Saturday, 11 July 2015

Special for Srebrenica Genocide Part 2: Pertemuan di Mostar


Aku pernah berkisah padamu tentang betapa aku telah jatuh cinta pada sebuah negara di Semenanjung Balkan. Negara tersebut bernama Bosnia Herzegovina. Tidak jauh berbeda dengan latar belakangku mencintai Turki, Bosnia pun telah menarik hatiku karena sejarahnya. Mendengar nama Bosnia, setiap memori pasti akan terlempar pada peristiwa dalam rentang tahun 1992-1995, dimana lebih kurang 8000 lelaki dewasa dan anak-anak etnis Bosnia dibantai dengan tragis di sebuah kamp pengungsian di Srebrenica. Padahal sebelumnya sudah disiarkan PBB bahwa kamp ini adalah tempat yang aman. Di sana juga berjaga tidak kurang dari 400 tentara Belanda. Sayang, Belanda justru memilih menyerahkan 5000 Muslim Bosnia hanya demi menebus 14 tentara mereka yang ditahan Serbia. Pembantaian pun terjadi dan sejarah mencatat bahwa itu adalah peristiwa kejam yang mengelamkan sejarah kehidupan manusia.

Beberapa menit lalu, saat membuka timeline tweeter, aku baru tersadar kalau hari ini adalah peringatan ke-20 peristiwa tersebut. Di Bosnia sendiri, peringatan genosida ini dihadiri langsung oleh perdana menteri Serbia. Aku percaya, hari ini pula, ribuan doa terbaik berlomba naik menyentuh arsyi. Semoga Allah menerima segala amal ibadah saudara-saudari kita yang menjadi korban pada hari ini, 20 tahun lalu... Dan semoga kita bisa mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut. 


Berikut saya cantumkan tulisan saya satu tahun lalu tentang Bosnia, khususnya kota Mostar. Pada perang Bosnia 1992-1995, banyak tulisan mengatakan bahwa sungai yang membelah Mostar berbau amis darah dan airnya berubah merah. Tapi, bukan itu yang ingin kutunjukkan padamu. Aku ingin sejenak kalian berhenti memikirkan tentang kota yang porak poranda hingga membuatmu ketakutan seperti yang kutulis di bagian 1. Sebaliknya, aku ingin mengajakmu menyaksikan Mostar yang memesona. Pesona alamnya, penduduknya, dan sejarahnya yang mendebarkan.


***

Telah kusaksikan lewat bawah sadarku, tapi begitu transparan
Di sudut kota Mostar
Anak-anak terkapar
Perempuan-perempuan dan para gadis yang masih belia
Telah dibongkar kehormatannya
Dan telah dihancurkan masa depannya![1]

Aku menyusuri jalanan kota Mostar dengan hati yang diselimuti haru. Jasmina berjalan di belakang dengan langkah riangnya. Salju tipis yang terinjak sepatuku menimbulkan bunyi kecil berirama. Setelah sampai di terminal bus kota Mostar dua puluh menit lalu, aku dan Jasmina menyewa taksi untuk sampai di jalan ini, jalan Marsala Tita. 
Izvinjavam se[2].” Sapaku kepada seorang lelaki tua yang berpapasan dengan kami. Meskipun kulitnya sudah keriput, ia masih tampak bugar. Jalannya tegap dengan tangan menenteng plastik belanja.

Da[3]. Silakan. Apa yang ingin kau tanyakan, Nak?” tanyanya ramah

“Alamat ini.”
Kutunjukkan alamat yang tadi kusalin di sebuah kertas. Bapak tua itu membacanya beberapa saat.
“Ikuti jalan pendek ini” Bapak tua itu menunjuk jalan tidak begitu lebar di samping kiri kami. “Di ujung jalan itu kalian akan menjumpai jalan Kujundziluk. Itu areal tua kota Mostar. Alamat yang ada padamu itu adalah alamat sebuah kedai kopi yang terkenal. Pemiliknya seorang wanita kira-kira berumur 30 atau 35.”
Jasmina menatapku cemas. Jika benar apa yang dikatakan lelaki tua ini, lalu dimana ibuku? Dia pastilah bukan wanita yang berumur semuda itu, karena berdasarkan perhitunganku, Ibu sekarang sudah berumur 58 tahun.
“Tidak adakah seorang wanita berumur 58 di sana?” Jasmina akhirnya menanyakan keresahannya.

