Siang ini suhu Istanbul mencapai angka 32 derajat,
cukup panas bagi aku yang terbiasa dengan udara sejuk tanah kelahiranku, Rusia.
Setelah lelah berdesak-desakan dengan para turis yang memadati jalan Istiklal,
aku memilih menyendiri di sebuah cafe yang berada di wilayah Cingelkoy. Boon
Restaurant & Cafe. Seorang temanku yang berkuliah di MGU pernah
merekomendasikan tempat ini. Ternyata dia tidak salah. Letaknya yang tepat
berada di pinggir Golden Horn dengan view jembatan Galata membuat cafe ini
sangat istimewa. Semua pengunjung yang memilih meja di luar bisa menikmati
makanan sambil menyaksikan lanskap kota klasik ini dengan jelas.
Langkah cepatku segera menyusup ke dalam pintu
cafe. Udara di luar membuat keringatku meleleh tak ubahnya es yang dijemur di
bawah terik. Mataku segera berkeliaran mencari kursi yang tepat untuk diduduki.
Ternyata sulit mencari tempat kosong di dalam sini. Semuanya sudah terisi
penuh.
Seorang pelayan menangkap basah aku yang sedang
kebingungan, dengan ramah ia rekomendasikan sebuah meja dengan dua kursi di
luar sana. Oh, shit. Di luar memang menyenangkan, tapi rasanya tidak untuk
waktu sesiang ini. Aku butuh pendingin ruangan.
“Di sana tidak panas. Percayalah.” Pelayan tadi memberi tahu. Sepertinya dia pandai menangkap kekhawatiranku.
Kusunggingkan sebuah senyum, lebih kepada senyuman
tidak percaya, namun aku tetap melenggang ke luar, menuju meja yang ia tunjuk. Setelah
duduk di sana, aku dibuat kaget karena benar di sini sama sekali tidak panas. Dengan
sebuah payung besar ditambah embusan angin dari tiga penjuru laut yang
mengelilingi Istanbul, duduk di sini benar-benar menyenangkan. Sejuk dan segar.
Kuucapkan terima kasih pada pelayan baik hati yang mengekorku hingga ke meja
ini. Ia mengangguk, berkata ‘Rica ederim’ lalu menyodorkan buku menu dengan
takzim.
View from Boon Reastaurant & Cafe (Photo by Elif Kubra Genc) |
“Aku ingin cay, smothies kiwi dan pisang, puding nasi, serta buah yang disiram minyak zaitun.” Ucapku sambil menunjuk satu per satu menu yang kupesan dengan cepat.
Pelayan tadi pergi setelah memintaku untuk
menunggu beberapa saat. Mataku segera beralih mengamati siapa saja pengunjung
yang duduk di luar sini. Sebagian besar adalah turis manca negara. Aku bisa
tahu dari percakapan sesama mereka yang menggunakan bahasa Inggris, Jerman,
Prancis, dan sebagainya. Hanya dua meja di sudut kiri yang diisi oleh tiga pemuda
dan dua gadis Turki.
Aku menarik napas, lalu mengembusnya perlahan. Kubiarkan
mataku terpejam selama beberapa saat. Suara gagak laut terdengar nyaring saling
bersahutan, juga deburan ombak dari kapal-kapal yang sedang menuju atau
meninggalkan pelabuhan. Istanbul sayang. Sebuah kota yang mampu kusebut sebagai
‘home’ hanya dengan mengunjunginya beberapa kali saja. Suasana yang tidak
pernah kudapatkan di tempat lain, bahkan di kota kelahiranku St. Petersburg. Aku
selalu rindu pada suara-suara yang dihasilkan kota ini, juga pada lantunan azan
setiap lima kali dalam sehari. Seolah suara azan tersebut adalah ‘pause’ bagi segala
aktifitas manusia, meminta kita untuk sejenak berhenti dan menarik napas dengan
lapang.
Tidak berapa lama pelayan tadi datang dan
membawakan semua pesananku. Sekali lagi aku berseru ‘Cok sagolun’ padanya. Teh
yang disajikan dalam gelas kaca berbentuk tulip ini seperti tidak sabar untuk
kuseruput. Aku menyesapnya, membiarkan setiap tetesnya menyentuh saraf-saraf di
mulut dan kerongkonganku. Bahkan tehnya saja membuatku rindu setengah mati. Sejak
datang ke sini lima tahun lalu untuk menghadiri sebuah konferensi, baru
sekarang aku mendapat kesempatan kembali menginjakkan kaki di Istanbul.
