Aku
tidak ingat berapa kali aku telah jatuh cinta pada seorang lelaki. Mungkin dua,
mungkin tiga. Yang kutahu, meski tidak bisa dikatakan indah, cintaku kali ini
berbeda dari yang lain. Cinta yang membawaku ke kota ini, ke negara ini. Cinta
yang membuatku merasa begitu dekat dengan warna-warni bangunan tua yang ada di
sekelilingku kini, dengan cahaya berkilauan yang jatuh pada birunya Bosphorus dan
Marmara, dan pada kawanan gagak laut yang terbang rendah bersama suara klakson
kapal-kapal yang merapat di pelabuhan.
Kedatanganku
ke negara ini bukanlah untuk sebuah pembuktian cinta, melainkan hanya ingin
melihat kenyataan tentang seseorang yang kucintai. Selain itu, aku juga datang
untuk menunaikan sebuah cinta yang selama ini mekar begitu indah di dalam hati.
Ya, aku telah jatuh cinta pada kota klasik ini sejak umurku 14 tahun, sejak
cinta pada lelaki itu belum tumbuh di hatiku sedikit pun.
Sekarang
aku sedang duduk di sudut sebuah cafe bernama Boon Restaurant and Cafe yang
terletak di pinggir Golden Horn bagian Cingelkoy, Istanbul. Saat pertama kali
aku mendorong pintunya, sudah bisa kupastikan bahwa restoran ini menjadi
favorit para Turis mancanegara. Lihat saja di bagian kiriku, semua yang duduk
di sana adalah orang-orang berparas Barat dengan bahasa Prancis. Lalu di depanku,
ada sepasang muda-mudi yang asik bercengkerama dengan bahasa Inggris dengan si
lelaki berlogat Turki, dan yang perempuan berlogat Cina. Aku menerka keduanya
adalah sepasang kekasih yang menjalin hubungan jarak jauh. Lalu setelah sekian
lama, mereka bertemu di cafe ini. Atau mungkin apabila aku salah, bisa saja
wanita Cina itu memang sedang menempuh pendidikan atau bekerja di negara ini.
Angin dingin menusuk tulang masih berembus dari selat Bosphorus, padahal sekarang sudah masuk musim Semi. Aku merapatkan jaket, kemudian melirik layar ponsel. Suhu 13 dejarat celcius. Ah, ini masih tergolong sangat dingin bagi aku yang terbiasa hidup di wilayah tropis.
Angin dingin menusuk tulang masih berembus dari selat Bosphorus, padahal sekarang sudah masuk musim Semi. Aku merapatkan jaket, kemudian melirik layar ponsel. Suhu 13 dejarat celcius. Ah, ini masih tergolong sangat dingin bagi aku yang terbiasa hidup di wilayah tropis.
Seorang
pelayan laki-laki berseragam hitam putih menghampiriku. Sebuah notes lengkap
dengan pulpen ia genggam rapat-rapat. Ia hanya tersenyum setelah memberi ucapan
selamat sore, lalu bersiap-siap untuk menuliskan pesananku.
“Cay
dan buah yang disiram minyak zaitun.” Kataku.
“Apa
ada yang lain?” ia bertanya dalam bahasa Inggris.
Aku
menggeleng kecil, lalu berseru dengan sedikit bahasa Turki. “Yok. Itu sudah
cukup.”
“Evet.
Pesanan Anda akan segera datang.” Katanya dengan senyuman ramah.
Tak
ada kalimat apa-apa lagi dari bibirku selain sebuah senyuman kecil. Setelah
pelayan itu pergi, mataku segera berputar menyaksikan lanskap Istanbul yang
terlihat jelas dari tempatku duduk kini. Jembatan Bosphorus berada tepat di
depan, mungkin berjarak tidak sampai satu kilometer. Meskipun Hagia Sophia dan
Blue Mosque di kejauhan sana hanya tampak pucuk-pucuk kubah dan menaranya saja,
yang kusaksikan kini tetaplah Istanbul. Sihir indahnya tidak pernah berkurang dilihat
dari sisi mana pun.
Sebuah
kapal pesiar melintas di tengah Selat, barangkali menuju Emononu dekat Old Town
atau yang dikenal sebagai area Fetih. Deru mesin dan klakson kapal-kapal
bersatu padu dengan suara ringkikan gagak laut yang terbang di segenap penjuru
laut. Aku memejamkan mata, berharap ruh kota ini semakin merasuk lebih jauh ke
dalam jiwa.
