@selvinazkrsmn “Bagaimana kabar Kak Salimah dan anak-anaknya, Nek?” tanyaku pada nenek sore kemaren. Entah mengapa, tiba-tiba aku teringat istri pemilik toko kelontong paling maju di kompleks tempat nenekku tinggal.
Ya, selama tiga hari sejak kepulanganku di rumah
ini, nenek masih belum pulang. Dia sengaja menunggu aku pulang hanya untuk
bertemu dengan cucu sulungnya ini. Barulah tadi pagi nenek kembali ke rumahnya
di Selat Panjang.
Sore itu nenek sedang memotong daging ayam di
dapur, mungkin akan diolah jadi opor, sementara aku sibuk menimba air dengan
ember besar. Ibuku sedang pergi belanja bersama Bapak, jadi hanya kami berdua
saja yang berbincang kali itu.
“Duh, Cu... Nenek sering kasihan lihat anak-anaknya Salimah. Kadang mau beli lontong pecal pun mereka tidak punya uang. Kadang nenek yang belikan.” Cerita nenekku.
Aku diam sambil berpikir. Betapa kejamnya waktu
menggilas kehidupan seseorang, dan betapa roda kehidupan itu benar-benar terus
berputar. Itu sudah hukum alam. Siapa pun yang tidak mau berjuang keras, mereka
pasti akan menjadi pecundang.
Masih teringat jelas saat masa kanak-kanak hingga
umurku 12 atau 13 ketika aku berlibur ke rumah nenek satu kali dalam setahun,
atau saat aku pindah sekolah di sana selama masa persalinan adikku, toko kelontong
milik keluarga Kak Salimah adalah toko yang paling maju di sana. Barang dagangannya
banyak, segalanya dijual di sana, mulai dari beras, minyak, gula, kue-kue kering,
sayur-mayur, hingga peralatan besar seperti oven, kulkas, dsb. Setiap hari tokonya selalu ramai,
pelanggannya tak terhitung, terlebih saat menjelang lebaran seperti sekarang. Walhasil
kehidupan Kak Salimah dan keluarga pun terbilang di atas rata-rata. Rumahnya yang
besar seluruhnya terbuat dari beton, halamannya dikelilingi pagar, sepeda
motornya lebih dari tiga, perhiasannya bejibun, dan anak-anaknya terbiasa
dengan makanan serta mainan mahal.
Tapi beberapa tahun lalu, sang suami yang biasa
kami panggil Bang Regar wafat di usia muda, setelah itu jalan hidup Kak Salimah
dan anak-anak pun berubah 180 derajat. Aku baru tahu kalau toko kelontong mlik
mereka jadi begitu majunya berkat kepiwaian Bang Regar dalam berbisnis,
sepeninggal dia, sang istri tidak bisa melanjutkan usaha tersebut. Perlahan-lahan
tokonya bangkrut dan tinggallah sang istri yang tanpa penghasilan harus
menghidupi anak-anak.
Oh, kehidupan. Terkadang aku tidak mengerti hukum
apa saja yang ditulis Tuhan untuk nasib setiap ummat-Nya, namun yang jelas
kehidupan itu bisa berubah tanpa pernah kita sangka-sangka. Seperti yang pernah
diceritakan seorang temanku asal Bandung mengenai bibiknya yang sekarang hidup
di Batam.
Bermula dari niatnya untuk mencari pekerjaan di
Batam hingga menumpang sebuah kapal yang bisa mengantarnya ke kota tersebut,
ternyata di kapal itulah pertemuan sederhana antara dia dan seorang pengusaha
sukses asal Inggris. Keduanya saling cocok, cinta saling terbalas, dan akhirnya
si lelaki memutuskan menjadi mualaf lalu datang melamar. Kini, mereka hidup
bahagia di kota Batam. Si lelaki punya pelabuhan dan kapal pesiar, jadi sudah
pasti mereka bisa hidup mewah. Bahkan kata temanku itu, saat dia berkunjung ke
Batam, pamannya itu sudah menyiapkan itinerary yang diatur langsung oleh
sekretaris kantor. Jadwal perjalanan, restoran, hotel, dan sebagainya sudah
diagendakan.
Begitulah.
Nasib seseorang memang tidak ada yang tahu, tidak
juga bisa diterka-terka. Jangan terlalu bermimpi nasib baik akan menyambangi
setiap kita begitu mudah seperti pada cerita kedua. Jangan niatnya mau mendapat
suami kaya, lalu mengandalkan pesona fisik untuk menggaet laki-laki kaya. Tidak
semua kita bisa bernasib seperti itu. Mungkin di antara seribu perempuan, hanya
satu saja yang seperti itu. Selebihnya, mungkin sebagian adalah mereka bernasib
seperti Kak Salimah.
Tapi percayalah, setiap kita punya kesempatan
masing-masing untuk meraih impian, untuk hidup berkecukupan. Tidak perlulah
pakai siasat licik, cukup dengan memperkaya pengetahuan dan terus bekerja
keras, insya Allah Tuhan akan melihat kerja kita. Seseorang tidak mendapatkan
kecuali apa yang sudah diusahakannya. Itulah hukum alam yang sebenar-benarnya. Sisanya
adalah nasib baik, pun cerita seperti bibinya temanku, kita juga tidak bisa
segera menyimpulkan itu sebuah keberuntungan. Mungkin selama ini, dia sudah
berjuang keras melatih bahasa Inggrisnya, sampai-sampai si bule bisa nyaman
bicara dengannya pada pertemuan pertama tanpa sengaja tersebut. Bukankah itu
juga berarti pernikahannya adalah balasan dari kerja kerasnya?
Ya, bekerja keraslah, ikutkan Tuhan di dalamnya.
Insya Allah pada saat yang tepat, keberuntungan itu akan datang.
Jadi anak2 kak salimah hidup tanpa ibunya?, iya roda hidup itu berputar semoga Allahswt senantiasa melimpahkan rahmadNYA untuk kita ya.
ReplyDeletebener tuh pada saat yang tepat keberuntungan itu akan datang
ReplyDeletekita tidak tahu kehdupan ada di atas atau bawah ya
ReplyDeleteMudah2an kita selalu ingat dan bertawakal
ReplyDelete