Aku pernah berkisah padamu tentang betapa aku telah
jatuh cinta pada sebuah negara di Semenanjung Balkan. Negara tersebut bernama
Bosnia Herzegovina. Tidak jauh berbeda dengan latar belakangku mencintai Turki,
Bosnia pun telah menarik hatiku karena sejarahnya. Mendengar nama Bosnia,
setiap memori pasti akan terlempar pada peristiwa dalam rentang tahun 1992-1995,
dimana lebih kurang 8000 lelaki dewasa dan anak-anak etnis Bosnia dibantai dengan
tragis di sebuah kamp pengungsian di Srebrenica. Padahal sebelumnya sudah
disiarkan PBB bahwa kamp ini adalah tempat yang aman. Di sana juga berjaga
tidak kurang dari 400 tentara Belanda. Sayang, Belanda justru memilih menyerahkan
5000 Muslim Bosnia hanya demi menebus 14 tentara mereka yang ditahan Serbia. Pembantaian
pun terjadi dan sejarah mencatat bahwa itu adalah peristiwa kejam yang mengelamkan
sejarah kehidupan manusia.
Beberapa menit lalu, saat membuka timeline tweeter, aku baru tersadar kalau hari ini adalah peringatan ke-20 peristiwa tersebut. Di Bosnia sendiri, peringatan genosida ini dihadiri langsung oleh perdana menteri Serbia. Aku percaya, hari ini pula, ribuan doa terbaik berlomba naik menyentuh arsyi. Semoga Allah menerima segala amal ibadah saudara-saudari kita yang menjadi korban pada hari ini, 20 tahun lalu... Dan semoga kita bisa mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut.
Berikut saya cantumkan tulisan saya satu tahun lalu
tentang Bosnia, khususnya kota Mostar. Pada perang Bosnia 1992-1995, banyak
tulisan mengatakan bahwa sungai yang membelah Mostar berbau amis darah dan
airnya berubah merah. Tapi, bukan itu yang ingin kutunjukkan padamu. Aku ingin
sejenak kalian berhenti memikirkan tentang kota yang porak poranda hingga
membuatmu ketakutan seperti yang kutulis di bagian 1. Sebaliknya, aku ingin mengajakmu menyaksikan Mostar yang
memesona. Pesona alamnya, penduduknya, dan sejarahnya yang mendebarkan.
***
Telah
kusaksikan lewat bawah sadarku, tapi begitu transparan
Di sudut kota
Mostar
Anak-anak
terkapar
Perempuan-perempuan
dan para gadis yang masih belia
Telah
dibongkar kehormatannya
Dan telah
dihancurkan masa depannya![1]
Aku
menyusuri jalanan kota Mostar dengan hati yang diselimuti haru. Jasmina
berjalan di belakang dengan langkah riangnya. Salju tipis yang terinjak
sepatuku menimbulkan bunyi kecil berirama. Setelah sampai di terminal bus kota
Mostar dua puluh menit lalu, aku dan Jasmina menyewa taksi untuk sampai di
jalan ini, jalan Marsala Tita.
“Izvinjavam se[2].” Sapaku kepada seorang lelaki tua yang berpapasan dengan kami. Meskipun kulitnya sudah keriput, ia masih tampak bugar. Jalannya tegap dengan tangan menenteng plastik belanja.“Da[3]. Silakan. Apa yang ingin kau tanyakan, Nak?” tanyanya ramah“Alamat ini.”
Kutunjukkan alamat yang tadi kusalin di sebuah kertas.
Bapak tua itu membacanya beberapa saat.
“Ikuti jalan pendek ini” Bapak tua itu menunjuk jalan tidak begitu lebar di samping kiri kami. “Di ujung jalan itu kalian akan menjumpai jalan Kujundziluk. Itu areal tua kota Mostar. Alamat yang ada padamu itu adalah alamat sebuah kedai kopi yang terkenal. Pemiliknya seorang wanita kira-kira berumur 30 atau 35.”
Jasmina menatapku cemas. Jika benar
apa yang dikatakan lelaki tua ini, lalu dimana ibuku? Dia pastilah bukan wanita
yang berumur semuda itu, karena berdasarkan perhitunganku, Ibu sekarang
sudah berumur 58 tahun.
“Tidak adakah seorang wanita berumur 58 di sana?” Jasmina akhirnya menanyakan keresahannya.“Setahuku tidak ada.” jawab Bapak itu dengan begitu yakin.
