Thursday 29 June 2017

Percakapan Sepasang Manusia


Adalah pagi saat embun-embun masih bertengger manis di atas lembar dedaunan, saat burung-burung yang baru saja berkemas dari peraduan, dan ketika nafas Subuh baru sasaat lalu berganti mega berwarna, kita untuk pertama kalinya bertemu di persimpangan. Sisa-sisa malam masih tampak di matamu, juga pakaianmu yang tak serapi biasanya. Pagi ini kau hanya mengenakan celana yang sedikit kusut, kaos putih, dan sebuah jaket tebal. 

"Kebetulan. Mumpung bertemu aku ingin bicara. Mari singgah ke rumah." Aku menawari. Tanpa menunggu jawaban apapun, aku telah berbelok masuk ke halaman, kemudian memilih duduk di sebuah bangku panjang di bagian kanan rumah. Dahan-dahan kekar ketapang bertengger di atas, memberi naungan.

Dari kejauhan, aku menangkap dirimu yang ragu. Seolah kau menimbang apakah setuju untuk singgah atau sebaiknya melanjutkan perjalanan pulang.

"Sebentar saja." Ucapku. Ya ini untuk kesekian kali aku mengajakmu bicara, dan respon yang kudapatkan selalu begini. Siapa yang tidak marah padamu? Siapa yang tidak jenuh pada lelaki jenis begini? 

"Ada apa?" Inilah hal pertama yang kau tanyakan begitu sampai dan duduk di sampingku, terpisah jarak sekitar satu depa.

Dan lihat lah lagi! Aduhai pertanyaanmu itu, seolah sungguhan hanya aku yang membutuhkanmu. Kini aku tersenyum tipis. Semua ini benar-benar mengenaskan.

"Bagaimana rasanya? Apakah menurutmu semua yang terjadi pada kita akhir-akhir ini begitu menyenangkan?" Aku balik bertanya.

Kau mengernyit. Berpikir sejenak--sepertinya begitu. Kemudian menggeleng dengan ragu.

"Kau yang memilih hal ini." Jawabmu.

Aku tertawa kecil, "Dan kau tak pernah bertanya kenapa aku melakukannya? Harusnya aku menulis cerita tentang hati para wanita saja, lalu kuberikan padamu. Dengan begitu kau akan tahu apa saja yang akan dilakukan para wanita ketika marah. Malangnya kaum kalian justru tak paham itu, yang ada bukannya membujuk, kalian malah ikut marah."

Giliran kau yang tertawa lirih. 

"Jadi kau marah? Maaf, aku hanya tak paham bahwa semua yang kau lakukan adalah bentuk kemarahan. Kupikir kau pergi begitu saja. Mungkin karena sudah bosan bersamaku." 

"Tapi aku penasaran, bagaimana rasanya? Apa kau baik-baik saja berjauhan dariku?"

Kau melihat ke arahku sejenak, kemudian tersenyum tipis. "Tidak juga."

"Lalu mengapa kau tak datang kemari? Kenapa tidak meminta maaf? Aku menunggumu sepanjang hari."

"Kupikir kau sedang butuh banyak waktu untuk sendiri. Kupikir kau tak ingin lagi melihat wajahku. Jadi akan lebih baik bila aku tak datang menjemput."

Aduhai lihat lah lagi! Benar sekali bahwa ada jutaan perkara rumit di dunia ini, tapi rasanya tak ada yang lebih rumit melebihi perkara sepasang manusia.

Kau bergumam lirih sebelum akhirnya bersuara, "Tapi aku sudah menyampaikan permintaan maaf lewat berbagai cara."

"Aku membacanya." Kataku.

"Lalu kenapa tidak pulang?"

"Kupikir kau sedang meminta maaf pada orang lain. Bodoh sekali andai aku datang dan ternyata kau sama sekali tak mengakui dosamu."

Kau masih tersenyum. Tertunduk. Melihat pada ujung kakimu. Kemudian berkata lirih, "Aku minta maaf." Akhirnya.

Aku menarik napas dalam. Tersenyum ke arahmu. "Demikian pula aku. Bisa kah kita tidak begini lagi dan kembali menjalani hari-hari seperti dulu? Bisa kah hati kita kembali dekat? Selama ini aku terus memberi isyarat dengan berbagai hal untuk melukaimu, untuk bersikap seolah tak lagi peduli padamu, tapi pada hakikatnya aku hanya melukai diri sendiri." Aku baru saja mengucapkan sebuah kejujuran.