Kedatanganku kali ini bukan tanpa tujuan. Stasiun televisi tempatku bekerja di
Moscow memintaku untuk mencari informasi tentang perkembangan Islam di negara
ini. Sudah bukan rahasia umum, beberapa tahun terakhir semua masyarakat Turki
memang berduyun-duyun kembali pada ajaran agama Islam yang selama ini mereka
tinggalkan. Banyak madrasah Islam kembali dibangun. Al Quran diajarkan di
sekolah-sekolah, demikian pula bahasa Turki-Ustmani yang dulu sempat dihapus
Mustafa Kemal Ataturk hanya dalam satu malam.
Tanpa sadar aku sudah menghabiskan setengah gelas teh. Sambil tanganku meletakkan gelas teh, bibirku tersenyum kesal. “Kenapa harus aku yang ditugaskan untuk meliput informasi mengenai agama? Meskipun aku sendiri seorang Muslim sejak lahir, tapi aku tidak mencintai agamaku. Aku tidak bisa mencintai Tuhan yang tidak tampak! Aku juga tidak bisa percaya pada Malaikat, hari akhir, hari pembalasan, surga dan neraka, serta segala hal yang tidak kasat mata. Selama ini aku hanya tahu diriku sebagai Muslim tanpa pernah paham apa Muslim itu sebenarnya. Lalu bagaimana bisa aku mengumpulkan berita tentang Muslim di negara ini? Kalaupun bisa, aku tak mungkin berhasil mengerjakannya dengan sepenuh hati.” Keluhku dalam hati.
“Good day. May i sit here?” seorang wanita berambut panjang, cokelat, dan keriting, bertanya sambil menunjuk kursi kosong di hadapanku. Wajahnya sangat jelita. Seandainya dia adalah pahatan, tentu si pemahat adalah seorang seniman ulung. Tak ada cacat sedikit pun yang tertangkap mataku dari parasnya.
Kuanggukkan kepala, sedikit tersenyum mempersilakan.
Ia segera memesan secangkir kopi turki, lemonade, dan salad buah. Mataku menatap
sebuah kapal yang mengarungi Golden Horn, sebisa mungkin agar tidak dianggap
sedang memperhatikan wanita di depan.
“Halo. My name is Alena Izetbekovic, from Serbia.” Ia mengulurkan tangan dengan ramah, membuatku terkejut.
Mau tidak mau aku menyambutnya, “I am Stefani Kadyrov from Rusia.” Aku turut memperkenalkan diri.
“Nice to meet you, Stefani.” Katanya lagi.
Aku membalas, “Nice to meet you too, Alena.”
Menit-menit selanjutnya aku disibukkan mendengar
cerita panjang Alena. Sambil mengunyah potongan buah ia menceritakan tujuannya
datang ke Istanbul. Ternyata dia adalah seorang desainer pakaian wanita yang
cukup terkenal di Serbia sana, bahkan pembelinya banyak yang berasal dari Turki
dan UEA. Ia datang ke sini tidak lain untuk mengamati mode fashion para wanita
Turki untuk koleksinya di musim semi mendatang.
“Kamu membuat pakaian untuk wanita Muslim?” tanyaku.
“It is just a business, Stef. Awalnya aku hanya memanfaatkan peluang.” Ia menjawab sambil tertawa kecil sebelum melanjutkan kalimatnya, “Tapi, lama kelamaan, aku benar-benar jatuh cinta pada modest fashion hijab. Kau lihat, sekarang ini musim panas, tapi aku memilih mengenakan celana panjang berbahan katun dan sebuah tunik yang juga panjang. Satu tahun terakhir, aku merasa malu tiap kali keluar rumah dengan pakaian pendek.”
“Are you a Moslem?” aku bertanya cepat. Awalnya aku menebak ia seorang kristian, tapi setelah mendengar ia bercerita, aku jadi sangsi.
Secepat kilat ia menggeleng, “Dulunya aku seorang Kristian, tapi sekarang aku belum beragama.”
Aku membulatkan bibir sambil mengangguk. “Menjadi
atheis memang lebih baik. Kau tidak dituntut untuk percaya pada sesuatu yang
tidak bisa kau lihat. Itu semua membuatmu benar-benar gila.” Aku memprovokasi.
Sejenak Alena mengeryit, heran pada ucapanku. “Contohnya?”
