Monday, 24 July 2017

Salaman ya Umar Al Faruq



Hari itu kota Mekah panas menyengat seolah dari celah-celah setiap butiran pasirnya mengeluarkan uap dari tungku perapian. Meski begitu, kegiatan manusia seperti tak pernah ada habisnya. Aku menyaksikan orang berduyun-duyun kemudian berkumpul di tepian kota Mekah, di sebuah lapangan gersang yang membara. Di lapangan itu tertancap beberapa puluh tiang yang digunakan untuk membelenggu para budak yang memeluk agama baru, Al Islam. Para petinggi kaum Qurays Mekah yang juga merupakan para tuan dari budak-budak itu sebagian berdiri mengawasi, sebagian lagi mencambuki para budaknya. Sebagian kecil dari penonton yang notabene adalah para penganut agama nenek moyang itu tertawa, seolah mereka sedang menyaksikan sekawanan binatang hina yang pantas untuk dijadikan korban cambukan. Sebagian lagi menonton dengan perasaan haru, tak tega, dan tentu saja: ketakutan. Apa yang mereka saksikan siang ini adalah serupa ancaman bahwa siapapun yang mengikuti agama baru, maka harus siap menerima penyiksaan serupa.

Di sana, di balik kerumunan para masyarakat Mekah, aku menyaksikan seorang pemuda yang matanya begitu tajam, namun dari mata yang sama itu pula tampak dua buah naungan yang meneduhkan. Hari ini ia mengenakan baju gamis berwarna cokelat terang dan kain sorban berwarna senada yang menjuntai dari belakang kepalanya. Ia masih begitu muda, tapi sosoknya sejajar dengan para petinggi Qurays yang sebagian besar sudah mulai sepuh. Ia masih begitu muda, tapi tak ada satu pun masyarakat Mekah yang meragukan kebijaksanaannya. Ia masih begitu muda, tapi setiap orang yang berpapasan dengannya selalu menaruh hormat. Ia disegani karena ilmu dan kebijaksanaan. Ia juga ditakuti karena keberanian dan keteguhan hati.

Apa yang terjadi di kota Mekah saat ini juga merupakan buah pikirannya. Dialah yang mengusulkan agar setiap kaum mengurusi kaumnya masing-masing. Dia pula yang mengusulkan agar siapa pun yang memiliki saudara yang masuk Islam maka harus memberikan tekanan kepada saudaranya tersebut hingga mereka bersedia murtad. Terlebih urusan tuan yang memiliki budak-budak Muslim. Hukuman yang diberikan harus lah lebih keras lagi.
“Muhammad tidak pernah membedakan antara yang kaya dan yang miskin, tuan maupun budak, bangsawan maupun rakyat biasa. Ia memperlakukan dan memuliakan mereka dengan derajat yang sama. Ikuti lah hal itu, Wahai Kaum Qurays. Perlakukan lah siapa pun yang masuk Islam dengan sama kerasnya, baik mereka adalah budak atau anakmu sendiri.” Ucapnya di suatu siang nan terik, di tengah kaumnya.
Syahdan, setelah ucapan tersebut, semua orang kembali pada keluarganya, kaumnya, sahabat terdekatnya, dengan semangat berkali lipat. Penyiksaan dan tekanan terhadap mereka yang berani masuk Islam menjadi dua kali lebih berat.

Dialah Umar Ibn Khattab. Pemuda cerdas dari bani Adiy yang sejak masih belia sudah disegani oleh seluruh penjuru kota. Pemuda yang kelak akan menjadi pemimpin Islam, agama yang saat ini begitu ia musuhi.

Kebencian Umar kepada Muhammad sangat berbeda dengan kebencian para petinggi kafir Qurays lain. Jika para petinggi kafir Qurays membenci Muhammad dan agama barunya karena takut posisi mereka terancam, derajat mereka turun, dan sejenisnya, maka Umar membenci Muhammad karena ia menyaksikan umat yang semakin hari semakin berselisih. Ia menganggap Muhammad telah memecah belah ummat yang dahulu hidup saling menjaga toleransi. Kini lihat lah kota Makkah, lihat lah betapa banyak ayah yang membelenggu putranya sendiri, tuan yang mencambuki bahkan membunuh budaknya, dan orang-orang  yang memutuskan hubungan darah dengan saudaranya. Umar muak melihat semua ini!

Tapi sekali lagi, Umar tak seperti para petinggi Qurays yang lain. Di balik sosoknya yang kaku dan teguh pendirian, tersimpan sebuah mutiara bersih yang menyimpan jutaan hikmah. Jauh di dalam hatinya ia berkali-kali memuji Muhammad dan para sahabatnya. Seperti siang itu, ketika ia menyaksikan Abu Bakar berjalan dari satu tempat ke tempat lain untuk membebaskan pada budak yang disiksa tuannya, Umar berkata lirih, “Sungguh baik Abu bakar. Sungguh baik Abu Bakar.”

