Pada mulanya
adalah mimpi. Dan segumpal gundah gulana serta rasa duka yang menghantui saya,
tiba-tiba, berangsur-angsur pulih karenanya. Malam itu [ saya lupa kapan persis
tanggalnya] ketika hati saya berwarna kelabu dan air mata hampir mengharu biru
lantaran sebuah persoalan hidup yang belum kunjung rampung. Sepotong mimpi
mampir di dalam tidur saya.
Seorang
laki-laki tua, almarhum kakek saya, bersama seorang pria paruh baya (almarhum
guru dan bapak angkat saya) datang menghampiri saya. Pakaian mereka serba putih
dengan surban berwarna senada melilit di kepalanya.
Saya tidak kaget, tidak
juga terhenyak. Mereka berhadap-hadapan dengan saya. Kakek saya terdiam di
belakang si lelaki paruh baya. Ia hanya berdiri mengamati. Sementara lelaki
paruh baya, tanpa basa-basi memberi salam, tiba-tiba berkata:”Jangan trauma!
Jangan bersedih! Baca ‘La illaha illa anta. Subhanaka inni kuntu minazhalimin’
setiap habis shalat fardhu.”
Saya pun
terjaga di pukul 4 dini hari menjelang subuh itu. Syahdu. Ragu. Dan saya
membisu. Sebuah tanda tanya hinggap di batin saya: Ya Allah, apakah mimpi ini
penawar duka yang Kau nubuatkan untukku? Mimpi itu memang sebentar.
Tapi, ia
serupa kilat, yang cahaya dan gelegarnya begitu membekas selepas tiada. Siapa
lelaki paruh baya itu? Dan bacaan itu, bacaan yang dianjurkan untuk berdoa
begitu lekat di benakku, Ya Allah. Seperti bunyi ayat. Hmm. Beberapa tanda
tanya itu menggedor-gedor nurani saya.
Di kantor,
saya langsung membuka kitab Fath ar-Rahman (semacam buku indeks Al-Quran
berbahasa Arab yang memudahkan seseorang untuk mengetahui kepastian ayat dan
surah atas sebuah firman Allah. Biasanya, metode mencarinya berdasarkan kata
kerja yang ada dalam firman tersebut).
Eureka! Dugaan saya tak meleset. Kata
yang dianjurkan lelaki paruh itu adalah ayat 87 dalam surat Al-Anbiyaa; sebuah
ayat yang dibaca Nabi Yunus ketika berada di dalam perut ikan paus.
Begini bunyi
lengkap ayat tersebut:
”Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus) ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap:’ La illaha illa anta. Subhanaka inni kuntu minazhalimin’ (Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.’)
Kuriositas
saya pun terjawab. Dalam literatur asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat)
dikisahkan:
Sejarah
mencatat bahwa Nabi Yunus adalah penyampai risalah agama Allah yang hanif
kepada kaum Ninawa, sebuah daerah di sekitar kota Moshul, Irak. Ia bertanggung
jawab meluruskan keyakinan kaum Ninawa yang masih menyembah berhala sebagai
Tuhannya.
Namun, selama 30 tahun berdakwah, tak banyak yang beriman. Hanya dua
orang saja yang mengikuti seruannya: Rubil dan Tanukh. Dan Yunus pun kesal. Ia
hampir putus asa. Allah pun memberi kesempatan kedua selama 40 hari kepada kaum
Ninawa. Sayang, kesempatan itu tidak juga membuat kaum Ninawa bertaubat. Yunus
kesal dan jengkel.
Ia pun
meninggalkan kaumnya. Ia berharap agar azab Allah yang diwanti-wanti itu
langsung menimpa kaumnya yang membangkang. Rupanya, sepeninggal Yunus, azab
Allah menampakkan tanda-tandanya pada kamu Ninawa: langit hitam pekat, menggumpal-gumpal.
Kota Ninawa gelap gulita. Angin gemuruh dahsyat.
Hewan-hewan gelisah ketakutan.