“Tuhan.” Jawabku cepat dan jelas. “Aku seorang Muslim dan sejak kecil orangtua memintaku menyembah Tuhan yang tidak pernah kulihat, dan sampai mati tidak bisa kulihat. Termasuk juga para malaikat, surga, neraka, semuanya yang belum pasti ada atau tidak. Aku dituntut untuk mempercayai itu semua.” Keluhku dengan wajah lelah.
Alena tersenyum bijak. Ia menarik cangkir kopinya,
lalu menyeruput satu kali. Selama satu menit ke depan ia membiarkan kami berdua
sama-sama diam, menyaksikan gagak-gagak laut yang terbang rendah di dekat kami.
“Apa menurutmu bayi yang masih di dalam kandungan memiliki mata?” ia bertanya.
Aku yang belum mengerti ke mana arah pembicaraan
Alena secepat mungkin menjawab iya. “Aku seorang jurnalis profesional.
Informasi mengenai medis hingga teroris sudah akrab dengan hari-hariku, Alena.
Bayi yang berada dalam rahim ibunya jelas memiliki mata, kecuali kalau dia
cacat. Hanya saja mata tersebut tidak bisa digunakan untuk melihat. Kau mau
tahu, berapa usia bayi saat dia mampu melihat normal seperti kita saat ini?” aku
justru kembali bertanya dengan semangat.
“Memangnya berapa?”
“11 hingga 12 bulan.” Aku menjawab mantap, mengangakat tangan, seolah-olah akulah yang menulis jurnal penelitian tentang hal itu. “Saat di dalam rahim, penglihatan bayi belum berfungsi. Begitu ia lahir, ia hanya dapat melihat pada jarak 20 sampai 25 cm saja. Mulai bulan ketiga dan keempat, kedua mata bayi dapat melihat perincian dan mulai mampu mengamati serta mengenal yang dilihatnya. Bulan ketujuh dan kedelapan, pandangan bayi telah mencapai perkembangan pesat sehingga ia bisa melihat benda-benda yang sangat kecil. Namun kesempurnaan penglihatan bayi baru tercapai saat umurnya 11 hingga 12 bulan.”
Kulihat Alena mengangguk. “Lalu saat kamu tidak
mampu melihat Tuhan, kenapa mengeluh?”
Pertanyaan Alena mengunci bibirku. Aku seperti
seekor burung yang beberapa saat lalu terus mengoceh lantang, dan sekarang diam
seribu bahasa. Kini aku paham kenapa Alena mengajukan pertanyaan mengenai
kemampuan penglihatan bayi padaku.
“Kita sama seperti bayi tadi, Stef. Butuh tahapan untuk bisa melihat dengan sempurna. Penglihatan kita yang secara ilmu pengetahuan sudah sempurna ini, pada dasarnya masih terbatas. Masih ada tabir yang belum dibuka sehingga tidak semua bisa kita lihat. Bayi sudah memiliki mata sejak di dalam rahim, tapi fungsi mata tersebut masih terbatas. Sang Pemberi Hidup tahu kapan waktu yang tepat untuk mata tersebut bisa berfungsi seutuhnya. Seandainya semua manusia bisa melihat Tuhan Yang Satu, menurutmu siapa yang akan ingkar? Seandainya semua manusia bisa melihat malaikat dan segala yang ghaib, siapa lagi yang tidak mempercayai kitab suci? Para iblis akan kehilangan pengikut, neraka pun tidak akan memiliki penghuni. Tuhan sengaja tidak memperlihatkan wujudnya kepada manusia, Stef. Pertama, karena memang mata kita belum diberi kemampuan untuk itu. Kedua, Dia ingin melihat siapa yang bersedia patuh dan siapa yang ingkar. Dalam sebuah ayat Al Quran disebutkan, ‘Sesungguhnya engkau berada dalam keadaan lalai dari ini, maka Kami telah singkapkan darimu tabir matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.’ Dari sini kita tahu bahwa nanti di kehidupan selanjutnya, fungsi mata kita baru akan berfungsi seutuhnya. Di sanalah kita bisa melihat segala yang engkau pertanyakan tadi. Bagi yang menjalankan perintah Tuhan, mereka akan bergembira. Bagi yang ingkar, mereka akan tercengang, tidak percaya, kemudian minta diberi kesempatan untuk hidup di dunia satu kali lagi.” Alena berkata panjang.
Angin dari Bosphorus menyapu wajah kami. Mataku
kabur. Aku tidak percaya penjelasan Alena barusan seperti kupasan bawang yang
membuatku berkaca-kaca.