“Setahuku tidak ada.” jawab Bapak itu dengan begitu yakin. 

“Oh, baiklah. Hvala[4]...” 
Aku menundukkan kepalaku sebagai penghormatan kepada Bapak tua yang telah berbaik hati ini. Dia membalasnya dengan senyuman sebelum melanjutkan langkah. 

Wajah Jasmina tidak bisa menyembunyikan kecemasann. Kuusap punggungnya beberapa kali untuk memberikan ketenangan sambil berkata kecil, ‘it’s okay. Jangan takut, i am here with you. Apapun hasilnya, kita harus tetap datang ke sana.’

Jasmina mengangguk. Air mukanya tidak lagi jernih seperti tadi, sebelum mendengar keterangan dari bapak tua. Kami meninggalkan jalan Marsala Tita, berbelok ke kiri memasuki sebuah jalan pendek. Tidak bisa dipungkiri, hatiku juga diliputi rasa cemas. Bagaimana kalau alamat yang diberikan Ishak salah? Selama ini Ishak mendapatkan informasi hanya melalui jaringannya yang tersebar dimana-mana. Walaupun tidak mengetahui secara pasti, tetapi kemungkinan besar Ishak tidak pernah melihat Ibu di kota ini dengan mata kepalanya sendiri. Ia belum pernah membuktikan sendiri kebenaran alamat yang ditulisnya. 
“Bagaimana kalau ucapan lelaki tua tadi benar?” Jasmina mendongak pada wajahku.
Aku tidak tahu Jasmina. Ketakutan dalam hatiku bisa jadi lebih besar daripada ketakutanmu. Tidak bisa kubayangkan jika hal tersebut benar. Kembali ke Turki? 

Tidak akan. 

Saat ini juga kuputuskan, apapun yang kutemukan nanti, aku akan tetap tinggal di Bosnia Herzegovina. Hidupku begitu lelah, dan di negara ini aku bisa beristirahat. Membaur bersama tanah leluhurku, berbahasa dengan bahasa Ayah-Ibu, dan menyusuri setiap jengkal tanah yang mungkin pernah juga ditapaki oleh keluargaku. Kurasa semua itu akan  mengobati hatiku yang lelah.
“Semua akan baik-baik saja...” kuberikan senyumku pada Jasmina. Mengusap kepalanya yang tertutup kerudung. Sesulit apapun keadaanku, tidak akan pernah kuperlihatkan padanya.
Kini kami telah sampai di jalan Kujundziluk, memasuki sebuah area yang membawa imajinasi siapa pun terbang ke masa lalu. Sungai Neretva yang biru mengalir tenang di sebelah kiri jalan. Tidak bisa kubayangkan bagaimana bentuk sungai itu pada masa perang dulu. Barangkali warnanya pernah berubah merah dengan mayat-mayat mengambang beku. Sekarang aku bisa menikmati pemandangan Neretva yang indah, yang sebagian badannya tertutup oleh deretan bangunan hotel dan kedai-kedai. 
Pinterest
Berjalan beberapa meter dari simpang ini ke arah selatan, maka kamu akan menemukan sebuah jembatan bergaya Ottoman yang begitu indah. Jembatan yang dikenal dengan nama Stari Most atau Old Bridge itu dibangun pada masa pemerintahan Ottoman. Jembatan itu sempat dihancurkan oleh Chetnik pada saat perang 1992-1995. Kemudian direkonstruksi kembali seperti yang terlihat sekarang. Beberapa arsitektur Ottoman lainnya bisa dilihat dari beberapa bangunan di area ini, salah satunya adalah masjid Koski Mehmet Pasa. Menaranya yang berbentuk tabung memanjang dengan ujung runcing bisa terlihat dari tempatku sekarang. Mengingatkanku pada enam menara masjid Sultan Ahmet  atau yang kamu kenal dengan nama Blue Mosque di Istanbul.

Di sisi lain area ini, kamu akan melihat beberapa bangunan yang mengingatkan pada perang Bosnia. Keadaan dindingnya yang berlubang-lubang bekas jalan peluru dibiarkan seperti aslinya. Tidak bisa kubayangkan jika ada seseorang yang berdiri di depan bangunan itu pada masa perang, dengan peluru-peluru yang bahkan mampu membuat beton berlubang. Itu semua bukan sekadar imajinasi, rakyat Bosnia pernah merasakannya. Atau bahkan tidak merasakan karena maut lebih dahulu datang sebelum sempat ia kesakitan.

