Showing posts with label Turki. Show all posts
Showing posts with label Turki. Show all posts

Wednesday, 16 March 2016

5 Fakta tentang Ankara yang Harus Kamu Ketahui




Siapa yang tidak kenal Ankara, semua yang tahu Turki pasti tahu kota satu ini. Apalagi, Ankara adalah ibukota Turki itu sendiri. Meskipun kalau soal kepopuleran, Ankara kalah jauh dibandingkan Istanbul. Justru banyak orang awam pengetahuan tentang Turki beranggapan ibukota Turki itu ya Istanbul. 

Oh tidak kawan-kawan, mulai sekarang mari catat dengan baik, ibukota Turki itu Ankara. Dulu memang Istanbul itu dijadikan pusat pemerintahan, setidaknya di masa kekhalifahan Ustmani. Sampai akhirnya Ottoman ambruk dan digantikan republik, barulah Si Mustafa Kemal meminta ibukota dipindahkan ke Ankara. 

Alasannya sederhana, Istanbul itu kan identik dengan Islam, jadi Mustafa tidak mau pusat pemerintahannya ada bau-bau Islam. Istanbul harus disingkirkan. Sejak itulah Ankara didaulat jadi pusat administrasi Turki. Tapi kalau soal wisata, Ankara tidak ada apa-apanya. Jangan heran kalau kamu booking paket wisata Turki, Ankara tidak masuk dalam jadwal. Biarpun begitu, bukan berarti sama sekali tidak ada hal menarik yang bisa dijumpai di sana. Berikut beberapa fakta Ankara yang mungkin bisa menarik perhatianmu untuk backpacker ke sana. Have a look yes!

Wednesday, 6 January 2016

HADIAH DARI TURKI



“Hendaklah kalian saling memberi hadiah, agar kalian saling mencintai.” (HR. al-Bukhari)

Beberapa bulan lalu aku sudah menuliskan tentang sahabatku Elif di sini. Dan sekarang adalah kelanjutannya. Seperti yang kutuliskan di sana, Elif memaksa ingin mengirimkan hadiah kecil dari negaranya, Turki. Setelah melewati tawar menawar yang cukup sengit, karena aku sungguh tidak mau menyusahkan dia, pada akhirnya aku menyerah juga. Terlebih setelah di memohon, “Lutfen, Sofia. Please, Sofia.”

Orang Turki memang terkenal suka memberi hadiah. Aku baca di blog Muslimah yang sedang kuliah di sana, katanya orang Turki suka nggak naggung-nanggung kalau kasih hadiah. Pada bulan Ramadhan, mereka saling berlomba-lomba membagikan makanan buat iftar. Lalu saat menjelang lebaran, ada juga yang memberikan pakaian dan sebagainya. Bahkan Si Muslimah Indonesia ini pernah menerima paket pakaian senilai jutaan dan tiket pulang ke Indonesia. Segitunya, ya?

Biar kata negaranya menganut paham sekuler, tapi jangan lupa, masyarakat Turki itu punya leluhur yang taat-taat di jaman Ottoman. Jadi tradisi silaturrahim sampai memberi hadiah seperti sudah turun temurun dalam darah mereka. Memang banyak yang pilih hidup bergaya Barat, nggak shalat, tapi tetap saja lho, mereka itu menjunjung tinggi slaturrahim dan saling memberi hadiah. Mereka juga kerap menyebut ‘Insya Allah, masya Allah, Allah, dsb’ dalam percakapan sehari-hari. Mungkin lebih sering dari kita. Kalau nggak percaya, kroscek aja di sinetron Turki yang sekarang lagi ngetren.

Kembali ke tradisi memberi hadiah, dalam Islam sendiri hukumnya sunnah. Itulah yang dikatakan Elif ketika aku menolak untuk memberikan alamat padanya. 

“Ini hanya hadiah kecil. Lagipula memberi hadiah itu sunnah. Ayo, berikan alamatmu.” Tulis Elif di whatsapp.

Apalah daya, akhirnya aku pun memberikan alamat rumah padanya. Dia mengirim hadiah itu pada 24 November, dan aku menerimanya pada 31 Desember lalu. 

Cukup lama ya...?