Sofia

Sunday 25 June 2017

Apabila (A Bouquet of Prayer)


 
Apabila dirimu ada di negara yang berbeda denganku, semoga Allah segera menyampaikan kita untuk bertemu.

Apabila dirimu memiliki bahasa yang tak sama denganku, semoga Allah memberi kemudahan bagi masing-masing kita untuk bisa saling memahami.

Apabila dirimu adalah salah satu teman, tetangga, atau sahabatku, semoga Allah meringankan lidahmu.

Apabila dirimu adalah seseorang yang belum kukenal, semoga Allah segera memperkenalkan.

Apabila dirimu sedang sibuk dengan berbagai urusan, semoga Allah memberi kemudahan dan keberkahan.

Apabila dirimu sedang dililit kesusahan, semoga Allah segera menunjuk jalan keluarnya.

Apabila dirimu belum menunaikan agama dengan baik, semoga Allah membukakan pintu hidayahNya yang luas.

Apabila dirimu dan diriku masih belum pantas untuk bersama, semoga Allah menjadikan kita mampu saling menutupi hal-hal yang kurang. 

Selamat Lebaran. Hayirli Bayramlar. Semoga Allah menetapkan hati kita di atas iman dan Islam.

*Doa sekaligus tulisan di Hari Raya tahun ini.


Monday 5 June 2017

PUNYA USAHA DAN LIKA-LIKUNYA



Lihat background-nya...

Tidak mudah!

Inilah dua kata pertama yang muncul ketika ada yang bertanya, “Bagaimana kesannya setelah punya usaha sendiri?”

Banyak teman-teman di sekitar sering nyeletuk, “Enak ya kalian berdua. Sudah punya usaha sendiri. Jadi gak perlu lagi capek-capek hunting loker.”

Ya, mungkin itu kesan dari mereka.

Bagi kita yang merasakan perjuangan sejak awal, tentu kata enak di sini harus diberi tanda kutip. 

Sejak memutuskan untuk memulai usaha bersama seorang teman sejak November 2016 lalu hingga hari ini, sebenarnya kita masih dalam tahap berjuang. 

Bedanya, dulu kita produksi di kamar asrama yang sempit banget. Jadi kebayang kan ada kamar 4 x 4 yang di sana ada lemari, meja, tempat tidur tingkat, plus oven dan kue-kue yang load dan unload. Penuh, berantakan, berminyak, panas, plus sumpek. Alhamdulillah berkat keuntungan akhirnya kita bisa nyewa rumah tidak jauh dari asrama. Sayangnya usaha tidak berjalan selancar yang dibayangkan.

Pekerjaan utama kita sebagai guru pengabdian di pesantren menuntut lebih banyak waktu dan perhatian. Kita tidak diperbolehkan bermalam di luar asrama, dan jam mengajar pun cukup banyak hampir 20 jam per minggu. Belum lagi urusan kepesantrenan yang lebih banyak melibatkan guru-guru yang tinggal di asrama ketimbang guru di sekolah. Pada akhirnya kita harus memilih. Waktu itu aku menyarankan agar kami lebih fokus pada pengabdian terlebih dahulu. Dan ya, itulah yang sudah kita lakukan sejauh ini.

Alhamdulillah masa pengabdian kami selesai di bulan ini. Selanjutnya kami akan berpindah ke pusat kota dan menyewa rumah di sana. Sehabis lebaran aku akan kembali ke kota ini, insyaAllah. Tentu tidak lagi berstatus sebagai guru. Ini juga gak mudah. Kami berdua masing-masing harus menyakinkan kedua orangtua bahwa kesuksesan itu gak melulu kita harus jadi pegawai negeri (karena mayoritas mindset orang tua ya begini).

Syukurnya Bapak bukan termasuk tipe ini. Beliau selalu memberikan kebebasan selama itu masih berada dalam jalur yang baik. Pada mulanya Bapak memintaku kembali ke Bintan. Mungkin karena tiap kali menelepon aku selalu mengeluh betapa sulitnya jadi seorang guru. Beliau menyimpulkan kehidupanku di Bintan dulu lebih melegakan. Dan satu lagi, Bapak paling takut anaknya tinggal di kota besar dimana kendaraan memenuhi setiap ruas jalan. Kalau bisa mah aku disuruh tinggal di kampung aja, yang gak ada mobilnya. 

