Wednesday, 17 June 2015

Tentang Mereka...

Masjid pesantren
Siang itu adalah hari yang membahagiakan, sekaligus menakutkanku. Setelah hampir 3 tahun meninggalkan pesantren, baru hari itu aku kembali dipertemukan dengan guru-guru yang dulu mendidik saat umurku masih di bawah 16. Tidak kusangka, field trip yang mereka lakukan akan membawa sampai ke kota tempatku berkuliah.

Aku sangat bahagia atas kedatangan mereka, namun juga malu karena tidak bisa ikut serta melakukan penyambutan akibat jadwal kuliah seminar yang padat setiap harinya. Temanku Erma sudah berkali-kali menghubungi, memintaku datang ke kampus IPB Dramaga tempat para guru dan adik kelas menginap. Namun tetap saja aku tak kunjung punya waktu.

Kesempatanku untuk bertemu baru datang saat mereka berkunjung ke Kebun Raya Bogor, tepat di Minggu siang. Sebenarnya aku cukup lelah karena pada Sabtu malam harus mengikuti Malam Keakraban dengan profesor dan teman-teman satu jurusan. Acara tersebut menuntutku tidak bisa tidur cukup. Tapi demi keluarga dari pesantren, semua lelah itu tidak ada artinya. Sejak malam aku sudah tidak sabar untuk bertemu mereka. Mana mungkin aku menyia-nyiakan kesempatan itu.

Mereka menyambutku dengan hangat. Tidak pernah kusangka selama ini mereka mengikuti perkembanganku meski sudah lulus dari pesantren. Mereka tahu tentang hobi menulisku. Terutama Ustadzah yang dulu mengajar Bahasa Indonesia, dengan bangga beliau berkomentar, “Sejak dulu Sofi ini memang hobi menulis. Tapi tulisannya dibagi-bagikan pada teman-temannya. Jadi teman-temannya dapat nilai bagus.”

Kebahagiaan lainnya saat aku bisa berjalan beriringan dengan ustadzah Ida yang dulu dengan sabar mengajari tentang pertanian. Tidak peduli teriknya matahari pada jam-jam tidur siang, beliau tetap mendampingi kami. Aku senang saat beliau mengatakan teknologi pertanian di pesantren sudah lebih maju saat ini. Buktinya dari tabungan hasil panen bawang merah, mereka bisa melakukan field trip sampai ke Bogor. Aku juga kaget saat beliau memberi tahu bawang merah bisa diproduksi di Riau, bahkan di tanah gambut aroma bawang merah bisa lebih kuat. Bertahun-tahun aku belajar pertanian, tapi informasi ini baru aku dapatkan dari beliau.

Acara kami di Kebun Raya Bogor adalah sharing alumni. Siang itu sudah hadir temanku Erma Fitriani, lalu Kak Ikrom Mustofa, dan Kak Fendri Ahmad yang sekarang menjadi dosen di Diploma IPB. Kami berempat berasal dari pesantren yang sama, Pesantren Teknologi Riau, dan sama-sama berkuliah di almamater yang sama, Institut Pertanian Bogor.

Kak Fendri yang siang itu mengenakan kemeja menyampaikan cerita pertama kali. Aku tahu, para adik kelas yang memperhatikan kami pasti sedang diliputi kekaguman. Namun aku juga tahu, bagaimana pun hebatnya kami di mata mereka, di mata sendiri kami bukanlah siapa-siapa. Semua yang indah dalam pandangan orang lain, semata-mata karena Allah menutupi aib-aib kita.


Fendri Ahmad


Kak Fendri tidak hanya kakak kelasku, tapi juga dosen yang beberapa kali pernah mengajarku. Selama hampir tiga tahun, tidak banyak percakapan yang terjadi antara aku dan dia. Terkadang aku terlalu malu untuk sekadar menyapa dan beramah-tamah dengan orang-orang yang kukenal. Bahkan saat berpapasan, aku lebih sering pura-pura tidak melihat. Meski tidak sedikit pun aku berniat untuk sombong, aku tahu kelakuanku itu cukup wajar jika dikategorikan sebagai kesombongan. 