Yup, karena adalah human error di kantor pos Jakarta, jadi paket itu terkirim ke Pekanbaru. Mungkin mereka pikir Bintan itu ada di provinsi Riau. Saat aku ngecek sekitar tanggal 21 Desember, petugas pos langsung melakukan penelusuran dalam sistem mereka, dan memberi tahu kalau paket itu sedang dalam perjalanan dari Pekanbaru ke Bintan, Kepulauan Riau. Ribet banget. But it’s okay. Selagi paket itu bisa sampai, aku sudah bersyukur.

Tepat di penghujung 2015, aku menerima satu buah kardus biasa dari petugas pos. Uh, biar kata hanya kardus, tapi ini dari Turki. Perjalanan nih kardus lebih jauh daripada perjalanan yang pernah kulakukan seumur hidup. Aku pun membukanya dengan super hati-hati, sekaligus nggak sabaran.

Oh, Elif. Dia memang sangat manis. Di dalam kardus itu, ada sebuah kotak berbentuk ‘love’ dengan warna biru. Motifnya bunga mawar. Aku sampai mbrebes lihatnya. Lagi-lagi aku bilang, ini kotak love dari Turki. Iya dari Turki. Sebelum tanganku menyentuhnya, ada sahabatku yang merupakan wanita Turki juga telah menyentuhnya.

Semua itu adalah hal yang sangat menakjubkan. Aku tidak pernah menilai apa saja yang ia kirimkan, karena bagiku kotak itu adalah perwujudan dari cinta, ketulusan, dan persahabatan. 

Aku membukanya. 

Aduuuh... banyak sekali.

Sepertinya Elif menyukai pernak-pernik lucu. Dia mengirimkan handuk kecil berenda, sapu tangan khas Turki, hijab, tasbih, gelang, kalung, kartu pos, cokelat, biskuit, permen, lilin, kaos kaki, magnet kulkas inisial nama, gantungan kunci, dan krim pelembab sari mawar. Satu hal yang kusayangkan, cokelatnya sudah rusak karena—mungkin—paket itu terhempas ke sana sini selama di perjalanan. 



Pagi itu aku dilanda euforia banget. Langsung cekrek foto-foto dan kukirimkan ke Elif. Sampai sekarang aku sering buka kotaknya, lalu mencium handuk atau hijab yang dia beri. Baunya khas banget. Terkadang sambil mencium aroma dari dalam kotak itu, aku membayangkan Istanbul.

Kota itu, sampai hari ini aku masih bermimpi besar untuk mengunjunginya. Mungkin sekarang belum bisa, tapi aku yakin, sangat yakin, suatu hari nanti aku akan datang ke sana. Aku akan bertemu dengan sahabatku Elif. Mungkin kita akan menikmati segelas teh bersama, dan hmm semangkok ramen.

Ramen di Turki? 

Aneh?

Ya, ini karena aku pernah memasukkan foto tumis ubur-ubur dalam Instagram. Ada sumpit di sampingnya. Nah, Elif nyangkanya itu ramen. Dia pun mengirimkan foto satu cup ramen instan yang sudah diseduh dengan chopstick di atasnya.

“Sofia, I love ramen too.” Tulisnya.

“Semoga suatu hari nanti kita bisa makan ramen bersama.” Balasku.

“Oh, Sofia. Insallah...”

Sahabatku Elif, kau mungkin tidak tahu betapa aku sangat berterimakasih untuk sagalanya. Untuk persahabatan dan hadiah yang kau kirimkan. Terimakasih karena kau telah membuat Turki begitu dekat denganku. Dalam satu kotak biru yang kau kirimkan itu, kau tidak hanya menyertakan cinta dan persahabatan, namun juga seluruh impian dan cita-citaku... Kau telah mengirimkan Turki untukku...

