@elifkubragenc
|
Hari ini mendung menggelayut di langit Istanbul. Sejak pagi aku tidak melihat matahari menampakkan cahaya emasnya. Hanya ada semburat putih yang menyeruak dari gumpalan awan kelabu. Aku yang seharian menghabiskan waktu di apartemen sambil sesekali melihat desain yang harus kuselesaikan, akhirnya merasa bosan.
Di tengah kebosanan itu, aku berjalan menuju jendela, dengan secangkir teh di tangan. Aku melirik ke bawah. Seorang wanita paruh paya tampak kesusahan membawa barang belanjaan, dan di sisi lain aku melihat anak-anak yang sedang bermain bola. Sementara di ujung jalan, daun-daun mulai berubah warna menjadi kekuningan hingga oranye.
Ah, ini penghujung musim panas. Aku hampir saja lupa.
Entah kenapa, tiba-tiba aku tertarik untuk menikmati Istanbul. Rasanya sudah hampir satu bulan aku tidak jalan-jalan. Keluar apartemen hanya untuk ke kantor, belanja keperluan, atau paling jauh sesekali ikut shalat berjamaah di Masjid Biru atau Masjid Suleiman.
Sore ini aku jadi begitu rindu pada gagak-gagak di seantero laut Istanbul, aku juga rindu menikmati secangkir kopi di Cicek Pasaji. Langsung saja aku mengandaskan teh, menuju wastafel untuk mencuci wajah, berganti pakaian, serta mengoleskan sedikit pelembab di wajah. Cuaca di luar pasti mulai sejuk, jadi aku memilih menambahkan long coat berwarna krem favorit dan syal tipis.
Sambil memasang tas, aku sudah berlari menuruni tangga apartemen.
“Hah, segarnya...” desisku begitu sampai di luar. Sedih juga, aku terlihat seperti seorang napi yang baru menghirup udara bebas setelah bertahun-tahun di penjara. Ya, semua ini karena pekerjaan. Malang sekali aku memiliki bos yang tidak kenal ampun. Dia selalu memaksaku untuk membuat desain sesuai keinginannya. Bahkan dalam satu minggu ini saja, aku harus menyelesaikan 20 desain untuk winter mendatang. Bukannya diapresiasi, dia malah memarah-marahiku hanya karena satu desain yang tersiram kopi. Ah, lupakan tentang bos gila itu.
Sekarang adalah tentang aku dan Istanbul.
“Merhaba, Elsa. Kau mau pergi ke mana?” seseorang bertanya. Suara yang khas. Sepertinya aku tahu dia.
Aku menoleh. Benar saja. Dia Emre, tetangga apartemen yang paling cerewet. Entah takdir apa yang membuatku bisa bertetangga dengan pemuda Turki satu ini.
“Bukan urusanmu. Maaf, aku terburu-buru.” Ucapku mulai melangkahkan kaki.
Emre tertawa kecil, “Hati-hati. Kudengar ada demonstrasi di Gazi Park.” Katanya.
Langkahku terhenti. Perlahan aku melihatnya kembali. Emre masih berdiri di depan pintu apartemen, menatapku serius. “Sungguh?”
“Haha. Tentu saja tidak. Aku berbohong. Sana, pergilah. Katanya kau sedang terburu-buru.” Dia melambaikan tangan, lalu masuk begitu saja.
Lihatlah dia. Rasanya aku ingin melempar sepatu tepat ke hidungnya. Aku mendengus dan kembali berjalan. Demonstrasi di Gazi Park? Benar-benar tipuan yang licik. Tapi kenapa bisa tepat sekali? Seolah Emre sungguhan tahu ke mana aku akan pergi. Gazi Park adalah taman yang tidak jauh dari jalan Istiklal, dan sore ini, aku akan ke Istiklal. Itulah yang membuatku kaget ketika Emre mengatakan ada demo. Selama tinggal di Istanbul, sebisa mungkin aku ikut campur dengan masalah penduduk lokal. Demo atau apalah, sungguh aku tidak peduli.
Lima belas menit kemudian aku sudah sampai di stasiun Tunel. Dari sini siapapun boleh manaiki trem untuk menyusuri jalan Istiklal yang membentang sejauh 3 km. Tidak ada transportasi lain yang boleh melintas kecuali trem khusus berwarna merah. Aku sedang ingin jalan kaki, jadi kuputuskan tidak naik trem.
Ah, jalan Istiklal. Jalan kebanggaan masyarakat Istanbul. Jika Singapore memiliki Orchad dan London memiliki Regent, maka Istanbul punya jalan Istiklal ini. Dalam bahasa Turki, Istiklal berarti kemerdekaan. Masyarakat Turki menyebutnya Istiklal Caddesi. Caddesi artinya jalan berukuran sedang atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan avenue.
