Saturday, 11 July 2015

Special for Srebrenica Genocide Part 1: Sepenggal tentang Mustafa

                 Aku pernah berkisah padamu tentang betapa aku telah jatuh cinta pada sebuah negara di Semenanjung Balkan. Negara tersebut bernama Bosnia Herzegovina. Tidak jauh berbeda dengan latar belakangku mencintai Turki, Bosnia pun telah menarik hatiku karena sejarahnya. Mendengar nama Bosnia, setiap memori pasti akan terlempar pada peristiwa dalam rentang tahun 1992-1995, dimana lebih kurang 8000 lelaki dewasa dan anak-anak etnis Bosnia dibantai dengan tragis di sebuah kamp pengungsian di Srebrenica. Padahal sebelumnya sudah disiarkan PBB bahwa kamp ini adalah tempat yang aman. Di sana juga berjaga tidak kurang dari 400 tentara Belanda. Sayang, Belanda justru memilih menyerahkan 5000 Muslim Bosnia hanya demi menebus 14 tentara mereka yang ditahan Serbia. Pembantaian pun terjadi dan sejarah mencatat bahwa itu adalah peristiwa kejam yang mengelamkan sejarah kehidupan manusia.

              Beberapa menit lalu, saat membuka timeline tweeter, aku baru tersadar kalau hari ini adalah peringatan ke-20 peristiwa tersebut. Di Bosnia sendiri, peringatan genosida ini dihadiri langsung oleh perdana menteri Serbia. Aku percaya, hari ini pula, ribuan doa terbaik berlomba naik menyentuh arsyi. Semoga Allah menerima segala amal ibadah saudara-saudari kita yang menjadi korban pada hari ini, 20 tahun lalu... Dan semoga kita bisa mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut. 


              Berikut saya cantumkan tulisan saya satu tahun lalu tentang Bosnia. Fiksi belaka.

*** 




Aku kembali ke apartemen ketika senja telah hilang. Sejak kejadian siang tadi, aku memilih menghabiskan waktu di Galata Tower. Duduk sendiri menanti senja turun. Jasmina barangkali langsung pulang. Ia pergi tanpa menoleh sekalipun. Mungkin kalimatku tadi terlalu berlebihan. 

Aku pernah membaca sebuah kalimat yang menyebutkan bahwa para wanita bisa memendam cintanya selama empat puluh tahun, namun mereka tidak pernah bisa memendam amarah walau sedetik pun. Awalnya aku sangat membenarkan kalimat itu. Tapi setelah bertemu Jasmina, aku merasa kalimat itu tidak berlaku sama sekali. Jasmina tidak pernah marah padaku. Berkali-kali aku bersikap cuek padanya, mengacuhkannya, terkadang seperti memperlihatkan wajah tidak suka, tapi ia tidak pernah menanggapi serius. Kali ini, aku masih juga belum bisa memastikan kebenaran kalimat itu. Jasmina tidak meledak-ledak ketika aku berbicara sekasar tadi. Ia hanya mengucapkan terimakasih lirih, kemudian berlalu pergi. Apakah aku bisa menyimpulkan bahwa ia marah? Tapi mengapa tidak diluapkannya saja kemarahan itu, menamparku barangkali, memaki-makiku di depan orang banyak? Entahlah, sikapnya yang seperti itu justru membuatku sakit.

Setelah berkali-kali kupikir ulang, ada baiknya juga ucapan kasarku tadi. Hanya dengan cara seperti itu, dia bisa menjauhiku. Hidupku yang normal ini tidak akan berlangsung lama. Aku yakin, dalam waktu satu atau dua hari ke depan, Ben pasti sudah menghubungiku. Belum lagi soal minuman yang tidak bisa kulepaskan. Biarlah Jasmina menjalani kehidupannya seperti sebelumnya, dan aku menjalani kehidupanku sendiri. Kita sudah terbiasa hidup begitu, jadi tidak akan terlalu sulit.