Lots of Love
Sofia

Monday, 14 September 2015

Kucuk Gelin: Ali-Zehra Couple



Ali ve Zehra. Sumber: @gokhanshn58

Bulan demi bulan udah lewat, dan sekarang mungkin udah hampir empat bulan sejak tau sinetron ini tayang di SCTV, aku masih belum bisa move on. Sekarang udah nggak tayang di tivi Indonesia, karena rating-nya jelek waktu itu. Padahal kalau mereka mau sabar dikit aja, aku jamin ratingnya bisa naik drastis. Tapi yeah, kita mah apa atuh. Stasiun tivi juga bukan milik sendiri. Hihi

Walaupun udah nggak tayang, aku sangat mengapresiasi grup fans Kucuk Gelin, karena sampai sekarang mereka masih kompak dan aktif. Soal usaha agar SCTV nayangin lagi, udah sering banget kita lakuin.  Udah berkali-kali kita nge-tweet pake tagar #SaveZehraSCTV, tapi tetep aja deh tuh stasiun tivi kagak mau berkorban and sabar dikit. Meskipun begitu, kita cukup terhibur karena ada youtube, jadi bisa nonton kapan aja dan di mana aja. Nggak ada subtitle pun nggak peduli. Sok sok paham aja sama omongan mereka. Belajar memahami bahasa tubuh (duh, ngenes banget, ya?). 

Di youtube, channel yang nayangin sinetron ini cukup banyak cause udah diadopsi oleh beberapa negara, kayak Pakistan dengan judul Masoom, Arab Saudi dengan judul Zahrat Al Kadr, Serbia, dan lain-lain. Setahuku sih, kita bisa nonton youtube dari channel Kucuk Gelin, Samanyolu TV, Kure TV, Hira TV, dan buanyak lagi channel berbahasa Arab; kalau mau streaming ya di webnya Kure TV.  Tapi ya itu, no subtitle. Ada subtitle bahasa Arab oleh orang Arab sana, sayangnya pake pengaturan permanen, jadi nggak bisa alih bahasa. So sad...

Sekarang aku mau bahas tentang Ali Zehra, karena kuperhatikan fans mereka banyak banget, jadi lumayan buat ningkatin statistik blog (licik). Bagi haters, my blog doesn’t have space for you! I’ll delete very soon if any comment by haters. Kalau nggak suka ya ngga perlu ditonton, repot banget sampai menjelekkan-jelekkan. Dunia ini udah pengap, ditambah haters, duh tambah bikin sesak napas.

So, guys, biarkan saja haters sibuk sendiri. Waktu kita terlalu berharga buat ngurusin anak-anak alai yang kebanyakan nggak pernah dapat ranking di kelas plus pada males bikin PR (hihi). Daripada sibuk banget menghina, mending sono cari cara buat foto yang bagus. Udah nggak jaman tuh foto profil diedit pake bunga-bunga dan lope-lope. Terus kalau ngefan, nggak perlu fanatik juga kali. Jadilah penonton yang dewasa, okay?

Untuk pasangan Ali-Zehra, aku nggak terlalu berharap mereka bakal akur atau mencintai satu sama lain di akhir nanti. Karena memang tujuan sinetron ini bukan untuk itu. Kebayang ya kalau dibikin manis ceritanya, ntar semua anak ingusan pada minta nikah lagi. Kan gawat! Justru sinetron ini sebagai gambaran buat sebagian masyarakat Turki yang punya tradisi menikahkan anak di bawah umur. Ini lho bahayanya pernikahan bawah umur.
Ali ve Zehra @Gokhanshin58
Sejak pertama tayang, Ali dalam Kucuk Gelin digambarkan sebagai pemuda yang suka berontak dan nggak nurut. Kelumpuhan jadi sebab utama sifat temperamennya. Dikit-dikit marah. Udah nikah sama Zehra, dia mulai labil. Kadang jahat, suka banting-banting, dan kadang baiknya minta ampun. Ali baik ke Zehra karena istrinya itu sering bantuin dia untuk ketemuan sama Suna (pacarnya Ali). Tapi setelah Suna ditembak oleh abangnya sendiri, Ali kembali ke sifat awal. Nggak pernah lagi baik ke Zehra setulus dulu. Sampai akhirnya mereka punya anak, Ali masih sulit ditebak sifatnya. Kadang baik, kadang jahat. Sering jahatnya.

Ali punya ketergantungan dengan obat-obatan, jadi kalau dia habis minum pil-pil dia bakal kehilangan kesadaran. Nggak tau apa yang dia lakuin. Dia juga suka judi. Lengkap ya kejelekannya? Dia pernah mukulin Zahra yang lagi gendong Cemal (anak mereka) sampe babak belur. Tapi pas di rumah, dia minta maaf. Waktu dia kalah judi sampe ngutang banyak banget ke om-om. Hingga akhirnya Zehra diambil si om sama komplotannya buat dijual. Tapi Ali? Dia lemah banget. Bini mau dijual, dia tetap tenang-tenang sajah. Nyebelin, kan?

