Aku pernah berkisah padamu tentang betapa aku telah
jatuh cinta pada sebuah negara di Semenanjung Balkan. Negara tersebut bernama
Bosnia Herzegovina. Tidak jauh berbeda dengan latar belakangku mencintai Turki,
Bosnia pun telah menarik hatiku karena sejarahnya. Mendengar nama Bosnia,
setiap memori pasti akan terlempar pada peristiwa dalam rentang tahun 1992-1995,
dimana lebih kurang 8000 lelaki dewasa dan anak-anak etnis Bosnia dibantai dengan
tragis di sebuah kamp pengungsian di Srebrenica. Padahal sebelumnya sudah
disiarkan PBB bahwa kamp ini adalah tempat yang aman. Di sana juga berjaga
tidak kurang dari 400 tentara Belanda. Sayang, Belanda justru memilih menyerahkan
5000 Muslim Bosnia hanya demi menebus 14 tentara mereka yang ditahan Serbia. Pembantaian
pun terjadi dan sejarah mencatat bahwa itu adalah peristiwa kejam yang mengelamkan
sejarah kehidupan manusia.
Beberapa menit lalu, saat membuka timeline tweeter, aku baru tersadar kalau hari ini adalah peringatan ke-20 peristiwa tersebut. Di Bosnia sendiri, peringatan genosida ini dihadiri langsung oleh perdana menteri Serbia. Aku percaya, hari ini pula, ribuan doa terbaik berlomba naik menyentuh arsyi. Semoga Allah menerima segala amal ibadah saudara-saudari kita yang menjadi korban pada hari ini, 20 tahun lalu... Dan semoga kita bisa mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut.
Berikut saya cantumkan tulisan saya satu tahun lalu
tentang Bosnia. Fiksi belaka.
***
Aku kembali ke
apartemen ketika senja telah hilang. Sejak kejadian siang tadi, aku memilih
menghabiskan waktu di Galata Tower. Duduk sendiri menanti senja turun. Jasmina
barangkali langsung pulang. Ia pergi tanpa menoleh sekalipun. Mungkin kalimatku
tadi terlalu berlebihan.
Aku pernah membaca
sebuah kalimat yang menyebutkan bahwa para wanita bisa memendam cintanya selama empat puluh
tahun, namun mereka tidak pernah bisa memendam amarah walau sedetik pun. Awalnya
aku sangat membenarkan kalimat itu. Tapi setelah bertemu Jasmina, aku merasa
kalimat itu tidak berlaku sama sekali. Jasmina tidak pernah marah padaku.
Berkali-kali aku bersikap cuek padanya, mengacuhkannya, terkadang seperti
memperlihatkan wajah tidak suka, tapi ia tidak pernah menanggapi serius. Kali
ini, aku masih juga belum bisa memastikan kebenaran kalimat itu. Jasmina tidak
meledak-ledak ketika aku berbicara sekasar tadi. Ia hanya mengucapkan
terimakasih lirih, kemudian berlalu pergi. Apakah aku bisa menyimpulkan bahwa
ia marah? Tapi mengapa tidak diluapkannya saja kemarahan itu, menamparku
barangkali, memaki-makiku di depan orang banyak? Entahlah, sikapnya yang
seperti itu justru membuatku sakit.
Setelah
berkali-kali kupikir ulang, ada baiknya juga ucapan kasarku tadi. Hanya dengan
cara seperti itu, dia bisa menjauhiku. Hidupku yang normal ini tidak akan
berlangsung lama. Aku yakin, dalam waktu satu atau dua hari ke depan, Ben pasti
sudah menghubungiku. Belum lagi soal minuman yang tidak bisa kulepaskan.
Biarlah Jasmina menjalani kehidupannya seperti sebelumnya, dan aku menjalani
kehidupanku sendiri. Kita sudah terbiasa hidup begitu, jadi tidak akan terlalu
sulit.
Aku membuka kunci
apartemen. Tadi sebelum menaiki tangga aku sempat melihat pintu apartemen Tuan
Güzel. Tertutup. Sepertinya terkunci dari luar. Di dalamnya juga sepi. Mereka
tampaknya belum pulang dari Antalya.
