Teruntuk adik-adikku, Taufik Ilham dan Taufik Hidayat...
Adik-adikku tersayang... Tahu kah bahwa kehadiran kalian
adalah berkah bagi kami sejak hari kalian dilahirkan?
Aku tahu betapa cemas kau saat ini. Aku tahu kau selalu
tersenyum tiap kali orang-orang menganggap pilihanmu adalah sesuatu yang salah.
Adik-adikku, aku melihat ada mutiara yang begitu indah
di dalam hatimu. Kau berbeda dari yang lain. Hatimu begitu lembut. Kau
memperlakukanku sebagai kakak dengan begitu baik. Kau tak pernah berkata dengan
suara tinggi kepadaku. Kau selalu menurut pada segala ucapan dan permintaanku.
Adik-adikku, berteguh hati lah. Kau berada pada pilihan
yang benar, insyaAllah... Belajar lah di sana dengan tekun, niatkan segalanya
hanya untuk Allah subhanahu wata’ala semata. Jika kau telah menggenggam
ilmu untuk akhiratmu, jika kau telah memenuhi bekal dan jaminan untuk hidup
sesudah matimu, insyaAllah dunia akan takluk di bawah kakimu. Ingat lah, dunia
akan datang kepada kita dengan hina apabila kita memperlakukannya seumpama
budak yang hina. Sebaliknya, dunia akan duduk di singgasana dengan angkuh dan apabila
kita menyanjung dan memujinya.
Jangan kau takut akan susah berjalan di muka bumi ini
hanya karena kau lebih mengutamakan ilmu Allah. Jangan lah hatimu condong pada
perkataan dan bujukan orang-orang di sekelilingmu yang selalu mengatakan bahwa
ilmu dunia itu jauh lebih penting. Jangan menjadi lemah karena itu.
Aku tidak bisa menjadi penjamin bagi dirimu. Namun aku
akan menunjukkan beberapa jaminan yang telah diberikan Allah dan Rasulullah salallahu
‘alaihi wassalam sejak ribuan tahun lalu.
“Barangsiapa yang membaca (menghafal) Al Quran, maka sungguh dirinya telah menyamai derajat kenabian hanya saja tidak ada wahyu baginya (penghafal)...” (HR. Hakim).
“Sesungguhnya Allah itu mempunyai keluarga yang terdiri daripada manusia." Kemudian Anas berkata lagi, “Siapakah mereka itu wahai Rasulullah?” Baginda manjawab, “yaitu ahli Qu'ran (orang yang membaca atau menghafal Qur'an dan mengamalkannya). Mereka adalah keluarga Allah dan orang-orang yang istimewa bagi Allah.” (HR. Ahmad).
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu ia berkata, “Baginda bersabda, orang yang hafal Al Quran kelak akan datang dan Al Quran akan berkata: “Wahai Tuhan, pakaikan lah dia dengan pakaian yang baik lagi baru.” Maka orang tersebut diberi mahkota kehormatan. Al Quran berkata lagi: “Wahai Tuhan tambahkan lah pakaiannya.” Kemudian orang itu diberi pakaian kehormatannya. Al Quran berkata lagi: “Wahai Tuhan, ridhailah dia.” Maka kepadanya dikatakan, “Baca dan naik lah.” Dan untuk setiap ayat, ia diberi tambahan satu kebajikan.” (HR. At Tirmidzi).
“Dan perumpamaan orang yang membaca Quran sedangkan ia hafal ayat-ayatNya bersama para malaikat yang mulia dan taat.” (Muttafaqun ‘alaih).
Sekarang coba pikirkan, itu adalah jaminan dari Allah
bahwa ahlul Quran akan diangkat sebagai keluarganya-Nya. Adakah keistimewaan yang lebih mulia melebihi
itu? Jika Allah telah menganggap kita sebagai keluarga, maka Dia subhanahu
wa Ta’ala akan melindungi kita, mencukupi kita, meridhoi kita. Sama halnya
seperti Bapak dan Ibu yang sejak kecil selalu melindungi dan membelamu.
Apa yang bisa
kita lakukan sekarang adalah yakin. Jangan cemas dan takut kelak kau tak bisa
menjadi apa-apa hanya karena tak mempelajari matematika, fisika, kimia, dan
biologi. Jika Al Quran ada dalam jiwamu, insya Allah kemuliaan pun tak pernah
meninggalkanmu. Berusaha dengan sabar dan hati yang teguh, selebihnya Allah
yang akan menentukan akhirnya.
Aku tak mampu sepertimu. Hafalanku tak kunjung
bertambah. Dulu aku tak kuat untuk tinggal selama dua tahun di rumah Quran.
Jika dulu tak ada seorang pun yang meneguhkan hatiku ketika goyah, maka aku
berjanji akan menjadi peneguh bagimu nanti. Jika dulu aku tak pernah memperoleh
ketegasan, maka aku berjanji akan berlaku tegas padamu.
