Masjid pesantren |
Siang itu adalah hari yang membahagiakan,
sekaligus menakutkanku. Setelah hampir 3 tahun meninggalkan pesantren, baru hari
itu aku kembali dipertemukan dengan guru-guru yang dulu mendidik saat umurku
masih di bawah 16. Tidak kusangka, field trip yang mereka lakukan akan membawa
sampai ke kota tempatku berkuliah.
Aku sangat bahagia atas kedatangan mereka, namun juga malu karena tidak bisa ikut serta melakukan penyambutan akibat jadwal kuliah seminar yang padat setiap harinya. Temanku Erma sudah berkali-kali menghubungi, memintaku datang ke kampus IPB Dramaga tempat para guru dan adik kelas menginap. Namun tetap saja aku tak kunjung punya waktu.
Kesempatanku untuk bertemu baru datang saat mereka
berkunjung ke Kebun Raya Bogor, tepat di Minggu siang. Sebenarnya aku cukup
lelah karena pada Sabtu malam harus mengikuti Malam Keakraban dengan profesor dan teman-teman satu jurusan. Acara
tersebut menuntutku tidak bisa tidur cukup. Tapi demi keluarga dari pesantren,
semua lelah itu tidak ada artinya. Sejak malam aku sudah tidak sabar untuk
bertemu mereka. Mana mungkin aku menyia-nyiakan kesempatan itu.
Mereka menyambutku dengan hangat. Tidak pernah
kusangka selama ini mereka mengikuti perkembanganku meski sudah lulus dari
pesantren. Mereka tahu tentang hobi menulisku. Terutama Ustadzah yang dulu
mengajar Bahasa Indonesia, dengan bangga beliau berkomentar, “Sejak dulu Sofi
ini memang hobi menulis. Tapi tulisannya dibagi-bagikan pada teman-temannya. Jadi
teman-temannya dapat nilai bagus.”
Kebahagiaan lainnya saat aku bisa berjalan
beriringan dengan ustadzah Ida yang dulu dengan sabar mengajari tentang
pertanian. Tidak peduli teriknya matahari pada jam-jam tidur siang, beliau
tetap mendampingi kami. Aku senang saat beliau mengatakan teknologi pertanian
di pesantren sudah lebih maju saat ini. Buktinya dari tabungan hasil panen
bawang merah, mereka bisa melakukan field trip sampai ke Bogor. Aku juga kaget
saat beliau memberi tahu bawang merah bisa diproduksi di Riau, bahkan di tanah
gambut aroma bawang merah bisa lebih kuat. Bertahun-tahun aku belajar
pertanian, tapi informasi ini baru aku dapatkan dari beliau.
Acara kami di Kebun Raya Bogor adalah sharing
alumni. Siang itu sudah hadir temanku Erma Fitriani, lalu Kak Ikrom Mustofa,
dan Kak Fendri Ahmad yang sekarang menjadi dosen di Diploma IPB. Kami berempat
berasal dari pesantren yang sama, Pesantren Teknologi Riau, dan sama-sama
berkuliah di almamater yang sama, Institut Pertanian Bogor.
Kak Fendri yang siang itu mengenakan kemeja menyampaikan cerita pertama kali. Aku tahu, para adik kelas yang memperhatikan kami pasti sedang diliputi kekaguman. Namun aku juga
tahu, bagaimana pun hebatnya kami di mata mereka, di mata sendiri kami bukanlah
siapa-siapa. Semua yang indah dalam pandangan orang lain, semata-mata karena
Allah menutupi aib-aib kita.
Fendri
Ahmad
Kak Fendri tidak hanya kakak kelasku, tapi juga
dosen yang beberapa kali pernah mengajarku. Selama hampir tiga tahun, tidak
banyak percakapan yang terjadi antara aku dan dia. Terkadang aku terlalu malu
untuk sekadar menyapa dan beramah-tamah dengan orang-orang yang kukenal. Bahkan
saat berpapasan, aku lebih sering pura-pura tidak melihat. Meski tidak sedikit
pun aku berniat untuk sombong, aku tahu kelakuanku itu cukup wajar jika
dikategorikan sebagai kesombongan.