Setelah membuka
sepatu dan jaket, aku membenamkan diri di atas tempat tidur. Seperti ada yang
mengganjal di saku celana. Tanganku merogoh dengan malas. Hanya sebotol Doluca[1]
yang tadi kubeli sambil lalu. Sekarang hasrat itu belum datang, jadi
kulemparkan saja ke samping kanan, di sisi tempat tidur yang tidak kutiduri.
Aku memejamkan
mata, mencoba terlelap. Tapi semakin aku berusaha mengosongkan pikiran, wajah Jasmina
justru semakin memenuhi kepala. Menyusul wajah Ishak, Ayah dan Ibu.
“Kau adikku. Aku
mencintaimu, jangan ulangi lagi perbuatanmu ini...”
Haruskah aku
mengulangi kalimat itu lagi, Jasmina?
Cemasku siang
tadi melebihi waktu kau meninggalkan pasar kala itu. Kau tidak akan pernah
mengerti, Jasmina. Berpuluh tahun aku kehilangan jejak semua keluargaku, lalu
aku dipertemukan kembali dengan adik yang begitu kusayangi, meskipun aku enggan
menunjukkannya. Bertahun-tahun aku pendam berbagai pertanyaan, apakah kau masih
hidup? Bagaimana kondisimu pada saat pembantaian di tahun 1992-1995?
Bertahun-tahun aku simpan permintaan maafku karena tidak bisa menjagamu kala
itu, atau setidaknya menggandeng tanganmu dan Ishak meninggalkan Sarajevo.
Takdir berbicara lain, aku terdampar di jalan yang berbeda. Semua itu
benar-benar kupendam begitu dalam hingga aku melupakannya. Aku tidak mengerti,
kenapa Tuhan mempertemukan kita di waktu yang tidak tepat.
Kamu tahu
Jasmina, Jasmina, air mata ini masih bisa mengalir seperti kala itu, aku
menangis di depan fotomu saat kamu tidur di rumah nenek. Sekarang aku paham,
mengapa sejak kecil aku tidak begitu menunjukkan cintaku, karena keadaan kita
di masa depan akan seperti ini. Seandainya aku terlalu dekat denganmu, kamu
pasti bisa mengenaliku dengan mudah, dan itu mimpi buruk. Hidupku sudah terlalu
jauh dari persimpangan tempatku terdampar.
Aku menarik
rambut kepala. Melemparkan bantal ke sembarang arah, lalu meninggalkan tempat
tidur, berjalan menuju jendela.
Mustafa...
Sebuah nama yang
indah. Andai saja aku bisa terus memakai nama itu.
“Ishak, Mustafa,
siap-siap shalat magrib.” Suara Ayah melintas dalam kepalaku. Meskipun selama
periode pemerintahan Yugoslavia tidak diperbolehkan menjalankan agama dengan
bebas, Ayah tetap memberikan pendidikan agama dengan baik di rumah.
Emperor Mosque
yang berdiri sekitar 300 meter dari rumah selalu sepi setiap harinya. Hanya
mereka yang bermental kuat yang tetap menjalankan ibadah di dalamnya. Masjid
itu justru hanya dijadikan tempat tujuan wisata. Desain Ottoman yang
menyepuhnya tidak bisa disembunyikan. Memiliki kubah-kubah dan menara yang sama
persis dengan kebanyakan masjid di Turki.
“Mustafa, jangan
mengejek adikmu seperti itu. Gemuk itu menunjukkan bahwa Jasmina tumbuh normal
dan sehat.” Untuk kesekian kalinya Ibu mengingatkanku. Jasmina kecil dengan pipinya
yang tembam sudah manyun terlebih dahulu. Memandangiku sebal dengan matanya
yang bulat.
“Lihatlah, Bu.
Bentuknya seperti balon. Itu pertanda dia tidak normal!” Aku kukuh dengan
sikapku yang terlihat membencinya.
