The day I put on the glossy red lip colour
And a white dress plump as an umbrella
A big sigh of relief let out my own mother
Glimmered dribbling teardrops in my eyes
Saw I around smiles and heard melodies
Dreams, desires that hour reached demise
Rewarded a broomstick my ominous fate
My pen to a world of longings migrated
Bitter words of savagery, abuse and hate
Drop by drop bleed my crestfallen heart
When cold-blooded hands pull my hair
My shrieks, wails are called excuses smart
The blood-drops on my fingers I gaze oft
Shroud I my scarlet face beneath a pillow
Recalling all the blows on my soul so soft
Father's callous words echo in my mind
''A burden you are! A weight, a curse
My life devoid of you shall blisses find!''
To the other world will I soon run away
Even a mother's love haven't I here got
The final torment shall I suffer that day
And
the last pain on my exhausted skin
Satu bulan terakhir saya disibukkan dengan masa akhir perkuliahan, baik itu seminar yang sudah saya laksanakan 2 hari lalu maupun sidang (ujian) yang insallah akan saya lakukan hari Rabu besok. Di tengah-tengah kesibukan tersebut, saya masih menyempatkan diri untuk menonton salah satu sinetron Turki yang baru-baru ini tayang di SCTV dengan judul Zahra atau Kucuk Gelin (Little Bride) dalam bahasa aslinya.
Kucuk Gelin tayang setiap Minggu malam pukul 20.30 di
Turki dan sekarang memasuki episode terakhir season 2. Di Indonesia, Zahra
tayang pukul 14.30 setiap hari. Saya cukup menikmati alur dan jalan ceritanya. Terlebih
saat mengetahui rating dan sharing sinetron ini selalu masuk tiga besar di
Turki sana. Beberapa teman facebook yang memang berdomisili di Turki mengakui
bahwa sinetron ini cukup bagus dan memberikan pesan moral yang kuat bagi
masayarakat Turki khususnya. Karena sinetron ini pula teman saya bertambah. Seorang
gadis cantik bernama Marina asal Serbia menambahkan saya di facebook hingga
kemudian kita diskusi panjang terkait sinetron Kucuk Gelin ini.
Awal menonton, saya dibuat tidak habis pikir pada tema
yang dipilih oleh sang sutradara. Pernikahan di bawah umur? Benarkah kejadian
seperti itu masih terjadi di Turki sana? Hingga kemudian rasa tidak habis pikir
saya tersebut berubah menjadi penasaran. Saya tidak mau mati karena rasa
penasaran, karena itu saya berusaha mencari informasi terkait hal tersebut di
internet.
Voilla...! Ternyata masalah tentang pernikahan di
bawah umur di Turki bisa saya dapatkan dengan mudah. Tidak hanya web berbahasa
Turki yang membahasnya, namun juga web-web berbahasa Inggris, baik itu dalam
berita nasional maupun dunia.
Menurut informasi dari Dr Erhan Tunç,
asisten profesor di Gaziantep University, 1 dari 3 pernikahan di Turki
melibatkan setidaknya satu pihak di bawah 18 tahun. Penelitiannya
juga mengemukakan bahwa 82% dari pengantin anak di Turki adalah para buta huruf.
Rekannya,
asisten profesor Sevilay Şahin, menambahkan informasi bahwa dalam tiga tahun
terakhir ada 134.629 perempuan di bawah 18 tahun menikah. Statistik lain
menyebutkan dalam satu dekade terakhir ada lebih dari 500.000 anak di Turki
melakukan pernikahan.
Indonesia sendiri pernah mengalami
masa-masa saat anak perempuan harus menikah di bawah umur. Novel seperti Siti
Nurbaya adalah salah satu contoh yang menuliskan kejadian pada masa-masa
tersebut. Realita ini bahkan terjadi dalam keluarga saya sendiri. Ia adalah
Bibi saya. Saat bercerita satu tahun lalu, ia mengungkapkan bahwa
pernikahan pertamanya terjadi akibat perjodohan saat umurnya masih 16 tahun.