Di antara setumpuk sifat jelek, terkadang Ali juga baik ke Zehra. Waktu tangan Zehra kesentuh panci panas, Ali mau ngebantuin. Sayangnya Zehra kagak mau. Waktu Zehra pengen keluar ketemu ibunya, Ali juga mau nemenin dan pura-pura mereka sedang ngajak Cemal jalan-jalan. Supaya nggak ketahuan sama orang rumah kalau Zehra mau ketemu ibunya. Sifat Ali yang sulit ditebak inilah yang bikin aku nggak bisa berpaling dari sinetron ini. Jadi penasaran, episode selanjutnya dia baik apa jahat,dan begitu terus sampai sekarang udah episode 86. 
 
Ali ve Zehra. Sumber: @Caglasimsek1
Oh ya, bagi yang belum tau, Zehra diperanin oleh Cagla Simsek, artis Turki yang udah main sinetron sejak kecil banget. Sedangkan Ali diperanin oleh Gokhan Sahin yang masih newbie di dunia persinetronan Turki.  Kucuk Gelin ini drama pertama yang dimainkan Gokhan, dia juga pernah ada di TV SHOW  berjudul Roman Havasi. Tapi nih, baik di Kucuk Gelin maupun Roman Havasi, Gokhan selalu jadi pemain pembantu. Sabar ya Gokhan, insya Allah nanti bisa tuh dapat tawaran jadi pemeran utama. Syukur-syukur mainnya sama Cagla Simsek.

Di dunia nyata, Cagla pernah beberapa kali post foto mereka berdua di facebooknya. Sedangkan Gokhan? Duh dia rajin banget post foto bareng Cagla. Kadang foto beneran, kadang foto yang dia ambil dari adegan-adegan dalam Kucuk Gelin. Sampai bertanya-tanya, Gokhan ini beneran suka Cagla apa hanya sekadar trik agar fotonya di-like banyak orang? Hanya Gokhan dan Allah yang tahu. Hihi...

Sekarang mereka udah masuk season 3. Ada dua pemain tambahan yang jadi ayah Zehra dan ibu tirinya. Dua-duanya aktor terkenal di Turki. Dua hari lalu, Cagla masukin fotonya bareng Gokhan dengan pose yang sama, plus sepatunya juga sama-sama sepatu sport. Lalu beberapa saat kemudian, gantian Gokhan yang post fotonya bareng Cagla duduk di sofa bareng dua orang lain. Tapi jreng-jreng, foto selanjutnya Gokhan nge-crop foto tadi hingga yang terlihat wajahnya dia sama Cagla doang. Sampe bela-belain nge-crop, nih. Tadi malam, Gokhan kembali ngepost fotonya bareng Cagla. Kali ini sudah pake pakaian syuting. Gokhan yang awalnya brewokan sampe mirip Mustafa di Muhtesem Yuzyil, langsung menjelma botak kayak yang kita lihat di episode 83. Di belakangnya ada Zehra dengan pakaian yang sama seperti di episode terakhir season 2. Makin nggak sabar pengen lihat kelanjutannya.
 
Ali ve Zehra. @Caglasimsek1
Tetep kompak ya, Gokhan-Cagla, Zehrali Lovers, Zahra Lovers, dan kalian yang masuk di grup Kucuk Gelin. Jangan ikut-ikutan nge-bully kalau grup sinetron sebelah nge-bully. Kita lihat sampai kapan sinetron ini akan bertahan di rating 3 besar Turki dan bagaimana akhir kisahnya nanti. Semoga happy ending dan peran Ali nggak dimatiin kayak si Azad. 

Bagi yang punya waktu nonton, sekarang udah banyak sinetron Turki di Indonesia. Ada Geng Damai di RCTI, Elif di SCTV, Cinta di Musim Cherry di Trans, dan Shehrazat di Antv. Tinggal pilih dan enjoy! Aku sih nggak ada waktu buat nonton, jadi hanya ngikutin Kucuk Gelin satu-satunya. Happy watching and always keep loving peace. 
Ditulis sekitar satu bulan lalu, 
dan baru sempat ngepost sekarang.

