Friday, 17 July 2015

Untukmu yang Selalu Tersakiti karena Rindu



Siang ini hujan deras, sangat deras, tengah mengguyur desaku. Jejaknya yang jatuh di atap seng musola begitu bising sampai-sampai suara Bapak yang mengimami sholat tidak terdengar. Usai doa, aku segera menyelesaikan shalat sunnah ba’diyah, lalu berlari pulang. Selimut hangat dan kasur seperti sudah memanggil-manggil. Namun begitu tiba di kamar, kakiku justru tidak menyentuh kasur atau selimut sedikit pun. Tanpa sengaja mataku tertumbuk pada sebuah buku yang duduk di atas tumpukan buku yang tidak rapi, di meja belajar. Buku itu, gumamku. Aku memilikinya sudah beberapa bulan lalu, tapi sejauh ini belum sempat membacanya. Mungkin sekaranglah saat yang tepat.

Aku membawanya ke teras rumah, duduk di sana sendirian. Hujan masih belum berhenti, dan tak ada tanda-tanda ia mau berhenti dalam beberapa puluh menit ke depan. Andai sekarang tidak berpuasa, pasti sudah ada secangkir teh hangat yang kusiapkan. Buku yang sampulnya dipenuhi dedaunan gugur ini belum kubuka, mataku masih sibuk mengamati jalanan di depan sana. Meski sedang hujan deras, aku merasakan keheningan. Jalanan yang lengang membuat keheningan semakin menjadi-jadi. 

Ponsel di atas meja bergetar. Aku hanya meliriknya dan mendapati sebuah pesan singkat muncul di layar. Ternyata temanku semasa di pesantren dulu. Dia hanya sekadar ingin curhat bahwa siang ini dia sedang merindukan seseorang. Kedekatan antara kita membuat tidak ada lagi hal yang ditutup-tutupi, termasuk tentang segala perasaan. Kami sering saling bertukar pesan hanya untuk sesuatu yang remeh-temeh.
“Rindu itukan wajar, say. Toh dia sebentar lagi pulang ke Riau.” Balasku. Terkesan tidak begitu berpihak pada perasaannya. Mungkin akan lebih ramah jika kalimat balasanku berbunyi,“Kenapa nggak ditelpon aja, say? Memangnya kapan terakhir kali kalian komunikasi?”. Tapi tidak, aku sedang malas dengan urusan seperti itu. Pertanyaan justru akan menambah panjang percakapan. Aku juga sedang malas mengetik.
Sambil menanti sms balasan darinya, aku memikirkan tentang diriku sendiri.
Rindu, aku pun pernah merasakannya. Pada seorang lelaki baik-baik, yang begitu tinggi. Meskipun sudah tahu bahwa semuanya akan berujung kesengsaraan, namun tetap saja aku merindukan pertemuan dan kebersamaan dengannya suatu hari nanti. Saat itu aku seperti seseorang yang tengah menyusuri jalan setapak dipenuhi bunga, yang semerbak harum, yang teduh dengan angin menyegarkan, lalu aku terus berjalan sambil tertawa-tawa riang. Hingga tanpa sadar, di ujung jalan tersebut ada sebuah jurang dan aku masuk ke dalamnya. Remuk seorang diri, berdarah seorang diri, sementara mataku masih bisa menangkap tangkai-tangkai bunga dan pepohonan indah yang menjulur di atas sana. Kejadian inilah yang membuatku merubah definisi kerinduan, seperti yang akan kamu baca di kalimat-kalimat selanjutnya.

Aku bersyukur saat ini sedang tidak merindukan siapa pun. Mungkin sudah jera. Terkadang kerinduan hanya membuat kita mengarang-ngarang sesuatu berdasarkan keinginan sendiri. Tak jarang kita jadi menghayalkan sebuah pertemuan yang indah. Tapi sekali lagi, hidup ini berbeda dengan kisah fiksi. Satu hal yang harus dipercaya, khayalan tersebut tetap akan menjadi khayalan, paling jauh ya sakit hati. 

Kurasa, karena itu pula beberapa waktu terakhir aku berusaha keras supaya tidak merindukan siapa pun, di luar keluarga dan sahabat. Tak jarang aku memarahi diri sendiri saat hati tanpa diminta justru menyebut-nyebut nama seseorang, membuat siapa pun yang merasa pasti tersiksa. Kurasa, kerinduan yang seperti itu adalah musibah yang sebaiknya Tuhan tidak perlu menurunkannya di muka bumi ini.

Aku beralih pada buku di genggaman. Ia seolah berkata pelan, memohon, untuk segera dibaca. Lembarannya yang berwarna krem kubuka perlahan hingga jariku terhenti pada halaman 20. Sebuah tulisan berjudul NISCAYA. Sepertinya si penulis sedang berpikir tentang sebuah kepastian saat menuliskan tulisan pendek ini, pikirku. Baiklah, mari kita lihat apa yang ia anggap sebagai kepastian di sini.



NISCAYA 

Kerinduan adalah tentang membebaskan waktu, segenting saat kamu menyaksikan hujan yang baru saja berhenti lima detik lalu. Semenyesal saat kamu lupa mengabadikan derasnya lewat tangkapan lensa. Lalu yang tersisa hanya rintik, kanopi basah, dan hati yang sesak oleh suasana.

