Monday, 13 February 2017

Istanbul, Kesaksian sebuah Kota




Aku tidak ingat berapa kali aku telah jatuh cinta pada seorang lelaki. Mungkin dua, mungkin tiga. Yang kutahu, meski tidak bisa dikatakan indah, cintaku kali ini berbeda dari yang lain. Cinta yang membawaku ke kota ini, ke negara ini. Cinta yang membuatku merasa begitu dekat dengan warna-warni bangunan tua yang ada di sekelilingku kini, dengan cahaya berkilauan yang jatuh pada birunya Bosphorus dan Marmara, dan pada kawanan gagak laut yang terbang rendah bersama suara klakson kapal-kapal yang merapat di pelabuhan.

Kedatanganku ke negara ini bukanlah untuk sebuah pembuktian cinta, melainkan hanya ingin melihat kenyataan tentang seseorang yang kucintai. Selain itu, aku juga datang untuk menunaikan sebuah cinta yang selama ini mekar begitu indah di dalam hati. Ya, aku telah jatuh cinta pada kota klasik ini sejak umurku 14 tahun, sejak cinta pada lelaki itu belum tumbuh di hatiku sedikit pun.

Sekarang aku sedang duduk di sudut sebuah cafe bernama Boon Restaurant and Cafe yang terletak di pinggir Golden Horn bagian Cingelkoy, Istanbul. Saat pertama kali aku mendorong pintunya, sudah bisa kupastikan bahwa restoran ini menjadi favorit para Turis mancanegara. Lihat saja di bagian kiriku, semua yang duduk di sana adalah orang-orang berparas Barat dengan bahasa Prancis. Lalu di depanku, ada sepasang muda-mudi yang asik bercengkerama dengan bahasa Inggris dengan si lelaki berlogat Turki, dan yang perempuan berlogat Cina. Aku menerka keduanya adalah sepasang kekasih yang menjalin hubungan jarak jauh. Lalu setelah sekian lama, mereka bertemu di cafe ini. Atau mungkin apabila aku salah, bisa saja wanita Cina itu memang sedang menempuh pendidikan atau bekerja di negara ini.

 Angin dingin menusuk tulang masih berembus dari selat Bosphorus, padahal sekarang sudah masuk musim Semi. Aku merapatkan jaket, kemudian melirik layar ponsel. Suhu 13 dejarat celcius. Ah, ini masih tergolong sangat dingin bagi aku yang terbiasa hidup di wilayah tropis.

Seorang pelayan laki-laki berseragam hitam putih menghampiriku. Sebuah notes lengkap dengan pulpen ia genggam rapat-rapat. Ia hanya tersenyum setelah memberi ucapan selamat sore, lalu bersiap-siap untuk menuliskan pesananku.

“Cay dan buah yang disiram minyak zaitun.” Kataku.

“Apa ada yang lain?” ia bertanya dalam bahasa Inggris.

Aku menggeleng kecil, lalu berseru dengan sedikit bahasa Turki. “Yok. Itu sudah cukup.” 

“Evet. Pesanan Anda akan segera datang.” Katanya dengan senyuman ramah. 

Tak ada kalimat apa-apa lagi dari bibirku selain sebuah senyuman kecil. Setelah pelayan itu pergi, mataku segera berputar menyaksikan lanskap Istanbul yang terlihat jelas dari tempatku duduk kini. Jembatan Bosphorus berada tepat di depan, mungkin berjarak tidak sampai satu kilometer. Meskipun Hagia Sophia dan Blue Mosque di kejauhan sana hanya tampak pucuk-pucuk kubah dan menaranya saja, yang kusaksikan kini tetaplah Istanbul. Sihir indahnya tidak pernah berkurang dilihat dari sisi mana pun. 

Sebuah kapal pesiar melintas di tengah Selat, barangkali menuju Emononu dekat Old Town atau yang dikenal sebagai area Fetih. Deru mesin dan klakson kapal-kapal bersatu padu dengan suara ringkikan gagak laut yang terbang di segenap penjuru laut. Aku memejamkan mata, berharap ruh kota ini semakin merasuk lebih jauh ke dalam jiwa. 

Di sinilah peradaban demi peradaban pernah berjaya. Di sini pula seorang panglima Islam yang telah membuatku terkesima berjuang dengan begitu menawan. Aku membayangkan seolah semuanya ada di depan mataku. Kapal-kapal kekhalifahan Ustmani yang mengarungi selat dengan layar-layar terkembang seumpama bukit yang menjulang ke langit, dan permadani-permadani aneka warna yang dijual di bawah atap melengkung. Bahkan dalam khayalan pun, semua itu terlihat indah.