“Tapi Jasmina itu
cantik. Teman-temanku suka padanya.” Ishak ikut menyahut sambil melahap baklava
buatan Ibu.
“Cantik dari
mananya? Dilihat dari sisi manapun tidak tampak cantik. Dia memalukan.”
Hanya akulah
satu-satunya orang yang mempermasalahkan berat badan Jasmina. Aku tidak
menyangka ia bisa secantik sekarang, namun mata yang membulat saat memandangi
orang lain itu tidak pernah berubah. Kurasa itulah alasanku memeluknya di depan
halaman Blue Mosque waktu itu.
Ishak? Aku tidak
tahu kepastian tentangnya. Pada hari naas itu kami tidak bisa bertemu. Jarak
antara kelasku dan kelas Ishak cukup jauh. Aku menyelematkan diri dengan
teman-teman sekelas, dan Ishak? Entahlah. Aku cukup terpukul ketika seseorang
membawa berita ke pengungsian, mengatakan salah satu gedung sekolah dihancurkan
oleh tentara Serbia. Aku masih mengerti doa ketika itu, satu-satunya
permohonanku untuk Ishak adalah agar Tuhan menyelamatkannya, bagaimanapun
caranya.
Tentara Serbia
benar-benar seperti iblis. Mereka memisahkan
semua laki-laki dewasa etnis kami, etnis Bosnia, dengan anggota keluarga
perempuan dan anak laki-laki di bawah 12 tahun. Setelah itu mereka akan meminta
para laki-laki itu berbaris sebelum akhirnya diberondong senjata mesin. Mereka tidak mempedulikan jeritan para wanita
dan tangisan anak-anak. Bagi mereka etnis Bosnia tidak berbeda dengan hewan
buruan yang layak mati di ujung senapan. Ketika para tentara itu mengejar
orang-orang Bosnia yang berusaha melarikan diri, mereka menganggapnya seperti
sedang berburu. Saat peluru senapan mereka menjatuhkan orang-orang Bosnia,
mereka tertawa terbahak-bahak dan berteriak senang pada sesama mereka
“Aku pemburu
ulung. Lihatlah aku berhasil menumbangkan lima. Kau sudah berhasil membidik
berapa buronan, Jack?”
“Sial! Lari
mereka ternyata cukup kencang juga. Tapi tidak apa, aku suka. Justru ini sangat
menantangku.”
Kembali mereka
terbahak-bahak, melajukan tank-tank baja ke pemukiman penduduk. Rumah-rumah
kebanyakan tidak utuh lagi. Asap membumbung tinggi dengan bau sangit dan daging
terbakar. Mayat menumpuk dimana-mana. Wujud mereka tidak lagi mudah dikenali,
tercabik-cabik, perut terburai, dan tidak sedikit juga yang telah terpisah jauh
dengan kepalanya.
Para tentara
Serbia memiliki persediaan senjata yang banyak, karena mendapat pasokan dari Soviet.
Sementara muslim Bosnia hanya melawan dengan senjata seadanya. Mungkin kamu
sudah lupa kawan, apa yang melatar belakangi perang Bosnia 1992-1995? Baiklah,
akan kuingatkan sedikit.
Bosnia
Herzegovina adalah sebuah negara di semenanjung Balkan yang termasuk ke dalam
Federasi Yugoslavia. Penduduknya mayoritas beragama Islam sejak masuknya Islam
pada abad ke-14 oleh Dinasti Ottoman. Runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991
menyebabkan efek domino yang berimbas pada Federasi Yugoslavia, sehingga harus
dipecah menjadi enam negara bagian, yaitu Bosnia, Serbia, Kroasia, Macedonia,
Slovenia, dan Montenegro.
Tiga negara yang
memiliki perbedaan etnis dan agama paling mencolok adalah Bosnia dengan etnis
Bosnia beragama Islam, Serbia dengan etnis Serbia beragama Ortodoks, dan
Kroasia yang beragama Katolik Roma. Serbia memiliki ambisi untuk menyatukan
kembali Federasi Yugoslavia dan sangat menentang berdirinya negara Bosnia yang
beragama Islam. Itulah sebabnya mereka melakukan merampasan wilayah dengan cara
menghabisi seluruh penduduk Bosnia.
