View from my window |
Sore itu saya sendirian di kamar yang ada di
lantai dua. Biasanya saat sendiri seperti itu, saya lebih suka menulis di
laptop atau menonton televisi. Tapi kali itu tidak, saya memilih untuk
melongokkan kepala dengan susah payah agar mampu menjangkau lanskap luar dari
jendela kecil yang ada di atas lemari.
Di luar hujan perlahan turun. Selama dua tahun
mendiami rumah kosan ini, baru kali ini saya melihat keluar dengan penuh
penghayatan. Mungkin karena saya sedang sendirian sehingga tidak perlu takut
dikatai ‘merenungi nasib’ oleh teman-teman kamar.
Atap-atap rumah yang basah dan gedung sebuah plaza
kosong di ujung sana menjadi pusat perhatian saya. Hujan selalu membawa haru. Entah
dari mana asalnya, tiap kali sendirian menyaksikan hujan saya selalu memikirkan
banyak hal. Saya senang dengan kedatangan hujan sejak bisa meresapi ayat-ayat
Allah yang berkata bahwa karena hujan itulah bumi yang kering kembali
dihidupkan. Namun di lain sisi, hujan juga membawa pikiran saya jauh melintasi
waktu.
Saya mengingat kembali masa-masa kecil dulu, lalu
remaja, dan diri saya yang sekarang. Saya sangat menyadari betapa waktu telah
melaju dengan kecepatan yang luar biasa. Dan saya yakin, waktu sekarang pun
sudah pasti akan berlari seumpama singa lapar yang mengejar binatang buruannya.
Masa muda saya ini tentu akan tertinggal di belakang hanya dalam sekedipan
mata. Lalu saya akan bertanya, apakah
kehidupan hanya seperti ini saja? Kita dilahirkan, hidup, mengejar cita-cita,
memiliki keluarga, melihat anak-anak tumbuh, tua, dan meninggal. Apakah semua
yang sudah diusahakan dengan susah payah oleh para manusia hanya akan
ditinggalkan begitu saja? Apakah hanya untuk itu?
Di titik tersebut saya menyanjung firman Allah
dalam Al quran yang berhasil menjawab semua pertanyaan tersebut, bahwa semua
ini tidaklah diciptakan untuk sebuah kesia-siaan belaka. Hidup bukanlah
sebatas wahana untuk senda gurau. Allah
sudah memberi tahu dengan jelas bahwa kehidupan kita di dunia ini tidak lain
hanyalah untuk menyembah-Nya. Ya, hanya itu saja.
Tapi mengapa setelah mengetahui semua kebenaran
tersebut, saya tak juga kunjung menjadi manusia yang lebih baik? Kenapa ibadah
saya masih buruk? Kenapa iman saya sering menukik turun seumpama burung lapar
yang mengambil biji-bijian di dasar jurang? Kenapa kata-kata yang keluar dari
lisan saya masih dipenuhi dusta, fitnah, dan hujatan? Kenapa saya masih
menempatkan harta dan kedudukan di titik atas pada tumpukan impian? Kenapa dunia
tetap saja terlihat sangat indah memesona, sementara akhirat saya anggap seperti
sebuah kehidupan yang masih sangat jauh untuk dituju?
Saya paham. Ternyata di dunia ini, banyak manusia
bejat yang sebenarnya memahami kebenaran. Di titik-titik tetentu mereka sadar
bahwa kehidupan benar-benar tidak ada artinya jika hanya dihabiskan dengan
hura-hura dan senda gurau. Karena semua tawa, teman, kenikmatan itu akan hilang
dalam sekejap. Dan yang tertinggal
hanyalah hampa. Kosong. Dan mungkin, sebuah sesal.
Saya tidak begitu pandai menuliskan segala sesuatu
yang berkecamuk dalam pikiran. Namun kira-kira begitulah. Saya sering merasakan
kepedihan yang tidak diketahui dari mana asalnya. Tiap kali mengingat tentang
ibadah saya yang tidak sebaik Bapak atau wanita saliha lain, saya merasakan
sesak sendiri. Saya sering menangis tanpa ada sebab. Karena seringkali hati
saya tiba-tiba dilingkupi rasa sakit, pedih, haru, yang datang tanpa alasan. Terkadang
pula saya seperti merindukan sebuah tempat, tapi tidak tahu di mana tempat itu
berada. Sampai-sampai saya pernah punya niat kuat untuk mendatangi psikiater
karena merasa semua yang terjadi dalam diri saya bukanlah sesuatu yang normal.
Tengah malam, saat semua teman-teman kamar sudah
nyenyak tidur, seringkali saya masih tidak bisa terpejam. Saya sering
memandangi mereka sambil bertanya-tanya, “Bagaimana mereka bisa tidur dengan
mudah? Apakah mereka tidak pernah memikirkan, menakutkan, dan mengkhawatirkan
banyak hal seperti saya?”
Saya juga sering berpikir seperti itu dek Sofi, kenapa masih saja ada kekurangan yang saya lakukan dalam hidup ini? betapa godaan duniawi menguasai hati dan pikiran kita, iya kadang saya juga sulit terpejam karena memikirkannya...
ReplyDeleteAku jg merasakan hal yang sama. Malu rasanya diri ini selalu menulis ttg kebaikan namun pada kenyataannya tdk demikian. Se,oga kita selalu menjadi org2 yang selalu memperbaiki diri.
ReplyDeleteHujan seringkali mendatangkan haru juga suasana 'melow' buat aku... Renungan Sofia baik untuk instrofeksi dan perbaikan diri untuk semakin dekat dengan-Nya, namun Tuhan itu Maha Pengasih dan Penyayang.. Manusia tentu tak sempurna, impian dunia, mengejar kebahagian dunia juga hal yang normal ada pada kita.
ReplyDeleteDilihat sisi positifnya saja Sof, kamu punya lebih banyak energi dan inspirasi dibandingkan teman2mu untuk disalurkan. Cobalah cari jalan untuk menyalurkannya agar dirimu tidak terhanyut dalam pemikiran-pemikiran seperti itu.
ReplyDeleteSaya suka hujan meski bikin mellow & tinggal di jkt was-was daerah mana yg bakal kerendem banjir? Trus buru2 berdoa smoga tdk ada banjir,kalo ga salah nih salah satu diijabahnya doa adalah saat turun hujan jd sambil introspeksi sambil berdoa :)
ReplyDeleteRenungan yang mendalam, Mbak Sofia. Hal yang seperti inilah yang menjadikan kita untuk lebih berhati-hati dalam meniti waktu yang tersisa dalam hidup ini.
ReplyDeletesemua orang pasti punya saatsaat termenung sendiri .. memikirkan segala yang sudah terjadi pada diri kita
ReplyDelete