Siang ini hujan deras, sangat deras, tengah
mengguyur desaku. Jejaknya yang jatuh di atap seng musola begitu bising
sampai-sampai suara Bapak yang mengimami sholat tidak terdengar. Usai doa, aku
segera menyelesaikan shalat sunnah ba’diyah, lalu berlari pulang. Selimut
hangat dan kasur seperti sudah memanggil-manggil. Namun begitu tiba di kamar,
kakiku justru tidak menyentuh kasur atau selimut sedikit pun. Tanpa sengaja
mataku tertumbuk pada sebuah buku yang duduk di atas tumpukan buku yang tidak
rapi, di meja belajar. Buku itu, gumamku. Aku memilikinya sudah beberapa bulan
lalu, tapi sejauh ini belum sempat membacanya. Mungkin sekaranglah saat yang
tepat.
Aku membawanya ke teras rumah, duduk di sana
sendirian. Hujan masih belum berhenti, dan tak ada tanda-tanda ia mau berhenti
dalam beberapa puluh menit ke depan. Andai sekarang tidak berpuasa, pasti sudah
ada secangkir teh hangat yang kusiapkan. Buku yang sampulnya dipenuhi dedaunan
gugur ini belum kubuka, mataku masih sibuk mengamati jalanan di depan sana. Meski
sedang hujan deras, aku merasakan keheningan. Jalanan yang lengang membuat
keheningan semakin menjadi-jadi.
Ponsel di atas meja bergetar. Aku hanya meliriknya
dan mendapati sebuah pesan singkat muncul di layar. Ternyata temanku semasa di
pesantren dulu. Dia hanya sekadar ingin curhat bahwa siang ini dia sedang
merindukan seseorang. Kedekatan antara kita membuat tidak ada lagi hal yang
ditutup-tutupi, termasuk tentang segala perasaan. Kami sering saling bertukar
pesan hanya untuk sesuatu yang remeh-temeh.
“Rindu itukan wajar, say. Toh dia sebentar lagi pulang ke Riau.” Balasku. Terkesan tidak begitu berpihak pada perasaannya. Mungkin akan lebih ramah jika kalimat balasanku berbunyi,“Kenapa nggak ditelpon aja, say? Memangnya kapan terakhir kali kalian komunikasi?”. Tapi tidak, aku sedang malas dengan urusan seperti itu. Pertanyaan justru akan menambah panjang percakapan. Aku juga sedang malas mengetik.
Sambil menanti sms balasan darinya, aku memikirkan
tentang diriku sendiri.
Rindu, aku pun pernah merasakannya. Pada seorang
lelaki baik-baik, yang begitu tinggi. Meskipun sudah tahu bahwa semuanya akan
berujung kesengsaraan, namun tetap saja aku merindukan pertemuan dan
kebersamaan dengannya suatu hari nanti. Saat itu aku seperti seseorang yang
tengah menyusuri jalan setapak dipenuhi bunga, yang semerbak harum, yang teduh
dengan angin menyegarkan, lalu aku terus berjalan sambil tertawa-tawa riang.
Hingga tanpa sadar, di ujung jalan tersebut ada sebuah jurang dan aku masuk ke
dalamnya. Remuk seorang diri, berdarah seorang diri, sementara mataku masih
bisa menangkap tangkai-tangkai bunga dan pepohonan indah yang menjulur di atas
sana. Kejadian inilah yang membuatku merubah definisi kerinduan, seperti yang
akan kamu baca di kalimat-kalimat selanjutnya.
Aku bersyukur saat ini sedang tidak merindukan
siapa pun. Mungkin sudah jera. Terkadang kerinduan hanya membuat kita
mengarang-ngarang sesuatu berdasarkan keinginan sendiri. Tak jarang kita jadi
menghayalkan sebuah pertemuan yang indah. Tapi sekali lagi, hidup ini berbeda
dengan kisah fiksi. Satu hal yang harus dipercaya, khayalan tersebut tetap akan
menjadi khayalan, paling jauh ya sakit hati.
Kurasa, karena itu pula beberapa waktu terakhir
aku berusaha keras supaya tidak merindukan siapa pun, di luar keluarga dan
sahabat. Tak jarang aku memarahi diri sendiri saat hati tanpa diminta justru
menyebut-nyebut nama seseorang, membuat siapa pun yang merasa pasti tersiksa.
Kurasa, kerinduan yang seperti itu adalah musibah yang sebaiknya Tuhan tidak
perlu menurunkannya di muka bumi ini.
Aku beralih pada buku di genggaman. Ia seolah
berkata pelan, memohon, untuk segera dibaca. Lembarannya yang berwarna krem
kubuka perlahan hingga jariku terhenti pada halaman 20. Sebuah tulisan berjudul
NISCAYA. Sepertinya si penulis sedang berpikir tentang sebuah kepastian saat
menuliskan tulisan pendek ini, pikirku. Baiklah, mari kita lihat apa yang ia
anggap sebagai kepastian di sini.
NISCAYA
Kerinduan adalah tentang membebaskan waktu,
segenting saat kamu menyaksikan hujan yang baru saja berhenti lima detik lalu.
Semenyesal saat kamu lupa mengabadikan derasnya lewat tangkapan lensa. Lalu
yang tersisa hanya rintik, kanopi basah, dan hati yang sesak oleh suasana.