Orang-orang
Serbia menganggap setiap muslim adalah orang-orang Turki yang menjajah
semenanjung Balkan, sehingga mereka semua—muslim—pantas diusir. Keyakinan
seperti ini mereka tanamkan sejak kecil. Sekolah-sekolah mereka mengajarkan
sebuah syair yang dikenal dengan syair iklil
al jabal. Syair ini mengungkapkan penghinaan yang begitu besar pada Islam.
Kira-kira
beginilah bait-bait syair keji itu:
Orang-orang
Islam melewati jalan setan
Mengotori
bumi dan mengisinya dengan kotoran
Makan
kembalilah kesuburan bumi
Mari
kita membersihkannya dari kotoran-kotoran ini
Mari
kita meludah di atas Al-Quran
Agar
terbang kepala semua beriman kepada agama mereka
Anjing-anjing
pengikut Muhammad
Hingga
dia pergi tanpa perlu dikasihani
Sekarang kamu setuju denganku bahwa syair itu begitu keji? Bahkan
jika aku hidup dalam lingkungan tak beragama pun, aku akan mengutuk orang-orang
yang membaca syair seburuk itu.
Kala itu aku
belum mengerti apa-apa tentang sebab pembantaian di kotaku Sajarevo, juga
kota-kota lain hingga ke desa-desa. Aku tidak paham mengapa para tentara itu
menghabisi penduduk negaraku dengan begitu kejam. Aku tidak tahu apa kesalahan
orang-orang Bosnia pada tentara-tentara itu.
Aku melihat
dengan mata kepalaku sendiri saat salah satu guru laki-lakiku diperlakukan keji.
Kedua kakinya ditembak sehingga ia tidak bisa menyelamatkan diri. Kemudian para
tentara itu melucuti pakaian Sang Guru, memainkan kemaluannya seperti sebuah
lawakan yang sangat menyenangkan. Para tentara itu tertawa terbahak-bahak.
Seorang tentara mengangkat pedangnya tinggi-tinggi.
“Hei, kawan. Aku
yakin bolaku akan melayang jauh. Kalian lihat.” ucapnya sambil terkekeh. Sesaat
kemudian ia mengayunkan pedangnya hingga menebas kepala Sang Guru. Kepala itu
menggelinding di atas tanah sebelum akhirnya dijadikan bola mainan para tentara
Serbia.
Semua kejadian di
masa itu, semua pembunuhan-pembunuhan sadis yang dilakukan di depan mataku,
membentuk diriku yang sekarang. Para tentara Serbia membunuh tanpa melihat baik
atau tidak objek yang dijadikan korban, bagi mereka kepentingan di atas
segala-galanya, itu juga paham yang kuanut sejauh ini. Ketika penduduk negaraku
boleh dibantai tanpa dosa, lalu kenapa aku tidak boleh melakukan hal yang sama
pada orang lain?
Kamu ingat kisah
para wanita di negaraku? Ketika mereka dikumpulkan pada satu tempat lalu para
tentara itu memperkosa mereka secara massal. Tujuan Serbia menghalalkan
pemerkosaan itu tidak lain agar para wanita Bosnia hamil kemudian melahirkan
anak-anak berdarah Serbia. Mereka benar-benar binatang! Seperti anjing yang
bisa kawin bermai-ramai!
Mungkin itu juga
satu-satunya alasanku ketika melakukan perbuatan keji itu pada seorang gadis
Ortodoks setahun yang lalu. Tentu saja sebelum membunuhnya. Setidaknya aku
masih punya sedikit kebaikan, karena tidak mengajak banyak orang untuk
melakukannya. Aku masih sedikit lebih baik daripada serombongan tentara Serbia
yang pernah kujumpai, ketika mereka bergantian memperkosa seorang gadis Bosnia
yang malang. Saat salah satu dari mereka menjalankan gilirannya, tentara yang
lain berkeliling melingkar, tertawa, bertepuk tangan, menyemangati, tanpa
peduli betapa kesakitan sang gadis yang menjadi korban.
