Tuesday, 1 November 2016

Istanbul, The Beauty of All Times


Beberapa waktu lalu sebuah televisi swasta di Indonesia sudah menayangkan sebuah sinetron Turki yang awalnya diberi judul ‘King Suleiman’, namun setelah menuai kontroversi, akhirnya judulnya pun diganti menjadi Abad Kejayaan, terjemahan dari judul aslinya yaitu Muhtesem Yuzyil.  

Jika ingin belajar sejarah, hanya ada sedikit sejarah yang bisa dipelajari dari sinetron ini. Itulah mengapa banyak penonton Muslim yang kecewa saat mendapati kenyataan Sultan Suleiman ditampilkan jauh dari fakta sejarah. Tapi bagiku, sinetron ini membawa keindahan dari sisi yang berbeda, yaitu backsound yang membuat merinding. Saat mendengar alunan musik khas Turki itu diputar, imajinasiku seperti melihat kembali sebuah peradaban yang dulu begitu dihormati dan diagungkan, peradaban Kekhalifahan Ustmani. 

Lalu tidak begitu lama, aku tersadar bahwa peradaban itu sudah gulung tikar, hanya menyisakan bangunan-bangunan yang kini menghiasi seluruh penjuru Turki, terutama Istanbul. Semuanya membuatku berpikir, jika peradaban Romawi yang sudah – tahun akhirnya runtuh, peradaban Turki Ustmani yang sudah 600 tahun juga runtuh, tak mungkinkah peradaban kita sekarang ini yang belum genap 200 tahun ini akan runtuh juga?

Dalam bukunya ‘Istanbul: Kenangan Sebuah Kota’, Orhan Pamuk, seorang novelis Turki peraih nobel mengisahkan dengan sudut pandangnya tentang Istanbul. Ia menyebut Istanbul sebagai kota yang murung pasca runtuhnya Kekhalifahan Ustmani, dan itulah yang selalu kulihat dari Istanbul dan segala keindahannya kini. 

Kota itu tidak hanya sekadar Hagia Sophia, tak juga melulu tentang Masjid Biru, tapi di sana juga kita akan mengingat kembali sejarah bahwa Islam pernah begitu dihormati. Keadilan para khalifahnya diakui seluruh dunia hingga bukan hal yang mustahil jika pada akhir abad ke-19, terjadi migrasi dari Yunani ke  Turki karena menganggap pemerintahan Turki Ustmani lebih adil daripada pemerintah Yunani sendiri. 

Namun kini, semua sudah berganti. Syukurnya setelah sekian lama ia berada dicengkeraman Republik Sekuler, kini perlahan Turki mulai mengingat sejarah bangsanya. Masjid-masjid hidup kembali dan orang-orang mulai berlomba untuk mempelajari Islam.

Banyak orang yang sudah mengunjungi Turki mengatakan bahwa Istanbul adalah kota yang candu, selalu menyisakan rindu untuk mengunjunginya kembali.  Istanbul dengan selat-selat yang mengelilinginya membuatnya menjadi satu-satunya kota yang memiliki benteng alami, sejak dulu,  saat Muhammad Al Fatih pun harus memikirkan ribuan strategi untuk menembusnya. Kini, tugas Muhammad Al Fatih sudah usai, dan kita hanya bisa menyaksikan bangunan, jalan, lautan, yang dulu juga dilihatnya. 

Di Istanbul, puluhan kapal hilir-mudik di Emononu, keluar-masuk Bosphorus dan Selat Tanduk Emas setiap saat. Setiap hari pula para turis menikmati sandwich ikan atau balik ekmek dari jembatan Galata atau di dalam feri, lalu mata mereka memandangi riak putih air laut yang disinggahi elang-elang dan burung camar. Kemudian di daratan sana, puncak-puncak menara minaret dari Hagia Sophia, Masjid Biru, dan  Masjid Suleymaniye menjulang ke langit, menjadi saksi siang dan malam yang silih berganti. Saat senja, garis-garis kesedihan akan memancar dari ufuk Barat kota itu, bersatu padu dengan warna emas matahari yang menuju tempat peristirahatan. 

Di Istanbul, saat seorang anak memanggil sang ibu dari Eropa, maka beberapa menit kemudian sang ibu akan mendatangi dari sisi Asia. Di kota itulah dua orang yang berdiri di Eropa dan Asia bisa saling berhadapan. Itu adalah kota dua benua, dua budaya, dua peradaban, dan dua keindahan yang menjadi satu. 



Di Istanbul, wajah Barat akan ditemui di mana-mana. Hidung mancung, kulit putih, tubuh tinggi, dagu lancip, namun mereka fasih mengucap salam. Mereka juga sangat menghargai pengunjung yang beragama Islam, menganggapnya seperti saudara dan memperlakukannya dengan santun. Mereka yang saat disebut nama Indonesia akan memuji-muji keramahan dan bangga akan banyaknya muslim di negeri kita. 

Di Istanbul, di sanalah tempat keindahan dari segala masa.

1 comment:

  1. Waduh... pengen juga sih kalo ke Istanbul ke masjidnya soekarno... mudah2an aj tercapai deh...

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...