Tahu kah kau bahwa hati manusia ini begitu rapuh dan
goyah? Dulu, aku begitu semangat di masa-masa awal. Tapi kemudian aku rapuh,
jatuh, dan terpuruk. Tapi aku tak memperoleh suatu kekuatan yang bisa membuatku
bangkit. Saat aku hampir menyerah, berada di antara persimpangan, aku terus
membuka lembaran Al Quran secara acak. Sebelumnya aku berdoa semoga Allah
menunjukkan jalan yang terbaik melalui cara itu. Berkali-kali aku membuka
mushaf secara acak, ayat yang kutemui selalu saja tentang kisah Yusuf
alahissalam dan perintah agar bersabar. Tapi penolakan dalam hatiku jauh lebih
besar. Aku tak mampu bersabar. Dan akhirnya menyerah.
Adik-adikku, percaya lah kau tak akan mengalami hal serupa
denganku. Saat hatimu goyah, aku tak akan memberikan pilihan sesuai
keinginanmu. Maka perlu kau tulis baik-baik ucapanku ini, bahwa nanti aku akan
sangat keras padamu. Apapun keluh kesahmu nanti, aku tidak akan pernah
memintamu untuk berhenti. Aku tak mau kau mengalami penyesalan di kemudian hari
hanya karena kau tak bisa bersabar sedikit saja.
Adik-adikku, kau akan menyelesaikan hafalanmu. Kau juga
bisa belajar bahasa Arab dan Inggris dimana orang-orang pun berduyun-duyun
untuk belajar di sana. Jika kau berhasil menyelesaikan hafalan, mampu berbahasa
Arab dan Inggris, maka demi Allah tiga hal itu sudah cukup bagi duniamu.
Selebihnya bisa kau kejar di kemudian hari.
Adik-adikku... kebanyakan manusia merasa sayang untuk mengorbankan
sedikit waktu bagi kehidupan akhirat mereka. Kebanyakan manusia yang kau saksikan
hari ini bagaikan terpisah antara jiwa dan agama mereka. Mereka berkata diri
mereka Muslim, tapi mereka tak suka pada Al Quran dan Al Sunnah. Mereka
menyebut diri mereka Muslim, tapi mereka menghujat orang-orang yang menunaikan
agama dengan baik. Lihat lah hari ini, lihat lah kenyataan yang ada, bahwa
benar Islam telah kembali menjadi asing bahkan bagi penganutnya sendiri.
Menjalankan Islam dengan baik adalah serupa dengan mengenggam bara api yang
menyala. Sulit. Kebanyakan dari kita beriman di pagi hari, kemudian menjadi
kafir di sore harinya. Kebanyakan dari kita menyelesaikan ibadah dengan
khusyuk, tapi kemudian kembali melakukan maksiat. Itu kenyataan yang sedang
terjadi.
Banyak ulama dunia mengatakan “Demi Allah ini adalah
zaman dajjal.”
Tapi kita terlalu terbuai dengan kehidupan yang gemerlap
ini. Kita terlena di dalamnya seolah-olah akan hidup selamanya. Kita lupa bahwa
dahulu ada peradaban-peradaban besar yang juga pernah mencapai puncaknya, tapi
kemudian hancur tanpa bekas. Lalu pikirkan tentang dunia modern yang belum mencapai
hitungan satu abad ini, apakah kita merasa semua akan berjalan baik-baik saja
tanpa ada ujungnya?
Demi Allah, jika kiamat tak terjadi pada zaman ini, maka
pasti akan ada bencana lain yang akan menimpa kita atau beberapa saat sesudah
kita. Tugas kita hari ini adalah mencari bekal sebanyak-banyaknya untuk
menghadapi semua itu. Biarkan saja manusia lain berlari mengejar dunia, karena
apabila apa yang mereka kumpulkan itu tidak digunakan untuk perniagaan dengan
Allah, maka saat maut menjemput nanti keadaan mereka akan sama dengan yang tak
memiliki harta.
Aku berkata seperti ini bukan berarti dunia itu tak
penting bagimu. Ia penting karena di sinilah hidupmu. Kau harus mencari dunia
untuk keberlangsungan hidupmu, untuk kenyamanan ibadahmu, untuk sedekahmu, untuk
biayamu ke Baitullah, untuk anak-anak yatim, untuk kepentingan umat. Tapi
jangan letakkan ia di puncak hatimu. Bukan kah Bapak pernah mengatakan bahwa
siapa pun yang mengejar akhirat, maka dunia akan ikut di belakangnya. Tapi
barang siapa yang hanya mengejar dunia, maka akhirat tak akan pernah ikut di
belakangnya. Sekarang aku bertanya, menurutmu rumus pertama atau kedua yang
lebih menguntungkan?
Selamat belajar. Hormati guru-gurumu karena dari mereka
kau akan mendapatkan keberkahan dalam ilmu. Semoga Allah meneguhkan hatimu,
melimpahkan kebahagiaan di dalamnya, menguatkan ingatanmu, menghaluskan tutur
bahasamu, memberikan keberkahan dalam setiap usaha dan perjuanganmu. Aku
melepasmu dengan salam dan doa.
Thanks infonya sangat bermanfaat
ReplyDeleteBagus sekali tulisannya :)
ReplyDelete