Dan penduduknya cemas dan panik. Pada saat itulah, hidayah Allah menyinari kaum
Ninawa. Mereka menyesal, bertaubat dan menyadari betapa yunus adalah Nabi, adalah
pembawa pesan kebenaran. Allah Maha Penerima Taubat. Azab itu tak jadi turun.
Namun sayang, Yunus telah pergi dengan hati yang kesal, putus asa dan berduka.
Sementara
itu, di lain tempat, Yunus sedang mempertaruhkan hidupnya. Ia sedang mengundi
nasib dengan para penumpang perahu yang ditumpanginya: sebuah undian untuk
membuang salah satu penumpang ke laut agar perahu tidak oleng dan tenggelam
karena badai dahsyat tengah bergejolak.
Sayang,
setelah tiga kali diundi, Yunus kalah. Sebagai seorang nabi, Yunus merasa
semuanya adalah kehendak Allah. Ia pun pasrah. Ia menyesali tindakannya
meninggalkan kaum Ninawa. Padahal, semestinya, ia menunggu perintah Allah
sebelum hengkang.
Yunus tak
ingin berlama-lama. Ia pun langsung menceburkan diri ke laut. Tubunya langsung
digulung ombak. Allah Maha Penyelamat. Pada saat itulah, seekor paus melahap
tubuhnya bulat-bulat (berkaitan dengan inilah, Yunus kemudian dikenal dengan
sebutan Dzun Nun—Si Empu Paus).
Di dalam perut paus yang gulita, pengap, amis
dan menyengat itulah puncak kesedihan Yunus menjadi-jadi. Hanya ada satu
pekerjaan yang dilakukannya: berzikir dan berdoa kepada Allah agar dilepaskan
dari ujian berat itu. Dan Yunus pun berdoa, “La illaha illa anta. Subhanaka
inni kuntu minazhalimin.”
Membaca
latar belakang sejarah doa yang dibaca Yunus ini, saya terharu bercampur malu;
malu pada diri sendiri, malu pada Allah swt. Pada momen inilah, saya merasa
beruntung sekali menjadi hamba-Nya. Saya bukan hanya menemukan mutiara doa dari
Al-Quran, tapi juga resep obat jiwa agar diri tidak larut dalam duka dan
derita, dalam putus asa dan gundah-gelisah.
Maka tak aneh, pada ayat
selanjutnya, satu janji Allah telah digenapkan: “Maka Kami telah memperkenankan
doanya dan menyelamatkannya dari pada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan
orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anbiyaa [21]: 88).
Sebagai
manusia yang imannya acap kali berfluktuasi tak menentu, saya menghikmati dua
poin penting:
Pertama,
Allah menguji tingkat kesabaran kita—yang seharusnya tak terbatas (soalnya
sebagian kita sering berseloroh ‘kesabaran kan ada batasnya’)—hingga sebuah
jawaban yang dijanjikan-Nya itu datang menghampiri kita. Bukankah, dalam firman
yang lain, Allah azza wa jalla juga menyeru hamba-Nya untuk senantiasa minta
pertolongan dalam kondisi bersabar, ‘Minta tolonglah kamu sekalian (kepada
Allah) dengan bersabar dan shalat! Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang
sabar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 153).
Bersabar itu, wahai saudaraku, ibarat
seorang pengangguran yang sudah lama menanti sebuah pekerjaan dari beberapa
perusahaan yang dikiriminya surat lamaran. Nah, ketika tawaran pekerjaan itu
memanggilnya, hatinya berbunga-bunga, bahagia tak terkira. Segepok uang
terbayang-bayang di matanya. (Alhamdulillah, akhirnya aku punya gaji pertama!
Katanya).
Kedua, penderitaan dan duka sejatinya bukan sebuah keputusan yang ditetapkan Allah. Ia bukan datang dari atas sana. Ia ada di dalam diri kita. Ia adalah realitas (kenyataan) subyektif kita. Ia bukan musibah yang, kata para filsuf, disebut dengan realitas obyektif.
Dan realitas obyektif ini, menurut fisuf Soren A.
Kierkegard, itu hanya ada dan diketahui Allah, bukan oleh manusia. Sementara
penderitaan adalah sejumlah gambaran di benak kita (pictures in mind).
