Lihat background-nya... |
Tidak mudah!
Inilah dua kata pertama yang muncul ketika ada yang
bertanya, “Bagaimana kesannya setelah punya usaha sendiri?”
Banyak teman-teman di sekitar sering nyeletuk, “Enak ya
kalian berdua. Sudah punya usaha sendiri. Jadi gak perlu lagi capek-capek
hunting loker.”
Ya, mungkin itu kesan dari mereka.
Bagi kita yang merasakan perjuangan sejak awal, tentu
kata enak di sini harus diberi tanda kutip.
Sejak memutuskan untuk memulai usaha bersama seorang
teman sejak November 2016 lalu hingga hari ini, sebenarnya kita masih dalam
tahap berjuang.
Bedanya, dulu kita produksi di kamar asrama yang sempit
banget. Jadi kebayang kan ada kamar 4 x 4 yang di sana ada lemari, meja, tempat
tidur tingkat, plus oven dan kue-kue yang load dan unload. Penuh, berantakan,
berminyak, panas, plus sumpek. Alhamdulillah berkat keuntungan akhirnya kita
bisa nyewa rumah tidak jauh dari asrama. Sayangnya usaha tidak berjalan
selancar yang dibayangkan.
Pekerjaan utama kita sebagai guru pengabdian di
pesantren menuntut lebih banyak waktu dan perhatian. Kita tidak diperbolehkan
bermalam di luar asrama, dan jam mengajar pun cukup banyak hampir 20 jam per
minggu. Belum lagi urusan kepesantrenan yang lebih banyak melibatkan guru-guru
yang tinggal di asrama ketimbang guru di sekolah. Pada akhirnya kita harus
memilih. Waktu itu aku menyarankan agar kami lebih fokus pada pengabdian
terlebih dahulu. Dan ya, itulah yang sudah kita lakukan sejauh ini.
Alhamdulillah masa pengabdian kami selesai di bulan ini.
Selanjutnya kami akan berpindah ke pusat kota dan menyewa rumah di sana. Sehabis
lebaran aku akan kembali ke kota ini, insyaAllah. Tentu tidak lagi berstatus
sebagai guru. Ini juga gak mudah. Kami berdua masing-masing harus menyakinkan
kedua orangtua bahwa kesuksesan itu gak melulu kita harus jadi pegawai negeri
(karena mayoritas mindset orang tua ya begini).
Syukurnya Bapak bukan termasuk tipe ini. Beliau selalu
memberikan kebebasan selama itu masih berada dalam jalur yang baik. Pada mulanya
Bapak memintaku kembali ke Bintan. Mungkin karena tiap kali menelepon aku
selalu mengeluh betapa sulitnya jadi seorang guru. Beliau menyimpulkan
kehidupanku di Bintan dulu lebih melegakan. Dan satu lagi, Bapak paling takut
anaknya tinggal di kota besar dimana kendaraan memenuhi setiap ruas jalan. Kalau
bisa mah aku disuruh tinggal di kampung aja, yang gak ada mobilnya.
You know
why? Ya, Bapak tahu aku itu paling gak berani bawa motor. Meskipun belajarnya
sudah sejak dua tahun lalu, tapi tetap saja aku gak berani bawa motor ke jalan
yang ramai. Belum lagi berita-berita kecelakaan lalu lintas yang sering singgah
di telinga beliau, jadinya semakin khawatir. Kalau di Bintan kan kotanya masih
belum semaju Pekanbaru, jadi Bapak lebih tenang.
Ya itulah Bapak. Kurasa semua ayah di dunia ini memang
selalu mencemaskan anak perempuannya.
Syukurnya aku bisa meyakinkan beliau. Kukatakan padanya,
jika sekarang aku kembali ke Bintan maka semua yang sudah kumulai di sini tidak
selesai. Aku menyerah sebelum benar-benar berjuang. Dan aku gak mau itu
terulang untuk kedua kali. Aku minta Bapak untuk memberi satu kesempatan lagi,
setidaknya hingga satu tahun ke depan. Dan akhirnya beliau setuju.