Aku berhasil
meninggalkan Sajarevo bersama rombongan pengungsi yang terdiri dari para wanita
dan anak-anak. Perjalanan yang sama dengan yang ditembuh Jasmina. Hanya saja
kami tidak pernah bertemu. Sesampainya di Rumah Sakit Salafushi Barud, aku dibawa keluar dari Bosnia oleh seorang dokter relawan asal
Inggris. Namanya Meriam Issabel.
Meriam adalah
gadis mualaf 28 tahun yang ber-Islam setahun sebelum perang Bosnia. Dia wanita
yang cerdas, pada usianya yang belum genap dua puluh dua tahun dia telah
menyelesaikan pendidikan dokter di Universitas Bristol Kemudian melanjutkan
pendidikan spesialis bedah Jantung dan Pembuluh Darah ke Amerika. Seiring
bertambahnya pendidikan dan ilmu pengetahuan yang dibacanya, ia semakin
mencintai Islam yang sejak kecil memang sudah menarik perhatiannya.
Menurutnya semua teman-teman muslim yang
dikenalnya sangat ramah. Mereka juga teguh pendirian. Salah satu teman wanita
yang paling menginspirasinya adalah Sofia, seorang mahasiswi kedokteran asal
Indonesia. Sofia sama sekali tidak mau melepas hijabnya meskipun tidak ada
satupun yang mau berteman dengannya. Orang Inggris terkenal dengan ketertutupan
dan kesombongan mereka. Tidak mudah untuk akrab dengan orang Inggris. Keadaan
ini semakin memojokkan Sofia. Karena kekuatannya bertahan dalam kondisi itu,
Meriam tertarik untuk bertanya-tanya pada Sofia. Hingga akhirnya pertanyaan
demi pertanyaan itu berubah menjadi perbincangan yang membuka wawasan Meriam.
Mereka akhirnya berteman dekat, dan beberapa tahun kemudian Meriam memutuskan
untuk ber-Islam.
Kedatangannya ke
Bosnia karena niatnya untuk membantu korban perang dengan suka rela. Ia datang
sendiri, tanpa perlindungan di bawah bendera apapun. Semua negara memang seolah
menutup mata saat terjadinya perang Bosnia. Terlebih-lebih PBB yang justru
berada di belakang Serbia.
Berkali-kali para
dokter Bosnia meminta Meriam agar kembali saja ke Inggris. Kondisi di Bosnia
semakin memburuk. Para tentara itu mulai mengarahkan serangan ke luar kota
Sarajevo, tidak terkecuali ke kota tempat pengungsianku itu. Awalnya Meriam
menolak, namun kemudian ia merubah keputusan. Para dokter Bosnia itu ada
benarnya, masih banyak hal yang bermanfaat yang bisa dilakukannya di Inggris.
“Kau muslimah
yang cerdas, memiliki jiwa sosial yang tinggi. Jangan biarkan Islam kehilangan
gadis sepertimu. Jangan biarkan para tentara laknat itu menertawai kematianmu
di negara ini. Kembalilah, kau bisa melakukan banyak hal.”
Akhirnya Meriam
meninggalkan Bosnia dengan membawaku. Seorang bocah sepuluh tahun yang
ditolongnya sehari yang lalu. Ya, aku tiba di rumah sakit itu dalam keadaan
yang menyedihkan. Kakiku dipenuhi luka dan darah-darah yang mengering karena
harus berjalan berpuluh kilometer sebelumnya. Ketika berlari dari sekolah, aku
tidak menyadari kalau sepatu kananku lepas. Karena itulah, aku harus melewati
jalan berkerikil tajam tanpa sepatu, hanya daun-daun yang kuikatkan untuk
membalut kaki.
Di Inggris aku
hidup layaknya adik kandung Meriam. Dia merawatku dengan penuh kasih sayang.
