Sunday, 14 June 2015

Inside...


View from my window

Sore itu saya sendirian di kamar yang ada di lantai dua. Biasanya saat sendiri seperti itu, saya lebih suka menulis di laptop atau menonton televisi. Tapi kali itu tidak, saya memilih untuk melongokkan kepala dengan susah payah agar mampu menjangkau lanskap luar dari jendela kecil yang ada di atas lemari. 

Di luar hujan perlahan turun. Selama dua tahun mendiami rumah kosan ini, baru kali ini saya melihat keluar dengan penuh penghayatan. Mungkin karena saya sedang sendirian sehingga tidak perlu takut dikatai ‘merenungi nasib’ oleh teman-teman kamar. 

Atap-atap rumah yang basah dan gedung sebuah plaza kosong di ujung sana menjadi pusat perhatian saya. Hujan selalu membawa haru. Entah dari mana asalnya, tiap kali sendirian menyaksikan hujan saya selalu memikirkan banyak hal. Saya senang dengan kedatangan hujan sejak bisa meresapi ayat-ayat Allah yang berkata bahwa karena hujan itulah bumi yang kering kembali dihidupkan. Namun di lain sisi, hujan juga membawa pikiran saya jauh melintasi waktu.

Saya mengingat kembali masa-masa kecil dulu, lalu remaja, dan diri saya yang sekarang. Saya sangat menyadari betapa waktu telah melaju dengan kecepatan yang luar biasa. Dan saya yakin, waktu sekarang pun sudah pasti akan berlari seumpama singa lapar yang mengejar binatang buruannya. Masa muda saya ini tentu akan tertinggal di belakang hanya dalam sekedipan mata.  Lalu saya akan bertanya, apakah kehidupan hanya seperti ini saja? Kita dilahirkan, hidup, mengejar cita-cita, memiliki keluarga, melihat anak-anak tumbuh, tua, dan meninggal. Apakah semua yang sudah diusahakan dengan susah payah oleh para manusia hanya akan ditinggalkan begitu saja?   Apakah hanya untuk itu?

Di titik tersebut saya menyanjung firman Allah dalam Al quran yang berhasil menjawab semua pertanyaan tersebut, bahwa semua ini tidaklah diciptakan untuk sebuah kesia-siaan belaka. Hidup bukanlah sebatas  wahana untuk senda gurau. Allah sudah memberi tahu dengan jelas bahwa kehidupan kita di dunia ini tidak lain hanyalah untuk menyembah-Nya. Ya, hanya itu saja. 

Tapi mengapa setelah mengetahui semua kebenaran tersebut, saya tak juga kunjung menjadi manusia yang lebih baik? Kenapa ibadah saya masih buruk? Kenapa iman saya sering menukik turun seumpama burung lapar yang mengambil biji-bijian di dasar jurang? Kenapa kata-kata yang keluar dari lisan saya masih dipenuhi dusta, fitnah, dan hujatan? Kenapa saya masih menempatkan harta dan kedudukan di titik atas pada tumpukan impian? Kenapa dunia tetap saja terlihat sangat indah memesona, sementara akhirat saya anggap seperti sebuah kehidupan yang masih sangat jauh untuk dituju?

Saya paham. Ternyata di dunia ini, banyak manusia bejat yang sebenarnya memahami kebenaran. Di titik-titik tetentu mereka sadar bahwa kehidupan benar-benar tidak ada artinya jika hanya dihabiskan dengan hura-hura dan senda gurau. Karena semua tawa, teman, kenikmatan itu akan hilang dalam sekejap.   Dan yang tertinggal hanyalah hampa. Kosong. Dan mungkin, sebuah sesal.

Saya tidak begitu pandai menuliskan segala sesuatu yang berkecamuk dalam pikiran. Namun kira-kira begitulah. Saya sering merasakan kepedihan yang tidak diketahui dari mana asalnya. Tiap kali mengingat tentang ibadah saya yang tidak sebaik Bapak atau wanita saliha lain, saya merasakan sesak sendiri. Saya sering menangis tanpa ada sebab. Karena seringkali hati saya tiba-tiba dilingkupi rasa sakit, pedih, haru, yang datang tanpa alasan. Terkadang pula saya seperti merindukan sebuah tempat, tapi tidak tahu di mana tempat itu berada. Sampai-sampai saya pernah punya niat kuat untuk mendatangi psikiater karena merasa semua yang terjadi dalam diri saya bukanlah sesuatu yang normal.

Tengah malam, saat semua teman-teman kamar sudah nyenyak tidur, seringkali saya masih tidak bisa terpejam. Saya sering memandangi mereka sambil bertanya-tanya, “Bagaimana mereka bisa tidur dengan mudah? Apakah mereka tidak pernah memikirkan, menakutkan, dan mengkhawatirkan banyak hal seperti saya?”


7 comments:

  1. Saya juga sering berpikir seperti itu dek Sofi, kenapa masih saja ada kekurangan yang saya lakukan dalam hidup ini? betapa godaan duniawi menguasai hati dan pikiran kita, iya kadang saya juga sulit terpejam karena memikirkannya...

    ReplyDelete
  2. Aku jg merasakan hal yang sama. Malu rasanya diri ini selalu menulis ttg kebaikan namun pada kenyataannya tdk demikian. Se,oga kita selalu menjadi org2 yang selalu memperbaiki diri.

    ReplyDelete
  3. Hujan seringkali mendatangkan haru juga suasana 'melow' buat aku... Renungan Sofia baik untuk instrofeksi dan perbaikan diri untuk semakin dekat dengan-Nya, namun Tuhan itu Maha Pengasih dan Penyayang.. Manusia tentu tak sempurna, impian dunia, mengejar kebahagian dunia juga hal yang normal ada pada kita.

    ReplyDelete
  4. Dilihat sisi positifnya saja Sof, kamu punya lebih banyak energi dan inspirasi dibandingkan teman2mu untuk disalurkan. Cobalah cari jalan untuk menyalurkannya agar dirimu tidak terhanyut dalam pemikiran-pemikiran seperti itu.

    ReplyDelete
  5. Saya suka hujan meski bikin mellow & tinggal di jkt was-was daerah mana yg bakal kerendem banjir? Trus buru2 berdoa smoga tdk ada banjir,kalo ga salah nih salah satu diijabahnya doa adalah saat turun hujan jd sambil introspeksi sambil berdoa :)

    ReplyDelete
  6. Renungan yang mendalam, Mbak Sofia. Hal yang seperti inilah yang menjadikan kita untuk lebih berhati-hati dalam meniti waktu yang tersisa dalam hidup ini.

    ReplyDelete
  7. semua orang pasti punya saatsaat termenung sendiri .. memikirkan segala yang sudah terjadi pada diri kita

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...