Tidak ada lagi wanita-wanita Bosnia yang berlari ketakutan di sini. Tangisan balita dan luka anak-anak Bosnia sesekali menyusup dalam telingaku. Kota ini pernah menjerit, melambungkan luka sekaligus nyawa ke atas sana. Inilah salah satu kota tanah kelahiranku, tempat sekumpulan etnis manusia pernah berburu. Berburu nyawa penduduk negeriku.
“Hi, handsome.” 
Sapaan menggoda itu keluar dari bibir seorang wanita berambut pirang yang berlalu di samping kami. Senyum jahilnya tersungging manis. Di sampingnya berjalan seorang temannya yang juga wanita. Sekarang memasuki winter, jadi meskipun banyak turis berkeliaran di area ini, mereka tidak akan rela mati kedinginan karena memilih memakai baju minim. 
“Jangan diladeni.” Jasmina memukul lenganku. Ia pasti melihatku yang membalas senyuman wanita pirang itu.
“Ayo jalan.” Ajakku setelah tertawa kecil.
Hampir dua seratus meter sudah jalan yang kami tempuh. Di sebelah kanan jalan di depan sana, tampak sebuah kedai dengan plang besar di atasnya. Aku membacanya bergantian dengan tulisan yang ada di tanganku. Benar. Itulah rumah yang tertulis dalam alamat ini. Sebuah kedai kopi tidak terlalu besar dengan arsitektur Ottoman. Temboknya tersusun dari bebatuan berwarna cokelat mengkilap. Beberapa meja yang diletakkan di terasnya sudah diisi oleh beberapa turis yang menghangatkan tubuh dengan secangkir kopi.

Aku dan Jasmina berpandangan beberapa saat, kemudian dengan mantap ia menarik tanganku untuk mendekat. Jantungku berlompatan, aku merasakan getarannya yang kuat. Tangan Jasmina yang menggenggam tanganku terasa dingin. Langkah kami akhirnya sampai di kedai itu. Seorang wanita muda menyambut dan mempersilakan kami memilih tempat duduk. Pandanganku dan Jasmina liar menyusuri setiap sentimeter kedai. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Ibu di sini. Di salah satu meja yang terletak di bagian dalam kedai, duduk seorang wanita renta dengan secangkir kopi yang masih mengepul di atas mejanya. Tapi dia bukan Ibu. Aku bisa mengenali sosok ibuku meskipun sosoknya berada sekian puluh meter jauhnya. 

Sambil menahan kecewa, aku memandang ke dalam mata Jasmina. Ia pasti sangat terpukul. Matanya berembun. Kupeluk dia sesaat sebelum mengajaknya duduk. Dengan suara berat aku memesan dua cangkir cappucino kepada pelayan kedai.
“Menangislah. Aku tahu kecewa itu sakit.” ucapku sambil menarik kepala Jasmina bersandar ke bahuku. 
Aku sendiri sekuat tenaga menahan kekecewaan. Seperti ada sebuah batu yang memiliki sisi tajam bersemayam dalam hatiku, membuatnya terasa begitu sesak, sakit, ingin menjerit. Tapi, laki-laki, dimana pun ia berada, pasti akan berusaha agar terlihat lebih kuat daripada seorang wanita. Jasmina akhirnya tidak mampu menahan air matanya.
“Is she okay?” Wanita tua yang tadi sempat kuperhatikan bertanya dengan aksen Prancis. Ia memandang penuh tanya padaku setelah melihat Jasmina yang menangis.

She is okay, Madam. Just disappointed about something.”

“Oh, tenangkan dia. Lain kali jangan lagi membiarkan dia kecewa.”
Wanita tua itu kembali menikmati kopinya sambil membaca sebuah majalah. Tidak akan pernah lagi kukecewakan dia, Madam. Ucapku dalam hati sesaat setelah wanita tua itu mengucapkan kalimat terakhirnya. 

Ibu, benarkah sudah tidak ada lagi kesempatan kita untuk bertemu? 