Aku menundukkan kepalaku sebagai penghormatan kepada
Bapak tua yang telah berbaik hati ini. Dia membalasnya dengan senyuman sebelum
melanjutkan langkah.
Wajah Jasmina tidak bisa menyembunyikan kecemasann.
Kuusap punggungnya beberapa kali untuk memberikan ketenangan sambil berkata
kecil, ‘it’s okay. Jangan takut, i am
here with you. Apapun hasilnya, kita harus tetap datang ke sana.’
Jasmina mengangguk. Air mukanya tidak lagi jernih
seperti tadi, sebelum mendengar keterangan dari bapak tua. Kami meninggalkan
jalan Marsala Tita, berbelok ke kiri memasuki sebuah jalan pendek. Tidak bisa
dipungkiri, hatiku juga diliputi rasa cemas. Bagaimana kalau alamat yang
diberikan Ishak salah? Selama ini Ishak mendapatkan informasi hanya melalui
jaringannya yang tersebar dimana-mana. Walaupun tidak mengetahui secara pasti,
tetapi kemungkinan besar Ishak tidak pernah melihat Ibu di kota ini dengan mata
kepalanya sendiri. Ia belum pernah membuktikan sendiri kebenaran alamat yang
ditulisnya.
“Bagaimana kalau ucapan lelaki tua tadi benar?” Jasmina mendongak pada wajahku.
Aku tidak tahu Jasmina. Ketakutan dalam hatiku bisa
jadi lebih besar daripada ketakutanmu. Tidak bisa kubayangkan jika hal tersebut
benar. Kembali ke Turki?
Tidak akan.
Saat ini juga kuputuskan, apapun yang kutemukan nanti, aku akan tetap tinggal di Bosnia Herzegovina. Hidupku begitu lelah, dan di negara ini aku bisa beristirahat. Membaur bersama tanah leluhurku, berbahasa dengan bahasa Ayah-Ibu, dan menyusuri setiap jengkal tanah yang mungkin pernah juga ditapaki oleh keluargaku. Kurasa semua itu akan mengobati hatiku yang lelah.
Saat ini juga kuputuskan, apapun yang kutemukan nanti, aku akan tetap tinggal di Bosnia Herzegovina. Hidupku begitu lelah, dan di negara ini aku bisa beristirahat. Membaur bersama tanah leluhurku, berbahasa dengan bahasa Ayah-Ibu, dan menyusuri setiap jengkal tanah yang mungkin pernah juga ditapaki oleh keluargaku. Kurasa semua itu akan mengobati hatiku yang lelah.
“Semua akan baik-baik saja...” kuberikan senyumku pada Jasmina. Mengusap kepalanya yang tertutup kerudung. Sesulit apapun keadaanku, tidak akan pernah kuperlihatkan padanya.
Kini kami telah sampai di jalan Kujundziluk, memasuki
sebuah area yang membawa imajinasi siapa pun terbang ke masa lalu. Sungai
Neretva yang biru mengalir tenang di sebelah kiri jalan. Tidak bisa kubayangkan
bagaimana bentuk sungai itu pada masa perang dulu. Barangkali warnanya pernah
berubah merah dengan mayat-mayat mengambang beku. Sekarang aku bisa menikmati
pemandangan Neretva yang indah, yang sebagian badannya tertutup oleh deretan
bangunan hotel dan kedai-kedai.
Berjalan beberapa meter dari simpang ini ke arah
selatan, maka kamu akan menemukan sebuah jembatan bergaya Ottoman yang begitu
indah. Jembatan yang dikenal dengan nama Stari Most atau Old Bridge itu
dibangun pada masa pemerintahan Ottoman. Jembatan itu sempat dihancurkan oleh
Chetnik pada saat perang 1992-1995. Kemudian direkonstruksi kembali seperti yang
terlihat sekarang. Beberapa arsitektur Ottoman lainnya bisa dilihat dari
beberapa bangunan di area ini, salah satunya adalah masjid Koski Mehmet Pasa. Menaranya yang
berbentuk tabung memanjang dengan ujung runcing bisa terlihat dari tempatku
sekarang. Mengingatkanku pada enam menara masjid Sultan Ahmet atau yang kamu kenal dengan nama Blue Mosque
di Istanbul.