Kerinduan adalah tentang memisahkan dua warna yang
telah bercampur, lebih sulit dari menangkap kunang-kunang senja. Lebih sulit
dari membedakan horison tanah atau kompisisi warna pelangi. Yang ada hanya
perpisahan dua warna yang terkadang tak sengaja tercampur sebagian. Lalu aku
menjaga warna milikku, kamu juga. Lalu kamu dengan perasaan yang sulit
tergambarkan, terlebih aku.
Kerinduan adalah tentang menikmati roti kismis.
Selalu dengan kerinduan setelahnya.
Kerinduan adalah tentang hati yang sedang
kehilangan sebagian fungsinya, rapuh sejadi-jadinya. Ini adalah tentang kita
yang mungkin harus terbaring lemah, tanpa daya. Kita mencoba bereksplorasi
dengan dunia kita masing-masing , namun hati tak pernah mampu bergeming. Kita
mencoba mengikhlaskan perpisahan, namun luka hati tak pernah berkesudahan.
Kerinduan adalah pagi ini, tanpa kamu. Lalu kita
saling mengadu lewat sujud-sujud. Lalu kita saling meratapi perpisahan melalui
tulisan, diam, namun ini bukanlah bagian dari kebisuan. Jika pagi ini hujan di
kotamu, maka setidaknya aku merindukan air mata yang tak pernah kamu seka, ia bebas,
sebebas deras hujan, atau sebebas kerinduan kita masing-masing.
Kerinduan adalah senja nanti, tanpa kamu juga.
Lalu kita tidak saling menatap. Kamu teralihkan oleh hipnotis surya yang tengah
tenggelam, aku juga. Namun itu tak cukup lama, kita kembali merindukan satu
sama lain.
Terlalu berlebihan? Tidak. Tidak sama sekali.
Hanya saja kalian yang terlalu acuh dengan perpisahan. Jangan pernah
menyalahkan aku jika ini begitu mendramatisir suasana. Kita hanya mampu
berharap, lewat apapun juga. Kita hanya mampu membersamai kerinduan, tak pernah
lebih.
Karena kerinduan adalah tentang keniscayaan. Tak
ada satu pun makhluk-nya yang pasti tahu tentang masa nanti. Karena kerinduan
adalah sebagian nikmat-Nya, maka teruslah menikmati dengan hati.
***
Aku menghembuskan napas, menutup buku. Entahlah,
apakah aku sepakat dengan penulisnya atau tidak, tapi aku tidak pernah sekali
pun mendapati rindu adalah sebuah nikmat. Ia seperti beban yang sangat berat,
melukai ke segala sisi, dan apabila telah berhasil meninggalkannya, aku seperti
mendapatkan oksigen yang berlimpah. Segala terasa lapang.
Kerinduan
adalah tentang keniscayaan. Ya, mungkin yang ini benar.
Nyatanya banyak manusia hebat dalam sejarah yang tak mampu melawan kerinduan. Sebut
saja kisah saat pertama kali diturunkannya Adam dan Hawa. Andai mereka tidak
merindukan satu sama lain, mungkin tempat bernama Jabal Rahmah itu tidak akan
pernah dikenang seperti sekarang.
Bagiku, saat ini, kerinduan adalah mengenai
seseorang yang sudah renta, berjalan di malam pekat, di tengah hutan liar
dengan kabut yang melingkupi, sementara ia terus mencari jalan keluar. Ada yang
berhasil menemukan padang bunga sesudahnya dan di sana ia bisa berbahagia,
namun ada pula yang tersesat dan sekarat sendirian.
Kurasa, jika kamu sudah mampu memastikan tidak
mungkin akan ada pertemuan, mustahil rindu akan terbalas, akan lebih baik tidak
perlu merindukan sejak awal. Itu lebih baik. Lebih aman. Lebih menghargai hatimu
sendiri. Bayangkan jika kamu merindukan seseorang, lalu sakit hati. Mulai
merindukan seseorang yang lain, tapi juga berakhir sakit hati. Lalu merindukan
seseorang yang lain lagi, dan kembali sakit hati. Selanjutnya kejadian yang
sama terus berulang, hingga sembilan atau sepuluh kali. Bisa dibayangkan
seperti apa keadaan hatimu? Tidakkah kamu kasihan? Kekecewaan dan rasa sakit itu tidak bisa
hilang begitu saja. Percayalah mereka akan mengendap, sedikit sebanyaknya
membuat cara pandangmu terhadap sesuatu menjadi berbeda. Aku hanya tidak mau
penyakit merutuki diri sendiri, menghina pemberian Tuhan, lalu mulai berpikir
dirimu terlalu sederhana, terlalu buruk rupa, dan sejenisnya, hinggap padamu. Itu
mungkin saja terjadi.
Sebaiknya, jangan pernah mau masuk ke dalam hutan
mengerikan apabila kamu sama sekali tidak tahu jalan keluarnya. Begitu saja.
Memang tidak mudah. Aku pun sedang belajar. Jika ingin merindukan, rindui yang
sudah pasti-pasti saja. Mungkin dia suami atau istrimu kelak. Dan jika tidak
kunjung bisa, jika hatimu tak kunjung jera merindukan seorang demi seorang yang
kamu puja, mungkin hatimu harus belajar terlebih dahulu. Belajar merasakan
makna dari ‘sakit hati’ yang sesungguhnya, mungkin dengan begitu kamu akan
paham bahwa hati bukanlah batu yang bisa terus dibanting tanpa sedikit pun bisa
terluka.
No comments:
Post a Comment