Dulu hanya mimpi bisa bekerja di tempat yang seperti ini. |
Alhamdulillah sejak beberapa hari lalu, aku sudah mulai bekerja di sebuah
perusahaan peralatan medis, farmasi, dan laboratorium milik orang Singapore. Selain tiga hal yang sudah kusebutkan, perusahaan ini juga menyediakan tetek bengek yang kecil-kecil, seperti cordshet (colokan), brosur, and kalender kerja (Ini promosi atau apa?).
Demi masuk ke sini, aku harus melewati tes dan interview yang panjang, rumit, plus susah. Tapi alhamdulillah akhirnya mereka memilihku untuk bergabung bersama staff lainnya. Inilah alasan kenapa akhir-akhir ini aku jarang sekali menulis di blog, ya karena setiap hari harus berangkat pukul 07.00 dan pulang pukul 16.00, kecuali Sabtu yang hanya setengah hari. Lalu malamnya aku sudah kelelahan.
Demi masuk ke sini, aku harus melewati tes dan interview yang panjang, rumit, plus susah. Tapi alhamdulillah akhirnya mereka memilihku untuk bergabung bersama staff lainnya. Inilah alasan kenapa akhir-akhir ini aku jarang sekali menulis di blog, ya karena setiap hari harus berangkat pukul 07.00 dan pulang pukul 16.00, kecuali Sabtu yang hanya setengah hari. Lalu malamnya aku sudah kelelahan.
Lagi-lagi alhamdulillah mereka menawarkan salary yang
memuaskan bagi seorang pemula sepertiku, dan departemen yang kumasuki pun cukup
menjanjikan. Di sana aku harus satu ruangan dengan staff yang kebanyakan
bermata sipit dan sekitar 40% lainnya adalah native Filipina. Urusan
komunikasi, hampir 90% harus Inggris, kecuali saat bicara dengan sesama orang
Indonesia.
Berat?
Pasti.
Sangat berat malah.
Apalagi aku masih sangat baru. Aku harus belajar dari awal tentang tata cara membalas email yang baik dan benar dengan bahasa bisnis, mengangkat telepon, mengurusi purchase order, membuat Customized Work Order, incoterms, shipment method untuk urusan ekspor-impor, mengecek invoice, serta yang paling rumit adalah mencari price list dan mencocokkannya dengan item code yang jumlahnya seabrek. Rasanya ingin menyerah di tengah jalan. But, aku harus bertahan. Mungkin semuanya terlihat rumit karena aku belum menemukan red line job desk yang harus kukerjakan.
Pasti.
Sangat berat malah.
Apalagi aku masih sangat baru. Aku harus belajar dari awal tentang tata cara membalas email yang baik dan benar dengan bahasa bisnis, mengangkat telepon, mengurusi purchase order, membuat Customized Work Order, incoterms, shipment method untuk urusan ekspor-impor, mengecek invoice, serta yang paling rumit adalah mencari price list dan mencocokkannya dengan item code yang jumlahnya seabrek. Rasanya ingin menyerah di tengah jalan. But, aku harus bertahan. Mungkin semuanya terlihat rumit karena aku belum menemukan red line job desk yang harus kukerjakan.
Kurasa semua orang akan mengalami masa-masa sulit di
minggu-minggu awal bekerja. It’s too normal, right?
Pertama kali masuk ke ruang kerja, aku cukup kaget
melihat suasana di sana. Oh, ternyata seperti ini toh. Mereka serba sibuk
mengejar target masing-masing, bahkan banyak yang merelakan waktu hingga malam
meski tidak terhitung kerja Over Time. Yah, mungkin itu yang disebut loyalitas
tanpa batas.
Hingga sehari lalu, aku janjian akan pulang bersama
seorang kakak yang juga masih baru—hanya dia di departemen berbeda, dan
ternyata aku molor satu jam. Jadilah dia nunggu di parkiran cukup lama. Begitu
aku keluar dan naik ke boncengan, kakak yang punya pengalaman kerja kurang
lebih 10 tahun itu mulai bicara.
“Sofi besok-besok jangan begini lagi, ya. Biar aja kalau teman-teman Sofi mau kerja molor sampai malam, tapi Sofi jangan. Itu namanya menyiksa diri sendiri. Kalau nggak selesai, tinggalkan, dan kerjakan besok. Tapi usahakan Sofi selalu lihat jam, kejar sebisa mungkin apa yang harus diselesaikan. Waktu libur kita hanya satu hari setengah lho. Masak mau dikorbankan juga? Kalau jam pulang pukul 12.00, Sofi harus pulang jam segitu. Harus punya prinsip.”
“Iya sih, kak.” Aku merespon dengan suara lemah.