Banyak orang yang pernah datang ke kota ini mengatakan jatuh cinta. Ada yang jatuh cinta pada orang-orangnya, pada panggilan shalat yang berpendar dari seribu masjidnya, pada sejarahnya, pada bangunan-bangunannya, dan pada laut yang mengelilinginya. Tidak sedikit pula yang mengatakan kota ini adalah kampung halaman mereka, meskipun baru berkunjung ke sini dua atau tiga kali saja. Demikian pula aku. Ini adalah kunjungan pertama, namun aku sudah merasa seperti di rumah sendiri. Bertahun-tahun lamanya aku bermimpi untuk menjejakkan kaki di kota ini, di negara ini, hingga akhirnya Allah mengabulkan impian tersebut.

“Hi. Ini pesanan Anda. Enjoy your meals.” Pelayan tadi datang lagi. Senyumnya merekah sambil menurunkan pesananku.

“Tesekkur ederim.” Aku berucap lirih. Tanpa sebuah senyuman.

Ia mengedipkan mata seraya menjawab, “Rica ederim.” Kemudian kembali berjalan menjauh.

Teh yang disajikan dalam gelas berbentuk tulip menarikku untuk segera menyeruputnya. Nikmat sekali bisa minum teh di tengah udara sedingin ini. Orang-orang di sekelilingku masih asik berbincang satu sama lain, terkadang terdengar tawa di antara mereka. Berbeda denganku, suhu seperti sekarang tentu sudah hangat bagi mereka, jadi kajet dan syal saja sudah cukup. 

“Halo. May I sit here?” sapaan ini membuat aku menengadah seketika.

Seorang gadis bertubuh jangkung telah tersenyum sangat lebar untukku. Tubuhnya terbalut overcoat berwarna biru donker dengan syal tebal berwarna merah muda melilit lehernya. Wajahnya yang manis terlihat kecil dan balutan hijab tebal berwarna tosca. 

Aku tersenyum, menunjuk kursi sebagai isyarat bahwa ia boleh duduk di sana. 

“Kakiku masih sakit. Tadi aku terpleset karena salju yang masih menumpuk di sisi-sisi jalan. Padahal sudah pakai sepatu musim dingin terbaik yang kupunya.” Tanpa basa-basi ia langsung saja bercerita. Tangannya sibuk memukul kecil kakinya yang terbungkus boot kulit tinggi mencapai lutut.

“Siapa namamu?” tanyaku tidak tertarik untuk menimpali ceritanya.

“Oh,” ia seperti baru sadar bahwa kami belum berkenalan. Tangannya yang terbungkus kaos berwarna merah muda dijulurkan, “I am Alena Muslimovic from Bosnia  and Herzegovina. Tepatnya aku tinggal di Sarajevo. Lain kali kau wajib datang ke sana.” Ia langsung memperkenalkan diri panjang. “Dan kamu?”

“Aku Elsa Zhanzabila from Indonesia.” Kataku.

“Just it is?” 

Aku mengernyit, memahami pertanyaannya. Dan oh, mungkin dia ingin sebuah perkenalan lengkap seperti yang sudah ia ucapkan sebelumnya. Mau tidak mau aku kembali memperkenalkan diri, “I am Elsa Zhanzabila from Indonesia. Tepatnya aku tinggal di pulau Bintan, sekitar 2 jam dari Singapura via ferry. Jika kau ingin melihat banyak pulau dan pantai yang indah, lain kali kau wajib datang ke sana.”

“Okay it’s perfect. Halo Elsa. Nice to meet you.”

Sesaat aku dibuat terheran-heran pada keramahan perempuan ini. Dalam hati aku sudah menyangka yang tidak-tidak. Bagaimana kalau dia ini seorang scam city? Kudengar banyak scam city yang berkeliaran di Istanbul. biasanya mereka akan mengincar turis dengan trik mengajak berkenalan.

“Halo.” Balasku pendek.

Alena segera melambaikan tangan pada seorang pelayan. Secangkir kopi Turki dan special baklava menjadi pilihannya. Ia kemudian menyandarkan tubuhnya ke kursi, tangan bersedekap, dan menatap ke arahku seolah ia sedang berpikir keras mengenai suatu hal. Meskipun sedang menunduk sambil memainkan gelas teh, aku tetap bisa merasakan kalau sedang diperhatikan.

