Monday, 5 June 2017

Kita & Perumpamaan



Ada hari yang basah ketika langkah membawaku singgah di sebuah terminal yang lengang. Tak ada siapapun di sana kecuali dirimu. Kau tampak duduk menikmati hujan,  seperti tak risau sedikit pun tentang kapan hujan ini akan reda. Aku yang terpaksa singgah, terpaksa juga duduk di sana. 

"Sudah lama?" Tanyaku membuka percakapan.

"Baru saja. Kita sama-sama tahu bahwa hujan baru saja turun. Aku berlari ke sini, lalu kau menyusul."

"Aku tak menyusul."

"Lalu apa?" Kau mengejar dengan pertanyaan.

"Hanya mengikutimu." Jawabku pendek. Hampir tak terdengar. Tapi ini sengaja. Sebuah lelucon yang spontan.

Kau tertawa kecil, menoleh ke arahku. Kemudian aku ikut tertawa.

"Apa kabar? Lama tidak bertemu." Tanyamu. Sebenarnya inilah pembuka percakapan kita setelah tadi hanya berbasa-basi.

"Tidak cukup baik. Setidaknya kau harus tahu itu. Lalu kabarmu? Kuperhatikan kau makin sibuk saja mengurusi soal perasaan akhir-akhir ini." Aku menghirup napas dalam. Udara di sini begitu segar, meskipun cukup dingin.

Lagi. Dari samping kulihat matamu yang menyipit. Tawa yang begitu khas. "Itu bagian dari perjuangan. Yaaa, seperti seseorang yang terdampar di sebuah pulau tak bertuan, kemudian ia mengirim sinyal-sinyal permintaan bantuan, berharap jauh di tengah lautan akan ada pemilik kapal yang melihatnya."

"Perumpamaan yang bagus. Tapi sayang, mungkin kau tak tahu bahwa pulau tak bertuan itu berada di tengah lautan yang memiliki keindahan menakjubkan. Baik itu airnya yang maha biru, karangnya, juga makhluk lautnya. Apa kau juga tahu kelanjutannya? Tentu ada banyak kapal berlayar di sana. Para manusia yang tertarik untuk berwisata laut. Sinyalmu terlihat oleh banyak orang. Dasar."

"Kau salah satunya, bukan? Lalu kenapa tidak mau datang dan mendekat?"

"Bagaimana lagi? Kapalku kecil sekali dan rasanya, sudah penuh. Terkadang aku merasa ada sedikit celah di kapal itu yang bisa diisi oleh satu penumpang lagi. Hanya terkadang. Tapi jika dipikir lebih dalam, kurasa celah itu hampir tidak ada."

"Perumpaan yang menarik." Kau bergumam. "Kebanyakan wanita terlalu dalam menjatuhkan perasaan. Akibatnya ia tak kuasa menarik kembali, bahkan ketika tahu perasaan itu telah tenggelam di dasar lautan."

"Aku tak bilang begitu. Aku menceritakan tentang kapal."

"Ya ya tentang kapal. Kapal yang sudah cukup muatan kau bilang." Kau menoleh dan tersenyum. Aku hampir tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa.

Lalu kemudian, selama beberapa menit ke depan, kita hanya sibuk dalam pikiran masing-masing. Sama-sama tak bersuara, hingga akhirnya kau berkata lirih, "Inilah yang terjadi di antara kita. Yang sebenarnya. Kurasa kau berdusta. Kau hanya takut bersusah payah mencapai pulau itu, tapi pada akhirnya tahu bahwa aku telah naik di kapal lainnya. Iya, kan?" 

Dan aku mengangguk.

Setuju. Meskipun perumpaan kapal yang penuh itu juga bukan perkara dusta. Aku memiliki dua masalah, dan sekarang kau sudah tahu keduanya.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...