Di sisi lain area ini, kamu akan
melihat beberapa bangunan yang mengingatkan pada perang Bosnia. Keadaan
dindingnya yang berlubang-lubang bekas jalan peluru dibiarkan seperti aslinya.
Tidak bisa kubayangkan jika ada seseorang yang berdiri di depan bangunan itu
pada masa perang, dengan peluru-peluru yang bahkan mampu membuat beton
berlubang. Itu semua bukan sekadar imajinasi, rakyat Bosnia pernah merasakannya.
Atau bahkan tidak merasakan karena maut lebih dahulu datang sebelum sempat ia kesakitan.
Tidak ada lagi wanita-wanita Bosnia
yang berlari ketakutan di sini. Tangisan balita dan luka anak-anak Bosnia
sesekali menyusup dalam telingaku. Kota ini pernah menjerit, melambungkan luka
sekaligus nyawa ke atas sana. Inilah salah satu kota tanah kelahiranku, tempat
sekumpulan etnis manusia pernah berburu. Berburu nyawa penduduk negeriku.
“Hi, handsome.”
Sapaan menggoda itu keluar dari bibir
seorang wanita berambut pirang yang berlalu di samping kami. Senyum jahilnya
tersungging manis. Di sampingnya berjalan seorang temannya yang juga wanita.
Sekarang memasuki winter, jadi meskipun banyak turis berkeliaran di area ini,
mereka tidak akan rela mati kedinginan karena memilih memakai baju minim.
“Jangan diladeni.” Jasmina memukul lenganku. Ia pasti melihatku yang membalas senyuman wanita pirang itu.
“Ayo jalan.” Ajakku setelah tertawa kecil.
Hampir dua seratus meter sudah jalan
yang kami tempuh. Di sebelah kanan jalan di depan sana, tampak sebuah kedai
dengan plang besar di atasnya. Aku membacanya bergantian dengan tulisan yang
ada di tanganku. Benar. Itulah rumah yang tertulis dalam alamat ini. Sebuah
kedai kopi tidak terlalu besar dengan arsitektur Ottoman. Temboknya tersusun
dari bebatuan berwarna cokelat mengkilap. Beberapa meja yang diletakkan di
terasnya sudah diisi oleh beberapa turis yang menghangatkan tubuh dengan
secangkir kopi.
Aku dan Jasmina berpandangan beberapa
saat, kemudian dengan mantap ia menarik tanganku untuk mendekat. Jantungku
berlompatan, aku merasakan getarannya yang kuat. Tangan Jasmina yang
menggenggam tanganku terasa dingin. Langkah kami akhirnya sampai di kedai itu.
Seorang wanita muda menyambut dan mempersilakan kami memilih tempat duduk.
Pandanganku dan Jasmina liar menyusuri setiap sentimeter kedai. Tidak ada tanda-tanda
keberadaan Ibu di sini. Di salah satu meja yang terletak di bagian dalam kedai,
duduk seorang wanita renta dengan secangkir kopi yang masih mengepul di atas
mejanya. Tapi dia bukan Ibu. Aku bisa mengenali sosok ibuku meskipun sosoknya
berada sekian puluh meter jauhnya.
Sambil menahan kecewa, aku memandang
ke dalam mata Jasmina. Ia pasti sangat terpukul. Matanya berembun. Kupeluk dia
sesaat sebelum mengajaknya duduk. Dengan suara berat aku memesan dua cangkir
cappucino kepada pelayan kedai.
“Menangislah. Aku tahu kecewa itu sakit.” ucapku sambil menarik kepala Jasmina bersandar ke bahuku.
Aku sendiri sekuat tenaga menahan
kekecewaan. Seperti ada sebuah batu yang memiliki sisi tajam bersemayam dalam
hatiku, membuatnya terasa begitu sesak, sakit, ingin menjerit. Tapi, laki-laki,
dimana pun ia berada, pasti akan berusaha agar terlihat lebih kuat daripada
seorang wanita. Jasmina akhirnya tidak mampu menahan air matanya.
“Is she okay?” Wanita tua yang tadi sempat kuperhatikan bertanya dengan aksen Prancis. Ia memandang penuh tanya padaku setelah melihat Jasmina yang menangis.“She is okay, Madam. Just disappointed about something.”“Oh, tenangkan dia. Lain kali jangan lagi membiarkan dia kecewa.”