“Selama aku hidup, kaulah satu-satunya orang Indonesia yang sangat tidak ramah yang pernah kutemui.” Ucapnya.

“Sorry?” aku mengkonfirmasi apa yang barusan ia ucapkan.

“Iya. Kau tidak ramah.” Katanya lagi seraya menganggukkan kepala. “Ayo, ceritakan padaku. Apa tujuanmu datang ke Istanbul? Kuperhatikan kau sedang dilanda masalah besar lalu melarikan diri ke sini. Berharap mendapatkan ketenangan. Benarkah?”

Aku tersenyum kecil. “Kau salah, Alena. Kedatanganku ke mari bukan untuk lari dari apa pun. Aku akan berkunjung ke suatu tempat di negara ini untuk sebuah alasan.”

“Ya, aku juga datang ke Istanbul karena suatu alasan. Make it clear, Elsa. Apa alasanmu? Hmm...” Ia berpikir sejenak. “Cinta? Benarkah? Kurasa itu.”

Ah, kuakui wanita ini memang pandai. Entah itu memang pandai mengamati orang lain atau ia hanya menerka, yang jelas apa yang ia katakan memang benar. Kuanggukkan kepala tanpa semangat, menunduk, melihat gelas teh.

Senyum lebar Alena merekah bersamaan dengan wajah tidak percayanya. “Oh, really? Kalau begitu biarkan aku ikut bersamamu.” Ia berkata seolah tanpa beban.

Tawaran Alena hanya kusahut dengan sebuah ejekan, “Kau gila.” 

Ia tertawa kecil dan baru berhenti ketika pelayan menyajikan menu yang sudah ia pesan. Setelah menyeruput kopi, ia kembali bicara, “Serius, Elsa. Biarkan aku ikut denganmu.”

“Tidak ada yang bisa menjamin kau tidak akan merepotkanku. Lagipula kita baru saja berkenalan. Siapa tahu kau seorang buronan internasional. Aku tidak mau dapat masalah hanya karena menerima permintaanmu itu.” Ucapku sungguh-sungguh.

Sepertinya Alena tidak main-main dengan ucapannya. Ia merogoh tas kulit berwarna hitam yang sejak tadi ia dudukkan di bawah kakinya. Tak berapa lama, ia sudah menggenggam sebuah dompet lalu mengeluarkan semua kartu yang menurutnya pantas untuk diperlihatkan. Kartu kependudukan, surat ijin mengemudi, paspor, empat buah ATM, dan dua buah kartu kredit, kini sudah berjejer di atas meja. 

“Kalau masih belum cukup juga, aku akan menunjukkan blog pribadiku agar kau percaya. Blog itu cukup terkenal di Bosnia sana. Dan aku juga perempuan bersih, sedikit pun tidak ada masalah dengan polisi. Setelah melihat keadaanmu dan mendengar tujuanmu datang ke negara ini, tiba-tiba aku tertarik untuk menyaksikan apa yang akan terjadi. Apakah kalian akan punya sebuah happy ending? Percayalah, aku tidak akan menyusahkanmu. Aku juga punya uang untuk membayar ongkosku sendiri. Dan... uhm, aku juga sedang butuh sebuah kesibukan saat ini. Okay, are we deal?” katanya sambil memungut kembali semua kartu yang sudah ia tunjukkan.

“Baiklah. Dan jangan pernah menyusahkanku. Jika kau mati di tengah perjalanan, jangan pernah berharap aku akan mengurus jenazahmu.”

Matanya membelalak. Namun kemudian ia tertawa, “Ucapanmu ngeri sekali. Kurasa kamu tidak punya banyak teman di dunia ini.”

“Jangan sok tahu.” Kataku lirih.

“Baik-baik.” Alena mengangkat kedua tangannya. “Kalau begitu, sekarang ceritakanlah. Bagaimana kau bisa berkenalan dengan lelaki itu?”

Aku menunduk semakin dalam. Jari-jariku sedang memegang potongan kiwi, tapi tidak berniat untuk memakannya. Perkenalan? Sebuah perkenalan yang tidak istimewa. Bahkan mungkin menurut kebanyakan orang, perkenalan ini akibat ulahku sendiri. Jadi nanti, bila aku menerima kenyataan pahit, aku tidak pernah punya alasan untuk menyalahkan siapa pun. Karena aku sendirilah yang mencari-cari jurang agar orang lain bisa mendorongku jatuh ke dalamnya, menemui kematian.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...