Pelayan wanita berambut hitam datang mengantarkan dua cangkir cappucino yang kupesan. Sama seperti wanita tua yang duduk bersebelahan dengan kami, pelayan itupun menampakkan wajah heran. Ia mengode dengan anggukan kepalanya, menunjuk kecil ke arah Jasmina.
“Hanya sedikit mengecewakan sesuatu.” jawabku sambil berusaha tersenyum. Pelayan tersebut membulatkan bibirnya seolah menyebut huruf ‘o’, kemudian menunjuk pada dua cangkir cappucino di atas meja, mempersilakanku untuk menikmatinya. 

Thank you.” Ucapku hampir seperti berbisik. Pelayan tersebut mengacungkan jempolnya lalu meninggalkan meja kami. 
Dua cangkir cappucino panas itu mengepul, aromanya menyusup dalam saraf-saraf hidungku. Sayang aku tidak berselera untuk sekadar mencobanya. Sepasang muda-mudi berwajah India baru saja masuk. Mereka duduk di sudut ruangan. Dua cangkir brazillian coffe menjadi pilihan mereka.

Jasmina mengangkat kepalanya, menghapus aliran air mata di pipinya dengan ujung kerudung. Masih terdengar isak kecil ketika ia menarik napas. Tanpa berkata apapun ia langsung meraih secangkir cappucino yang mengepul, mengembus di bibir cangkir beberapa kali sebelum menyeruputnya. Bahkan di saat sutuasi seperti sekarang, saudara perempuanku ini masih saja bertingkah lucu. Lihatlah, wajahnya yang sembab itu berekspresi polos seperti tidak pernah terjadi apapun sebelumnya. Ia tidak peduli sama sekali pada tatapan heran wanita tua yang melihat ke meja kami. 

“Kau tenang saja. Aku memiliki ijazah pengalaman bekerja di beberapa kursus anak, aku juga memiliki script nilai beberapa semester selama kuliah. Aku yakin dalam waktu dekat akan memperoleh pekerjaan.” Ucap Jasmina dengan mata yang memandang ke dalam cangkirnya.

Kalimatnya membuatku tersentak. Apa maksudnya berkata seperti itu? wajahku yang tidak bersemangat saat ini bukan karena memikirkan hal itu. Uang pemberian Ishak cukup untuk kami berdua bertahan hidup selama satu tahun ke depan. Dalam rentang waktu setahun tersebut mustahil aku tidak bisa mendapatkan pekerjaan. Memang aku tidak memiliki pendidikan tinggi, tapi berbicara soal pengalaman, aku memiliki banyak. Aku bisa bekerja di redaksi majalah traveling atau di kantor detektif. Jikapun tidak, membuka usaha sendiri juga bisa menjadi alternatif lain. Semua itu bukan masalah untuk sekarang. Kekecewaan tidak bisa bertemu Ibulah yang begitu kusesalkan. 
“Habiskan cappucinomu. Jangan bicara apapun kalau tidak mengerti apa-apa.” Aku merespon dengan wajah pias. 
Jasmina tidak menyahut. Ia terlihat begitu menikmati cappucinonya, meskipun aku tahu semua itu hanya pura-pura. Tidak ada satupun yang bisa ia sembunyikan dari sorot matanya itu. 

Ruangan dengan interior bergaya Ottoman yang dipenuhi ukiran-ukiran ini lengang beberapa saat. Hanya terdengar alunan lagu lirih yang diputar oleh pemilik kedai. 
“Marta, kamu bisa menggantikan meja kasir di kedai Bibi sebentar?!”
Sebuah teriakan dari luar kedai mengalihkan perhatian seluruh pengunjung kedai ini. Pelayan berambut hitam yang tadi menghidangkan cappucino kepada kami berjalan keluar. Senyumnya merekah. Mungkin dialah yang bernama Marta itu. 