Wanita tua itu kembali menikmati kopinya sambil
membaca sebuah majalah. Tidak akan pernah lagi kukecewakan dia, Madam. Ucapku dalam hati sesaat setelah
wanita tua itu mengucapkan kalimat terakhirnya.
Ibu, benarkah sudah tidak ada lagi kesempatan kita
untuk bertemu?
Pelayan wanita berambut hitam datang mengantarkan dua
cangkir cappucino yang kupesan. Sama seperti wanita tua yang duduk bersebelahan
dengan kami, pelayan itupun menampakkan wajah heran. Ia mengode dengan anggukan
kepalanya, menunjuk kecil ke arah Jasmina.
“Hanya sedikit mengecewakan sesuatu.” jawabku sambil berusaha tersenyum. Pelayan tersebut membulatkan bibirnya seolah menyebut huruf ‘o’, kemudian menunjuk pada dua cangkir cappucino di atas meja, mempersilakanku untuk menikmatinya.“Thank you.” Ucapku hampir seperti berbisik. Pelayan tersebut mengacungkan jempolnya lalu meninggalkan meja kami.
Dua cangkir cappucino panas itu mengepul, aromanya
menyusup dalam saraf-saraf hidungku. Sayang aku tidak berselera untuk sekadar
mencobanya. Sepasang muda-mudi berwajah India baru saja masuk. Mereka duduk di
sudut ruangan. Dua cangkir brazillian
coffe menjadi pilihan mereka.
Jasmina mengangkat kepalanya, menghapus aliran air
mata di pipinya dengan ujung kerudung. Masih terdengar isak kecil ketika ia
menarik napas. Tanpa berkata apapun ia langsung meraih secangkir cappucino yang
mengepul, mengembus di bibir cangkir beberapa kali sebelum menyeruputnya.
Bahkan di saat sutuasi seperti sekarang, saudara perempuanku ini masih saja bertingkah
lucu. Lihatlah, wajahnya yang sembab itu berekspresi polos seperti tidak pernah
terjadi apapun sebelumnya. Ia tidak peduli sama sekali pada tatapan heran
wanita tua yang melihat ke meja kami.
“Kau tenang saja. Aku memiliki ijazah pengalaman
bekerja di beberapa kursus anak, aku juga memiliki script nilai beberapa
semester selama kuliah. Aku yakin dalam waktu dekat akan memperoleh pekerjaan.”
Ucap Jasmina dengan mata yang memandang ke dalam cangkirnya.
Kalimatnya membuatku tersentak. Apa maksudnya berkata
seperti itu? wajahku yang tidak bersemangat saat ini bukan karena memikirkan
hal itu. Uang pemberian Ishak cukup untuk kami berdua bertahan hidup selama
satu tahun ke depan. Dalam rentang waktu setahun tersebut mustahil aku tidak
bisa mendapatkan pekerjaan. Memang aku tidak memiliki pendidikan tinggi, tapi
berbicara soal pengalaman, aku memiliki banyak. Aku bisa bekerja di redaksi
majalah traveling atau di kantor detektif. Jikapun tidak, membuka usaha sendiri
juga bisa menjadi alternatif lain. Semua itu bukan masalah untuk sekarang.
Kekecewaan tidak bisa bertemu Ibulah yang begitu kusesalkan.
“Habiskan cappucinomu. Jangan bicara apapun kalau tidak mengerti apa-apa.” Aku merespon dengan wajah pias.
Jasmina tidak menyahut. Ia terlihat begitu menikmati
cappucinonya, meskipun aku tahu semua itu hanya pura-pura. Tidak ada satupun
yang bisa ia sembunyikan dari sorot matanya itu.
Ruangan dengan interior bergaya Ottoman yang dipenuhi
ukiran-ukiran ini lengang beberapa saat. Hanya terdengar alunan lagu lirih yang
diputar oleh pemilik kedai.
“Marta, kamu bisa menggantikan meja kasir di kedai Bibi sebentar?!”
Sebuah teriakan dari luar kedai mengalihkan perhatian
seluruh pengunjung kedai ini. Pelayan berambut hitam yang tadi menghidangkan
cappucino kepada kami berjalan keluar. Senyumnya merekah. Mungkin dialah yang
bernama Marta itu.
Aku tidak kalah kagetnya mendengar teriakan tersebut.