Hari berganti. Ternyata siksaan dan tekanan yang mereka berikan kepada kaum Muslimin tidak pernah mampu menghentikan perkembangan agama baru itu. Islam justru semakin menarik hati banyak orang, termasuk Hamzah bin Abdul Muthalib.

Kisah keislaman Hamzah yang menjadi bahan pembicaraan di seantero Makkah ini ternyata membuat Umar semakin gusar. Keesokan hari dengan kemarahan yang naik hingga ubun-ubun, Umar mengambil pedangnya. Ia sudah teguh untuk membunuh Muhammad, seseorang yang ia anggap sebagai pemecah belah kaum.
“Ya, Umar!” seseorang memanggilnya di tengah perjalanan. “Seorang lelaki berjalan tergesa-gesa dengan pedang terhunus, tentu ada urusan penting.” Ucap orang tersebut.
“Benar. Aku akan membunuh orang ini. Muhammad.”
“Kaumnya tidak akan membiarkanmu.”
Umar tahu itu, dia pun menjelaskan bahwa setelah membunuh Muhammad, ia akan menyerahkan diri ke Bani Hasyim untuk dibunuh juga. Dengan begitu semua kekacauan ini akan selesai. Mengorbankan dua orang akan lebih baik daripada kerusakan yang lebih banyak lagi, begitu Umar berpikir. Nyawa dibayar nyawa!
“Bukan kah sebaiknya engkau kembali pada keluargamu dan mulai mengurus mereka?” tanya orang tersebut sebagai isyarat bahwa ada dari keluarga Umar yang telah menjadi pengikut Muhammad.
Wajah Umar semakin berang. “Siapa dari keluargaku?”
“Adikmu Fatimah bintu Khattab dan adik iparmu Said ibn Zaid ibn Amr.”
Umar berputar haluan. Kini emosinya semakin mendidih. Ia berjalan cepat menuju rumah sang adik. Baru saja akan mengetuk pintunya, Umar berhenti. Ia diam. Dari dalam rumah, ia mendengar seseorang membaca. Itu jelas bukan syair yang biasa diucapkan bangsa Arab.

Beberapa saat kemudian ia memukul pintu Fatimah dengan keras.
“Fatimah! Ini Umar!”
“Umar? Engkau wahai saudaraku?” Pintu tersebut terbuka kemudian terlihat wajah Fatimah yang ketakutan.
“Aku mendengar ada seseorang yang membacakan sesuatu untuk kalian!”
“Demi Allah engkau tidak mendengar kecuali percakapan kami berdua.” Jawab Fatimah.
“Aku juga mendengar bahwa kalian telah berkhianat dan mengikuti agama Muhammad. Jangan bohong padaku!” Bentaknya.
“Ya Umar apa pendapatmu jika ada agama yang lebih baik darimu?” Said menjawab dengan sebuah pertanyaan.
“Jadi kau telah melakukannya!”
Umar seketika menyerang Said. Fatimah berusaha melindungi sang suami. Celakanya tangan Umar mengenai wajah Fatimah hingga wanita itu tersungkur hingga bibirnya berdarah. Masih belum tersentuh hatinya, Umar terus menyerang Said. Hingga akhirnya Fatimah mendekat, dengan mantap ia berucap dengan jelas “Kau musuh Allah. Apa kau akan memukuliku dan suamiku karena kami percaya pada ke-Esaan Allah? Lakukan lah semaumu! Tak ada yang berhak disembah kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan-Nya. Ya kami telah menerima Islam meski kau tidak menyukainya!”