Tidak banyak cerita yang bisa kurekam tentang Kak
Fendri, karena memang saat aku masuk ke Pesantren, ia sudah lulus. Usia kami
tertaut cukup jauh. Aku tahu cerita tentangnya dari pertemuan siang itu. Di
sana ia menceritakan perjalanannya dimulai dari alasan masuk pesantren hingga
peristiwa yang membuatnya berhasil masuk ke IPB melalui jalur Beasiswa Santri
Berprestasi dari Kemenag, ditambah cerita tentang bagaimana ia bisa diterima
sebagai salah satu dosen di Diploma IPB. Sekarang ia sudah memiliki seorang
istri dan sedang menanti kelahiran anak pertama. Semua skenario hidupnya itu ia
katakan sebagai kehendak Allah, karena memang menurutnya, segala yang ia
dapatkan adalah hal-hal yang sebelumnya dirasa mustahil.
Ikrom
Mustofa
Jasa Kak Ikrom padaku tidak terhitung banyaknya,
dan sampai sekarang aku belum bisa membalas sedikit pun. Dia yang menelepon saat
aku dinyatakan diterima di kampus IPB, dia juga yang dengan sabar mengetik sms
untuk memberi tahu rute dari Riau menuju Bogor, dan dia juga yang sudah
menjemputku di terminal Damri tiga tahun lalu. Urusan tempat tinggalku selama
dua minggu sebelum masuk ke asrama pun dia yang mengurus. Seperti yang sudah
kuceritakan pada cerita-cerita sebelumnya, aku yang belum pernah sekali pun ke
Jawa, belum pernah naik pesawat, memutuskan untuk berangkat seorang diri. Aku sadar
diri, selama ini akulah yang paling berniat untuk melanjutkan kuliah di tengah
ekonomi keluarga yang sedang sulit, jadi aku tidak mau membebani Bapak untuk
mengantar sampai ke Bogor.
Sebagai gantinya, aku jadi menyusahkan Kak Ikrom
di masa-masa awal kedatangan di Bogor. Ya, tetapi setiap orang baik pasti akan
mendapatkan ganjaran terbaik. Tiga tahun hampir berlalu, dan kurasa, kebaikan
demi kebaikan selalu datang padanya. Dia
juga punya banyak teman. Hampir semua kakak tingat dekat dengannya. Kurasa,
tidak banyak manusia di dunia ini yang bisa dicintai banyak orang.
Pada pertemuan kali itu di Kebun Raya, dia
menceritakan perjalanannya sejak masa SMP hingga sekarang. Saat SMP,
cita-citanya hanya satu yaitu agar bisa diterima di SMA Plus yang merupakan SMA
paling bergengsi di Pekanbaru. Demi impian itu pula ia belajar dengan
sungguh-sungguh hingga bisa mengikuti perlombaan-perlombaan antar sekolah dan
pulang sebagai pemenang. Namun karena beberapa persyaratan tidak bisa dipenuhi,
dia gagal bersekolah di SMA yang paling diidam-idamkannya tersebut. Dan
akhirnya, dengan terpaksa, dia menerima keputusan keluarga untuk melanjutkan
sekolah di Pesantren Teknologi Riau.
Saat aku pertama kali masuk pesantren, Kak Ikrom
duduk di kelas 11. Ia masuk dalam jajaran pengurus divisi bahasa dalam
Organisasi Santri. Meski tidak begitu saling kenal, namun sedikit-sedikit aku
mengenalnya. Kurasa tidak ada satu pun warga pesantren yang tidak mengenal Kak
Ikrom. Keberhasilannya dalam beberapa lomba skala provinsi menjadi bahan
sanjungan semua orang. Ia juga pernah mengalahkan utusan lomba dari SMA Plus
(SMA yang dulu ia idam-idamkan) dalam sebuah perlombaan Matematika bergengsi. Karena
kelebihan-kelebihan itu pula, guru Matematika kami selalu memuji-mujinya di
depan kelas. Berkali-kali guru tersebut mengatakan bahwa Kak Ikrom adalah
manusia Matematika sempurna.
Selama di pesantren, ia punya hajat tinggi agar
bisa lolos ke UGM. Bahkan teman-teman menambahkan kata UGM di belakang nama
panggilannya. Di akhir masa pesantren, dia mendaftar ke UGM melalui jalur
undangan, lalu mendaftar juga di IPB melalui jalur Beasiswa Santri Berprestasi.