Tidak banyak cerita yang bisa kurekam tentang Kak Fendri, karena memang saat aku masuk ke Pesantren, ia sudah lulus. Usia kami tertaut cukup jauh. Aku tahu cerita tentangnya dari pertemuan siang itu. Di sana ia menceritakan perjalanannya dimulai dari alasan masuk pesantren hingga peristiwa yang membuatnya berhasil masuk ke IPB melalui jalur Beasiswa Santri Berprestasi dari Kemenag, ditambah cerita tentang bagaimana ia bisa diterima sebagai salah satu dosen di Diploma IPB. Sekarang ia sudah memiliki seorang istri dan sedang menanti kelahiran anak pertama. Semua skenario hidupnya itu ia katakan sebagai kehendak Allah, karena memang menurutnya, segala yang ia dapatkan adalah hal-hal yang sebelumnya dirasa mustahil. 


Ikrom Mustofa


Jasa Kak Ikrom padaku tidak terhitung banyaknya, dan sampai sekarang aku belum bisa membalas sedikit pun. Dia yang menelepon saat aku dinyatakan diterima di kampus IPB, dia juga yang dengan sabar mengetik sms untuk memberi tahu rute dari Riau menuju Bogor, dan dia juga yang sudah menjemputku di terminal Damri tiga tahun lalu. Urusan tempat tinggalku selama dua minggu sebelum masuk ke asrama pun dia yang mengurus. Seperti yang sudah kuceritakan pada cerita-cerita sebelumnya, aku yang belum pernah sekali pun ke Jawa, belum pernah naik pesawat, memutuskan untuk berangkat seorang diri. Aku sadar diri, selama ini akulah yang paling berniat untuk melanjutkan kuliah di tengah ekonomi keluarga yang sedang sulit, jadi aku tidak mau membebani Bapak untuk mengantar sampai ke Bogor.  

Sebagai gantinya, aku jadi menyusahkan Kak Ikrom di masa-masa awal kedatangan di Bogor. Ya, tetapi setiap orang baik pasti akan mendapatkan ganjaran terbaik. Tiga tahun hampir berlalu, dan kurasa, kebaikan demi kebaikan selalu datang padanya.  Dia juga punya banyak teman. Hampir semua kakak tingat dekat dengannya. Kurasa, tidak banyak manusia di dunia ini yang bisa dicintai banyak orang. 

Pada pertemuan kali itu di Kebun Raya, dia menceritakan perjalanannya sejak masa SMP hingga sekarang. Saat SMP, cita-citanya hanya satu yaitu agar bisa diterima di SMA Plus yang merupakan SMA paling bergengsi di Pekanbaru. Demi impian itu pula ia belajar dengan sungguh-sungguh hingga bisa mengikuti perlombaan-perlombaan antar sekolah dan pulang sebagai pemenang. Namun karena beberapa persyaratan tidak bisa dipenuhi, dia gagal bersekolah di SMA yang paling diidam-idamkannya tersebut. Dan akhirnya, dengan terpaksa, dia menerima keputusan keluarga untuk melanjutkan sekolah di Pesantren Teknologi Riau.

Saat aku pertama kali masuk pesantren, Kak Ikrom duduk di kelas 11. Ia masuk dalam jajaran pengurus divisi bahasa dalam Organisasi Santri. Meski tidak begitu saling kenal, namun sedikit-sedikit aku mengenalnya. Kurasa tidak ada satu pun warga pesantren yang tidak mengenal Kak Ikrom. Keberhasilannya dalam beberapa lomba skala provinsi menjadi bahan sanjungan semua orang. Ia juga pernah mengalahkan utusan lomba dari SMA Plus (SMA yang dulu ia idam-idamkan) dalam sebuah perlombaan Matematika bergengsi. Karena kelebihan-kelebihan itu pula, guru Matematika kami selalu memuji-mujinya di depan kelas. Berkali-kali guru tersebut mengatakan bahwa Kak Ikrom adalah manusia Matematika sempurna. 