Kerinduan adalah tentang memisahkan dua warna yang telah bercampur, lebih sulit dari menangkap kunang-kunang senja. Lebih sulit dari membedakan horison tanah atau kompisisi warna pelangi. Yang ada hanya perpisahan dua warna yang terkadang tak sengaja tercampur sebagian. Lalu aku menjaga warna milikku, kamu juga. Lalu kamu dengan perasaan yang sulit tergambarkan, terlebih aku.

Kerinduan adalah tentang menikmati roti kismis. Selalu dengan kerinduan setelahnya.

Kerinduan adalah tentang hati yang sedang kehilangan sebagian fungsinya, rapuh sejadi-jadinya. Ini adalah tentang kita yang mungkin harus terbaring lemah, tanpa daya. Kita mencoba bereksplorasi dengan dunia kita masing-masing , namun hati tak pernah mampu bergeming. Kita mencoba mengikhlaskan perpisahan, namun luka hati tak pernah berkesudahan.

Kerinduan adalah pagi ini, tanpa kamu. Lalu kita saling mengadu lewat sujud-sujud. Lalu kita saling meratapi perpisahan melalui tulisan, diam, namun ini bukanlah bagian dari kebisuan. Jika pagi ini hujan di kotamu, maka setidaknya aku merindukan air mata yang tak pernah kamu seka, ia bebas, sebebas deras hujan, atau sebebas kerinduan kita masing-masing.

Kerinduan adalah senja nanti, tanpa kamu juga. Lalu kita tidak saling menatap. Kamu teralihkan oleh hipnotis surya yang tengah tenggelam, aku juga. Namun itu tak cukup lama, kita kembali merindukan satu sama lain.

Terlalu berlebihan? Tidak. Tidak sama sekali. Hanya saja kalian yang terlalu acuh dengan perpisahan. Jangan pernah menyalahkan aku jika ini begitu mendramatisir suasana. Kita hanya mampu berharap, lewat apapun juga. Kita hanya mampu membersamai kerinduan, tak pernah lebih.

Karena kerinduan adalah tentang keniscayaan. Tak ada satu pun makhluk-nya yang pasti tahu tentang masa nanti. Karena kerinduan adalah sebagian nikmat-Nya, maka teruslah menikmati dengan hati.



***
Aku menghembuskan napas, menutup buku. Entahlah, apakah aku sepakat dengan penulisnya atau tidak, tapi aku tidak pernah sekali pun mendapati rindu adalah sebuah nikmat. Ia seperti beban yang sangat berat, melukai ke segala sisi, dan apabila telah berhasil meninggalkannya, aku seperti mendapatkan oksigen yang berlimpah. Segala terasa lapang.

Kerinduan adalah tentang keniscayaan. Ya, mungkin yang ini benar. Nyatanya banyak manusia hebat dalam sejarah yang tak mampu melawan kerinduan. Sebut saja kisah saat pertama kali diturunkannya Adam dan Hawa. Andai mereka tidak merindukan satu sama lain, mungkin tempat bernama Jabal Rahmah itu tidak akan pernah dikenang seperti sekarang.

Bagiku, saat ini, kerinduan adalah mengenai seseorang yang sudah renta, berjalan di malam pekat, di tengah hutan liar dengan kabut yang melingkupi, sementara ia terus mencari jalan keluar. Ada yang berhasil menemukan padang bunga sesudahnya dan di sana ia bisa berbahagia, namun ada pula yang tersesat dan sekarat sendirian. 

Kurasa, jika kamu sudah mampu memastikan tidak mungkin akan ada pertemuan, mustahil rindu akan terbalas, akan lebih baik tidak perlu merindukan sejak awal. Itu lebih baik. Lebih aman. Lebih menghargai hatimu sendiri. Bayangkan jika kamu merindukan seseorang, lalu sakit hati. Mulai merindukan seseorang yang lain, tapi juga berakhir sakit hati. Lalu merindukan seseorang yang lain lagi, dan kembali sakit hati. Selanjutnya kejadian yang sama terus berulang, hingga sembilan atau sepuluh kali. Bisa dibayangkan seperti apa keadaan hatimu? Tidakkah kamu kasihan?  Kekecewaan dan rasa sakit itu tidak bisa hilang begitu saja. Percayalah mereka akan mengendap, sedikit sebanyaknya membuat cara pandangmu terhadap sesuatu menjadi berbeda. Aku hanya tidak mau penyakit merutuki diri sendiri, menghina pemberian Tuhan, lalu mulai berpikir dirimu terlalu sederhana, terlalu buruk rupa, dan sejenisnya, hinggap padamu. Itu mungkin saja terjadi.

Sebaiknya, jangan pernah mau masuk ke dalam hutan mengerikan apabila kamu sama sekali tidak tahu jalan keluarnya. Begitu saja. Memang tidak mudah. Aku pun sedang belajar. Jika ingin merindukan, rindui yang sudah pasti-pasti saja. Mungkin dia suami atau istrimu kelak. Dan jika tidak kunjung bisa, jika hatimu tak kunjung jera merindukan seorang demi seorang yang kamu puja, mungkin hatimu harus belajar terlebih dahulu. Belajar merasakan makna dari ‘sakit hati’ yang sesungguhnya, mungkin dengan begitu kamu akan paham bahwa hati bukanlah batu yang bisa terus dibanting tanpa sedikit pun bisa terluka.



No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...