Bukan karena suara itu terlalu keras, melainkan karena aku mengenali si pemilik
suara. Dengan cepat aku bangkit kemudian sedikit berlari mengikuti pelayan yang
berjalan keluar.
“Oke, Bibi. Memangnya mau kemana?”
“Mengantarkan roti pita untuk orang-orang yang membersihkan Masjid Koski Mehmet Pasa. Sebentar lagi salju tebal akan turun, mereka pasti bekerja terburu-buru dan berat.”
Dari belakang pelayan itu aku menampakkan diri
sekaligus melihat wanita yang tengah berbicara di depan kedai. Oh, Ibu...
benarkah itu dirimu? Hatiku seketika berbunga-bunga. Perasaan haru yang begitu
kuat membuatku tidak mampu membendung air mata. Kini Ibu berdiri tepat di depanku.
Terlihat keriput di wajahnya yang dulu begitu halus. Tubuhnya sedikit membungkuk.
Namun senyuman dan sorot mata itu tidak pernah berubah. Suaranya yang dulu
begitu indah dan jernih, kini berubah sedikit berat, tetapi tetap bisa kukenali
iramanya.
Melihat seorang laki-laki yang tiba-tiba memandanginya
dengan mata basah, Ibu mengerutkan keningnya. Matanya menatapku dalam. Seperti
mengingat-ingat sesuatu yang begitu jauh. Tak mau menunggu lama, aku segera
menghambur bersujud di kakinya. Kudekap kedua kakinya sambil berkali-kali
memanggilnya ‘Majka...Majka...[5]’
Beberapa saat ia hanya berdiri mematung, lalu
ujung-ujung jarinya menyentuh rambut kepalaku. Mengusapnya beberapa kali
sebelum akhirnya ia membantuku untuk berdiri.
“Mustafa? Benarkah ini dirimu, Nak?” Ibu memandangiku dalam. Air matanya sudah tumpah. Kedua telapak tangannya mengapit erat wajahku.
“Ini anakmu Mustafa, Ibu...”
Mendengar jawabanku, Ibu seketika menghambur dalam
pelukanku. Ia menangis begitu keras. Tubuhnya yang kurus hilang dalam pelukanku.
Pungunggnya berguncang karena tangisnya. Menangislah Ibu, tumpahkan segala
penantianmu, salurkanlah segala beban deritamu, bagi semua lukamu padamu.
Selama dua puluh tahun Ibu menanggungnya sendirian. Sekarang berikanlah dukamu
itu padaku. Aku tidak membawa banyak kebahagiaan seperti yang biasa dibawa oleh
pemuda-pemuda yang pulang dari perantauan, tapi jikapun masih ada tersisa
kebahagiaan dalam jiwaku, sesedikit apapun itu, sungguh semuanya akan kuberikan
padamu, Ibu. Keluarkanlah segala hal yang membuatmu bersedih Ibu, biar aku yang
menanggungnya...
“Kamu sudah dewasa, Nak. Tampan dan mirip dengan Otac[6]-mu. Tubuhmu terbentuk dengan begitu bagusnya, bahkan seandainya kau harus satu lawan tiga dengan para chetnik itu, pasti kaulah pemenangnya.” ucap Ibu sambil mengusap-usap wajahku. Tersenyum lebar meskipun air matanya tetap mengalir.
“Dan Jasmina juga sudah tumbuh dewasa, Ibu. Dia ada di sini.”
Aku menunjuk kecil pada Jasmina yang sejak tadi
berdiri di samping pelayan kedai. Pelayan itu mengusap kedua matanya dengan
celemek yang menggantung di leher. Ia ikut menangis. Begitu juga beberapa
pengunjung kedai yang memandang kami dengan pandangan simpati. Jasmina yang
berderai air mata seketika menghambur memeluk Ibu. Berkali-kali Ibu mencium
wajah anak perempuan satu-satunya dalam keluarga kami itu. Jasmina mencium
punggung tangan Ibu. Air mata kedua wanita di depanku ini semakin deras.
“O Jasmina...anak perempuanku, gadis kecilku yang dulu begitu sehat. Tidak pernah kusangka akan melihatmu tumbuh dewasa dengan begitu cantiknya. Oh kerudung ini, ternyata kau tidak membuang ajaran Islam yang Ibu ajarkan dahulu. Kau begitu cantik dengan kerudung ini, Nak... Ayahmu pasti bangga melihatmu.”