Aku tidak kalah kagetnya mendengar teriakan tersebut. Bukan karena suara itu terlalu keras, melainkan karena aku mengenali si pemilik suara. Dengan cepat aku bangkit kemudian sedikit berlari mengikuti pelayan yang berjalan keluar. 
“Oke, Bibi. Memangnya mau kemana?”
“Mengantarkan roti pita untuk orang-orang yang membersihkan Masjid Koski Mehmet Pasa. Sebentar lagi salju tebal akan turun, mereka pasti bekerja terburu-buru dan berat.”
Dari belakang pelayan itu aku menampakkan diri sekaligus melihat wanita yang tengah berbicara di depan kedai. Oh, Ibu... benarkah itu dirimu? Hatiku seketika berbunga-bunga. Perasaan haru yang begitu kuat membuatku tidak mampu membendung air mata. Kini Ibu berdiri tepat di depanku. Terlihat keriput di wajahnya yang dulu begitu halus. Tubuhnya sedikit membungkuk. Namun senyuman dan sorot mata itu tidak pernah berubah. Suaranya yang dulu begitu indah dan jernih, kini berubah sedikit berat, tetapi tetap bisa kukenali iramanya. 
Melihat seorang laki-laki yang tiba-tiba memandanginya dengan mata basah, Ibu mengerutkan keningnya. Matanya menatapku dalam. Seperti mengingat-ingat sesuatu yang begitu jauh. Tak mau menunggu lama, aku segera menghambur bersujud di kakinya. Kudekap kedua kakinya sambil berkali-kali memanggilnya ‘Majka...Majka...[5]
Beberapa saat ia hanya berdiri mematung, lalu ujung-ujung jarinya menyentuh rambut kepalaku. Mengusapnya beberapa kali sebelum akhirnya ia membantuku untuk berdiri.
“Mustafa? Benarkah ini dirimu, Nak?” Ibu memandangiku dalam. Air matanya sudah tumpah. Kedua telapak tangannya mengapit erat wajahku. 
“Ini anakmu Mustafa, Ibu...” 
Mendengar jawabanku, Ibu seketika menghambur dalam pelukanku. Ia menangis begitu keras. Tubuhnya yang kurus hilang dalam pelukanku. Pungunggnya berguncang karena tangisnya. Menangislah Ibu, tumpahkan segala penantianmu, salurkanlah segala beban deritamu, bagi semua lukamu padamu. Selama dua puluh tahun Ibu menanggungnya sendirian. Sekarang berikanlah dukamu itu padaku. Aku tidak membawa banyak kebahagiaan seperti yang biasa dibawa oleh pemuda-pemuda yang pulang dari perantauan, tapi jikapun masih ada tersisa kebahagiaan dalam jiwaku, sesedikit apapun itu, sungguh semuanya akan kuberikan padamu, Ibu. Keluarkanlah segala hal yang membuatmu bersedih Ibu, biar aku yang menanggungnya...
“Kamu sudah dewasa, Nak. Tampan dan mirip dengan Otac[6]-mu. Tubuhmu terbentuk dengan begitu bagusnya, bahkan seandainya kau harus satu lawan tiga dengan para chetnik itu, pasti kaulah pemenangnya.” ucap Ibu sambil mengusap-usap wajahku. Tersenyum lebar meskipun air matanya tetap mengalir.
“Dan Jasmina juga sudah tumbuh dewasa, Ibu. Dia ada di sini.”
Aku menunjuk kecil pada Jasmina yang sejak tadi berdiri di samping pelayan kedai. Pelayan itu mengusap kedua matanya dengan celemek yang menggantung di leher. Ia ikut menangis. Begitu juga beberapa pengunjung kedai yang memandang kami dengan pandangan simpati. Jasmina yang berderai air mata seketika menghambur memeluk Ibu. Berkali-kali Ibu mencium wajah anak perempuan satu-satunya dalam keluarga kami itu. Jasmina mencium punggung tangan Ibu. Air mata kedua wanita di depanku ini semakin deras. 
“O Jasmina...anak perempuanku, gadis kecilku yang dulu begitu sehat. Tidak pernah kusangka akan melihatmu tumbuh dewasa dengan begitu cantiknya. Oh kerudung ini, ternyata kau tidak membuang ajaran Islam yang Ibu ajarkan dahulu. Kau begitu cantik dengan kerudung ini, Nak... Ayahmu pasti bangga melihatmu.”
“Aku merindukanmu, Ibu...” Jasmina berucap lirih, kemudian kembali memeluk Ibu.
Ibu menarikku ke samping kanannya, sementara Jasmina di samping kiri. Dua belah tangannya mendekap punggung kami. Dengan senyuman bahagia Ibu melihat ke arah pelayan yang masih terisak-isak. Tampaknya ia benar-benar menangis. 