Wednesday, 22 July 2015

Fiksi: Tuhan, Mengapa Aku Tak Bisa Melihat-Mu?




Siang ini suhu Istanbul mencapai angka 32 derajat, cukup panas bagi aku yang terbiasa dengan udara sejuk tanah kelahiranku, Rusia. Setelah lelah berdesak-desakan dengan para turis yang memadati jalan Istiklal, aku memilih menyendiri di sebuah cafe yang berada di wilayah Cingelkoy. Boon Restaurant & Cafe. Seorang temanku yang berkuliah di MGU pernah merekomendasikan tempat ini. Ternyata dia tidak salah. Letaknya yang tepat berada di pinggir Golden Horn dengan view jembatan Galata membuat cafe ini sangat istimewa. Semua pengunjung yang memilih meja di luar bisa menikmati makanan sambil menyaksikan lanskap kota klasik ini dengan jelas. 

Langkah cepatku segera menyusup ke dalam pintu cafe. Udara di luar membuat keringatku meleleh tak ubahnya es yang dijemur di bawah terik. Mataku segera berkeliaran mencari kursi yang tepat untuk diduduki. Ternyata sulit mencari tempat kosong di dalam sini. Semuanya sudah terisi penuh.

Seorang pelayan menangkap basah aku yang sedang kebingungan, dengan ramah ia rekomendasikan sebuah meja dengan dua kursi di luar sana. Oh, shit. Di luar memang menyenangkan, tapi rasanya tidak untuk waktu sesiang ini. Aku butuh pendingin ruangan.
“Di sana tidak panas. Percayalah.” Pelayan tadi memberi tahu. Sepertinya dia pandai menangkap kekhawatiranku.
Kusunggingkan sebuah senyum, lebih kepada senyuman tidak percaya, namun aku tetap melenggang ke luar, menuju meja yang ia tunjuk. Setelah duduk di sana, aku dibuat kaget karena benar di sini sama sekali tidak panas. Dengan sebuah payung besar ditambah embusan angin dari tiga penjuru laut yang mengelilingi Istanbul, duduk di sini benar-benar menyenangkan. Sejuk dan segar. Kuucapkan terima kasih pada pelayan baik hati yang mengekorku hingga ke meja ini. Ia mengangguk, berkata ‘Rica ederim’ lalu menyodorkan buku menu dengan takzim. 

View from Boon Reastaurant & Cafe (Photo by Elif Kubra Genc)

“Aku ingin cay, smothies kiwi dan pisang, puding nasi, serta buah yang disiram minyak zaitun.” Ucapku sambil menunjuk satu per satu menu yang kupesan dengan cepat.
Pelayan tadi pergi setelah memintaku untuk menunggu beberapa saat. Mataku segera beralih mengamati siapa saja pengunjung yang duduk di luar sini. Sebagian besar adalah turis manca negara. Aku bisa tahu dari percakapan sesama mereka yang menggunakan bahasa Inggris, Jerman, Prancis, dan sebagainya. Hanya dua meja di sudut kiri yang diisi oleh tiga pemuda dan dua gadis Turki. 

Aku menarik napas, lalu mengembusnya perlahan. Kubiarkan mataku terpejam selama beberapa saat. Suara gagak laut terdengar nyaring saling bersahutan, juga deburan ombak dari kapal-kapal yang sedang menuju atau meninggalkan pelabuhan. Istanbul sayang. Sebuah kota yang mampu kusebut sebagai ‘home’ hanya dengan mengunjunginya beberapa kali saja. Suasana yang tidak pernah kudapatkan di tempat lain, bahkan di kota kelahiranku St. Petersburg. Aku selalu rindu pada suara-suara yang dihasilkan kota ini, juga pada lantunan azan setiap lima kali dalam sehari. Seolah suara azan tersebut adalah ‘pause’ bagi segala aktifitas manusia, meminta kita untuk sejenak berhenti dan menarik napas dengan lapang. 