“Aku merindukanmu, Ibu...” Jasmina berucap lirih, kemudian kembali memeluk Ibu.
Ibu menarikku ke samping kanannya, sementara Jasmina
di samping kiri. Dua belah tangannya mendekap punggung kami. Dengan senyuman
bahagia Ibu melihat ke arah pelayan yang masih terisak-isak. Tampaknya ia
benar-benar menangis.
“Bibi tidak jadi memintamu menjaga kasir, Marta. Sebagai gantinya kaulah yang harus mengantarkan roti pita ini. Hapus air matamu, Marta. Jangan menangisi hari bahagiaku.” Ibu memberi perintah pada pelayan bernama Marta itu seolah memberi perintah pada anaknya sendiri. Marta yang masih sibuk menghapus air mata itu mengangguk dengan wajah memerah. Bedak yang dipakainya luntur sehingga membuatnya tampak lucu.
“Aku teringat Faruk, saudara laki-lakiku satu-satunya. Seandainya aku tidak melihat dengan mata kepalaku sendiri saat ia ditembaki tentara Serbia, pastilah setiap hari kunanti kepulangannya.” Marta berkata dengan mata menerawang.
“Doakan dia selalu Marta. Itu rambutmu kenapa masih dibiarkan tergerai begitu? Berapa kali Bibi manasehatimu agar memakai kerudung. Kalau begitu siapa yang menjamin kalau di dalam kopi yang kau hidangkan tidak ada rambutmu yang terjatuh di sana? Sekarang segera antarkan roti ini sebelum mereka bubar.” Ibu menunjuk kotak putih berukuran sedang yang diletakkan di atas salah satu meja. Marta hanya cengar-cengir menanggapi kalimat Ibu. Ia segera mearih kotak berisi roti pita dan setelah mengucap salam ia meninggalkan kami menuju Masjid yang tidak begitu jauh.
“Anak itu...” Ibu menggelengkan kepalanya. Aku dan Jasmina hanya ikutan tersenyum sambil memandang Marta yang berjalan semakin menjauh.
“Ayo Nak, kita pulang. Kalian lihat bangunan dua tingkat dengan kedai kecil di bawahnya itu?” Ibu memberi tahu. Tangannya menunjuk sebuah bangunan berwarna putih gading di seberang jalan. Tidak ada bangunan yang bercat aneka warna di sini. Kebanyakan mengandalkan warna bebatuan yang dipakai sebagai material.
“Di sana Ibu tinggal sejak 1997. Di rumah itu Ibu tinggal bersama Ismail, laki-laki 35 tahun yang sudah Ibu anggap seperti anak kandung. Selama perang Bosnia, Ismail yang melindungi Ibu. Dia bergabung bersama pasukan mujahidin, padahal usianya masih 15 kala itu. Dia selalu mengantarkan Ibu ke tempat-tempat pengungsian yang aman. Dengan senjata di tangannya dan seragam anti peluru, para Chetnik tidak begitu berani menindasnya seperti yang mereka lakukan terhadap pemuda Bosnia biasa. Ismail juga dikenal sebagai seorang bocah paling berani di kalangan para mujahidin. Dia pernah memasang ranjau yang menewaskan satu kompi tentara Bosnia. Tidak selamanya pula ia bebas ancaman, diam-diam Chetnik mengintainya. Tangan kiri Ismail pernah menjadi sarang dua buah timah panas para Chetnik di suatu sore, saat ia tengah berbincang-bincang di dalam tenda markas mujahidin. Untungnya peluru itu hanya mengenai tangannya, jadi bisa disembuhkan dalam waktu tidak begitu lama.
“Setelah kemerdekaan Bosnia diumumkan pada tahun 1995, Ismail membawa Ibu menetap di Sarajevo. Kami hidup mengandalkan bantuan yang datang. Saat itu kota Sarajevo hancur total. Jalan-jalan pecah dan bangunan luruh ke tanah. Butuh waktu setidaknya satu tahun untuk membuatnya sedikit lebih baik. Keadaan Mostar tidak jauh berbeda, bahkan sisa-sisa perang seperti pakaian, peluru, senjata, hingga tengkorak-tengkorak manusia bisa ditemukan hampir dimana-mana. Old bridge yang kalian lihat begitu megah, saat itu tidak jelas wujudnya. Sungai Neretva menguarkan bau amis darah hingga sebulan kemudian. Pemakaman muslim seketika penuh karena para keluarga baru berani memakamkan keluarga yang meninggal setelah kemerdekaan. Waktu itu adalah masa terberat bagi penduduk Bosnia. Belum lagi tentang luka kehilangan yang melanda seluruh hati mereka, Ibu salah satunya. Ismail yang kehilangan seluruh anggota keluarganya menghibur Ibu setiap saat, menceritakan kisah-kisah pada masa Rasulullah."
