan, dan kemiskinan.

Aku tidak pernah mengetahui adanya rumus kesuksesan, tapi aku menyadari bahwa “rumus kegagalan adalah sikap asal semua orang”.

Teman itu seperti anak tangga, boleh jadi ia membawamu ke atas atau ternyata sebaliknya membawamu ke bawah, maka hati-hatilah anak tangga mana yang sedang engkau lalui.

Hidup ini akan terus berlanjut baik itu engkau tertawa ataupun menangis, karena itu jangan jadikan hidupmu penuh kesedihan yang tidak bermanfaat sama sekali.

Berlapang dadalah, maafkanlah, dan serahkan urusan manusia kepada Tuhan, karena engkau, mereka, dan kita semua, semuanya akan berpulang kepadaNya.

Jangan tinggalkan sholatmu sekali pun. Karena di sana, jutaan manusia yang berada di bawah tanah, sedang berharap sekiranya mereka diperbolehkan kembali hidup mereka akan bersujud kepada Allah SWT walau sekali sujud.

Jangan selalu bersandar pada cinta, karena itu jarang terjadi. Jangan bersandar kepada manusia karena ia akan pergi. Tapi bersandarlah kepada Allah SWT, Tuhan YME, karena Dialah yang menentukan segala nya. 

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...