Saturday, 6 July 2013

A Feeling: Dilema Persinetronan Indonesia

"Paman Senopati, perintahkan semua prajurit kerajaan mencari Pangeran Setoketibanklopo!!!" Ratu kencanapink berteriak panik, wajahnya berkeringat. Bagaimana tidak? Putra sematawayang tiba-tiba raib tanpa jejak. Seluruh penghuni istana panik. Sang raja langsung bersemedi, menerawang keberadaan sang putra dengan mata batin, sesekali beliau memanggil "Anandaku, dengarkah suara ayahanda?" Tapi, gagal, tak ada balasan. Barangkali, signal sedang jelek. Nyai Gembring (asisten ratu) berkomat-kamit, lalu tangannya menari-nari di atas sebuah bola putih serupa globe "Ah, ada kekuatan hitam yang menutupi terawanganku!" Pekiknya keki. Tidak ketinggalan, Paman Patih pun ikut memejamkan mata, lalu 'cling', raib entah ke mana.

Di lain tempat, Paman Senopati dan pasukan telah masuk ke hutan kematian. Tak perlu menunggu satu menit, segerombol manusia menyerang rombongan istana. Paman Senopati langsung memainkan jurusnya, menari-nari ala pendekar, dan... "Wuush..." ada cahaya muncul dari kedua telapak tangan, cahaya merah yang berkekuatan halilintar itu seketika menyapu gerombolan musuh. Sedetik kemudian, semua musuh menggelepar di atas tanah, kejang-kejang, sekarat, dan ada juga yang tamat. Paman Senopati mengusap kedua tangannya dengan senyum bangga lalu segera melanjutkan perjalanan.

"Sudah gusti ratu, jangan menangis. Semua sudah kita kerahkan untuk mencari pangeran kecil" Pelayan istana membujuk sang ratu yang meraung-raung tangisnya. Air matanya sudah lebih segalon.
"Bagaimana aku bisa tenang? Sedang putraku entah di mana batang hidungnya, hiks, hiks" Ucap sang ratu.
"Jadi, sang ratu hanya kehilangan batang hidung pangeran?" pertanyaan dari salah satu pelayan itu membuat sang ratu keki.
"Oh, anandaku Setoketibanklopo, di mana kau, sayang?! Pulanglah..." Ratap sang ratu sekuat tenaganya.

___***___
Hfft...capek juga ngetik cerita ala sinetron kita, bisa-bisa blog-ku penuh jika aku harus menceritakan hingga tamat.

Tara...dilema persinetronan Indonesia, terdengar 'koran-is' ya diriku? Haha, tulisan ini terinspirasi dari guyonan yang sering kami (aku dan adik) tertawakan saat menonton sinetron di Indosiar atau MNC TV. Ah, betapa mudahnya mengusir para penjajah jika pendekar-pendekar nusantara sehebat yang ada di senetron. Tinggal bersilat sedikit, ratusan pasukan penjajah langsung terkapar, mati! Bambu runcing? Gak level, bro. Wong, tangan mereka bisa mengeluarkan aliran listrik.
Senapan? Alah, kalah cepat, cuy.

Terus nih, kalau mau berbicara dengan orang lain yang berada di tempat lain, hanya butuh memejamkan mata, berkomat-kamit, dan...nyambung deh. Pembicaraan via batin, katanya. Hadeh, handphone kalah oke, Tower gak butuh, apalagi kartu seluler, gak laku.

Hebatnya lagi, orang dulu itu gak butuh BBM. Kemana-mana tinggal memejamkan mata atau mengucap mantra, lalu...cling, udah pindah tempat. Hebat yak? Teknologi sekarang mah Ka-O. Gak butuh tu perahu, kuda, sepeda, apalagi sepeda motor yang ngabis-ngabisin duit buat beli bensin.

Ada lagi? Masih ada. Zaman dulu juga gak perlu capek-capek masak. Gak perlu tuh yang namanya menggoreng ikan, atau apalah. Tinggal mengucap mantra pendek, lagi-lagi 'CLING', tersajilah ayam goreng, nasi sebakul, ikan panggang, dan tumis kangkung di atas meja.
Jadi, gak usah ada petani dan nelayan. Karena gak bakal ada yang mau beli.

Wah, wah, mau tahu kehebatan lain orang Indonesia dulu? Ternyata zaman dulu, industri kosmetik sudah maju buanget. Desainer-desainer zaman dulu juga udah top banget. Make-up nya bukan main, fashionable pulak. Penampilan mereka mengalahkan penampilan para pengantin modern. Duh, aku juga mau hidup di zaman dulu kalau begitu.

Yah, begitulah majunya Indonesia di masa kekerajaan dulu, tentunya bukan di buku sejarah, melainkan di sinetron. Semuanya terlalu absurd. Bayangkan jika memang orang-orang dulu sehebat itu, betapa enaknya jadi orang dulu. kenyataannya kan gak gitu. Meskipun raja selalu identik dengan orang yang sakti mandraguna, tetap aja mereka melawan musuh menggunakan keris, panah atau pedang. Makanya ada yang namanya keris Mpu Gandring dan lain sebagainya. Sehebat apapun sang raja, kalau ditembak, ya pasti mati. Selain itu, pakaian dan tata rias yang digunakan pun terlalu berlebihan untuk ukuran orang dulu. Intinya, semua terlalu dilebih-lebihkan hingga kesannya tidak masuk akal.

Aku heran, padahal sinetron-sinetron jenis ini di beberapa tahun lalu sudah bagus sekali. Seperti 'Jaka Tingkir' yang tayang seminggu sekali, juga 'Jaka Tarub', Angling Darma, hingga 'Wiro Sableng'. Sinetron-sinetron tersebut sudah cukup bagus dan tampak lebih natural. Aku masih ingat pakaian yang dipakai Jaka Tingkir, hanya baju dan celana putih biasa serta topi putih sederhana. Tak ada embel-embel (atribut) seperti di pementasan ramayana. Kurasa, begitu lebih oke. Ohya, saat si Jaka Tingkir terluka pun disembuhkan dengan ramuan-ramuan dari tabib, bukan dengan cahaya berwarna yang disalurkan oleh seseorang. Rasanya kok semua serba easy. Ironis dengan fakta dan logika.

Okay, sekian dulu, ya. Lagi-lagi ini hanya a feeling. Setiap orang punya rasa yang berbeda dalam menerjemahkam sesuatu. So, don't mind if you are not agree. Just leave and forget it.
Thank you for reading. Ting! :-)

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...