Sejak kecil aku adalah penyuka rumah. Ketika teman-teman sebaya pilih menghabiskan waktu senggang untuk jalan-jalan, seringkali aku memilih tidak ikut. Bagiku rumah adalah satu-satunya tempat yang paling menyenangkan dimana aku bisa menghabiskan waktu bersama buku, kertas-kertas kusam, benang-benang wol, rajutan, dan deretan bunga di dalam pot. Dulu sekali, saat umurku di bawah sepuluh, saat rumahku benar-benar rumah, bukan kosan dan sejenisnya, aku selalu bersemangat tiap kali bangun di pagi hari Minggu.
Sehabis Subuh, aku akan berjalan-jalan menyusuri jalanan
desa untuk sekadar menghirup udara segar. Bagiku, tidak ada yang lebih indah
melebihi Subuh di desa. Terkadang saat di perjalanan menuju Musola, saat langit
masih benar-benar gelap dan bulan mati, aku akan berhenti di halaman rumah.
Menengadahkan kepala, lalu segaris senyum menggambarkan betapa aku begitu
bahagia.
Di atas sana bintang-bintang bertaburan. Demi Allah, aku
tak pernah menyaksikan bintang sebanyak itu, bahkan sampai terlihat
berlapis-lapis, kecuali di kampung halaman. Sedikit matahari mulai naik, aku
akan mengunjungi bunga-bunga di depan rumah. Tak jarang aku hanya sekadar duduk
mengamati bunga-bunga itu hingga satu jam ke depan. Melihat mereka tumbuh,
rasanya seperti menyaksikan sebuah kehidupan yang maha indah. Aku merasa
menjadi seorang ibu yang membesarkan bayi-bayi sehat.
Sekitar pukul tujuh pagi, seandainya Ibu memintaku
menyiapkan sarapan, maka aku akan segera berlari ke dapur. Tapi jika tidak
diminta, maka aku akan sangat bersyukur. Itu artinya sarapan pagi ini akan
sangat lezat karena ibuku lah yang menyiapkannya. Usai sarapan dan minum teh
bersama keluarga, aku mulai membersihkan rumah. Dari dapur hingga teras depan. Terkadang
saat Ibu ada pekerjaan lain, aku juga harus masak. Meskipun tidak sering. Hasil
masakanku selalu aneh rasanya, selalu ada saja yang tidak pas di lidah. Terkadang
terlalu asin, terlalu manis, atau bahkan aku sendiri bingung apa yang kurang
atau terlalu berlebihan dalam masakan tersebut.
Semuanya selesai. Biasanya itu sekitar pukul 9 pagi. Selanjutnya
aku akan mencuci sendiri seragam sekolah dan sepatu, sedangkan untuk pakaian
sehari-hari Ibuku yang mengerjakan. Ibu pernah berkata, untuk belajar mandiri
maka aku harus mulai belajar mencuci dan mempersiapkan pakaian sendiri. Tapi sampai
hari ini, mengurusi pakaian adalah hal yang paling menjengkelkan. Ya, lemariku
tak pernah rapi. Seringkali aku baru menyetrika pakaian begitu akan memakainya.
Satu kebiasaan buruk ini memang sulit untuk diperbaiki.
Aku sudah mencoba untuk lebih telaten mengurusi pakaian,
bahkan sudah pernah mencoba membuat lipatan baju sehabis disetrika dengan
sebuah buku, berharap lebar lipatan antara satu baju dan yang lainnya sama,
tapi hasilnya tetap saja lemariku terlihat berantakan. Kalaupun berhasil rapi,
itu hanya bertahan sehari dua hari saja. Hari ketiga biasanya sudah hancur lagi
karena aku selalu tergesa-gesa saat menarik pakaian dari tumpukan. Mungkin nanti
setelah berumah sendiri, aku akan minta disiapkan lemari pakaian yang besar. Jadi
tak perlu susah-susah melipat. Begitu selesai disetrika, cukup digantung saja. Sepertinya
itu akan lebih aman terkendali.
Ya, bagiku aktifitas di rumah memang lebih menyenangkan.
Ibu dan Bapak adalah role model yang selalu kujadikan panutan. Mereka tak akan berkunjung
ke rumah tetangga jika hanya untuk ngerumpi panjang lebar. Ketika ada tetangga
atau warga desa yang datang ke rumah, mereka juga tak mau membicarakan
keburukan orang lain. Bapak selalu bicara soal agama, sementara Ibu akan
menghidangkan teh dan jamuan. Memang, banyak tamu yang tampak bosan lantas memutuskan
segara pulang. Tapi mereka akan berkunjung di minggu selanjutnya. Hubungan silaturrahim
selalu terjaga.
Ibu bilang, jangan terlalu akrab dengan orang lain, karena
biasanya hubungan seperti itu justru akan mudah retak. Tapi berlaku baiklah
pada semua orang, buatlah ikatan yang harmonis, jangan bedakan hubungan itu antara
satu orang dengan yang lainnya. Insya Allah kehidupan yang seperti itu lebih
melegakan. Buktinya ketika orang lain memiliki banyak masalah dengan tetangga,
kedua orang tuaku tidak. Dua rumah yang paling dekat dengan rumahku selalu
saling bahu membahu, saling berkunjung, saling mengantarkan makanan, dan
sejenisnya.