Saat itulah kemarahan Umar melemah. Ia meninggalkan Said, kemudian ingin menghapus darah di bibir Fatimah, tapi adiknya itu justru memalingkan wajah dan berkata, “Jauhkan tanganmu dariku.”
“Jadi itu yang kalian baca tadi?” Umar melihat lembaran kulit unta yang semua disembunyikan Fatimah.
Tahu sang kakak akan segera mengambil lembaran yang menyembul tersebut, dengan cepat Fatimah menggenggamnya.
“Berikan padaku untuk kubaca.” Umar mengulurkan tangannya.
“Tidak akan.”
“Dengar. Aku mendengar bacaan itu dengan hatiku.”
Akhirnya setelah mendapat persetujuan dari suami, Fatimah mengulurkan lembaran itu dengan hati-hati. Umar duduk dan mulai membaca.
“Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah. Tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut. Yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi. Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arsy. Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah. Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia yang telah tersembunyi. Dialah Allah, tidak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai al-asmaaul husna.” (QS Thaahaa 1-8)
“Ini kah yang membuat kabur orang-orang Qurays?”
Fatimah dan Said hanya diam memandang. Hati keduanya diliputi perasaan haru. Umar melanjutkan bacannya,
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan yang hak selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. Segungguhnya hari kiamat itu akan datang Aku merahasiakan waktunya agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan. Maka sekali-kali jangan lah kamu dipalingkan daripadanya oleh orang yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu jadi binasa.” (QS Thaahaa 14-16)
Umar terpaku. Ia melihat pada dua orang di hadapannya.
“Yang mengatakan ini harus disembah hanya kepada-Nya tanpa menyekutukan-Nya.”
Khabbab... Lelaki yang sejak Umar menggedor pintu tadi bersembunyi di balik pintu akhirnya keluar. Dia lah yang sebelumnya membacakan ayat-ayat Al Quran untuk Fatimah dan suaminya.
“Berbahagia lah, Umar! Aku berharap dengan tulus agar doa Nabi dikabulkan dengan memilihmu. Dia sallahu ‘alaihi wassalam pernah berdoa ‘Ya Tuhanku, beri lah dukungan kepada Islam dengan salah satu dari kedua orang ini yang lebih Engkau cintai, Abu Hakam ibn Hisham atau Umar Ibn Khattab.” Ucap Khabbab.
“Apakah beliau benar-benar mengatakan hal itu?”
“Demi Allah beliau mengatakannya.”
“Bawa aku bertemu Rasulullah dan para sahabatnya.”
Sejarah mencatat, setelah peristiwa di rumah Fatimah bintu Khattab tersebut, Umar langsung menemui Rasulullah sallahu’alahi wassalam dan bersyahadat di hadapan beliau. Ia cukup terkejut ketika mengetahui saudaranya, Zaid ibn Khattab, terrnyata juga telah lebih dulu masuk Islam.

Sekembalinya dari rumah Rasulullah sallahu’alaihi wassalam, Umar langsung mendatangi satu per satu petinggi kafir Qurays dan mengumumkan keislamannya.
Itu lah Umar. Maka dimulai hari itu, Makkah tidak pernah lagi sama seperti sebelumnya. Masuk Islamnya Umar adalah bencana terdahsyat bagi para kafir Qurays. Ia begitu teguh berpegang pada Islam dan sunnah, tak takut pada siapa pun, zuhud dalam hal duniawi. Bagi Umar, perbedaan antara yang hak dan yang bathil adalah seperti perbedaan antara siang dan malam. Tidak ada tawar menawar!

Ketika Abu Bakar rahimahullah sakit keras dan merasa telah berada di penghujung hidupnya, beliau menunjuk Umar sebagai pengganti. Tidak seketika pilihan Abu Bakar rahumahullah ini disetujui para sahabat. Mereka tidak percaya Umar bisa memimpin dengan baik karena dikenal sebagai seorang yang keras dan kaku. Sementara Umar sendiri pun tidak begitu yakin pada dirinya sendiri. Setelah mendengar nasehat dari Abu Bakar rahimahullah mengenai Umar dan betapa istimewanya beliau di mata Rasulullah sallahu’alaihi wassalam, akhirnya semua setuju untuk berbaiat pada Umar ibn Khattab.

Malam pertama kepemimpinannya, Umar terus bermunajat kepada Allah subhanawata’ala, meminta agar diberikan pundak yang kuat, keteguhan hati, dan hatinya dilunakkan. Sesungguhnya ia pun begitu takut pada sikapnya yang keras dan kaku. 

Bagiku, Umar ibn Khattab merupakan salah satu sahabat Rasulullah salallahu’alahi wassalam yang sangat istimewa. Di bawah kepemimpinannya Islam menyebar hingga ke Palestina, Syria, dan Mesir. Dua imperium raksasa yang telah dibangun selama ribuan tahun, Persia dan Romawi, pun kemudian harus mengucapkan, “Selamat tinggal selamanya, wahai tanah Arab.” 

Celaka lah mereka yang telah berdusta tentang Umar. Celaka lah orang-orang yang telah menyebarkan segala berita buruk tentangnya. Semoga pemimpin ummat saat ini bisa meneladani seorang Umar ibn Khattab: seorang pemimpin yang tidak bisa tidur sebelum menyelesaikan masalah ummat. Semoga kelak kita akan dipertemukan dengan beliau rahimahullah, melihat wajahnya, dan mengucapkan salam untuknya. Rahmat dan salam untukmu ya Umar Al Faruq...
 
Ditulis dengan penuh cinta dan haru
Sofia







No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...