“Satu pesan kakak ke Sofi, jangan terlena dengan jabatan di perusahaan. Kerja yang bagus itu memang prioritas, tapi sambil lihat-lihat peluang yang lebih baik. Nggak mau kan selamanya bekerja untuk memperkaya orang lain?”
“Nggak sih, kak.” Jawabku lagi. “Sofi mau cari pengalaman aja kok. Tapi tetap do my best di perusahaan ini. Sebenarnya, Sofi sudah punya rencana mau buka usaha. Kemaren udah mulai, tapi karena pekerjaan ini, ya terpaksa ditinggal untuk sementara. Nanti saat modalnya lebih besar, Sofi yakin usahanya pun bisa lebih kokoh.”
“Nah, gitu bagus.” sambungnya. Ah, kakak sayang, kita baru berkenalan beberapa hari lalu, tapi dia sudah seperti kakak sendiri. Mungkin karena dia lebih dewasa dan pengalamannya lebih banyak.
Yes teman, kerja untuk orang itu memang penuh suka-duka.
Apalagi kalau harus berkutat dengan sesuatu di luar passion. Dijamin akan
merasa sangat tertekan. Kita merasa sudah memperhatikan dengan sangat baik saat
senior menjelaskan, tapi tetap saja tak kunjung paham. Rasanya jadi manusia
paling bodoh sedunia. Memang benar kata Confucius, “Choose a job you love, and you will never have to work a
day in your life.”
Beberapa hari ini tidurku tidak pernah nyenyak karena
memikirkan masa-masa awal adaptasi di tempat kerja. Bahkan saat bisa tidur pun,
yang keluar dalam mimpi adalah pekerjaan. Biasanya aku langsung tidur begitu
selesai Isya dan menyetel alarm untuk pukul 02.00 dini hari. Aku kembali
mempelajari, menghapal, dan sebagainya, materi yang sudah diberikan oleh
senior. Belum lagi untuk urusan bahasa Inggris-ku yang tidak seberapa ini.
Masih banyak kosa kata yang harus dihapal lagi.
Jika ditanya manakah yang lebih menyenangkan, kerja di
perusahaan atau buka usaha sendiri? Sungguh jawabannya adalah punya usaha
sendiri. Biar kata hanya jualan tempe, tapi hasilnya akan dinikmati sendiri.
Dan yang paling menyenangkan, saat punya usaha sendiri, kita tidak akan pernah
bekerja di bawah tekanan. Kita berjuang sampai tetes keringat penghabisan, dan
semuanya akan kembali pada diri sendiri. Intinya, meski lelah tapi hati
bahagia.
Tapi untuk kamu yang masih muda, bekerja di perusahaan
terlebih dahulu is not too bad. Bagaimana pun pengalaman adalah sesuatu yang
tidak pernah bisa didapatkan di bangku perkuliahan. Tidak bohong, karakter
seseorang itu akan terlihat kuat sejalan dengan sebanyak apa pengalamannya. Perusahaan
akan melatih kita untuk cakap berkomunikasi (baik itu dengan kolega, clients,
maupun atasan), melatih untuk lebih sabar, dan tentu saja lebih tahan banting.
It's
like Forrest Gump said, 'Life is like a box of chocolates.' Your career is like
a box of chocolates - you never know what you're going to get. But everything
you get is going to teach you something along the way and make you the person
you are today. That's the exciting part. It's an adventure in itself—Nick
Carter
Wahhh selamat diterima oleh perusahaan di Singapura. Nasihat temennya itu bener juga lho. :)
ReplyDeleteKalau disuruh milih, saya juga pilih yang usaha sendiri. :) Walaupun kadang keteteran. Tapi semua itu kan ada plus minusnya.
Selamat bekerja dek, ingat kesehatan aja, kurangi begadang... aduh, saya sok menceramahi ya.. afwan... dek Sofi yang lebih tau suasananya dan merasakan manis pahitnya kerja disana.. moga sukses dan berjaya terus yaa :)
ReplyDeletemau banget punya usaha sendiri, tapi skr nikmati aja dulu yang ada. Selamat yaaa
ReplyDeletesetuju mba, gak ada salahnya bekerja diperuhaan orang lain untuk menambah pengalaman sebelum menjadi wiraswasta :)
ReplyDeletelebih enak punya perusahaan sendiri, tapi yah gak ada salahnya bekerja di peruhaan orang lain :)
ReplyDeleteistri saya orang kantoran, kebetulan jaraknya cuma 1 km dari rumah, tapi kerjaannya kayak punya usaha sendiri , bisa pulang klo pas istirahat :)
ReplyDeleteKeren Sofiii... selamat yaaa atas pekerjaan barunyaaa
ReplyDeletelbh menyenangkan punya usaha sendiri
ReplyDelete