Tidak berapa lama pelayan tadi datang dan membawakan semua pesananku. Sekali lagi aku berseru ‘Cok sagolun’ padanya. Teh yang disajikan dalam gelas kaca berbentuk tulip ini seperti tidak sabar untuk kuseruput. Aku menyesapnya, membiarkan setiap tetesnya menyentuh saraf-saraf di mulut dan kerongkonganku. Bahkan tehnya saja membuatku rindu setengah mati. Sejak datang ke sini lima tahun lalu untuk menghadiri sebuah konferensi, baru sekarang aku mendapat kesempatan kembali menginjakkan kaki di Istanbul. Kedatanganku kali ini bukan tanpa tujuan. Stasiun televisi tempatku bekerja di Moscow memintaku untuk mencari informasi tentang perkembangan Islam di negara ini. Sudah bukan rahasia umum, beberapa tahun terakhir semua masyarakat Turki memang berduyun-duyun kembali pada ajaran agama Islam yang selama ini mereka tinggalkan. Banyak madrasah Islam kembali dibangun. Al Quran diajarkan di sekolah-sekolah, demikian pula bahasa Turki-Ustmani yang dulu sempat dihapus Mustafa Kemal Ataturk hanya dalam satu malam.
Tanpa sadar aku sudah menghabiskan setengah gelas teh. Sambil tanganku meletakkan gelas teh, bibirku tersenyum kesal. “Kenapa harus aku yang ditugaskan untuk meliput informasi mengenai agama? Meskipun aku sendiri seorang Muslim sejak lahir, tapi aku tidak mencintai agamaku. Aku tidak bisa mencintai Tuhan yang tidak tampak! Aku juga tidak bisa percaya pada Malaikat, hari akhir, hari pembalasan, surga dan neraka, serta segala hal yang tidak kasat mata. Selama ini aku hanya tahu diriku sebagai Muslim tanpa pernah paham apa Muslim itu sebenarnya. Lalu bagaimana bisa aku mengumpulkan berita tentang Muslim di negara ini? Kalaupun bisa, aku tak mungkin berhasil mengerjakannya dengan sepenuh hati.” Keluhku dalam hati.
“Good day. May i sit here?” seorang wanita berambut panjang, cokelat, dan keriting, bertanya sambil menunjuk kursi kosong di hadapanku. Wajahnya sangat jelita. Seandainya dia adalah pahatan, tentu si pemahat adalah seorang seniman ulung. Tak ada cacat sedikit pun yang tertangkap mataku dari parasnya.
Kuanggukkan kepala, sedikit tersenyum mempersilakan. Ia segera memesan secangkir kopi turki, lemonade, dan salad buah. Mataku menatap sebuah kapal yang mengarungi Golden Horn, sebisa mungkin agar tidak dianggap sedang memperhatikan wanita di depan.

Photo from Boon Restaurant & Cafe's instagram
“Halo. My name is Alena Izetbekovic, from Serbia.” Ia mengulurkan tangan dengan ramah, membuatku terkejut.
Mau tidak mau aku menyambutnya, “I am Stefani Kadyrov from Rusia.” Aku turut memperkenalkan diri.
“Nice to meet you, Stefani.” Katanya lagi.
Aku membalas, “Nice to meet you too, Alena.”
Menit-menit selanjutnya aku disibukkan mendengar cerita panjang Alena. Sambil mengunyah potongan buah ia menceritakan tujuannya datang ke Istanbul. Ternyata dia adalah seorang desainer pakaian wanita yang cukup terkenal di Serbia sana, bahkan pembelinya banyak yang berasal dari Turki dan UEA. Ia datang ke sini tidak lain untuk mengamati mode fashion para wanita Turki untuk koleksinya di musim semi mendatang.
“Kamu membuat pakaian untuk wanita Muslim?” tanyaku.
“It is just a business, Stef. Awalnya aku hanya memanfaatkan peluang.” Ia menjawab sambil tertawa kecil sebelum melanjutkan kalimatnya, “Tapi, lama kelamaan, aku benar-benar jatuh cinta pada modest fashion hijab. Kau lihat, sekarang ini musim panas, tapi aku memilih mengenakan celana panjang berbahan katun dan sebuah tunik yang juga panjang. Satu tahun terakhir, aku merasa malu tiap kali keluar rumah dengan pakaian pendek.”
“Are you a Moslem?” aku bertanya cepat. Awalnya aku menebak ia seorang kristian, tapi setelah mendengar ia bercerita, aku jadi sangsi.
Secepat kilat ia menggeleng, “Dulunya aku seorang Kristian, tapi sekarang aku belum beragama.”
Aku membulatkan bibir sambil mengangguk. “Menjadi atheis memang lebih baik. Kau tidak dituntut untuk percaya pada sesuatu yang tidak bisa kau lihat. Itu semua membuatmu benar-benar gila.” Aku memprovokasi.