Keduanya lolos. Namun bukan UGM yang ia pilih. Buktinya sampai sekarang ia
masih aktif di jurusan Meteorologi dan Geofisika fakultas FMIPA Institut
Pertanian Bogor. Apa alasannya menolak UGM? Kurasa ia ingin mengalahkan utusan
UGM dalam seleksi Mahasiswa Berprestasi Nasional sebagaimana ia pernah
mengalahkan utusan SMA Plus saat di pesantren dulu (just a joke, aku lupa apa alasannya).
Prestasi Kak Ikrom terus berlanjut saat di
perkuliahan. Ia sudah dua kali ke Malaysia untuk presentasi paper, lalu ke
Jepang untuk suatu program, dan entah ke mana lagi di kota-kota Indonesia. Selain
sibuk berorganisasi, mengejar prestasi akademik, ia juga suka menulis. Kalian bisa
membaca tulisan-tulisannya dalam buku Sebuah Warna atau dalam blog pribadi www.ikrommustofa.com. Kudengar dia punya
impian menjadi seorang penulis buku fiksi tentang perjalanan (mirip
travelogue). Semoga Allah mengabulkan impian tersebut.
Semester ini ia sudah duduk di tingkat akhir, dan
lagi-lagi satu impiannya terkabul. Sekitar satu atau dua bulan lalu, setelah
melewati seleksi dan karantina ,ia dinobatkan sebagai Mahasiswa Berprestasi IPB.
Dan sekarang sedang menanti pengumuman Mapres Nasional. Jangan lupa doanya. Semoga
doa yang baik bisa kembali kepada kita. Sebagai dukungan, sahabat-sahabatku
yang baik hati bisa melihat video berikut.
Erma
Fitriani
Aku mengenalnya saat hari pertama masuk asrama
pesantren, tanggal 06 Juni 2009. Kesan pertama yang dulu kutangkap darinya
adalah kesombongan. Ia terlihat sombong karena ke mana pun pergi selalu bersama
seorang teman yang juga berasal dari Babussalam (pesantren yang cukup bergengsi
di Pekanbaru). Seragam Babussalam warna hijau selalu ia pakai dan lagi-lagi aku
menganggapnya sebagai kesombongan. Apalagi saat masa-masa orientasi, dia hampir
tidak pernah tersenyum apalagi bicara denganku.
Di kelas 10, aku tidak berinteraksi banyak
dengannya. Yang aku tahu dia adalah golongan santriwati yang sangat giat
belajar dan taat peraturan. Sementara
aku, untuk bernapas saja sepertinya aku harus belajar lagi. Lingkungan pesantren
membuatku terkejut dan berontak. Setiap malam aku menangis, mengarang-ngarang
alasan untuk minta pindah. Jadi ketika pengambilan rapor semester 1 Erma masuk
ranking 3 besar, sementara aku berada di ranking 15, aku tidak menyesal sama
sekali. Dia memang pantas mendapatkan itu.
Naik ke kelas 11, aku dan Erma menempati kamar
yang sama dengan 15 santriwati lainnya. Saat itulah pertemanan antara kami
mulai terjalin lebih dekat. Seringkali aku menggelar kasurku di samping
kasurnya. Aku berharap bisa tertular semangat belajarnya yang tak mengenal
lelah. Termasuk agar aku rajin bangun jauh-jauh sebelum azan Subuh berkumandang
dari masjid pesantren. Kala itu, kami sering berdiskusi tentang pelajaran
Kimia.
Di kelas 12 saat kami duduk di jabatan Organisasi
Santri, ia menjabat sebagai ketua divisi Ta’lim bagian putri, sementara aku
lebih suka mengurusi kebersihan dan kegiatan konsulat dalam divisi RTK (Rumah
Tangga dan Konsulat). Di saat teman-teman satu angkatan mulai bermalas-malasan ke
Masjid, Erma sebaliknya. Dia tidak pernah absen shalat berjamaah di Masjid. Pertama
karena memang tugasnya mengabsen adik-adik kelas, kedua (kuperhatikan) karena
memang dia melakukan itu dengan ikhlas. Aku selalu iri pada semangatnya.
Jujur, hanya ada 5 orang temanku di pesantren yang membuatku selalu termotivasi
sekaligus iri, dan Erma adalah salah satunya.
Berbeda dengan kamarku bersama tiga orang teman
yang jarang sekali dikunjungi adik kelas karena dianggap angker (kami memang
sepakat untuk tidak terlalu akrab dengan adik kelas), kamar Erma selalu menjadi
tujuan konsultasi para adik kelas. Konsultasi apa pun. Dimulai dari urusan
belajar hingga asmara.