Aku membuka kunci apartemen. Tadi sebelum menaiki tangga aku sempat melihat pintu apartemen Tuan Güzel. Tertutup. Sepertinya terkunci dari luar. Di dalamnya juga sepi. Mereka tampaknya belum pulang dari Antalya.

Setelah membuka sepatu dan jaket, aku membenamkan diri di atas tempat tidur. Seperti ada yang mengganjal di saku celana. Tanganku merogoh dengan malas. Hanya sebotol Doluca[1] yang tadi kubeli sambil lalu. Sekarang hasrat itu belum datang, jadi kulemparkan saja ke samping kanan, di sisi tempat tidur yang tidak kutiduri.

Aku memejamkan mata, mencoba terlelap. Tapi semakin aku berusaha mengosongkan pikiran, wajah Jasmina justru semakin memenuhi kepala. Menyusul wajah Ishak, Ayah dan Ibu.

“Kau adikku. Aku mencintaimu, jangan ulangi lagi perbuatanmu ini...”

Haruskah aku mengulangi kalimat itu lagi, Jasmina?

Cemasku siang tadi melebihi waktu kau meninggalkan pasar kala itu. Kau tidak akan pernah mengerti, Jasmina. Berpuluh tahun aku kehilangan jejak semua keluargaku, lalu aku dipertemukan kembali dengan adik yang begitu kusayangi, meskipun aku enggan menunjukkannya. Bertahun-tahun aku pendam berbagai pertanyaan, apakah kau masih hidup? Bagaimana kondisimu pada saat pembantaian di tahun 1992-1995? Bertahun-tahun aku simpan permintaan maafku karena tidak bisa menjagamu kala itu, atau setidaknya menggandeng tanganmu dan Ishak meninggalkan Sarajevo. Takdir berbicara lain, aku terdampar di jalan yang berbeda. Semua itu benar-benar kupendam begitu dalam hingga aku melupakannya. Aku tidak mengerti, kenapa Tuhan mempertemukan kita di waktu yang tidak tepat. 

Kamu tahu Jasmina, Jasmina, air mata ini masih bisa mengalir seperti kala itu, aku menangis di depan fotomu saat kamu tidur di rumah nenek. Sekarang aku paham, mengapa sejak kecil aku tidak begitu menunjukkan cintaku, karena keadaan kita di masa depan akan seperti ini. Seandainya aku terlalu dekat denganmu, kamu pasti bisa mengenaliku dengan mudah, dan itu mimpi buruk. Hidupku sudah terlalu jauh dari persimpangan tempatku terdampar. 

Aku menarik rambut kepala. Melemparkan bantal ke sembarang arah, lalu meninggalkan tempat tidur, berjalan menuju jendela.

Mustafa...

Sebuah nama yang indah. Andai saja aku bisa terus memakai nama itu.

“Ishak, Mustafa, siap-siap shalat magrib.” Suara Ayah melintas dalam kepalaku. Meskipun selama periode pemerintahan Yugoslavia tidak diperbolehkan menjalankan agama dengan bebas, Ayah tetap memberikan pendidikan agama dengan baik di rumah. 

Emperor Mosque yang berdiri sekitar 300 meter dari rumah selalu sepi setiap harinya. Hanya mereka yang bermental kuat yang tetap menjalankan ibadah di dalamnya. Masjid itu justru hanya dijadikan tempat tujuan wisata. Desain Ottoman yang menyepuhnya tidak bisa disembunyikan. Memiliki kubah-kubah dan menara yang sama persis dengan kebanyakan masjid di Turki.

“Mustafa, jangan mengejek adikmu seperti itu. Gemuk itu menunjukkan bahwa Jasmina tumbuh normal dan sehat.” Untuk kesekian kalinya Ibu mengingatkanku. Jasmina kecil dengan pipinya yang tembam sudah manyun terlebih dahulu. Memandangiku sebal dengan matanya yang bulat. 