Sejenak Alena mengeryit, heran pada ucapanku. “Contohnya?”
“Tuhan.” Jawabku cepat dan jelas. “Aku seorang Muslim dan sejak kecil orangtua memintaku menyembah Tuhan yang tidak pernah kulihat, dan sampai mati tidak bisa kulihat. Termasuk juga para malaikat, surga, neraka, semuanya yang belum pasti ada atau tidak. Aku dituntut untuk mempercayai itu semua.” Keluhku dengan wajah lelah.
Alena tersenyum bijak. Ia menarik cangkir kopinya, lalu menyeruput satu kali. Selama satu menit ke depan ia membiarkan kami berdua sama-sama diam, menyaksikan gagak-gagak laut yang terbang rendah di dekat kami.
“Apa menurutmu bayi yang masih di dalam kandungan memiliki mata?” ia bertanya.
Aku yang belum mengerti ke mana arah pembicaraan Alena secepat mungkin menjawab iya. “Aku seorang jurnalis profesional. Informasi mengenai medis hingga teroris sudah akrab dengan hari-hariku, Alena. Bayi yang berada dalam rahim ibunya jelas memiliki mata, kecuali kalau dia cacat. Hanya saja mata tersebut tidak bisa digunakan untuk melihat. Kau mau tahu, berapa usia bayi saat dia mampu melihat normal seperti kita saat ini?” aku justru kembali bertanya dengan semangat.
“Memangnya berapa?”
“11 hingga 12 bulan.” Aku menjawab mantap, mengangakat tangan, seolah-olah akulah yang menulis jurnal penelitian tentang hal itu. “Saat di dalam rahim, penglihatan bayi belum berfungsi. Begitu ia lahir, ia hanya dapat melihat pada jarak 20 sampai 25 cm saja. Mulai bulan ketiga dan keempat, kedua mata bayi dapat melihat perincian dan mulai mampu mengamati serta mengenal yang dilihatnya. Bulan ketujuh dan kedelapan, pandangan bayi telah mencapai perkembangan pesat sehingga ia bisa melihat benda-benda yang sangat kecil. Namun kesempurnaan penglihatan bayi baru tercapai saat umurnya 11 hingga 12 bulan.”
Kulihat Alena mengangguk. “Lalu saat kamu tidak mampu melihat Tuhan, kenapa mengeluh?”

