Monday, 5 June 2017

PUNYA USAHA DAN LIKA-LIKUNYA



Lihat background-nya...

Tidak mudah!

Inilah dua kata pertama yang muncul ketika ada yang bertanya, “Bagaimana kesannya setelah punya usaha sendiri?”

Banyak teman-teman di sekitar sering nyeletuk, “Enak ya kalian berdua. Sudah punya usaha sendiri. Jadi gak perlu lagi capek-capek hunting loker.”

Ya, mungkin itu kesan dari mereka.

Bagi kita yang merasakan perjuangan sejak awal, tentu kata enak di sini harus diberi tanda kutip. 

Sejak memutuskan untuk memulai usaha bersama seorang teman sejak November 2016 lalu hingga hari ini, sebenarnya kita masih dalam tahap berjuang. 

Bedanya, dulu kita produksi di kamar asrama yang sempit banget. Jadi kebayang kan ada kamar 4 x 4 yang di sana ada lemari, meja, tempat tidur tingkat, plus oven dan kue-kue yang load dan unload. Penuh, berantakan, berminyak, panas, plus sumpek. Alhamdulillah berkat keuntungan akhirnya kita bisa nyewa rumah tidak jauh dari asrama. Sayangnya usaha tidak berjalan selancar yang dibayangkan.

Pekerjaan utama kita sebagai guru pengabdian di pesantren menuntut lebih banyak waktu dan perhatian. Kita tidak diperbolehkan bermalam di luar asrama, dan jam mengajar pun cukup banyak hampir 20 jam per minggu. Belum lagi urusan kepesantrenan yang lebih banyak melibatkan guru-guru yang tinggal di asrama ketimbang guru di sekolah. Pada akhirnya kita harus memilih. Waktu itu aku menyarankan agar kami lebih fokus pada pengabdian terlebih dahulu. Dan ya, itulah yang sudah kita lakukan sejauh ini.

Alhamdulillah masa pengabdian kami selesai di bulan ini. Selanjutnya kami akan berpindah ke pusat kota dan menyewa rumah di sana. Sehabis lebaran aku akan kembali ke kota ini, insyaAllah. Tentu tidak lagi berstatus sebagai guru. Ini juga gak mudah. Kami berdua masing-masing harus menyakinkan kedua orangtua bahwa kesuksesan itu gak melulu kita harus jadi pegawai negeri (karena mayoritas mindset orang tua ya begini).

Syukurnya Bapak bukan termasuk tipe ini. Beliau selalu memberikan kebebasan selama itu masih berada dalam jalur yang baik. Pada mulanya Bapak memintaku kembali ke Bintan. Mungkin karena tiap kali menelepon aku selalu mengeluh betapa sulitnya jadi seorang guru. Beliau menyimpulkan kehidupanku di Bintan dulu lebih melegakan. Dan satu lagi, Bapak paling takut anaknya tinggal di kota besar dimana kendaraan memenuhi setiap ruas jalan. Kalau bisa mah aku disuruh tinggal di kampung aja, yang gak ada mobilnya. 

You know why? Ya, Bapak tahu aku itu paling gak berani bawa motor. Meskipun belajarnya sudah sejak dua tahun lalu, tapi tetap saja aku gak berani bawa motor ke jalan yang ramai. Belum lagi berita-berita kecelakaan lalu lintas yang sering singgah di telinga beliau, jadinya semakin khawatir. Kalau di Bintan kan kotanya masih belum semaju Pekanbaru, jadi Bapak lebih tenang.

Ya itulah Bapak. Kurasa semua ayah di dunia ini memang selalu mencemaskan anak perempuannya.

Syukurnya aku bisa meyakinkan beliau. Kukatakan padanya, jika sekarang aku kembali ke Bintan maka semua yang sudah kumulai di sini tidak selesai. Aku menyerah sebelum benar-benar berjuang. Dan aku gak mau itu terulang untuk kedua kali. Aku minta Bapak untuk memberi satu kesempatan lagi, setidaknya hingga satu tahun ke depan. Dan akhirnya beliau setuju.