You know why? Ya, Bapak tahu aku itu paling gak berani bawa motor. Meskipun belajarnya sudah sejak dua tahun lalu, tapi tetap saja aku gak berani bawa motor ke jalan yang ramai. Belum lagi berita-berita kecelakaan lalu lintas yang sering singgah di telinga beliau, jadinya semakin khawatir. Kalau di Bintan kan kotanya masih belum semaju Pekanbaru, jadi Bapak lebih tenang.

Ya itulah Bapak. Kurasa semua ayah di dunia ini memang selalu mencemaskan anak perempuannya.

Syukurnya aku bisa meyakinkan beliau. Kukatakan padanya, jika sekarang aku kembali ke Bintan maka semua yang sudah kumulai di sini tidak selesai. Aku menyerah sebelum benar-benar berjuang. Dan aku gak mau itu terulang untuk kedua kali. Aku minta Bapak untuk memberi satu kesempatan lagi, setidaknya hingga satu tahun ke depan. Dan akhirnya beliau setuju.

“Ya, Bapak ikut selama itu yang terbaik menurutmu.”

Temanku malah harus menghadapi problem yang lebih sulit. Kedua orang tuanya adalah pegawai negeri sertifikasi. Keduanya sudah berasakan betapa mudahnya hidup dengan pekerjaan tersebut. Bisa dibilang kehidupan keluarganya berkecukupan. Dulu, yang cukup menentang ide untuk membangun usaha ini adalah ibunya. Beliau inginnya temanku ini jadi guru saja, terus ikut CPNS. Atau setidaknya temanku ini melamar ke dinas, perusahaan, dan sejenisnya. 

“Carilah pekerjaan normal.” Katanya.

Beliau berkata seperti itu bukan tanpa alasan. Pernah sekali beliau tidur di rumah kami dan saat yang bersamaan kami sedang menyiapkan orderan yang cukup banyak. Kerja sampai larut malam. Dan beliau merasa kasihan. 

“Jam segini kami biasanya tidur nyaman di rumah. Tapi anakku?” katanya tak sampai hati.

Tapi akhirnya setelah melewati diskusi yang panjang, beliau setuju juga. Malahan kita dipinjami modal agar lebih serius menjalankan usaha pasca lebaran. Tentu based-nya di pusat kota Pekanbaru. InsyaAllah. 

Lalu masalah produk, sejauh ini kita produksi bolen pisang dan swiss roll.
Kalau mau diceritakan perjuangan menemukan resep yang pas, bisa-bisa jadi novel sendiri. Bayangkan, sebelum hasilnya lembut seperti sekarang, kita harus menghabiskan 3 papan telur untuk percobaan dan semuanya gagal. Mulai dari keras, lengket, bantat, amis, retak, kering, jadi jelly, dan entah apa lagi. Bolen pun begitu. Intinya semua pasti ada gagal-gagalnya dulu. 
Kita juga produksi roti sih. Tapi kadang-kadang


“Andai dulu kita nyerah, pasti sampai sekarang gak bisa bikin swiss roll seenak ini.” Kata temanku itu.

Yap. Waktu itu memang hampir nyerah. Aku yang bertugas membuat resep baru pun sudah mengeluh berkali-kali.

“Kayaknya kita gak berbakat untuk bikin yang satu ini.”

Syukurnya punya partner yang sedikit keras kepala plus semangat juangnya luar biasa. Jadi begitu down, temanku ini lah yang kemudian memberikan motivasi. Belum lagi kalau pas belanja bahan dan peralatan, seingatku naik motor itu gak pernah kalau gak rempong. Bawaannya seabrek.

Sekarang alhamdulillah soal resep sudah bukan masalah. Tinggal bagaimana nanti bisa punya market atau customer yang jelas. Setidaknya untuk bisa hidup mandiri berdua, kita harus menargetkan penjualan minimal 50 box per hari. Sejauh ini promosi kita memang belum maksimal, baik dari segi foto maupun marketingnya. Semua serba adanya. Belum mencoba media sosial adv, endorse, dan tentu belum pernah berusaha memotret produk secara lebih profesional. 

Yah, doakan saja. Apapun yang dijalani sungguh-sungguh insyaAllah akan terlihat hasilnya. Kan ada dalilnya ya, manusia tiada memperoleh kecuali apa yang sudah ia usahakan (lupa surat apa ayat berapa).

