Monday, 27 February 2017

Mendung, dan Percakapan Manis




Langit mendung, angin bertiup menggugurkan dedaunan kering, dan aku menyukai suasana ini. Entah mengapa, sejak dulu aku menyukai langit yang kelabu. Sebaliknya, aku tak begitu suka pada intensitas cahaya matahari yang terlalu tinggi dan panas. Percaya atau tidak, aku selalu menutup gorden rumah di waktu pagi. Tahu kenapa? Karena rumahku menghadap ke Timur sehingga matahari pagi terasa ganas sekali menerobos ke dalam. Andai bisa memilih, aku ingin matahari tak perlu bersinar terik sepanjang tahun. 

Dulu, semasa kuliah, hatiku terasa begitu bahagia ketika mendung dan angin datang bersamaan dengan aku yang sedang  berjalan kaki. Aku senang menyusuri trotoar pada saat-saat seperti itu. Aku suka ketika pakaianku beterbangan kemudian aku bisa bersedekap sambil berjalan. Kalau sudah begitu, aku akan membayangkan diriku berjalan di sebuah jalanan yang diapit pepohonan meranggas, di tepian musim gugur. Mungkin di salah satu jalan di desa kecil Transylvania, menuju kastil Dracula bermenara lancip yang terkenal itu. 

“Bukankah itu menyenangkan? Maksudku menjadi seseorang yang suka berkhayal?” tanyaku padamu. 

Kau tersenyum sambil menggelengkan kepala, kemudian menarik cangkir cappucino, menyeruputnya sedikit.

“Mengapa Transylvania? Kenapa kau tidak menghayalkan sebuah jalanan desa di Inggris misalnya? Kurasa akan lebih menyenangkan. Aku pernah mengunjungi desa Castle Combe, sekitar 40 menit naik kereta dari Bristol, dan rasanya tidak ada tempat di dunia ini yang lebih klasik dari itu. Jadi sekali lagi, kanapa harus Transylvania?”

Sesaat aku membuka mulut. Pertanyaan ini sungguh di luar dugaan. Tapi kemudian aku tersenyum, lalu menopang dagu dengan kedua tangan. Jika kau melihat mataku saat ini, pasti keduanya sedang bersinar terang, seterang mimpi tentang Transylvania.

“Karena aku menyukai sejarah. Kau boleh percaya atau tidak, aku adalah pecinta nomor wahid tentang sejarah kekhalifahan Turki Ustmani. Dan di Transylvania, di sanalah berdiri kastil Dracula yang merekam sejarah mendebarkan, memiliki desain klasik, juga beratmosfer mencekam. Tiga hal ini menjelma sihir tersediri bagiku.”

Kau terlihat berpikir selama beberapa saat.

“Lalu apa hubungan antara Turki Ustmani dan Dracula?”

Sekarang aku bisa tertawa. Untuk pertama kalinya aku merasa wawasanku berada satu tingkat di atasmu.

“Selama ini kau pasti terlalu fokus dengan buku-buku ilmiah.” Kataku cemberut. “Seharusnya kau sudah tahu tentang fakta Dracula yang meregang nyawa di ujung pedang Muhammad Al Fatih. Jangan bilang kau juga tidak kenal siapa itu Muhammad Al Fatih.”

“Aku tahu. Tadi hanya ingin membuatmu sedikit senang saja.” Kini giliran kau yang tersenyum mengejek. Tapi aku tidak akan percaya begitu saja. 

“Kalau begitu... ceritakanlah!”

Kau mengawali cerita dengan senyuman istimewa. Kenapa istimewa? Karena siapapun yang melihatnya pasti tak akan tega marah berlama-lama. Lalu kau mulai menjelaskan dengan detail dan bahasa yang indah mengenai siapa itu Muhammad Al Fatih. Mendengar penuturanmu, aku seperti merasa sosok Al Fatih ada di meja ini, kemudian duduk dan memperhatikan kita berdua seraya tersenyum kebapakan. Ah, lagi-lagi aku berkhayal!

Kemudian ceritamu berlanjut tentang hubungan antara Al Fatih dan Dracula saat mereka berdua sama-sama belajar di bawah pengasuhan guru yang sama, seorang Sheikh yang ‘alim sekaligus penasehat Sultan. Kau terus bercerita dengan runut, jelas, dan tentu saja berdasarkan pengetahuan yang benar.

“Faktanya Dracula memang mati di tangan Al Fatih. Tapi kita tidak boleh lupa satu hal, bahwa sejarah adalah milik mereka yang menang. Dracula boleh kalah saat itu, tapi kemudian sejarah mencatat, pada akhirnya kekhalifahan Turki Ustmani runtuh di bawah kekuasaan Barat. Mereka—orang-orang Barat—yang tak menyukai Ottoman, bisa dengan leluasa menukar sejarah. Lalu para generasi penerus didoktrin melalui film-film yang menceritakan kehebatan manusia penghisap darah alias Dracula. Bukan main, mereka menjadikan sosok kejam itu sebagai tokoh utama. Dan kau pasti tahu film Dracula Untold, kan? Lihatkah bagaimana lihainya mereka memutar balikkan fakta.”

“Mengapa kau terlalu pintar? Seharusnya kau tidak perlu tahu cerita ini, sehingga akulah yang akan menceritakannya padamu.” Aku berucap kecewa.

“Aku tidak pintar. Percayalah. Aku hanya senang membaca apa yang kau senangi. Sejak pertama bertemu denganmu, aku tahu kau menyukai segala sesuatu tentang Ottoman. Aku hanya ingin menjadi teman diskusi yang baik. Bagimu.”

Kali ini wajahku berubah mengasihani sesuatu.

“Kau tak perlu melakukan itu. Bersama bukan berarti kau harus menyukai segala sesuatu yang kusukai. Demikian pula aku yang tak harus menyukai segala sesuatu yang kau sukai juga.”

Tapi kau menggeleng.

“Tidak. Sejak aku memutuskan bersama denganmu, aku juga memutuskan bahwa kita akan melakukan apa-apa yang kau sukai, dan apa-apa yang kusukai, bersama-sama. Itu hal sederhana. Lagipula hati manusia tidak pernah rumit. Sistem di dalam hati kita sudah terprogram begitu baik. Mereka akan spontan menyukai segala sesuatu yang disukai oleh orang-orang yang kita sukai. Ah, kenapa bahasanya jadi rumit begini.” Kau menyengir kesal.

Aku tertawa. Bagiku itu tadi lucu. 

Menyukai segala sesuatu yang disukai oleh orang-orang yang kita sukai.

“Aku suka makan risoles yang disiram mayones, yoghurt, dan saos tomat. Bagaimana, kau bersedia menyukainya juga?” tanyaku.

“Kecuali yang itu.” Jawabmu datar, tak ada toleransi.

2 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...