Masa-masa akhir di Pesantren, aku, Erma, dan delapan teman dipilih untuk mengikuti seleksi Program Beasiswa Santri Berprestasi yang dilaksanakan di salah satu hotel di Pekanbaru. Entah bagaimana ceritanya, kami berdua memilih universitas yang sama, IPB. Aku sendiri tida punya bayangan seperti apa IPB itu, tujuanku satu-satunya adalah bisa kuliah di Jawa. Karena merasa IPB tidak begitu diminati, jadi aku memilihnya. Tentu agar peluang lulusku semakin besar. Benar saja, di antara 70 santri dari seantero Riau yang ikut seleksi, hanya 3 orang saja yang memilih IPB. Tapi di luar sana, di provinsi lain, pesaing kami tidak kalah banyaknya.
Masa-masa akhir di Pesantren, aku, Erma, dan delapan teman dipilih untuk mengikuti seleksi Program Beasiswa Santri Berprestasi yang dilaksanakan di salah satu hotel di Pekanbaru. Entah bagaimana ceritanya, kami berdua memilih universitas yang sama, IPB. Aku sendiri tida punya bayangan seperti apa IPB itu, tujuanku satu-satunya adalah bisa kuliah di Jawa. Karena merasa IPB tidak begitu diminati, jadi aku memilihnya. Tentu agar peluang lulusku semakin besar. Benar saja, di antara 70 santri dari seantero Riau yang ikut seleksi, hanya 3 orang saja yang memilih IPB. Tapi di luar sana, di provinsi lain, pesaing kami tidak kalah banyaknya.
Seleksi selesai digelar. Usai wisuda kami pulang
ke rumah masing-masing sambil menanti pengumuman lulus atau tidak. Sebagai
antisipasi, Erma mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi negeri ke salah satu
universitas negeri yang ada di Riau. Aku? Aku sudah siap-siap untuk berangkat
ke Kepri. Jika tidak lulus, satu-satunya jalan untukku adalah bekerja. Masa
penantian itu adalah titik nadhir. Aku sampai mengurung diri di kamar dan tidak
mau makan saking inginnya melanjutkan kuliah. Bapak juga ingin anaknya berkuliah,
tapi keadaan saat itu tidak memungkinkan. Sering aku melihat Bapak melamun dengan wajah resah. Ia
pasti sedang mencemaskanku.
Suatu siang, aku mendapat telepon dari Kak Ikrom. Tidak
terucap lagi rasa syukurku saat diberi tahu lulus di IPB. Hari itu juga, Bapak
dan Ibu membuat persiapan. Mereka pergi ke kecamatan untuk membelikan koper dan
pakaian-pakaian baru untukku. Saat itu aku hanya tahu tentang satu hal, yaitu
kebahagiaan yang meluap-luap. Aku sama sekali tidak tahu bahwa salah satu
temanku sedang berada di titik tergelap dalam hidupnya. Ya, Erma tidak masuk
dalam daftar mereka yang lulus.
Baru kemaren, saat pertemuan di Kebun Raya, aku
tahu betapa terpuruknya Erma kala itu. Saat bercerita , air matanya tumpah. Ia
sangat ingin berkuliah di IPB, tapi jalan itu seolah sudah tertutup. Akibat kekecewaan
sekaligus kesedihan yang amat sangat, ia sampai jatuh sakit. Hingga akhirnya
Allah menunjukkan kuasa-Nya. Rejeki seorang manusia di dunia ini tidak mungkin
tertukar.
Suatu malam, ia menerima banyak telepon dari pihak sekolah dan Departemen Agama Riau yang menyatakan ia lulus di IPB. Ada dua orang peserta yang mengundurkan diri, dan dia dipilih sebagai salah satu pengganti. Dalam waktu 3 hari ia harus sudah sampai di Bogor. Dan akhirnya, di sinilah dia. Allah menuliskan cerita kami untuk berkuliah di kota yang sama.
Suatu malam, ia menerima banyak telepon dari pihak sekolah dan Departemen Agama Riau yang menyatakan ia lulus di IPB. Ada dua orang peserta yang mengundurkan diri, dan dia dipilih sebagai salah satu pengganti. Dalam waktu 3 hari ia harus sudah sampai di Bogor. Dan akhirnya, di sinilah dia. Allah menuliskan cerita kami untuk berkuliah di kota yang sama.