Pertanyaan Alena mengunci bibirku. Aku seperti seekor burung yang beberapa saat lalu terus mengoceh lantang, dan sekarang diam seribu bahasa. Kini aku paham kenapa Alena mengajukan pertanyaan mengenai kemampuan penglihatan bayi padaku.
“Kita sama seperti bayi tadi, Stef. Butuh tahapan untuk bisa melihat dengan sempurna. Penglihatan kita yang secara ilmu pengetahuan sudah sempurna ini, pada dasarnya masih terbatas. Masih ada tabir yang belum dibuka sehingga tidak semua bisa kita lihat. Bayi sudah memiliki mata sejak di dalam rahim, tapi fungsi mata tersebut masih terbatas. Sang Pemberi Hidup tahu kapan waktu yang tepat untuk mata tersebut bisa berfungsi seutuhnya. Seandainya semua manusia bisa melihat Tuhan Yang Satu, menurutmu siapa yang akan ingkar? Seandainya semua manusia bisa melihat malaikat dan segala yang ghaib, siapa lagi yang tidak mempercayai kitab suci? Para iblis akan kehilangan pengikut, neraka pun tidak akan memiliki penghuni. Tuhan sengaja tidak memperlihatkan wujudnya kepada manusia, Stef. Pertama, karena memang mata kita belum diberi kemampuan untuk itu. Kedua, Dia ingin melihat siapa yang bersedia patuh dan siapa yang ingkar. Dalam sebuah ayat Al Quran disebutkan, ‘Sesungguhnya engkau berada dalam keadaan lalai dari ini, maka Kami telah singkapkan darimu tabir matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.’ Dari sini kita tahu bahwa nanti di kehidupan selanjutnya, fungsi mata kita baru akan berfungsi seutuhnya. Di sanalah kita bisa melihat segala yang engkau pertanyakan tadi. Bagi yang menjalankan perintah Tuhan, mereka akan bergembira. Bagi yang ingkar, mereka akan tercengang, tidak percaya, kemudian minta diberi kesempatan untuk hidup di dunia satu kali lagi.” Alena berkata panjang.
Angin dari Bosphorus menyapu wajah kami. Mataku kabur. Aku tidak percaya penjelasan Alena barusan seperti kupasan bawang yang membuatku berkaca-kaca.
“Stef.” Panggilnya lirih. “Meskipun saat ini mata kita tidak bisa melihat Tuhan, namun mata hati kita bisa. Kita bisa melihat wajah Tuhan yang ada di mana-mana. Kamu lihat burung-burung yang terbang itu, bagaimana ia bisa tertahan di udara padahal tidak ada yang menahannya? Kamu perhatikan bagaimana hujan yang berasal dari laut bisa menjadi tidak asin sama sekali? Kamu perhatikan bagaimana semut membangun rumahnya di dalam tanah, bagaimana ia bisa begitu rapi dan terorganisir dengan baik? Kamu perhatikan milyaran hingga triliunan benda-benda angkasa, bagaimana bisa mereka berjalan sesuai perhitungan yang seimbang sehingga tidak bertabrakan satu sama lain? Semua itu adalah bukti keberadaan-Nya, Stef.”
“Lalu kenapa kamu sendiri memilih menjadi atheis?” tanyaku.
Alena diam sejenak sebelum menjawab. “Atheis adalah sebutan bagi mereka yang tidak mengakui Tuhan. Aku mengakui Tuhan, Stef. Tadi kukatakan padamu bahwa aku belum beragama, bukan atheis.”
“Kau mengakui Tuhannya orang Islam?” kejarku dengan pertanyaan.
“Memangnya ada banyak Tuhan? Aku tidak menyebut tuhannya agama ini, tuhannya agama itu, Stef. Karena aku percaya Tuhan itu hanya satu. Aku merasa Islam adalah agama yang paling cocok dengan semua pemikiranku. Tapi untuk ber-Islam, aku juga harus bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Tuhan. Itulah yang belum aku bisa. Setelah menamatkan Al Quran dalam waktu satu tahun ini, sejak kemaren aku mulai membaca buku ini.” Ia menarik sebuah buku dari dalam tasnya.
Aku membaca judulnya, Muhammad yang ditulis oleh Martin Lings. Ini salah satu buku sejarah tentang nabi Muhammad paling lengkap yang pernah ditulis, mampu mencuri perhatian Universitas Al Azhar dan penulisnya menerima bintang kehormatan dari presiden Hosni Mubarak.
“Mungkin seperti inilah caraku untuk mengenal Muhammad.” Ucap Alena sambil mengelus halaman depan buku dengan ujung jarinya.
Aku tersenyum, menarik kedua tangannya dan mendekap dengan tanganku. Dalam hati aku mengucapkan rasa syukur atas pertemuan dengannya di hari yang terik ini. Tidak ada sesuatu yang kebetulan di muka bumi ini, termasuk pertemuanku dengan Alena. Barangkali Allah sengaja mengirimkannya untuk menyadarkan manusia sepertiku.
“Alena sayang. Semoga Allah memudahkan jalanmu.” Ucapku tulus.
“Aamiiin. Semoga Allah melimpahkan cinta yang luas dan cahaya yang terang ke dalam hatimu.” Sambungnya.
Angin dari Bosphorus bertiup, menerbangkan rambutku dan rambut Alena dengan lembut. Kami sama-sama tersenyum, berjanji akan saling menjaga komunikasi meski sudah kembali ke negara masing-masing nantinya.



Ditulis pada 22 Juli 2015 dengan referensi Tafsir Al Misbah Volume 13 pada surah Qof.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...