“Bibi tidak jadi memintamu menjaga kasir, Marta. Sebagai gantinya kaulah yang harus mengantarkan roti pita ini. Hapus air matamu, Marta. Jangan menangisi hari bahagiaku.” Ibu memberi perintah pada pelayan bernama Marta itu seolah memberi perintah pada anaknya sendiri. Marta yang masih sibuk menghapus air mata itu mengangguk dengan wajah memerah. Bedak yang dipakainya luntur sehingga membuatnya tampak lucu.
“Aku teringat Faruk, saudara laki-lakiku satu-satunya. Seandainya aku tidak melihat dengan mata kepalaku sendiri saat ia ditembaki tentara Serbia, pastilah setiap hari kunanti kepulangannya.” Marta berkata dengan mata menerawang. 
“Doakan dia selalu Marta. Itu rambutmu kenapa masih dibiarkan tergerai begitu? Berapa kali Bibi manasehatimu agar memakai kerudung. Kalau begitu siapa yang menjamin kalau di dalam kopi yang kau hidangkan tidak ada rambutmu yang terjatuh di sana? Sekarang segera antarkan roti ini sebelum mereka bubar.” Ibu menunjuk kotak putih berukuran sedang yang diletakkan di atas salah satu meja. Marta hanya cengar-cengir menanggapi kalimat Ibu. Ia segera mearih kotak berisi roti pita dan setelah mengucap salam ia meninggalkan kami menuju Masjid yang tidak begitu jauh.
“Anak itu...” Ibu menggelengkan kepalanya. Aku dan Jasmina hanya ikutan tersenyum sambil memandang Marta yang berjalan semakin menjauh.
“Ayo Nak, kita pulang. Kalian lihat bangunan dua tingkat dengan kedai kecil di bawahnya itu?” Ibu memberi tahu. Tangannya menunjuk sebuah bangunan berwarna putih gading di seberang jalan. Tidak ada bangunan yang bercat aneka warna di sini. Kebanyakan mengandalkan warna bebatuan yang dipakai sebagai material.
“Di sana Ibu tinggal sejak 1997. Di rumah itu Ibu tinggal bersama Ismail, laki-laki 35 tahun yang sudah Ibu anggap seperti anak kandung. Selama perang Bosnia, Ismail yang melindungi Ibu. Dia bergabung bersama pasukan mujahidin, padahal usianya masih 15 kala itu. Dia selalu mengantarkan Ibu ke tempat-tempat pengungsian yang aman. Dengan senjata di tangannya dan seragam anti peluru, para Chetnik tidak begitu berani menindasnya seperti yang mereka lakukan terhadap pemuda Bosnia biasa. Ismail juga dikenal sebagai seorang bocah paling berani di kalangan para mujahidin. Dia pernah memasang ranjau yang menewaskan satu kompi tentara Bosnia. Tidak selamanya pula ia bebas ancaman, diam-diam Chetnik mengintainya. Tangan kiri Ismail pernah menjadi sarang dua buah timah panas para Chetnik di suatu sore, saat ia tengah berbincang-bincang di dalam tenda markas mujahidin. Untungnya peluru itu hanya mengenai tangannya, jadi bisa disembuhkan dalam waktu tidak begitu lama.  
“Setelah kemerdekaan Bosnia diumumkan pada tahun 1995, Ismail membawa Ibu menetap di Sarajevo. Kami hidup mengandalkan bantuan yang datang. Saat itu kota Sarajevo hancur total. Jalan-jalan pecah dan bangunan luruh ke tanah. Butuh waktu setidaknya satu tahun untuk membuatnya sedikit lebih baik. Keadaan Mostar tidak jauh berbeda, bahkan sisa-sisa perang seperti pakaian, peluru, senjata, hingga tengkorak-tengkorak manusia bisa ditemukan hampir dimana-mana. Old bridge yang kalian lihat begitu megah, saat itu tidak jelas wujudnya. Sungai Neretva menguarkan bau amis darah hingga sebulan kemudian. Pemakaman muslim seketika penuh karena para keluarga baru berani memakamkan keluarga yang meninggal setelah kemerdekaan. Waktu itu adalah masa terberat bagi penduduk Bosnia. Belum lagi tentang luka kehilangan yang melanda seluruh hati mereka, Ibu salah satunya. Ismail yang kehilangan seluruh anggota keluarganya menghibur Ibu setiap saat, menceritakan kisah-kisah pada masa Rasulullah."
Ibu bercerita sepanjang perjalanan kami menuju bangunan dua tingkat itu. Tak terasa kami sudah tiba di depan terasnya. Tampak sebuah ucapan selamat datang di depan pintu dalam bahasa Inggris. 
 