“Lihatlah, Bu. Bentuknya seperti balon. Itu pertanda dia tidak normal!” Aku kukuh dengan sikapku yang terlihat membencinya.

“Tapi Jasmina itu cantik. Teman-temanku suka padanya.” Ishak ikut menyahut sambil melahap baklava buatan Ibu.

“Cantik dari mananya? Dilihat dari sisi manapun tidak tampak cantik. Dia memalukan.”

Hanya akulah satu-satunya orang yang mempermasalahkan berat badan Jasmina. Aku tidak menyangka ia bisa secantik sekarang, namun mata yang membulat saat memandangi orang lain itu tidak pernah berubah. Kurasa itulah alasanku memeluknya di depan halaman Blue Mosque waktu itu. 

Ishak? Aku tidak tahu kepastian tentangnya. Pada hari naas itu kami tidak bisa bertemu. Jarak antara kelasku dan kelas Ishak cukup jauh. Aku menyelematkan diri dengan teman-teman sekelas, dan Ishak? Entahlah. Aku cukup terpukul ketika seseorang membawa berita ke pengungsian, mengatakan salah satu gedung sekolah dihancurkan oleh tentara Serbia. Aku masih mengerti doa ketika itu, satu-satunya permohonanku untuk Ishak adalah agar Tuhan menyelamatkannya, bagaimanapun caranya. 

Tentara Serbia benar-benar seperti iblis. Mereka memisahkan  semua laki-laki dewasa etnis kami, etnis Bosnia, dengan anggota keluarga perempuan dan anak laki-laki di bawah 12 tahun. Setelah itu mereka akan meminta para laki-laki itu berbaris sebelum akhirnya diberondong senjata mesin.  Mereka tidak mempedulikan jeritan para wanita dan tangisan anak-anak. Bagi mereka etnis Bosnia tidak berbeda dengan hewan buruan yang layak mati di ujung senapan. Ketika para tentara itu mengejar orang-orang Bosnia yang berusaha melarikan diri, mereka menganggapnya seperti sedang berburu. Saat peluru senapan mereka menjatuhkan orang-orang Bosnia, mereka tertawa terbahak-bahak dan berteriak senang pada sesama mereka 

“Aku pemburu ulung. Lihatlah aku berhasil menumbangkan lima. Kau sudah berhasil membidik berapa buronan, Jack?”

“Sial! Lari mereka ternyata cukup kencang juga. Tapi tidak apa, aku suka. Justru ini sangat menantangku.”

Kembali mereka terbahak-bahak, melajukan tank-tank baja ke pemukiman penduduk. Rumah-rumah kebanyakan tidak utuh lagi. Asap membumbung tinggi dengan bau sangit dan daging terbakar. Mayat menumpuk dimana-mana. Wujud mereka tidak lagi mudah dikenali, tercabik-cabik, perut terburai, dan tidak sedikit juga yang telah terpisah jauh dengan kepalanya. 

Para tentara Serbia memiliki persediaan senjata yang banyak, karena mendapat pasokan dari Soviet. Sementara muslim Bosnia hanya melawan dengan senjata seadanya. Mungkin kamu sudah lupa kawan, apa yang melatar belakangi perang Bosnia 1992-1995? Baiklah, akan kuingatkan sedikit.

Bosnia Herzegovina adalah sebuah negara di semenanjung Balkan yang termasuk ke dalam Federasi Yugoslavia. Penduduknya mayoritas beragama Islam sejak masuknya Islam pada abad ke-14 oleh Dinasti Ottoman. Runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991 menyebabkan efek domino yang berimbas pada Federasi Yugoslavia, sehingga harus dipecah menjadi enam negara bagian, yaitu Bosnia, Serbia, Kroasia, Macedonia, Slovenia, dan Montenegro.