Pertama kali aku menginjak jalan ini sekitar dua tahun lalu, di hari ketiga kedatanganku di Istanbul. Saat itu aku belum berani jalan-jalan sendiri. Ada Desi, mahasiswi Indonesia yang berkuliah di Istanbul University yang kuajak untuk menemani. Dialah menjadi guide sekaligus penerjemah bagiku. Sebagai expat yang masih baru, tentu aku juga belum paham bahasa Turki sedikit pun. Aku juga tidak menyangka akan bekerja di negara ini. Tapi aku percaya semua yang terjadi di dunia bukanlah kebetulan semata. Mungkin Allah punya rencana yang lebih baik untukku, setelah peristiwa demi peristiwa menyakitkan yang pernah singgah dalam hidupku.
Lupakan itu. Sekarang aku hanya ingin bercerita tentang jalan Istiklal, jalan yang juga menjadi favoritku. Tiap kali menyusuri jalan ini bersama ratusan orang asing, aku selalu merasakan sensasi tersendiri. Mereka yang tidak memperdulikan satu sama lain, justru itulah yang kusukai. Seolah aku sedang berjalan sendirian di antara keramaian. Seolah aku tersesat di antara belantara manusia. Aku menikmatinya.
Aku menikmati saat rasa sakit kembali datang menusuk hatiku. Saat mataku perih dan merasa ingin menangis. Ya, jalan ini, meskipun sangat padat, ternyata selalu membuatku merasa sendirian. Aku butuh momen seperti ini. Momen di mana aku benar-benar bersama dengan diriku sendiri. Tidak ada pekerjaan, tidak ada desain, tidak ada deadline, tidak ada bos, tidak ada Emre, atau siapa pun mereka. Jalan ini benar-benar tentang aku dan diriku. Itu saja.
Tak terasa aku sudah berjalan cukup jauh. Aku melihat para wanita yang tertawa lebar sambil membawa tas belanja dari outlet ternama. Satu orang dari Zara, dua orang dari Mango, dan entah apa lagi. Aku tidak begitu familiar dengan brand seperti itu.
Lalu di sisi lain, terlihat orang-orang yang sedang menikmati kopi di balik kaca coffee shop yang mewarnai sepanjang jalan. Mulai dari yang sekelas Starbuck hingga coffee shop lokal. Ada tertawa dengan pasangan, bercerita bersama teman-teman, berdiskusi dengan kolega, atau menyendiri bersama laptop, menulis sesuatu, menyelesaikan pekerjaan, internetan, or whatever they wanna do.
Aku merapatkan coat, membenarkan letak kerudung. Kaki yang terbungkus bot hingga setengah tinggi lutut terus melangkah. Tiba-tiba sesuatu memaksaku berhenti. Hidungku menangkap aroma yang memikat.
“Oh, bunga.” Ucapku pelan.
Sebuah toko bunga berukuran sedang menarikku untuk mampir. Ada empat orang lain yang sedang memilih bunga di sana.
Bunga adalah hal yang paling kusukai di dunia ini. Melihat mahkotanya yang aneka warna, serta bau harum yang segar, selalu membuat suasana hatiku jadi lebih cerah. Tapi rumus ini tidak selalu benar, terkadang di saat aku butuh menangis, aku pun membeli bunga. Tidak ada orang lain yang memperhatikanku di dunia ini, dan ketika mendapati tak seorang pun membelikan bunga untukku, itulah yang ternyata berhasil menjatuhkan air mata.
Mereka bilang aku terlalu kaku, kurang pergaulan, tidak bisa berteman, egois, dan entah apa lagi. Karena itulah aku tidak punya seorang teman pun. Begitu terus, sejak aku kecil, hingga sekarang. Bahkan untuk setangai bunga, aku tak pernah berani mengharapkan ada seseorang membelikannya untukku, baik itu teman atau lelaki. Selama ini, saat ingin bunga, aku lah yang membeli untuk diriku sendiri.
Setelah memutar pandangan ke sana ke mari, pilihanku jatuh pada buket mawar berwarna merah muda. Demi sepuluh tangkai mawar dan hiasannya itu, aku harus mengeluarkan 11 lira. Tidak masalah.
Aku meninggalkan toko bunga itu dengan mawar di tangan. Berjalan sekitar 50 meter, gerbang Galatasaray yang kokoh sudah terlihat jelas. Itu adalah sekolah menengah atas paling populer di sini, karena sudah ada sejak tahun 1481. Gerbangnya yang megah selalu menarik hati para turis untuk berfoto di depannya.
Tak jauh dari Galatasaray High School, sampailah aku sebuah bangunan tiga lantai yang bernama Cicek Pasaji. Aku sering ke sini untuk menikmati kopi Turki, borek, atau iskender kebab favorit. Salah satu restoran di sini punya iskender kebab paling pas di lidahku. Tapi hari ini aku sedang tidak ingin makanan berat. Tadi selama di apartemen aku sudah banyak menghabiskan sharma yang tadi malam kubeli dari restoran dekat kantor.
“Aku ingin kopi Turki dan borek.” Pesanku pada sebuah cafe lalu mengambil tempat duduk yang masih kosong.