Pinterest
“Mari masuk, Nak. Kedai ini menjual makanan khas Bosnia. Ismail pandai memasak. Mana dia? Sepertinya dia sedang sibuk di depan pancinya.”
Tidak tepat rasanya jika Ibu menyebutnya kedai. Tempat ini terlalu besar dan pengunjungnya ramai. Tidak ada meja yang diletakkan di teras luar. Orang-orang yang melintas di jalan akan melihat ramai tidaknya kedai ini dari jendelanya yang sangat lebar dilapisi kaca bermotif tulip. Aku dan Jasmina mengikuti langkah Ibu. Beberapa pengunjung yang tengah menikmati makan siang mereka melihat ke arah kami sekilas. Lampion-lampion yang memancarkan cahaya emas dibiarkan tetap menyala. Interior restoran ini—aku menyebutnya restoran—cukup unik. Tidak ada meja yang banyak seperti di restoran lainnya. Hanya ada meja panjang membentuk segi empat besar di tengah ruangan. Tengah-tengahnya yang kosong diisi oleh air mancur dan bunga-bungaan. Pengunjung mengambil makanan di sebuah meja panjang di kanan dan kiri ruangan. Jadi, mereka bisa memilih sesuka hati. Setiap wadah-wadah makanan dilampiri harga, dan sistem pembayarannya mengandalkan kejujuran. Pengunjung menghitung sendiri berapa harga makanan yang ia habiskan lalu membayarnya di meja kasir. 
Zdravo[7]. Silakan duduk Tuan dan Nyonya.” Seorang remaja laki-laki dengan pakaian tradisional Bosnia menghampiriku dan Jasmina. Ibu yang mendengar segera keluar dari dapur, seorang laki-laki mengikutinya.
“Mateo, mereka putra-putriku, bukan pengunjung.” seru Ibu dengan senyum mengembang. Remaja bertubuh jangkung yang ternyata bernama Mateo itu memandangku dan Jasmina tidak percaya. Kemudian beralih memandang Ibu, seolah-olah ia ingin bertanya ‘anak yang mana?’
“Mereka anakku yang selamat dari perang Bosnia. Ayolah jangan pasang wajah tidak percaya begitu. Mereka sungguh-sungguh anakku. Yang tampan ini bernama Mustafa, dan yang jelita itu bernama Jasmina. Mereka belum bercerita bagaimana bisa bertahan hingga sekarang, jadi kamu segera pasang pemberitahuan kalau restoran ini tutup untuk hari ini. Biarkan pengunjung yang sedang makan menyelesaikan makanannnya. Kita akan mendengarkan cerita petualangan mereka sambil minum kopi.”
“Benarkah, Bibi? Wah, aku ikut bahagia. Selamat datang Mustafa dan Jasmina.” Ucap Mateo dengan wajah berseri. Aku dan Jasmina serentak mengucapkan terimakasih.
“Nak, inilah dia laki-laki baik hati yang Ibu ceritakan. Ismail. Dan Ismail, merekalah anak-anakku.”
Ismail adalah laki-laki berwajah tampan dan beberapa senti lebih tinggi dariku. Sorot matanya tajam, rahangnya keras, bibirnya selalu tersenyum—sejauh pengamatanku, dagunya berbelah, jambangnya dibiarkan tumbuh tipis, tanpa jenggot. Aku yakin dia adalah laki-laki berprinsip dan pemberani. Ketika melihatnya maka kamu tidak akan bertanya soal benar tidaknya cerita Ibuku tentangnya. Sudah pasti benar.



[1] Potongan puisi ‘Surat kepada Fatima Cerik di Mostar, Bosnia-Herzegovina’ karya Hijaz Yamani
[2] Excuse me
[3] Yes
[4] Thanks
[5] Ibu...Ibu... (dalam bahasa Bosnia)
[6] Panggilan Ayah dalam bahasa Bosnia
[7] Halo

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...