Di
sinilah peradaban demi peradaban pernah berjaya. Di sini pula seorang panglima
Islam yang telah membuatku terkesima berjuang dengan begitu menawan. Aku
membayangkan seolah semuanya ada di depan mataku. Kapal-kapal kekhalifahan
Ustmani yang mengarungi selat dengan layar-layar terkembang seumpama bukit yang
menjulang ke langit, dan permadani-permadani aneka warna yang dijual di bawah
atap melengkung. Bahkan dalam khayalan pun, semua itu terlihat indah.
Banyak
orang yang pernah datang ke kota ini mengatakan jatuh cinta. Ada yang jatuh
cinta pada orang-orangnya, pada panggilan shalat yang berpendar dari seribu
masjidnya, pada sejarahnya, pada bangunan-bangunannya, dan pada laut yang
mengelilinginya. Tidak sedikit pula yang mengatakan kota ini adalah kampung
halaman mereka, meskipun baru berkunjung ke sini dua atau tiga kali saja. Demikian
pula aku. Ini adalah kunjungan pertama, namun aku sudah merasa seperti di rumah
sendiri. Bertahun-tahun lamanya aku bermimpi untuk menjejakkan kaki di kota
ini, di negara ini, hingga akhirnya Allah mengabulkan impian tersebut.
“Hi.
Ini pesanan Anda. Enjoy your meals.” Pelayan tadi datang lagi. Senyumnya
merekah sambil menurunkan pesananku.
“Tesekkur
ederim.” Aku berucap lirih. Tanpa sebuah senyuman.
Ia
mengedipkan mata seraya menjawab, “Rica ederim.” Kemudian kembali berjalan
menjauh.
Teh
yang disajikan dalam gelas berbentuk tulip menarikku untuk segera
menyeruputnya. Nikmat sekali bisa minum teh di tengah udara sedingin ini. Orang-orang
di sekelilingku masih asik berbincang satu sama lain, terkadang terdengar tawa
di antara mereka. Berbeda denganku, suhu seperti sekarang tentu sudah hangat
bagi mereka, jadi kajet dan syal saja sudah cukup.
“Halo.
May I sit here?” sapaan ini membuat aku menengadah seketika.
Seorang
gadis bertubuh jangkung telah tersenyum sangat lebar untukku. Tubuhnya terbalut
overcoat berwarna biru donker dengan syal tebal berwarna merah muda melilit
lehernya. Wajahnya yang manis terlihat kecil dan balutan hijab tebal berwarna
tosca.
Aku
tersenyum, menunjuk kursi sebagai isyarat bahwa ia boleh duduk di sana.
“Kakiku
masih sakit. Tadi aku terpleset karena salju yang masih menumpuk di sisi-sisi
jalan. Padahal sudah pakai sepatu musim dingin terbaik yang kupunya.” Tanpa
basa-basi ia langsung saja bercerita. Tangannya sibuk memukul kecil kakinya
yang terbungkus boot kulit tinggi mencapai lutut.
“Siapa
namamu?” tanyaku tidak tertarik untuk menimpali ceritanya.
“Oh,”
ia seperti baru sadar bahwa kami belum berkenalan. Tangannya yang terbungkus
kaos berwarna merah muda dijulurkan, “I am Alena Muslimovic from Bosnia and Herzegovina. Tepatnya aku tinggal di
Sarajevo. Lain kali kau wajib datang ke sana.” Ia langsung memperkenalkan diri
panjang. “Dan kamu?”
“Aku
Elsa Zhanzabila from Indonesia.” Kataku.
“Just
it is?”
Aku
mengernyit, memahami pertanyaannya. Dan oh, mungkin dia ingin sebuah perkenalan
lengkap seperti yang sudah ia ucapkan sebelumnya. Mau tidak mau aku kembali
memperkenalkan diri, “I am Elsa Zhanzabila from Indonesia. Tepatnya aku tinggal
di pulau Bintan, sekitar 2 jam dari Singapura via ferry. Jika kau ingin melihat
banyak pulau dan pantai yang indah, lain kali kau wajib datang ke sana.”
“Okay
it’s perfect. Halo Elsa. Nice to meet you.”
Sesaat
aku dibuat terheran-heran pada keramahan perempuan ini. Dalam hati aku sudah
menyangka yang tidak-tidak. Bagaimana kalau dia ini seorang scam city? Kudengar
banyak scam city yang berkeliaran di Istanbul. biasanya mereka akan mengincar
turis dengan trik mengajak berkenalan.
“Halo.”
Balasku pendek.
Alena
segera melambaikan tangan pada seorang pelayan. Secangkir kopi Turki dan
special baklava menjadi pilihannya. Ia kemudian menyandarkan tubuhnya ke kursi,
tangan bersedekap, dan menatap ke arahku seolah ia sedang berpikir keras
mengenai suatu hal. Meskipun sedang menunduk sambil memainkan gelas teh, aku
tetap bisa merasakan kalau sedang diperhatikan.