Hanya saja peristiwa di negaraku tidak mudah untuk kulupakan begitu saja. Semua
keluargaku tidak jelas kabarnya. Aku tidak tahu apakah Ayah dan Ibu masih hidup
atau tidak. Aku juga tidak tahu keadaan Jasmina dan Ishak. Semua itu membuatku
murung sepanjang hari.
Setahun kemudian
aku baru bisa menjalani hidup sedikit lebih normal. Meriam memasukkanku di
sebuah sekolah di Inggris. Perang Bosnia masih berlanjut. Meriam tidak pernah
membolehkanku membaca berita tentang Bosnia atau mendengarkan berita dari
televisi.
“Semua itu akan
memperburuk keadaanmu, Mustafa. Tahanlah dulu. Doakan saja mereka.”
Hingga tiga tahun
kemudian aku masih hidup bersama Meriam. Dari ceritanya aku tahu bahwa perang
Bosnia telah berakhir. Semua itu berkat pertolongan Tuhan melalui tangan-tangan
mujahidin berbagai negara—kebanyakan veteran perang Afghanistan. Parade
kemenangan di kota Zenica pada tahun 1995 memperlihatkan betapa tangguhnya pasukan
mujahidin yang bergabung dengan mujahidin Bosnia itu. Mereka berpakaian serba
putih dengan senjata di depan dada. Aku sangat ingin menyaksikan parade itu
secara langsung. Tapi tidak mungkin. Saat itu aku hanya berharap, semua
keluargaku selamat dan bisa menyaksikan
parade kemenangan itu.
Meskipun kemenangan
telah digenggam, tetap saja keputusan PBB sangat merugikan pihak Bosnia. Mereka
telah menjalankan strategi licik. Ketika etnis Bosnia dibantai tanpa
perikemanusiaan oleh tentara Serbia, tidak ada yang bersuara sama sekali.
Seolah-olah menutup mata. Namun ketika mujahidin Bosnia bangkit—dengan bantuan
mujahidin berbagai negara—dan berhasil merebut kembali 51% wilayah Bosnia,
mereka mulai kebakaran jenggot. PBB dan negara-negara Barat mulai gencar memberikan
tekanan-tekanan politik dan ekonomi kepada pemerintah Bosnia. Akibatnya Bosnia
mengalami krisis ekonomi yang sangat menyiksa rakyat.
Keadaan itulah
akhirnya yang memaksa pemerintah Bosnia untuk menanda tangani perjanjian Dayton
di Paris, yang menandai berakhirnya perang Bosnia. Perjanjian yang berisi
persetujuan pemerintah Bosnia untuk memecah Bosnia Herzegovina menjadi dua
negara bagian, yaitu Federasi Bosnia yang terdiri dari etnis Bosnia dan
Kroasia, dan Republik Serbska yang diisi oleh etnis Serbia dan Serbia-Bosnia.
Kotaku Sarajevo masuk ke dalam Republik Serbska.
Baiklah,
setidaknya tidak ada lagi peperangan di tanah kelahiranku. Ini membuatku
sedikit bahagia. Meriam berjanji mengajakku kembali ke Bosnia tahun depan,
1996. Akupun menyetujuinya. Janji itu membuatku bersemangat menjalani hari-hari
di Inggris. Aku sudah memiliki banyak teman, memiliki banyak kegiatan, dan
benar-benar menganggap Meriam sebagai kakakku sendiri.
Sayangnya
kunjungan tahun 1996 yang telah direncanakan itu tidak pernah terwujud. Meriam
meninggalkanku sendiri. Nyawanya tidak tertolong pada saat kecelakaan mobil di
Bristol. Mulai saat itu, aku memperjuangkan sendiri hidupku.
***
Malam mulai merangkak
larut. Golden horn tampak berkilau. Memantulkan cahaya-cahaya lampu dari
gedung-gedung yang membingkainya, juga lampu-lampu kapal yang membelah
ketenangannya. Mengingatkanku pada sungai Milyatsa yang mengalir di kota
kelahiranku, Sarajevo.
No comments:
Post a Comment