Akibatnya saat bercerai ia tidak merasa telah melakukan sebuah kesalahan.
Syukurnya pernikahan di bawah umur di
Indonesia sudah tidak semarak dulu lagi. Namun tidak di luar sana, seperti
Turki, Nigeria, dan Bangladesh. Bahkan di Bangladesh, 20% anak
perempuan menikah sebelum usia 15 tahun dan 66% menikah sebelum usia 18
tahun.
“Penyebab pernikahan anak di Bangladesh sangatlah kompleks dan bervariasi. Namun praktek ini didorong oleh adanya anggapan bahwa anak laki-laki lebih bernilai dari anak perempuan. Selain itu kemiskinan juga memengaruhi hal ini. Keluarga miskin menikahkan anak perempuan mereka sejak muda karena tekanan ekonomi dalam keluarga, dan semakin muda gadis ini dinikahkan maka mas kawinnya akan lebih murah," kata Kanwal Ahluwalia, Gender Adviser di Children Charity Plan Inggris.
Di Turki, pernikahan anak di bawah umur masih menjadi budaya,
terutama di daerah bagian Timur yang berbatasan langsung dengan Suriah dan
sebagainya. Proporsi pernikahan dengan peserta
di bawah 16 tahun meningkat 60% di pusat Sanliurfa yang menjadi setting
dalam sintron Kucuk Gelin (Zahra). Jadi bisa dikatakan bahwa karakter Zahra dan
Ali dalam sinetron ini adalah perwakilan dari ratusan ribu anak dan remaja di
Turki yang dipaksa menikah.
Dalam sinetron, Bu Guru Melek sudah melaporkan pernikahan Zahra yang saat
itu masih berumur 14 tahun. Namun keluarga Kirman memanipulasi umur Zahra
dengan surat keterangan palsu dokter yang menyebutkan umur Zahra sudah 16 tahun
(artinya sudah cukup umur untuk menikah). Ternyata, cara inilah yang memang
dijadikan senjata para orangtua di Turki agar bisa menikahkan anak-anak mereka
yang belum cukup umur. Harian Milliyet telah menerbitkan sebuah artikel yang mengutip selusin
kesaksian tentang situasi di desa Dundarli di wilayah pusat Anatolia. Di sana
para gadis sudah bertunangan saat masih duduk di bangku SD lalu menikah di umur
11 hingga 14 tahun.
Pernikahan di bawah umur tentu saja tidak bisa terus dibiarkan. Karena kebanyakan
dari mereka tidak paham apa manfaat dari pernikahan. Para gadis kecil yang
masih senang bermain dengan boneka tiba-tiba harus hidup mengabdi pada seorang
laki-laki asing. Seorang wanita berumur 16 tahun yang sudah punya satu anak
(korban pemaksaan pernikahan) bertutur bahwa ia tidak tahu apa artinya memiliki
seorang suami.
Pernikahan di bawah umur juga erat hubungannya dengan kemiskinan dan buta
huruf. Pernikahan tersebut ibarat sebuah bencana bagi para pengantin. Mereka harus
mengubur impian dan terpaksa berperan sebagai seorang istri yang belum mereka
pahami maknanya. Seperti Zahra yang bercita-cita tinggi menjadi seorang guru
tiba-tiba harus mengubur impian tersebut. Usai ijab-kabul dia dituntut hidup
dalam rumah keluarga besar Kirman dan melayani keluarga tersebut layaknya
seorang menantu dewasa. Padahal ia masih senang bermain-main dengan sang adik,
masih senang bicara dengan boneka, dan punya semangat tinggi untuk sekolah.
Mirisnya, penderitaan para pengantin kecil wanita tidaklah cukup sampai di
situ saja. Fakta berbicara bahwa kebanyakan para pengantin laki-laki di bawah
umur tidak bisa memainkan perannya sebagai suami yang baik. Tentu saja hal itu
bisa dimaklumi karena mereka sendiri masih belum mengerti apa alasannya
melindungi sang istri. Mereka tidak paham mengapa harus hidup bersama seorang
wanita yang sebelumnya tidak ada hubungan apa pun. Wanita itu bukan ibunya,
bukan saudara perempuannya, bukan sepupunya, lalu kenapa ia harus bertanggung
jawab untuk melindungi?