Ia
adalah perasaan pedih di dalam jiwa kita. Itu artinya, penderitaan adalah
persoalan bagaimana kita menyikapinya. Kita yang berhak memilihnya: apakah kita
ingin terkurung dalam tempurung derita atau ingin terberkahi dalam jiwa yang
tenang dan bahagia?
Karena itu,
bagaimanapun juga, manusia harus berani memilih bagaimana cara ia akan hidup di
dunia, atau cara ia berada dalam dunia. Kierkegard berpendapat bahwa dalam
eksistensinya, manusia memang akan terus menerus ditantang untuk memilih dan
membuat keputusan. Melalui keputusan yang diambil dan komitmen yang diberikan
itulah, orang menjadi dirinya sendiri.
Inilah yang kerap disebut dengan
pergulatan eksistensial. Dan Nabi Yunus, dalam hikayah di atas, menyadari
dirinya telah memilih keputusan yang kurang tepat hingga beliau buru-buru
bertaubat dan kembali memohon kemurahan-Nya agar terbebas dari kondisi pahit
yang sedang dialaminya.
Saya sadar bahwa doa Nabi Yunus yang dianjurkan lelaki
paruh baya dalam mimpi saya itu adalah juga sebentuk peringatan Allah agar saya
tetap optimis, bersabar, serta memilih jalan tidak menderita dan berduka.
Apalagi
setelah saya baca Tafsir Ibnu Katsir ihwal ayat 87 ini. Padanya dijelaskan
bahwa meski doa ini milik Yunus, tetapi doa ini juga milik seluruh kaum mukmin.
Untuk itu, jika seorang mukmin dalam penderitaan dan kesulitan, kemudian berdoa
dengan ini, maka Allah akan mengabulkannya. Sebab Rasulullah saw., dalam hadis
diriwayatkan Imam Ahmad pun menganjurkan umatnya untuk membaca doa Dzun Nun
ini. Saya bahagia membacanya, dan saya berharap Anda pun mengamini hal yang
sama.
Dikutip dari
buku ‘Doa-Doa yang Menjawab Impian’ karya A. Muaz
Alhamdulillah, terima kasih atas pencerahannya
ReplyDeleteTerima kasih, alhamdulillah..
ReplyDeleteterima kasih ,
ReplyDeletesemoga allah mengampuni kita,
Aminnn
DeleteMbak Sofi, saya suka tulisan ini Terimakasih sudah berbagi
ReplyDeleteRasanya mak jleeb. :)
ReplyDeleteInspiratif. Mencerahkan.
ReplyDeleteThanx for sharing, ya..
Wah ilmu yang bermanfaat mbak :-)
ReplyDeletethnx atas sharingnya semoga berkah...
Ya Allah alhamdulilah.,mdh2an zikir tersebut bermanfaat bwt saya.,saya hampir putus asa.
ReplyDeletemay Allah bless you
ReplyDeleteYaa Allah...trmksh sudh dpt pncrahan lewat tulisan ini
ReplyDeleteTerima Kasih sudah bebagi ayat yg indah, Mudah2an Mba selalu berada dalam lindungan Allah SWT
ReplyDeleteAlhamdulillah, semoga Mba Sofia Zhanzabila senantiasa diberikan Allah SWT rijki yang mudah dan kesehatan yang baroqah, agar tetap bisa menulis yang bermanfaat bagi sesama Insan di dunia dan akhirat,,, aamiin :)
ReplyDeleteAlhamdulillah terimakasih... sangat bermanfaat sekali tulisannya
ReplyDeleteAlhamdulillah....seolah mendapat energi baru setelah membaca tulisan diatas
ReplyDeleteBarakallah terima kasih atas pencerahannya
Salam
s0fi... help me safe my life..
ReplyDeletebuat saudara yang punya permasalahan ekonomi yang ingin di bantu melalui jln pesugihan uang gaib,togel jitu silahkan hub nyai ronggeng di nohp 085-286-344-499 atau kunjungi situs web di http://pesugihanuanggaibsakti.blogspot.com silahkan buktikan sendiri karna saya sudah membuktikannya.
ReplyDelete