Amazon.com |
Novel
kedua Khaled Hosseini ini bukanlah barang baru bagiku. Pertama kali mencoba
membaca saat aku masih duduk di kelas dua Madrasah Aliyah, hampir lima tahun
lalu. Aku bahkan mengenal novel ini sebelum membaca novel pertama Khaled, The
Kite Runner.
Dulu, aku
tidak pernah berhasil menamatkan novel ini, meski seberapa besar telah
berusaha. Kepedihan di dalamnya membuat perut mual, lalu aku merasa seperti
terkurung dalam sebuah ruangan gelap dan pengap. Berkali-kali aku coba
melanjutkan bacaan, tapi berkali-kali pula aku menyerah. Namun satu hal yang
membuatku takjub, novel yang tak sempat kutamatkan ini ternyata terus hidup
dalam pikiran. Kalimat Nana saat berkata pada Mariam bahwa perut ibu tidak akan
melar dan berdarah meskipun telah menampung seorang manusia selama sembilan
bulan, selalu saja kuingat. Hingga kemudian, beberapa bulan lalu, aku
memutuskan untuk kembali mencoba. Tidak langsung pada A Thousand Spendid Suns,
melainkan novel pertama Khaled-lah yang lebih dulu kubaca.
Apa yang
dikatakan orang-orang memang benar, The Kite Runner adalah sebuah novel yang
indah, meskipun saat membacanya aku dibanjiri air mata. Rasanya tidak satu
novel pun sebelumnya yang bisa membuatku menangis sedahsyat itu, hingga
tumpukan tisu basah penuh di sela-sela tempat tidur.
Hanya butuh waktu 2 hari untuk menamatkan The Kite
Runner, namun kisah Amir Agha dan Hassan terus menghantuiku hingga 5 bulan ke
depan. Selang beberapa hari setelah menyelesaikan Kite Runner, aku sudah siap
untuk kembali membaca A Thousand Splendid Suns.
Aku membacanya dari halaman pertama, meskipun
ingatan tentang cerita yang kubaca 5 tahun silam belumlah hilang. Hanya saja,
kali ini aku merasakan sesuatu yang berbeda. Memang cerita di sana sama sekali
tidak berubah. Aku tetap menemukan Mariam kecil yang tinggal bersama ibunya di
sebuah bangunan kecil dari tanah liat bernama Kolba. Mariam masih tetap seorang
harami. Jalil yang setiap waktu kunjungan selalu melambaikan tangan pada Mriam,
lalu melompat di atas bebatuan menyeberangi sungai. Nana yang kemudian mati gantung
diri. Mariam yang menjadi rumput liar dalam keluarga sang ayah, hingga akhirnya ia tidak punya pilihan lain
kecuali menikah dengan lelaki berumur bernama Rasheed.
Sesuatu berbeda yang kumaksud adalah, aku
menikmati setiap alur di dalamnya, bahkan setiap kata yang ditulis Khaled. Kini
aku paham, dulu aku menganggap sebuah cerita yang indah adalah cerita yang
dipenuhi dengan kejadian menyenangkan dan tempat-tempat indah. Pantas saja 5
tahun lalu aku sangat terhibur saat membaca Secret Garden, Little Lord Fauntleroy,
Alice in the Wonderland, A Little Princess, hingga buku ensiklopedi tebal yang memuat ratusan gambar berwarna. Saat ke Gramedia pun, yang menjadi sasaranku adalah rak yang men-display berbagai novel remaja.
Namun sekarang, caraku melihat
suatu tulisan telah berubah. A Thousand Splendid Suns menyadarkanku akan hal
itu. Bagiku, Khaled adalah penulis yang benar-benar cerdas. Sambil terus
membaca, aku masih saja dibuat kagum pada kelihaiannya memilih peristiwa apa
saja yang perlu dimasukkan ke dalam cerita. Terkadang ia hanya menulis tentang
hal sederhana, tapi ternyata itu berhasil membuatku merenung, membuatku hidup
sebagai Mariam.
Dalam novel ini aku membaca kepedihan demi
kepedihan, juga kekerasan hidup yang dialami perempuan di sebuah negara bernama
Afghanistan, tapi sebaliknya aku menemukan keindahan dalam setiap kata yang dituliskan
Khaled Hosseini. Aku membayangkan Kabul, Herat, Gul Daman, gedung bioskop,
orang-orang Afghan berbahasa Farsi, anak-anak yang mengejar ayam, toko sepatu
Rasheed, hingga rumah yang didiami Mariam. Mendengar kata Kabul, Herat, dan
Sultan, aku seperti terlempar ke alam yang berbeda. Aku membayangkan sebuah
tanah berwarna oranye, rumput-rumput liar yang berbunga, dan pohon-pohon yang
tumbuh dengan jarang. Mungkin karena ini pula aku ingin berkunjung ke
Afghanistan suatu hari nanti.