Adegan jangan ditiru, ya :) |
Dalam hal ini, saya melihat langsung dalam karakter Ali. Meskipun umurnya
sudah mencapai 18 atau 19, tetap saja pernikahan di umur tersebut masih
dianggap terlalu dini bagi seorang laki-laki. Dalam sinetron diperlihatkan
bagaimana Ali sama sekali tidak menaruh kasihan pada Zahra. Ia memperlakukan
Zahra layaknya seorang pembantu yang bisa disuruh-suruh. Kebiasaan Ali yang
suka mengkonsumsi obat-obatan terlarang membuatnya jadi laki-laki kasar dan
sering memukuli Zahra tanpa perikemanusiaan. Saat ketahuan akan mengambil uang
milik Zahra yang akan dipakai untuk biaya pengobatan, Ali tak segan-segan
memukuli hingga menendang Zahra berkali-kali, padahal saat itu Zahra sedang
hamil. Ali selalu menganggap semua kejahatan yang ia lakukan bukan sebuah
kesalahan. Semua itu ia anggap sepadan dengan perbuatan keluarganya yang telah memasukkannya
dalam jurang gelap pernikahan.
Film produksi Turki tentang pernikahan di bawah umur |
Di Indonesia, meski tidak marak, saya yakin pernikahan di bawah umur masih
terjadi. Mungkin hanya karena tidak terjangkau media. Buktinya beberapa teman
masa kecil saya di kampung sana sudah menggendong anak sejak umur mereka masih
di 16 atau 17. Miris memang. Jika setelah menonton drama ini tidak tersentuh juga, saya tidak
tahu harus bicara apa lagi.
References:
http://www.al-monitor.com/pulse/originals/2014/01/turkey-marriage-child-brides-poverty-education-religion.html
http://nsnbc.me/2013/10/14/one-three-child-marriage-turkey/&prev=search
http://female.kompas.com/read/2014/03/07/1037546/Jutaan.Perempuan.Menikah.di.Bawah.Umur
pernikahn dibawah umur ternyata banyak juga ya di negara tsb..nggak hanya di Indonesia..aku pikir cuma di negara kita...
ReplyDeletepingin nonton tapi jamnya gak tepat buat aku nih soalnya baru selesai nonton Elif masa nonton lagi hehehe. coban nonton ah kayanya bagus ya ceritanya
ReplyDeleteaku engga tau ceritanya film zahra :( ehh aku mampir ke sini jadi tau deh apa ceritanya hehehe lanjutkan baca dulu ya mba ..
ReplyDeletebaca ceritanya kaya yang seru, engga sempet nonton film
ReplyDeletebaru mau nanya tadi sama kak sofi tentang film ini,,,buka blog ada ulasannya...
ReplyDeleteWah ada film bagus tp terlewat soalnya sesak bgt dg india & korea jd jarang buka tv Indonesia. Pernikahan dini memang cenderung krn dijeremuskan oleh keluarga sendiri.
ReplyDeleteBagus banget postingannya mbak sofia, youre very talented insha allah your future will be bright. Eniwei, sayangnya sayang banget daerah timur tengah & africa ya masih banyak children bride gini. Dinegri kita saya kira juga masih ada. Beberapa tahun lalu ada kisah nujood ali bahkan kisahnya dibukukan & konon jd best seller di perancis krn nujood dibantu jurnalis perancis mnuliskan kisahnya ini, buku ttg kisahnya masih sempat saya lihat di toko buku tman baik saya juga memberikan buku ini IAM NUJOOD, AGE 10 AND DIVORCED, coba google deh kalo sempat & pengen tau kisahnya :)
ReplyDeleteSayangnya gak punya tivi. Pingin nontonnnnn :(
ReplyDeletePertama kali menstruasi langsung dicarikan suami? Wah, wah,
ReplyDelete