Akhir-akhir ini aku belum mampu menulis banyak. Karena itu pula blog ini sebagian diisi dengan kalimat singkat mengenai hal-hal yang kupikirkan. Bukan puisi, melainkan hanya kalimat sederhana yang apa adanya. Yang mungkin, siapa saja tidak perlu memutar otak untuk sekadar memahami.
Ada banyak hal yang ingin kulakukan dalam hidup. Menjadi penulis, punya usaha mandiri, lalu bisa mengajak Bapak dan Ibu bersama mengunjungi Tanah Haram. Sampai sekarang pun masih sama. Hanya saja ada beberapa hal yang telah berubah. Kurasa satu hal yang tak lagi sama adalah sudut pandangku terhadap sesuatu.
Dulu, aku ingin hidup mandiri di kota yang memiliki akses mudah, dekat dengan kota besar, hidup berkecukupan, so on... Namun entah mengapa, sejak dua bulan lalu, sejak aku tinggal di kawasan perumahan elit di Bintaro Sektor 9, semua angan-angan duniawi itu perlahan menguap. Kehidupan orang-orang berumah mewah di sana tak membuatku kagum. Justru aku sangat kasihan. Jika dibandingkan, kehidupan kedua orang tuaku di perkebunan kelapa jauh lebih bahagia.
Sekarang, aku hanya ingin dianugerahi hati yang berbahagia. Di mana pun itu. Aku hanya ingin mengabdi pada masyarakat yang membutuhkan. Mungkin, nanti, aku akan kembali ke kampung halaman. Sesekali mengunjungi sepupu di Bintan.
Ya, seperti impian seseorang dari masa lalu (ketika kami berkomunikasi beberapa bulan lalu), bahwa ia akan kembali ke dekat Ayah dan Ibunya, membangun peternakan di sana, memberi motivasi untuk generasi muda desanya, berbakti pada masyarakat, dan semoga Allah membalas dengan kehidupan yang berbahagia.
Kala itu, aku tidak habis pikir pada niatnya tersebut. Ia pemuda cerdas, bisa dikatakan begitu. Sekarang saja sudah terlibat menangani proyek-proyek pemerintah terkait pertanian dan perkebunan. Beberapa bulan lalu, ia diutus ke Natuna untuk sebuah proyek juga. Kupikir, ia bisa mendapatkan kehidupan yang mapan apabila menetap di kota besar. Namun nyatanya, itu bukan impiannya.
Sekarang aku baru paham. Dia benar, dan akulah yang terlalu bernafsu pada kehidupan duniawi. Sekarang aku justru sangat mengagumi pilihannya, juga pemikirannya yang jauh melampui diriku kala itu. Semoga di mana pun beliau berada saat ini, Allah selalu melindungi dan memberikan barokah.
Ya, adakah yang lebih berarti dari kebahagiaan di dalam hati?
Untuk apa semua harta, kekayaan, suami/istri yang rupawan, pangkat dan jabatan, jika hati tidak merasakan tenteram dan nyaman? Untuk apa bernaung di bawah rumah seharga milyaran, jika setiap hari hati terasa pedih dan dirundung duka tak berkesudahan?
Allah mengumpamakan hal tersebut seperti sawah ladang yang menghijau, yang membuat bahagia para pemiliknya, kemudian keindahan tersebut lenyap, hingga mereka tercengang tidak percaya.
Itulah dunia.
Harta, anak, jabatan, popularitas, semua hanya menyenangkan hatimu sekejap saja. Alangkah merugi mereka yang mendahulukan dunia lalu meninggalkan akhirat, sementara kulihat, mereka yang mendahulukan akhirat selalu memperoleh kebahagiaan dunianya.
Wallahu'alam...
No comments:
Post a Comment