Hari ini aku rindu rumah. Hidup di asrama bersama banyak
santri terkadang membuatku tak begitu nyaman. Aku merasa saat ini masih dalam
proses pencarian jati diri. Di mana seharusnya aku berada. Di mana seharusnya
aku menetap untuk menghabiskan sisa umur selanjutnya. Beberapa tempat didatangi,
tapi masih belum ada yang memenuhi permintaan batinku selama ini.
Aku ingin tinggal di rumah sendiri, seandainya pun
bekerja maka itu adalah pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah, lalu sesekali
aku akan keluar, menikmati udara segar, bertemu tetangga, menikmati secangkir
kopi sambil menulis di sebuah cafe, atau menghadiri kegiatan. Atau saat
tetangga dan karib kerabat berkunjung, aku akan menyiapkan jamuan untuk mereka,
memuliakan mereka. Bukan berarti menarik diri dari masyarakat, aku hanya ingin
menjalani kehidupan seperti Ibu. Yang jelas, aku tak mau setiap detik dan
waktuku harus berlalu di tengah-tengah banyak orang. Hal seperti itu hanya
membuatku tertekan.
Beberapa hari lalu aku baru saja menamatkan sebuah novel
berjudul ‘Khadijah: Ketika Rahasia Mim Tersingkap’ yang ditulis oleh Sibel
Eraslan, seorang penulis Muslimah dari Turki. Ini adalah satu-satunya novel
tentang Khadijah ‘Sang Ibunda Kaum Muslimin’, yang paling indah yang pernah
kubaca. Ketika mengikuti setiap baris kalimatnya, aku seperti menjelma menjadi
sosok Maisaroh, pembantu sekaligus sahabat yang tinggal di rumah Khadijah. Aku
menyaksikan seorang Khadijah yang begitu lembut hatinya, indah tutur bahasanya,
anggun akhlak dan rupanya, dan dihormati keberadaannya. Sampai-sampai ia mendapat
gelar sebagai berliannya kota Makkah, ratu-nya kota Makkah.
Aku juga seperti turut menyaksikan kesedihan Khadijah
ketika ia harus ditinggal wafat oleh suami yang pertama, kemudian diam seribu
bahasa ketika menjadi korban kebuasan suami kedua. Aku kagum pada keberanian
Khadijah ketika ia memutuskan pergi dan meminta cerai dari suaminya yang tak
berakhlak itu. Hingga kemudian aku ikut jatuh cinta ketika Khadijah
dipertemukan pertama kali dengan seorang pemuda yang namanya diawali dengan
huruf Mim... Dulu aku tak begitu paham bagaimana Muhammad bisa jatuh cinta pada
Khadijah dan sebaliknya, tapi novel ini berhasil membuatku paham. Sangat paham.
Mereka berdua memang pantas untuk saling jatuh cinta.
Bagiku, rumah Al Amin dan Khadijah adalah keindahan. Seperti
seluruh masyarakat Makkah yang bercerita satu sama lain, bahwa rumah Al Amin
dan Khadijah adalah surga. Sang suami mengurusi perdagangan, dan istri
mengurusi hal-hal rumah tangga. Al Amin menjadi ayah yang teduh dan
menyenangkan bagi anak-anak Khadijah dengan suaminya yang pertama, sementara
hati Khadijah menjadi rumah yang teduh bagi Al Amin. Rumah mereka bercahaya. Terlebih
saat Ali dan Zaid bergabung ke dalam rumah itu, lalu Khadijah mulai melahirkan
anak-anak Al Amin. Mereka menjadi buah bibir ke seluruh penjuru negeri. Semua orang
ingin bertamu ke rumah Khadijah dan Al Amin. Semua orang ingin ikut merasakan
kebahagiaan di rumah itu.
Pantaslah, suatu hari, bertahun-tahun setelah kepergian
Khadijah, dengan penuh kesedihan, Rasulullah salallahu a’alaihi wassalam, pernah
menggoreskan empat buah garis ke tanah dengan cabang pohon kurma.
Ia bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian apa
arti dari empat garis ini?”
“Rasul Allah pastilah tahu yang sebenar-benarnya,” jawab
mereka.
“Empat garis ini menggambarkan empat wanita ahli surga
yang paling mulia.
Khadijah putri Khuwailid
Fatimah putri Muhammad
Istri Firaun, putri Mudzahim, Asiyah
Dan Maryam, putri Imran
Semoga Allah meridhoi mereka.”
Kisah Khadijah membuatku bermimpi. Impian yang memaksaku
untuk mengakui satu hal: aduhai betapa indahnya kehidupan seorang wanita
Muslimah. Mereka tak punya kewajiban mencari nafkah, kerja begitu keras, karena
tempat yang paling benar sesuai kodrat mereka adalah rumah. Di dalam rumah
mereka sendiri lah wanita akan merasa dilindungi, dimuliakan, dan mendapatkan
kebahagiaan yang sesungguhnya. Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa keutamaan shalatnya seorang Muslimah adalah ketika dilaksanakan di rumahnya sendiri. Aku berpikir, mungkin inilah alasan mengapa selama
ini pencarianku tak kunjung usai. Mulai dari satu tempat ke tempat lain, kota
satu ke kota lain, kurasa semua itu bukan lah pencarian yang tepat. Aku hanya perlu
mencari sebuah ‘rumah’, tak peduli rumah itu ada di kota mana, provinsi mana. Dan
semoga Allah segera memberiku hadiah sebuah rumah yang nyaman lagi
menenteramkan.
No comments:
Post a Comment