Selama di pesantren, ia punya hajat tinggi agar bisa lolos ke UGM. Bahkan teman-teman menambahkan kata UGM di belakang nama panggilannya. Di akhir masa pesantren, dia mendaftar ke UGM melalui jalur undangan, lalu mendaftar juga di IPB melalui jalur Beasiswa Santri Berprestasi. Keduanya lolos. Namun bukan UGM yang ia pilih. Buktinya sampai sekarang ia masih aktif di jurusan Meteorologi dan Geofisika fakultas FMIPA Institut Pertanian Bogor. Apa alasannya menolak UGM? Kurasa ia ingin mengalahkan utusan UGM dalam seleksi Mahasiswa Berprestasi Nasional sebagaimana ia pernah mengalahkan utusan SMA Plus saat di pesantren dulu (just a joke, aku lupa apa alasannya).

Prestasi Kak Ikrom terus berlanjut saat di perkuliahan. Ia sudah dua kali ke Malaysia untuk presentasi paper, lalu ke Jepang untuk suatu program, dan entah ke mana lagi di kota-kota Indonesia. Selain sibuk berorganisasi, mengejar prestasi akademik, ia juga suka menulis. Kalian bisa membaca tulisan-tulisannya dalam buku Sebuah Warna atau dalam blog pribadi www.ikrommustofa.com. Kudengar dia punya impian menjadi seorang penulis buku fiksi tentang perjalanan (mirip travelogue). Semoga Allah mengabulkan impian tersebut.

Semester ini ia sudah duduk di tingkat akhir, dan lagi-lagi satu impiannya terkabul. Sekitar satu atau dua bulan lalu, setelah melewati seleksi dan karantina ,ia dinobatkan sebagai Mahasiswa Berprestasi IPB. Dan sekarang sedang menanti pengumuman Mapres Nasional. Jangan lupa doanya. Semoga doa yang baik bisa kembali kepada kita. Sebagai dukungan, sahabat-sahabatku yang baik hati bisa melihat video berikut. 




Erma Fitriani


Aku mengenalnya saat hari pertama masuk asrama pesantren, tanggal 06 Juni 2009. Kesan pertama yang dulu kutangkap darinya adalah kesombongan. Ia terlihat sombong karena ke mana pun pergi selalu bersama seorang teman yang juga berasal dari Babussalam (pesantren yang cukup bergengsi di Pekanbaru). Seragam Babussalam warna hijau selalu ia pakai dan lagi-lagi aku menganggapnya sebagai kesombongan. Apalagi saat masa-masa orientasi, dia hampir tidak pernah tersenyum apalagi bicara denganku.

Di kelas 10, aku tidak berinteraksi banyak dengannya. Yang aku tahu dia adalah golongan santriwati yang sangat giat belajar dan taat peraturan.  Sementara aku, untuk bernapas saja sepertinya aku harus belajar lagi. Lingkungan pesantren membuatku terkejut dan berontak. Setiap malam aku menangis, mengarang-ngarang alasan untuk minta pindah. Jadi ketika pengambilan rapor semester 1 Erma masuk ranking 3 besar, sementara aku berada di ranking 15, aku tidak menyesal sama sekali. Dia memang pantas mendapatkan itu.

Naik ke kelas 11, aku dan Erma menempati kamar yang sama dengan 15 santriwati lainnya. Saat itulah pertemanan antara kami mulai terjalin lebih dekat. Seringkali aku menggelar kasurku di samping kasurnya. Aku berharap bisa tertular semangat belajarnya yang tak mengenal lelah. Termasuk agar aku rajin bangun jauh-jauh sebelum azan Subuh berkumandang dari masjid pesantren. Kala itu, kami sering berdiskusi tentang pelajaran Kimia.