“Selama
aku hidup, kaulah satu-satunya orang Indonesia yang sangat tidak ramah yang
pernah kutemui.” Ucapnya.
“Sorry?”
aku mengkonfirmasi apa yang barusan ia ucapkan.
“Iya.
Kau tidak ramah.” Katanya lagi seraya menganggukkan kepala. “Ayo, ceritakan
padaku. Apa tujuanmu datang ke Istanbul? Kuperhatikan kau sedang dilanda
masalah besar lalu melarikan diri ke sini. Berharap mendapatkan ketenangan. Benarkah?”
Aku
tersenyum kecil. “Kau salah, Alena. Kedatanganku ke mari bukan untuk lari dari
apa pun. Aku akan berkunjung ke suatu tempat di negara ini untuk sebuah alasan.”
“Ya,
aku juga datang ke Istanbul karena suatu alasan. Make it clear, Elsa. Apa
alasanmu? Hmm...” Ia berpikir sejenak. “Cinta? Benarkah? Kurasa itu.”
Ah,
kuakui wanita ini memang pandai. Entah itu memang pandai mengamati orang lain
atau ia hanya menerka, yang jelas apa yang ia katakan memang benar. Kuanggukkan
kepala tanpa semangat, menunduk, melihat gelas teh.
Senyum
lebar Alena merekah bersamaan dengan wajah tidak percayanya. “Oh, really? Kalau
begitu biarkan aku ikut bersamamu.” Ia berkata seolah tanpa beban.
Tawaran
Alena hanya kusahut dengan sebuah ejekan, “Kau gila.”
Ia
tertawa kecil dan baru berhenti ketika pelayan menyajikan menu yang sudah ia
pesan. Setelah menyeruput kopi, ia kembali bicara, “Serius, Elsa. Biarkan aku
ikut denganmu.”
“Tidak
ada yang bisa menjamin kau tidak akan merepotkanku. Lagipula kita baru saja
berkenalan. Siapa tahu kau seorang buronan internasional. Aku tidak mau dapat
masalah hanya karena menerima permintaanmu itu.” Ucapku sungguh-sungguh.
Sepertinya
Alena tidak main-main dengan ucapannya. Ia merogoh tas kulit berwarna hitam
yang sejak tadi ia dudukkan di bawah kakinya. Tak berapa lama, ia sudah
menggenggam sebuah dompet lalu mengeluarkan semua kartu yang menurutnya pantas
untuk diperlihatkan. Kartu kependudukan, surat ijin mengemudi, paspor, empat
buah ATM, dan dua buah kartu kredit, kini sudah berjejer di atas meja.
“Kalau
masih belum cukup juga, aku akan menunjukkan blog pribadiku agar kau percaya.
Blog itu cukup terkenal di Bosnia sana. Dan aku juga perempuan bersih, sedikit
pun tidak ada masalah dengan polisi. Setelah melihat keadaanmu dan mendengar
tujuanmu datang ke negara ini, tiba-tiba aku tertarik untuk menyaksikan apa
yang akan terjadi. Apakah kalian akan punya sebuah happy ending? Percayalah,
aku tidak akan menyusahkanmu. Aku juga punya uang untuk membayar ongkosku
sendiri. Dan... uhm, aku juga sedang butuh sebuah kesibukan saat ini. Okay, are
we deal?” katanya sambil memungut kembali semua kartu yang sudah ia tunjukkan.
“Baiklah.
Dan jangan pernah menyusahkanku. Jika kau mati di tengah perjalanan, jangan
pernah berharap aku akan mengurus jenazahmu.”
Matanya
membelalak. Namun kemudian ia tertawa, “Ucapanmu ngeri sekali. Kurasa kamu
tidak punya banyak teman di dunia ini.”
“Jangan
sok tahu.” Kataku lirih.
“Baik-baik.”
Alena mengangkat kedua tangannya. “Kalau begitu, sekarang ceritakanlah.
Bagaimana kau bisa berkenalan dengan lelaki itu?”
Aku
menunduk semakin dalam. Jari-jariku sedang memegang potongan kiwi, tapi tidak
berniat untuk memakannya. Perkenalan? Sebuah perkenalan yang tidak istimewa.
Bahkan mungkin menurut kebanyakan orang, perkenalan ini akibat ulahku sendiri.
Jadi nanti, bila aku menerima kenyataan pahit, aku tidak pernah punya alasan
untuk menyalahkan siapa pun. Karena aku sendirilah yang mencari-cari jurang
agar orang lain bisa mendorongku jatuh ke dalamnya, menemui kematian.
No comments:
Post a Comment