Sambil menunggu pesanan datang, aku meletakkan bunga di atas meja, kemudian mengamatinya. Terkadang aku mengambil bunga itu lagi dan menciumnya dalam-dalam. Tenang saja, tidak akan ada yang peduli padamu di sini. Semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing.
Di ujung sana ada seorang anak kecil yang sedang menikmati es krim bersama ayahnya. Mereka hanya berdua, tapi terlihat saling mengisi satu sama lain. Sang ayah adalah lelaki—yang kuterka—berumur 45 tahun. Ia dengan sabar mengelap es krim yang selalu saja belepotan di bibir putri kecilnya. Terkadang ia juga ikut belepotan saat putri kecil itu menyuapkan es krim sembarangan. Tapi ia tertawa, lalu mencium pipi putrinya dengan penuh kasih sayang.
Sesaat momen itu membuatku teringat pada Ayah. Dulu sekali, sebelum kehidupan melindasku dengan kejam, aku pun pernah merasakan momen-momen seperti gadis kecil itu. Saat aku memaksa ikut Ayah ke kantor, kemudian mengacaukan semua berkas-berkas di mejanya. Tapi ia sama sekali tidak marah, justru bilang pada semua pegawai bahwa aku putrinya yang paling pintar. Ayah adalah lelaki baik, terbaik malah, begitulah aku mengenalnya. Paling tidak hingga aku berumur 18 tahun.
Aku tidak percaya saat Ayah dan Ibu harus bercerai dengan alasan Ayah telah berselingkuh, bahkan ia telah menghamili wanita lain. Sejak itu aku membencinya, kukatakan padanya, bahwa aku bukan lagi putrinya. Entahlah, bagaimana kabar lelaki itu sekarang. Sudah hampir enam tahun aku tak pernah bertemu dengannya, juga tidak pernah berkomunikasi dalam bentuk apapun.
“Nona, ini pesananmu. Enjoy your meals.” Ucap seorang pelayan sedikit membuatku terkejut. Satu cangkir kopi Turki kini duduk manis di hadapanku. Aromanya khas, dan seketika menarikku untuk menyesapnya perlahan. Bersama kopi ini, ada juga satu piring borek, roti khas Turki yang kata orang, tidak ada roti yang kelezatannya melebihi borek di dunia ini.
Aku memutar pandangan. Arsitektur Cicek Pasaji selalu membuatku terpesona. Atap-atapnya yang melengkung, bunga-bunga gantung, deretan kursi di gang-gangnya, serta aroma berbagai makanan dan kopi. Hal yang paling mengesankan dari Cicek Pasaji adalah sejarahnya. Ia dibangun sekitar tahun 1876 di era Ottoman.
Dalam bahasa Inggris, Cicek Pasaji berarti Flower Passage. Dinamakan begitu karena memang dulunya di sini adalah lorong-lorong tempat berjualan bunga. Hingga kemudian setelah melewati rihlah panjang dari pemilik satu ke pimilik lain, pada tahun 1988, Cicek Pasaji dijadikan restoran dan cafe seperti sekarang. Keindahan dan sejarah itulah yang kemudian berpadu menjadi sihir yang sulit didapatkan di mana pun.
Hampir dua jam lamanya aku duduk di salah satu cafe bangunan Cicek Pasaji. Sekarang sudah masuk waktu Ashar. Sebaiknya aku pulang untuk mengejar shalat berjamaah di Masjid Biru. Setelah membayar bill, aku pun melangkah keluar.
Semakin sore, Istiklal memang semakin padat. Ribuan bahkan mungkin puluhan ribu manusia memadati kawasan ini.
Aku terus berjalan menyibak lautan manusia. Dan saat mataku menangkap seorang lelaki tua yang duduk di tepi jalan sambil memainkan alat musik, aku merasa tidak sampai hati. Beberapa lembar lira aku masukkan ke dalam kotak yang bertuliskan Tesekkur Efendim. Lelaki tua itu mengangguk padaku, mengucap salam, dan berkali-kali mengatakan terima kasih.
Inilah Istanbul. Jika kamu membayangkan kota ini adalah kota yang hanya dipenuhi sisi menakjubkan, kamu salah. Ada banyak hal yang telah menyentuh hatiku di sini, menyentuh dalam artian iba. Istanbul punya kehidupan jalanan, punya pedagang kecil yang hanya mendorong gerobak usang, lelaki tua dengan pakaian lusuh yang berjualan tisu atau memainkan alat musik tradisional, dan tak lupa, Istanbul juga punya gelandangan.
Aku sudah lelah. Saat menuliskan ini, jam di meja kerjaku menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Ini waktunya untuk tidur. Aku harus mempersiapkan banyak tenaga untuk bertemu bosku yang paling menjengkelkan itu. Lain kali aku akan menceritakan tentangnya padamu.
Istanbul, 23 Novemver 2015
No comments:
Post a Comment