Di kelas 12 saat kami duduk di jabatan Organisasi Santri, ia menjabat sebagai ketua divisi Ta’lim bagian putri, sementara aku lebih suka mengurusi kebersihan dan kegiatan konsulat dalam divisi RTK (Rumah Tangga dan Konsulat). Di saat teman-teman satu angkatan mulai bermalas-malasan ke Masjid, Erma sebaliknya. Dia tidak pernah absen shalat berjamaah di Masjid. Pertama karena memang tugasnya mengabsen adik-adik kelas, kedua (kuperhatikan) karena memang dia melakukan itu dengan ikhlas. Aku selalu iri pada semangatnya. Jujur, hanya ada 5 orang temanku di pesantren yang membuatku selalu termotivasi sekaligus iri, dan Erma adalah salah satunya.

Berbeda dengan kamarku bersama tiga orang teman yang jarang sekali dikunjungi adik kelas karena dianggap angker (kami memang sepakat untuk tidak terlalu akrab dengan adik kelas), kamar Erma selalu menjadi tujuan konsultasi para adik kelas. Konsultasi apa pun. Dimulai dari urusan belajar hingga asmara.

Masa-masa akhir di Pesantren, aku, Erma, dan delapan teman dipilih untuk mengikuti seleksi Program Beasiswa Santri Berprestasi yang dilaksanakan di salah satu hotel di Pekanbaru. Entah bagaimana ceritanya, kami berdua memilih universitas yang sama, IPB. Aku sendiri tida punya bayangan seperti apa IPB itu, tujuanku satu-satunya adalah bisa kuliah di Jawa. Karena merasa IPB tidak begitu diminati, jadi aku memilihnya. Tentu agar peluang lulusku semakin besar. Benar saja, di antara 70 santri dari seantero Riau yang ikut seleksi, hanya 3 orang saja yang memilih IPB. Tapi di luar sana, di provinsi lain, pesaing kami tidak kalah banyaknya.

Seleksi selesai digelar. Usai wisuda kami pulang ke rumah masing-masing sambil menanti pengumuman lulus atau tidak. Sebagai antisipasi, Erma mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi negeri ke salah satu universitas negeri yang ada di Riau. Aku? Aku sudah siap-siap untuk berangkat ke Kepri. Jika tidak lulus, satu-satunya jalan untukku adalah bekerja. Masa penantian itu adalah titik nadhir. Aku sampai mengurung diri di kamar dan tidak mau makan saking inginnya melanjutkan kuliah. Bapak juga ingin anaknya berkuliah, tapi keadaan saat itu tidak memungkinkan. Sering  aku melihat Bapak melamun dengan wajah resah. Ia pasti sedang mencemaskanku. 

Suatu siang, aku mendapat telepon dari Kak Ikrom. Tidak terucap lagi rasa syukurku saat diberi tahu lulus di IPB. Hari itu juga, Bapak dan Ibu membuat persiapan. Mereka pergi ke kecamatan untuk membelikan koper dan pakaian-pakaian baru untukku. Saat itu aku hanya tahu tentang satu hal, yaitu kebahagiaan yang meluap-luap. Aku sama sekali tidak tahu bahwa salah satu temanku sedang berada di titik tergelap dalam hidupnya. Ya, Erma tidak masuk dalam daftar mereka yang lulus.

Baru kemaren, saat pertemuan di Kebun Raya, aku tahu betapa terpuruknya Erma kala itu. Saat bercerita , air matanya tumpah. Ia sangat ingin berkuliah di IPB, tapi jalan itu seolah sudah tertutup. Akibat kekecewaan sekaligus kesedihan yang amat sangat, ia sampai jatuh sakit. Hingga akhirnya Allah menunjukkan kuasa-Nya. Rejeki seorang manusia di dunia ini tidak mungkin tertukar. 

Suatu malam, ia menerima banyak telepon dari pihak sekolah dan Departemen Agama Riau yang menyatakan ia lulus di IPB. Ada dua orang peserta yang mengundurkan diri, dan dia dipilih sebagai salah satu pengganti. Dalam waktu 3 hari ia harus sudah sampai di Bogor. Dan akhirnya, di sinilah dia. Allah menuliskan cerita kami untuk berkuliah di kota yang sama. 