Tiga negara yang memiliki perbedaan etnis dan agama paling mencolok adalah Bosnia dengan etnis Bosnia beragama Islam, Serbia dengan etnis Serbia beragama Ortodoks, dan Kroasia yang beragama Katolik Roma. Serbia memiliki ambisi untuk menyatukan kembali Federasi Yugoslavia dan sangat menentang berdirinya negara Bosnia yang beragama Islam. Itulah sebabnya mereka melakukan merampasan wilayah dengan cara menghabisi seluruh penduduk Bosnia.

Orang-orang Serbia menganggap setiap muslim adalah orang-orang Turki yang menjajah semenanjung Balkan, sehingga mereka semua—muslim—pantas diusir. Keyakinan seperti ini mereka tanamkan sejak kecil. Sekolah-sekolah mereka mengajarkan sebuah syair yang dikenal dengan syair iklil al jabal. Syair ini mengungkapkan penghinaan yang begitu besar pada Islam. 

Kira-kira beginilah bait-bait syair keji itu:

Orang-orang Islam melewati jalan setan
Mengotori bumi dan mengisinya dengan kotoran
Makan kembalilah kesuburan bumi
Mari kita membersihkannya dari kotoran-kotoran ini
Mari kita meludah di atas Al-Quran
Agar terbang kepala semua beriman kepada agama mereka
Anjing-anjing pengikut Muhammad
Hingga dia pergi tanpa perlu dikasihani

Sekarang kamu setuju denganku bahwa syair itu begitu keji? Bahkan jika aku hidup dalam lingkungan tak beragama pun, aku akan mengutuk orang-orang yang membaca syair seburuk itu.

Kala itu aku belum mengerti apa-apa tentang sebab pembantaian di kotaku Sajarevo, juga kota-kota lain hingga ke desa-desa. Aku tidak paham mengapa para tentara itu menghabisi penduduk negaraku dengan begitu kejam. Aku tidak tahu apa kesalahan orang-orang Bosnia pada tentara-tentara itu. 

Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri saat salah satu guru laki-lakiku diperlakukan keji. Kedua kakinya ditembak sehingga ia tidak bisa menyelamatkan diri. Kemudian para tentara itu melucuti pakaian Sang Guru, memainkan kemaluannya seperti sebuah lawakan yang sangat menyenangkan. Para tentara itu tertawa terbahak-bahak. Seorang tentara mengangkat pedangnya tinggi-tinggi.

“Hei, kawan. Aku yakin bolaku akan melayang jauh. Kalian lihat.” ucapnya sambil terkekeh. Sesaat kemudian ia mengayunkan pedangnya hingga menebas kepala Sang Guru. Kepala itu menggelinding di atas tanah sebelum akhirnya dijadikan bola mainan para tentara Serbia.

Semua kejadian di masa itu, semua pembunuhan-pembunuhan sadis yang dilakukan di depan mataku, membentuk diriku yang sekarang. Para tentara Serbia membunuh tanpa melihat baik atau tidak objek yang dijadikan korban, bagi mereka kepentingan di atas segala-galanya, itu juga paham yang kuanut sejauh ini. Ketika penduduk negaraku boleh dibantai tanpa dosa, lalu kenapa aku tidak boleh melakukan hal yang sama pada orang lain? 

Kamu ingat kisah para wanita di negaraku? Ketika mereka dikumpulkan pada satu tempat lalu para tentara itu memperkosa mereka secara massal. Tujuan Serbia menghalalkan pemerkosaan itu tidak lain agar para wanita Bosnia hamil kemudian melahirkan anak-anak berdarah Serbia. Mereka benar-benar binatang! Seperti anjing yang bisa kawin bermai-ramai! 

Mungkin itu juga satu-satunya alasanku ketika melakukan perbuatan keji itu pada seorang gadis Ortodoks setahun yang lalu. Tentu saja sebelum membunuhnya. Setidaknya aku masih punya sedikit kebaikan, karena tidak mengajak banyak orang untuk melakukannya. Aku masih sedikit lebih baik daripada serombongan tentara Serbia yang pernah kujumpai, ketika mereka bergantian memperkosa seorang gadis Bosnia yang malang. Saat salah satu dari mereka menjalankan gilirannya, tentara yang lain berkeliling melingkar, tertawa, bertepuk tangan, menyemangati, tanpa peduli betapa kesakitan sang gadis yang menjadi korban.