“Ya, Bapak ikut selama itu yang terbaik menurutmu.”

Temanku malah harus menghadapi problem yang lebih sulit. Kedua orang tuanya adalah pegawai negeri sertifikasi. Keduanya sudah berasakan betapa mudahnya hidup dengan pekerjaan tersebut. Bisa dibilang kehidupan keluarganya berkecukupan. Dulu, yang cukup menentang ide untuk membangun usaha ini adalah ibunya. Beliau inginnya temanku ini jadi guru saja, terus ikut CPNS. Atau setidaknya temanku ini melamar ke dinas, perusahaan, dan sejenisnya. 

“Carilah pekerjaan normal.” Katanya.

Beliau berkata seperti itu bukan tanpa alasan. Pernah sekali beliau tidur di rumah kami dan saat yang bersamaan kami sedang menyiapkan orderan yang cukup banyak. Kerja sampai larut malam. Dan beliau merasa kasihan. 

“Jam segini kami biasanya tidur nyaman di rumah. Tapi anakku?” katanya tak sampai hati.

Tapi akhirnya setelah melewati diskusi yang panjang, beliau setuju juga. Malahan kita dipinjami modal agar lebih serius menjalankan usaha pasca lebaran. Tentu based-nya di pusat kota Pekanbaru. InsyaAllah. 

Lalu masalah produk, sejauh ini kita produksi bolen pisang dan swiss roll.
Kalau mau diceritakan perjuangan menemukan resep yang pas, bisa-bisa jadi novel sendiri. Bayangkan, sebelum hasilnya lembut seperti sekarang, kita harus menghabiskan 3 papan telur untuk percobaan dan semuanya gagal. Mulai dari keras, lengket, bantat, amis, retak, kering, jadi jelly, dan entah apa lagi. Bolen pun begitu. Intinya semua pasti ada gagal-gagalnya dulu. 
Kita juga produksi roti sih. Tapi kadang-kadang


“Andai dulu kita nyerah, pasti sampai sekarang gak bisa bikin swiss roll seenak ini.” Kata temanku itu.

Yap. Waktu itu memang hampir nyerah. Aku yang bertugas membuat resep baru pun sudah mengeluh berkali-kali.

“Kayaknya kita gak berbakat untuk bikin yang satu ini.”

Syukurnya punya partner yang sedikit keras kepala plus semangat juangnya luar biasa. Jadi begitu down, temanku ini lah yang kemudian memberikan motivasi. Belum lagi kalau pas belanja bahan dan peralatan, seingatku naik motor itu gak pernah kalau gak rempong. Bawaannya seabrek.

Sekarang alhamdulillah soal resep sudah bukan masalah. Tinggal bagaimana nanti bisa punya market atau customer yang jelas. Setidaknya untuk bisa hidup mandiri berdua, kita harus menargetkan penjualan minimal 50 box per hari. Sejauh ini promosi kita memang belum maksimal, baik dari segi foto maupun marketingnya. Semua serba adanya. Belum mencoba media sosial adv, endorse, dan tentu belum pernah berusaha memotret produk secara lebih profesional. 

Yah, doakan saja. Apapun yang dijalani sungguh-sungguh insyaAllah akan terlihat hasilnya. Kan ada dalilnya ya, manusia tiada memperoleh kecuali apa yang sudah ia usahakan (lupa surat apa ayat berapa).

Bagi siapapun yang dari dulu pengen banget punya usaha, mulai saja dari sekarang. Modalnya apa yang ada saja. Kita dulu juga cuma modal 700 ribu buat beli oven. Iuran berdua. Terus beberapa bulan kemudian ada teman juga yang mulai investasi kecil-kecilan. Pokoknya jangan nunggu semuanya perfect dulu. Sempurnakan sambil jalan mah intinya. Dan yang terpenting, jangan lupakan Allah. Mau usaha sehebat apa juga kalau Allah gak ridho, ya tetep hasilnya gak bakal ada. 

Oke. Sekian dulu. Lain kali cerita lagi.

Sofia

1 comment:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...