Meski sama-sama di Bogor, aku hanya bisa bertemu dengannya sesekali. Mininal satu kali dalam sebulan. Ini disebabkan kampus S1 dan Diploma terpisah jarak yang cukup jauh.  Biarpun begitu, aku selalu menanyakan dia pada teman-temanku yang berkunjung ke kampus Dramaga dan kebetulan bertemu dengannya. Aku juga sering mengunjungi dinding facebooknya untuk melihat hal-hal yang ia bagikan di sana. 

Erma sekarang tidak berbeda dengan Erma yang kukenal bertahun-tahun yang lalu. Dia tetap pekerja keras. Pernah aku masuk ke kamar kosnya dan mendapati tulisan-tulisan semangat memenuhi segala sisi dinding. Dia berjuang keras untuk melewati tahu pertama IPB yang dikenal sangat keras. Bahkan kemaren di tengah-tengah kesibukan melakukan penyambutan untuk keluarga dari pesantren, Erma menyempat-nyempatan belajar untuk ujiannya esok hari. Sambil menunggu para ustadzah dan adik kelas belanja batik di Pusat Grosir Bogor, ia mengajakku ke salah satu restoran fast food untuk belajar. Selain hal belajar, Erma juga aktif berbisnis telur puyuh.
“Erma nggak mikirin soal untung dan rugi, Sof. Ini hanya untuk melatih mental wirausaha.” Tuturnya.
Aku mengangguk. Tentu saja aku memahami hal itu jauh-jauh hari sebelum ia memberi tahu. Dia berasal dari keluarga mapan, uang bukanlah masalah baginya. Lagi-lagi ia membuatku iri. Aku yang selama ini berkoar-koar tentang usaha puyuh ternyata tak punya keberanian seteguh dia. 


Epilog...

Terimakasih untuk inspirasi yang selalu kalian tebarkan. Semoga kemudahan dan berkah selalu menyertai kita. Aku mengucapkan permohonan maaf apabila selama ini banyak menyakiti, mengecewakan, dan banyak memilih tidak peduli. Bagaimana pun, kalian adalah keluargaku yang tidak ternilai.

"Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam segala urusannya." (QS. Ath-Thalaq : 4).

"Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.(At-Taubah [9]: 105)




8 comments:

  1. Serunya reonian dengan teman-teman masa ABG ya, Mbak. Salam ukhuwah untuk kita semua. Senantiasa terus menggapai mimpi bersamaNya. Amiin. :)

    ReplyDelete
  2. dosenny amasih muda gitu ya :)

    ReplyDelete
  3. kapan mereka yang balik cerita tentang dek Sofi juga penasaran ini ,... salut sama perjuangan teman-temannya, titip salam dari Makassar ya

    ReplyDelete
  4. mbak...bajumu sekarang indah2..aku suka :)

    ReplyDelete
  5. sepertinya ka ikrom banyak membantu yaa :)

    ReplyDelete
  6. Subhanallah, aku sampai merinding bacanya. senang luar biasa aku mengenal pemuda pemudi tangguh seperti kalian. Ketika di di Pekanbaru dulu, kami tinggal di lingkungan anak-anak hedon sehingga aku sangat khawatir dg perkembangan anak2ku & memproteksi mereka habis2an. Ternyata diluar itu ada kalian Sofi, Erma, Ikrom & Fendri. Kalian adalah permata bagi Riau, jangan lupa bantu adik2 kalian, pemuda2 Riau, untuk punya ambisi spt kalian. Aku juga senang sekali Sofi tak pernah lupa jasa orang lain. ".... bagaimana pun hebatnya kami di mata mereka, di mata sendiri kami bukanlah siapa-siapa. Semua yang indah dalam pandangan orang lain, semata-mata karena Allah menutupi aib-aib kita." Well quoted Sof. Proud of you all.

    ReplyDelete
  7. kak Sofi, diparagraf atas kkk ada bercerita ttg kk ikrom dan blang klo kk ikrom bkal ngalahin mhsswa UGM dlm pmilihan mhsiswa brprstasi. emang kjadian lho kak :)) keren (y)

    ReplyDelete
  8. adeeekk, izin save gambar masjid PTR yaa, baguss ^^

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...