“Stef.” Panggilnya lirih. “Meskipun saat ini mata kita tidak bisa melihat Tuhan, namun mata hati kita bisa. Kita bisa melihat wajah Tuhan yang ada di mana-mana. Kamu lihat burung-burung yang terbang itu, bagaimana ia bisa tertahan di udara padahal tidak ada yang menahannya? Kamu perhatikan bagaimana hujan yang berasal dari laut bisa menjadi tidak asin sama sekali? Kamu perhatikan bagaimana semut membangun rumahnya di dalam tanah, bagaimana ia bisa begitu rapi dan terorganisir dengan baik? Kamu perhatikan milyaran hingga triliunan benda-benda angkasa, bagaimana bisa mereka berjalan sesuai perhitungan yang seimbang sehingga tidak bertabrakan satu sama lain? Semua itu adalah bukti keberadaan-Nya, Stef.”
“Lalu kenapa kamu sendiri memilih menjadi atheis?” tanyaku.
Alena diam sejenak sebelum menjawab. “Atheis
adalah sebutan bagi mereka yang tidak mengakui Tuhan. Aku mengakui Tuhan, Stef.
Tadi kukatakan padamu bahwa aku belum beragama, bukan atheis.”
“Kau mengakui Tuhannya orang Islam?” kejarku dengan pertanyaan.
“Memangnya ada banyak Tuhan? Aku tidak menyebut tuhannya agama ini, tuhannya agama itu, Stef. Karena aku percaya Tuhan itu hanya satu. Aku merasa Islam adalah agama yang paling cocok dengan semua pemikiranku. Tapi untuk ber-Islam, aku juga harus bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Tuhan. Itulah yang belum aku bisa. Setelah menamatkan Al Quran dalam waktu satu tahun ini, sejak kemaren aku mulai membaca buku ini.” Ia menarik sebuah buku dari dalam tasnya.
Aku membaca judulnya, Muhammad yang ditulis oleh
Martin Lings. Ini salah satu buku sejarah tentang nabi Muhammad paling lengkap yang
pernah ditulis, mampu mencuri perhatian Universitas Al Azhar dan penulisnya menerima
bintang kehormatan dari presiden Hosni Mubarak.
“Mungkin seperti inilah caraku untuk mengenal Muhammad.” Ucap Alena sambil mengelus halaman depan buku dengan ujung jarinya.
Aku tersenyum, menarik kedua tangannya dan
mendekap dengan tanganku. Dalam hati aku mengucapkan rasa syukur atas pertemuan
dengannya di hari yang terik ini. Tidak ada sesuatu yang kebetulan di muka bumi
ini, termasuk pertemuanku dengan Alena. Barangkali Allah sengaja mengirimkannya
untuk menyadarkan manusia sepertiku.
“Alena sayang. Semoga Allah memudahkan jalanmu.” Ucapku tulus.
“Aamiiin. Semoga Allah melimpahkan cinta yang luas dan cahaya yang terang ke dalam hatimu.” Sambungnya.
Angin dari Bosphorus bertiup, menerbangkan rambutku dan rambut Alena dengan lembut. Kami sama-sama tersenyum, berjanji akan saling menjaga komunikasi meski sudah kembali ke negara masing-masing nantinya.
Ditulis pada 22 Juli 2015 dengan referensi Tafsir Al Misbah Volume 13 pada surah Qof.
sofi, bikinlah novel, sofi ini berbakat sekali lho menulis fiksi, jangan disia2kan bakatnya. btw kemana aja? kangen nih udah lama gak liat sofi di dunia perkontesan, sekalian mau ngucapin
ReplyDeleteTaqaballahu minna wa minkum syiamana wa syiamakum my dear
Wah thanks supportnya Mbakku.... Minal aidin walfaidzin ya Mbak Ev, mohon maaf lahir dan batin :))
DeleteSubhanallah.. sangat menarik sekali...
ReplyDeleteTerimakasih :)
DeleteAlena seorang Agnostik saya kira, bagus banget mbak sofi ceritanya, terlebih saya paling suka bagian ketika Alena menceritakan tentang wujud Tuhan.
ReplyDeleteThanks Mbak Ru. It's a honor to know your comment :)
Deletekeren mbak
ReplyDeleteBerdakwah lewat sebuah karya dan media..
ReplyDeleteKerenn sob :)
Huhu, udh lama nih gak mampir dan meninggalkan jejak ke blogg sofi :D
udh ketinggalan banyak tulisan sofy yg belum dibaca.. xixix