Aku berhasil meninggalkan Sajarevo bersama rombongan pengungsi yang terdiri dari para wanita dan anak-anak. Perjalanan yang sama dengan yang ditembuh Jasmina. Hanya saja kami tidak pernah bertemu. Sesampainya di Rumah Sakit Salafushi Barud, aku dibawa keluar dari Bosnia oleh seorang dokter relawan asal Inggris. Namanya Meriam Issabel. 

Meriam adalah gadis mualaf 28 tahun yang ber-Islam setahun sebelum perang Bosnia. Dia wanita yang cerdas, pada usianya yang belum genap dua puluh dua tahun dia telah menyelesaikan pendidikan dokter di Universitas Bristol Kemudian melanjutkan pendidikan spesialis bedah Jantung dan Pembuluh Darah ke Amerika. Seiring bertambahnya pendidikan dan ilmu pengetahuan yang dibacanya, ia semakin mencintai Islam yang sejak kecil memang sudah menarik perhatiannya. Menurutnya  semua teman-teman muslim yang dikenalnya sangat ramah. Mereka juga teguh pendirian. Salah satu teman wanita yang paling menginspirasinya adalah Sofia, seorang mahasiswi kedokteran asal Indonesia. Sofia sama sekali tidak mau melepas hijabnya meskipun tidak ada satupun yang mau berteman dengannya. Orang Inggris terkenal dengan ketertutupan dan kesombongan mereka. Tidak mudah untuk akrab dengan orang Inggris. Keadaan ini semakin memojokkan Sofia. Karena kekuatannya bertahan dalam kondisi itu, Meriam tertarik untuk bertanya-tanya pada Sofia. Hingga akhirnya pertanyaan demi pertanyaan itu berubah menjadi perbincangan yang membuka wawasan Meriam. Mereka akhirnya berteman dekat, dan beberapa tahun kemudian Meriam memutuskan untuk ber-Islam.

Kedatangannya ke Bosnia karena niatnya untuk membantu korban perang dengan suka rela. Ia datang sendiri, tanpa perlindungan di bawah bendera apapun. Semua negara memang seolah menutup mata saat terjadinya perang Bosnia. Terlebih-lebih PBB yang justru berada di belakang Serbia.

Berkali-kali para dokter Bosnia meminta Meriam agar kembali saja ke Inggris. Kondisi di Bosnia semakin memburuk. Para tentara itu mulai mengarahkan serangan ke luar kota Sarajevo, tidak terkecuali ke kota tempat pengungsianku itu. Awalnya Meriam menolak, namun kemudian ia merubah keputusan. Para dokter Bosnia itu ada benarnya, masih banyak hal yang bermanfaat yang bisa dilakukannya di Inggris. 

“Kau muslimah yang cerdas, memiliki jiwa sosial yang tinggi. Jangan biarkan Islam kehilangan gadis sepertimu. Jangan biarkan para tentara laknat itu menertawai kematianmu di negara ini. Kembalilah, kau bisa melakukan banyak hal.”

Akhirnya Meriam meninggalkan Bosnia dengan membawaku. Seorang bocah sepuluh tahun yang ditolongnya sehari yang lalu. Ya, aku tiba di rumah sakit itu dalam keadaan yang menyedihkan. Kakiku dipenuhi luka dan darah-darah yang mengering karena harus berjalan berpuluh kilometer sebelumnya. Ketika berlari dari sekolah, aku tidak menyadari kalau sepatu kananku lepas. Karena itulah, aku harus melewati jalan berkerikil tajam tanpa sepatu, hanya daun-daun yang kuikatkan untuk membalut kaki. 