Meski sama-sama di Bogor, aku hanya bisa bertemu
dengannya sesekali. Mininal satu kali dalam sebulan. Ini disebabkan kampus S1
dan Diploma terpisah jarak yang cukup jauh. Biarpun begitu, aku selalu menanyakan dia pada
teman-temanku yang berkunjung ke kampus Dramaga dan kebetulan bertemu
dengannya. Aku juga sering mengunjungi dinding facebooknya untuk melihat
hal-hal yang ia bagikan di sana.
Erma sekarang tidak berbeda dengan Erma yang
kukenal bertahun-tahun yang lalu. Dia tetap pekerja keras. Pernah aku masuk ke
kamar kosnya dan mendapati tulisan-tulisan semangat memenuhi segala sisi
dinding. Dia berjuang keras untuk melewati tahu pertama IPB yang dikenal sangat
keras. Bahkan kemaren di tengah-tengah kesibukan melakukan penyambutan untuk
keluarga dari pesantren, Erma menyempat-nyempatan belajar untuk ujiannya esok
hari. Sambil menunggu para ustadzah dan adik kelas belanja batik di Pusat
Grosir Bogor, ia mengajakku ke salah satu restoran fast food untuk belajar.
Selain hal belajar, Erma juga aktif berbisnis telur puyuh.
“Erma nggak mikirin soal untung dan rugi, Sof. Ini hanya untuk melatih mental wirausaha.” Tuturnya.
Aku mengangguk. Tentu saja aku memahami hal itu
jauh-jauh hari sebelum ia memberi tahu. Dia berasal dari keluarga mapan, uang
bukanlah masalah baginya. Lagi-lagi ia membuatku iri. Aku yang selama ini
berkoar-koar tentang usaha puyuh ternyata tak punya keberanian seteguh dia.
Epilog...
Terimakasih untuk inspirasi yang selalu kalian
tebarkan. Semoga kemudahan dan berkah selalu menyertai kita. Aku mengucapkan
permohonan maaf apabila selama ini banyak menyakiti, mengecewakan, dan banyak
memilih tidak peduli. Bagaimana pun, kalian adalah keluargaku yang tidak
ternilai.
"Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Allah
menjadikan baginya kemudahan dalam segala urusannya." (QS. Ath-Thalaq : 4).
"Dan Katakanlah:
"Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan
melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang
Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa
yang telah kamu kerjakan.” (At-Taubah [9]: 105)
Serunya reonian dengan teman-teman masa ABG ya, Mbak. Salam ukhuwah untuk kita semua. Senantiasa terus menggapai mimpi bersamaNya. Amiin. :)
ReplyDeletedosenny amasih muda gitu ya :)
ReplyDeletekapan mereka yang balik cerita tentang dek Sofi juga penasaran ini ,... salut sama perjuangan teman-temannya, titip salam dari Makassar ya
ReplyDeletembak...bajumu sekarang indah2..aku suka :)
ReplyDeletesepertinya ka ikrom banyak membantu yaa :)
ReplyDeleteSubhanallah, aku sampai merinding bacanya. senang luar biasa aku mengenal pemuda pemudi tangguh seperti kalian. Ketika di di Pekanbaru dulu, kami tinggal di lingkungan anak-anak hedon sehingga aku sangat khawatir dg perkembangan anak2ku & memproteksi mereka habis2an. Ternyata diluar itu ada kalian Sofi, Erma, Ikrom & Fendri. Kalian adalah permata bagi Riau, jangan lupa bantu adik2 kalian, pemuda2 Riau, untuk punya ambisi spt kalian. Aku juga senang sekali Sofi tak pernah lupa jasa orang lain. ".... bagaimana pun hebatnya kami di mata mereka, di mata sendiri kami bukanlah siapa-siapa. Semua yang indah dalam pandangan orang lain, semata-mata karena Allah menutupi aib-aib kita." Well quoted Sof. Proud of you all.
ReplyDeletekak Sofi, diparagraf atas kkk ada bercerita ttg kk ikrom dan blang klo kk ikrom bkal ngalahin mhsswa UGM dlm pmilihan mhsiswa brprstasi. emang kjadian lho kak :)) keren (y)
ReplyDeleteadeeekk, izin save gambar masjid PTR yaa, baguss ^^
ReplyDelete