“Ya, Bapak ikut selama itu yang terbaik menurutmu.”
Temanku malah harus menghadapi problem yang lebih sulit.
Kedua orang tuanya adalah pegawai negeri sertifikasi. Keduanya sudah berasakan
betapa mudahnya hidup dengan pekerjaan tersebut. Bisa dibilang kehidupan keluarganya
berkecukupan. Dulu, yang cukup menentang ide untuk membangun usaha ini adalah
ibunya. Beliau inginnya temanku ini jadi guru saja, terus ikut CPNS. Atau
setidaknya temanku ini melamar ke dinas, perusahaan, dan sejenisnya.
“Carilah pekerjaan normal.” Katanya.
Beliau berkata seperti itu bukan tanpa alasan. Pernah sekali
beliau tidur di rumah kami dan saat yang bersamaan kami sedang menyiapkan
orderan yang cukup banyak. Kerja sampai larut malam. Dan beliau merasa kasihan.
“Jam segini kami biasanya tidur nyaman di rumah. Tapi
anakku?” katanya tak sampai hati.
Tapi akhirnya setelah melewati diskusi yang panjang,
beliau setuju juga. Malahan kita dipinjami modal agar lebih serius menjalankan usaha
pasca lebaran. Tentu based-nya di pusat kota Pekanbaru. InsyaAllah.
Lalu masalah produk, sejauh ini kita produksi bolen
pisang dan swiss roll.
Kalau mau diceritakan perjuangan menemukan resep yang
pas, bisa-bisa jadi novel sendiri. Bayangkan, sebelum hasilnya lembut seperti
sekarang, kita harus menghabiskan 3 papan telur untuk percobaan dan semuanya
gagal. Mulai dari keras, lengket, bantat, amis, retak, kering, jadi jelly, dan
entah apa lagi. Bolen pun begitu. Intinya semua pasti ada gagal-gagalnya dulu.
“Andai dulu kita nyerah, pasti sampai sekarang gak bisa bikin swiss roll seenak ini.” Kata temanku itu.
Yap. Waktu itu memang hampir nyerah. Aku yang bertugas
membuat resep baru pun sudah mengeluh berkali-kali.
“Kayaknya kita gak berbakat untuk bikin yang satu ini.”
Syukurnya punya partner yang sedikit keras kepala plus
semangat juangnya luar biasa. Jadi begitu down, temanku ini lah yang kemudian
memberikan motivasi. Belum lagi kalau pas belanja bahan dan peralatan,
seingatku naik motor itu gak pernah kalau gak rempong. Bawaannya seabrek.
Sekarang alhamdulillah soal resep sudah bukan masalah. Tinggal
bagaimana nanti bisa punya market atau customer yang jelas. Setidaknya untuk
bisa hidup mandiri berdua, kita harus menargetkan penjualan minimal 50 box per
hari. Sejauh ini promosi kita memang belum maksimal, baik dari segi foto maupun
marketingnya. Semua serba adanya. Belum mencoba media sosial adv, endorse, dan
tentu belum pernah berusaha memotret produk secara lebih profesional.
Yah, doakan saja. Apapun yang dijalani sungguh-sungguh
insyaAllah akan terlihat hasilnya. Kan ada dalilnya ya, manusia tiada
memperoleh kecuali apa yang sudah ia usahakan (lupa surat apa ayat berapa).
Bagi siapapun yang dari dulu pengen banget punya usaha,
mulai saja dari sekarang. Modalnya apa yang ada saja. Kita dulu juga cuma modal
700 ribu buat beli oven. Iuran berdua. Terus beberapa bulan kemudian ada teman
juga yang mulai investasi kecil-kecilan. Pokoknya jangan nunggu semuanya
perfect dulu. Sempurnakan sambil jalan mah intinya. Dan yang terpenting, jangan
lupakan Allah. Mau usaha sehebat apa juga kalau Allah gak ridho, ya tetep
hasilnya gak bakal ada.
Oke. Sekian dulu. Lain kali cerita lagi.
Sofia
Menggoda banget bolen nya..
ReplyDelete