Bagi siapapun yang dari dulu pengen banget punya usaha, mulai saja dari sekarang. Modalnya apa yang ada saja. Kita dulu juga cuma modal 700 ribu buat beli oven. Iuran berdua. Terus beberapa bulan kemudian ada teman juga yang mulai investasi kecil-kecilan. Pokoknya jangan nunggu semuanya perfect dulu. Sempurnakan sambil jalan mah intinya. Dan yang terpenting, jangan lupakan Allah. Mau usaha sehebat apa juga kalau Allah gak ridho, ya tetep hasilnya gak bakal ada. 

Oke. Sekian dulu. Lain kali cerita lagi.

Sofia

Kita & Perumpamaan



Ada hari yang basah ketika langkah membawaku singgah di sebuah terminal yang lengang. Tak ada siapapun di sana kecuali dirimu. Kau tampak duduk menikmati hujan,  seperti tak risau sedikit pun tentang kapan hujan ini akan reda. Aku yang terpaksa singgah, terpaksa juga duduk di sana. 

"Sudah lama?" Tanyaku membuka percakapan.

"Baru saja. Kita sama-sama tahu bahwa hujan baru saja turun. Aku berlari ke sini, lalu kau menyusul."

"Aku tak menyusul."

"Lalu apa?" Kau mengejar dengan pertanyaan.

"Hanya mengikutimu." Jawabku pendek. Hampir tak terdengar. Tapi ini sengaja. Sebuah lelucon yang spontan.

Kau tertawa kecil, menoleh ke arahku. Kemudian aku ikut tertawa.

"Apa kabar? Lama tidak bertemu." Tanyamu. Sebenarnya inilah pembuka percakapan kita setelah tadi hanya berbasa-basi.

"Tidak cukup baik. Setidaknya kau harus tahu itu. Lalu kabarmu? Kuperhatikan kau makin sibuk saja mengurusi soal perasaan akhir-akhir ini." Aku menghirup napas dalam. Udara di sini begitu segar, meskipun cukup dingin.

Lagi. Dari samping kulihat matamu yang menyipit. Tawa yang begitu khas. "Itu bagian dari perjuangan. Yaaa, seperti seseorang yang terdampar di sebuah pulau tak bertuan, kemudian ia mengirim sinyal-sinyal permintaan bantuan, berharap jauh di tengah lautan akan ada pemilik kapal yang melihatnya."

"Perumpamaan yang bagus. Tapi sayang, mungkin kau tak tahu bahwa pulau tak bertuan itu berada di tengah lautan yang memiliki keindahan menakjubkan. Baik itu airnya yang maha biru, karangnya, juga makhluk lautnya. Apa kau juga tahu kelanjutannya? Tentu ada banyak kapal berlayar di sana. Para manusia yang tertarik untuk berwisata laut. Sinyalmu terlihat oleh banyak orang. Dasar."

"Kau salah satunya, bukan? Lalu kenapa tidak mau datang dan mendekat?"

"Bagaimana lagi? Kapalku kecil sekali dan rasanya, sudah penuh. Terkadang aku merasa ada sedikit celah di kapal itu yang bisa diisi oleh satu penumpang lagi. Hanya terkadang. Tapi jika dipikir lebih dalam, kurasa celah itu hampir tidak ada."

"Perumpaan yang menarik." Kau bergumam. "Kebanyakan wanita terlalu dalam menjatuhkan perasaan. Akibatnya ia tak kuasa menarik kembali, bahkan ketika tahu perasaan itu telah tenggelam di dasar lautan."

"Aku tak bilang begitu. Aku menceritakan tentang kapal."

"Ya ya tentang kapal. Kapal yang sudah cukup muatan kau bilang." Kau menoleh dan tersenyum. Aku hampir tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa.

Lalu kemudian, selama beberapa menit ke depan, kita hanya sibuk dalam pikiran masing-masing. Sama-sama tak bersuara, hingga akhirnya kau berkata lirih, "Inilah yang terjadi di antara kita. Yang sebenarnya. Kurasa kau berdusta. Kau hanya takut bersusah payah mencapai pulau itu, tapi pada akhirnya tahu bahwa aku telah naik di kapal lainnya. Iya, kan?" 

Dan aku mengangguk.

Setuju. Meskipun perumpaan kapal yang penuh itu juga bukan perkara dusta. Aku memiliki dua masalah, dan sekarang kau sudah tahu keduanya.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...