Mengenai jalan cerita A Thousand Splendid Suns,
kurasa kalian lebih fasih. Ada dua perempuan yang dijadikan Khaled sebagai
tokoh utama dalam novel ini (Mariam dan Laila), mengingatkanku pada Amir dan
Hassan. Namun entah mengapa, kisah Laila tidak begitu menarik perhatianku. Ya,
dia memang telah kehilangan keluarga saat rumahnya hancur karena sebuah bom,
dia juga menyaksikan sendiri saat tubuh sang ayah jatuh di sampingnya dalam
keadaan tanpa kepala, tapi setidaknya Laila punya akhir yang bahagia. Di mataku
Laila sama seperti tokoh utama dalam kisah fiksi lain yang disayang oleh si
penulis. Jadi, meskipun setumpuk apapun penderitaan dan perjuangan yang harus
dilewati, si penulis tetap memberikan kebahagiaan di akhir cerita.
Sedangkan Mariam? Baginya kebahagiaan adalah hal
yang sangat sederhana. Ia bahkan tidak memiliki sendiri kebahagiaan tersebut,
melainkan hanya ikut mencicipinya dari Laila. Seingatku, sepanjang membaca
kisah Mariam, hanya satu kali saja Khaled Hosseini memberikan dia kebahagiaan,
yaitu saat Rasheed mengajaknya berkeliling Kabul di hari-hari pertama
pernikahan mereka. Dengan sabar Rasheed membelikannya es krim (itu adalah kali
pertama Mariam mencicipi es krim), Rasheed mengajaknya ke kedai kebab, dan
Rasheed yang dengan sabar memberi tahu satu persatu nama jalan. Ketika Rasheed
menunjuk sebuah jalan bernama jalan Ayam, Mariam berkata, “Tapi aku tidak
melihat ayamnya.”
Saat itulah Rasheed tergelak dan menjawab, “Hanya
itulah yang tidak bisa ditemukan di jalan ini.”
Moment itu berhasil membuatku tertawa geli. Aku tertawa,
diam, menutup mulut, lalu kembali tidak bisa menahan tawa. Seolah diriku
sendirilah Mariam itu. Betapa setelah menjalani hidup yang pedih, hal sepele
seperti itu terasa begitu istimewa. Sejenak aku lupa pada Rasheed yang
temperamen, perokok, pengoleksi majalah porno, jangkung dengan perut buncit,
serta berhidung bengkok itu. Terlebih saat Mariam merasa bahwa senyum Rasheed
hanyalah ditujukan untuk dirinya, senyuman pribadi seorang suami. Hatiku ikut
terbuai dan berkata lirih, Mariam adalah perempuan yang tidak pernah menuntut
apapun. Tidak juga marah pada siapa pun, meski kehidupan tidak pernah berpihak
padanya sejak ia dilahirkan hingga akhir hidupnya.
Pada Mariam, kurasa Khaled Hosseini telah membuang
jauh-jauh rasa kasihan dalam hatinya. Jika aku penulisnya, tentu tidak akan
pernah tega memberikan akhir yang pilu bagi Mariam, walaupun mungkin ia akan
langsung dihantar ke Surga. Meskipun aku bukanlah penulis yang sesungguhnya,
tapi aku tahu mematikan karakter utama dalam cerita yang kita tulis itu tidak
mudah. Terlebih saat harus membuatnya menderita sepanjang hidup. Itu sama
artinya dengan membuat menderita seseorang yang kita sayangi. Tapi Khaled
berhasil melakukan itu dengan baik. Ya seperti itulah kehidupan. Ada
orang-orang di dunia ini yang hidupnya benar-benar tidak diberi kesempatan,
sedikit pun tidak. Sehingga yang mereka lakukan hanyalah tunduk, bersabar, dan
bertahan.
Berikut aku lampirkan potongan cerita dari novel A
Thousand Splendid Suns:
Apa yang diucapkan Mariam memang indah. Tapi ketika aku ingat semua itu hanyalah ucapannya untuk menenangkan Laila, hwaaaaa hanya bisa kembali nangis. |
Novel ini sangat pedih, terlebih untuk seorang wanita.
Kalimat Nana yang berbunyi, ‘Seperti jarum kompas yang selalu menunjuk ke
Utara, jari telunjuk seorang pria selalu teracung menuduh seorang wanita.
Ingatlah itu, Mariam!’ membuat kepedihan dalam novel ini kian sempurna.
Seperti judulnya, Seribu Cahaya Mentari Surga,
pembaca juga akan menemukan keindahan di akhir cerita. Tenang saja, kita bisa
melihat Kabul dan Herat kembali hidup setelah sekian lama meranggas karena
perang. Selain itu, melalui novel ini, Khaled yang merupakan putra seorang
diplomat ini berhasil memberi tahu permbaca tentang situasi politik dan siapa
saja yang pernah berkuasa di Afghanistan. Secara keseluruhan, novel ini adalah
karya yang sangat indah, juga mengingatkan kita untuk selalu bersyukur.
Bagi yang belum pernah membaca, setidaknya bacalah
meskipun hanya sekali seumur hidup.
Hi mbak sofi apa kabar lama nggak baca postingannya. I love khaled hosseini hahahaha meski dibikin sedih sakit hati ada kalanya tersenyum (getir) i love him *lebay ya?
ReplyDeleteKyaknya menarik nih untuk dibaca, bikin penasaran aja si mbak Sofi ini...
ReplyDelete