Di Inggris aku hidup layaknya adik kandung Meriam. Dia merawatku dengan penuh kasih sayang. Hanya saja peristiwa di negaraku tidak mudah untuk kulupakan begitu saja. Semua keluargaku tidak jelas kabarnya. Aku tidak tahu apakah Ayah dan Ibu masih hidup atau tidak. Aku juga tidak tahu keadaan Jasmina dan Ishak. Semua itu membuatku murung sepanjang hari.

Setahun kemudian aku baru bisa menjalani hidup sedikit lebih normal. Meriam memasukkanku di sebuah sekolah di Inggris. Perang Bosnia masih berlanjut. Meriam tidak pernah membolehkanku membaca berita tentang Bosnia atau mendengarkan berita dari televisi. 

“Semua itu akan memperburuk keadaanmu, Mustafa. Tahanlah dulu. Doakan saja mereka.”

Hingga tiga tahun kemudian aku masih hidup bersama Meriam. Dari ceritanya aku tahu bahwa perang Bosnia telah berakhir. Semua itu berkat pertolongan Tuhan melalui tangan-tangan mujahidin berbagai negara—kebanyakan veteran perang Afghanistan. Parade kemenangan di kota Zenica pada tahun 1995 memperlihatkan betapa tangguhnya pasukan mujahidin yang bergabung dengan mujahidin Bosnia itu. Mereka berpakaian serba putih dengan senjata di depan dada. Aku sangat ingin menyaksikan parade itu secara langsung. Tapi tidak mungkin. Saat itu aku hanya berharap, semua keluargaku selamat dan  bisa menyaksikan parade kemenangan itu.

Meskipun kemenangan telah digenggam, tetap saja keputusan PBB sangat merugikan pihak Bosnia. Mereka telah menjalankan strategi licik. Ketika etnis Bosnia dibantai tanpa perikemanusiaan oleh tentara Serbia, tidak ada yang bersuara sama sekali. Seolah-olah menutup mata. Namun ketika mujahidin Bosnia bangkit—dengan bantuan mujahidin berbagai negara—dan berhasil merebut kembali 51% wilayah Bosnia, mereka mulai kebakaran jenggot. PBB dan negara-negara Barat mulai gencar memberikan tekanan-tekanan politik dan ekonomi kepada pemerintah Bosnia. Akibatnya Bosnia mengalami krisis ekonomi yang sangat menyiksa rakyat.

Keadaan itulah akhirnya yang memaksa pemerintah Bosnia untuk menanda tangani perjanjian Dayton di Paris, yang menandai berakhirnya perang Bosnia. Perjanjian yang berisi persetujuan pemerintah Bosnia untuk memecah Bosnia Herzegovina menjadi dua negara bagian, yaitu Federasi Bosnia yang terdiri dari etnis Bosnia dan Kroasia, dan Republik Serbska yang diisi oleh etnis Serbia dan Serbia-Bosnia. Kotaku Sarajevo masuk ke dalam Republik Serbska.

Baiklah, setidaknya tidak ada lagi peperangan di tanah kelahiranku. Ini membuatku sedikit bahagia. Meriam berjanji mengajakku kembali ke Bosnia tahun depan, 1996. Akupun menyetujuinya. Janji itu membuatku bersemangat menjalani hari-hari di Inggris. Aku sudah memiliki banyak teman, memiliki banyak kegiatan, dan benar-benar menganggap Meriam sebagai kakakku sendiri. 

Sayangnya kunjungan tahun 1996 yang telah direncanakan itu tidak pernah terwujud. Meriam meninggalkanku sendiri. Nyawanya tidak tertolong pada saat kecelakaan mobil di Bristol. Mulai saat itu, aku memperjuangkan sendiri hidupku.

***
Malam mulai merangkak larut. Golden horn tampak berkilau. Memantulkan cahaya-cahaya lampu dari gedung-gedung yang membingkainya, juga lampu-lampu kapal yang membelah ketenangannya. Mengingatkanku pada sungai Milyatsa yang mengalir di kota kelahiranku, Sarajevo.



[1] Wine merah produk Turki, dijual dengan harga 12 USD

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...