Ibu bercerita sepanjang perjalanan kami menuju
bangunan dua tingkat itu. Tak terasa kami sudah tiba di depan terasnya. Tampak
sebuah ucapan selamat datang di depan pintu dalam bahasa Inggris.
“Mari masuk, Nak. Kedai ini menjual makanan khas Bosnia. Ismail pandai memasak. Mana dia? Sepertinya dia sedang sibuk di depan pancinya.”
Tidak tepat rasanya jika Ibu menyebutnya kedai. Tempat
ini terlalu besar dan pengunjungnya ramai. Tidak ada meja yang diletakkan di
teras luar. Orang-orang yang melintas di jalan akan melihat ramai tidaknya
kedai ini dari jendelanya yang sangat lebar dilapisi kaca bermotif tulip. Aku
dan Jasmina mengikuti langkah Ibu. Beberapa pengunjung yang tengah menikmati
makan siang mereka melihat ke arah kami sekilas. Lampion-lampion yang
memancarkan cahaya emas dibiarkan tetap menyala. Interior restoran ini—aku
menyebutnya restoran—cukup unik. Tidak ada meja yang banyak seperti di restoran
lainnya. Hanya ada meja panjang membentuk segi empat besar di tengah ruangan.
Tengah-tengahnya yang kosong diisi oleh air mancur dan bunga-bungaan. Pengunjung
mengambil makanan di sebuah meja panjang di kanan dan kiri ruangan. Jadi,
mereka bisa memilih sesuka hati. Setiap wadah-wadah makanan dilampiri harga,
dan sistem pembayarannya mengandalkan kejujuran. Pengunjung menghitung sendiri
berapa harga makanan yang ia habiskan lalu membayarnya di meja kasir.
“Zdravo[7]. Silakan duduk Tuan dan Nyonya.” Seorang remaja laki-laki dengan pakaian tradisional Bosnia menghampiriku dan Jasmina. Ibu yang mendengar segera keluar dari dapur, seorang laki-laki mengikutinya.
“Mateo, mereka putra-putriku, bukan pengunjung.” seru Ibu dengan senyum mengembang. Remaja bertubuh jangkung yang ternyata bernama Mateo itu memandangku dan Jasmina tidak percaya. Kemudian beralih memandang Ibu, seolah-olah ia ingin bertanya ‘anak yang mana?’
“Mereka anakku yang selamat dari perang Bosnia. Ayolah jangan pasang wajah tidak percaya begitu. Mereka sungguh-sungguh anakku. Yang tampan ini bernama Mustafa, dan yang jelita itu bernama Jasmina. Mereka belum bercerita bagaimana bisa bertahan hingga sekarang, jadi kamu segera pasang pemberitahuan kalau restoran ini tutup untuk hari ini. Biarkan pengunjung yang sedang makan menyelesaikan makanannnya. Kita akan mendengarkan cerita petualangan mereka sambil minum kopi.”
“Benarkah, Bibi? Wah, aku ikut bahagia. Selamat datang Mustafa dan Jasmina.” Ucap Mateo dengan wajah berseri. Aku dan Jasmina serentak mengucapkan terimakasih.
“Nak, inilah dia laki-laki baik hati yang Ibu ceritakan. Ismail. Dan Ismail, merekalah anak-anakku.”
Ismail adalah laki-laki berwajah tampan dan beberapa
senti lebih tinggi dariku. Sorot matanya tajam, rahangnya keras, bibirnya
selalu tersenyum—sejauh pengamatanku, dagunya berbelah, jambangnya
dibiarkan tumbuh tipis, tanpa jenggot. Aku yakin dia adalah laki-laki
berprinsip dan pemberani. Ketika melihatnya maka kamu tidak akan bertanya soal
benar tidaknya cerita Ibuku tentangnya. Sudah pasti benar.
No comments:
Post a Comment