Wednesday, 19 August 2015

Memory in Bogor: Anak-Anak Pinggiran Ciliwung




Beberapa waktu lalu sebelum sibuk dengan kegiatan akhir perkuliahan, aku sempat beberapa kali ikut menjadi pengajar di #SaveStreetChild Bogor. Tidak ada satu pun teman satu kelas atau teman dekat yang ikut denganku waktu itu. Perkuliahan yang padat membuat mereka lebih memilih untuk istirahat fulltime di hari Minggu, jadi aku tidak bisa memaksa ditemani. 

Lalu aku? Seperti yang pernah kukatakan, aku sering memikirkan tentang hidup dan makna kebahagiaan. Seringkali aku merasa hidupku terkesan sangat egois, merasa tidak berarti bagi orang lain, merasa seperti seorang pecundang yang tidak ada gunanya sama sekali. Melihat beberapa kenalan yang hidupnya selalu dipenuhi kegiatan bermanfaat bagi orang lain—baik itu organinasi atau bukan—aku jadi sangat iri. 

Tanpa pikir panjang, aku segera searching di internet untuk menemukan organisasi atau komunitas di Bogor yang membutuhkan seorang volunteer. Tidak peduli apapun kegiatan mereka, asalkan itu adalah hal positif, aku sudah bertekad untuk mendaftar. Hingga akhirnya, aku berjodoh dengan sebuah komunitas bernama Save Street Child yang sudah punya reputasi nasional, juga diorganisir dengan baik oleh para pengurusnya. Seperti namanya, komunitas ini berfokus pada anak-anak jalanan, secara umum memberikan kursus gratis bagi mereka. 

Hari itu Minggu, tepat sesudah Zuhur aku membuat janji dengan seorang wanita bernama Keke. Setelah beberapa kali berkomunikasi lewat sms untuk menentukan lokasi, akhirnya kami bertemu di depan Masjid Raya Bogor. Selama beberapa menit, aku diminta Mbak Keke untuk menunggunya makan siang. Satu mangkok mie ayam tidak berhasil ia kandaskan dengan sempurna, namun ia sudah mengajakku segera ke lokasi belajar.
“Maaf ya tadi saya terlambat. Kamu jadi lama menunggu.” Kata Mbak Keke yang bertubuh mungil. Ia terus berjalan cepat di sampingku.
“Nggak apa, Mbak. Justru Mbak Keke sampainya tepat saat saya sudah selesai shalat.” Kataku. “Memangnya rumah Mbak Keke di mana?”
“Depok.” Jawabannya ini sempurna membuatku bengong.
Depok? Itu artinya sudah di luar kota Bogor. Aku semakin kagum saat Mbak Keke bercerita ia selalu menyempatkan diri untuk datang ke tempat yang akan kami tuju, meskipun seringkali pengajarnya hanya dia seorang.
“Kasihan adik-adiknya kalau tidak ada yang datang.” Ia berkata lagi.
“Memangnya tidak ada pengajar selain Mbak?”
“Ada. Tapi semuanya berstatus volunteer. Mereka bukan pengajar tetap. Dulu ada namanya Rangga, dia ngajarnya bagus dan banyak anak-anak yang suka sama dia. Tapi dua minggu ini dia nggak bisa masuk lagi karena harus PKL.”
“Jadi sekarang hanya kita berdua?” tanyaku mulai panik.
“Nggak, Sof.” Ia tersenyum menenangkan. “Ada Bella, terus ada Anis dan satu orang temannya. Mereka langsung ke tempat belajar.”
Alhamdulillah. Aku benar-benar lega. Sejauh itu aku tidak punya pengalaman mengajar sama sekali, kecuali mengajar ngaji anak-anak di desaku. Itu pun sudah lama sekali. Sejak aku masuk pesantren lima tahun lalu, rasanya aku tidak pernah lagi jadi seorang guru. Dan kali itu, demi memperoleh ketenangan batinku sendiri, demi mencari makna sebuah kebahagiaan, aku harus keluar dari zona nyaman. Lalu mengajar? Oh, sejak kecil aku tidak pernah bermimpi jadi seorang pengajar. Selama ini aku beranggapan bahwa mengajar adalah sesuatu yang membosankan. Belum lagi kita harus selalu terlihat bahagia dan ceria di depan anak-anak meskipun di dalam hati kita sedang dilanda badai masalah. Bukankah itu sebuah topeng yang melukai diri sendiri? Namun hari Minggu itu, semua pikiran seperti itu harus kupaksa agar menyingkir sejauh-jauhnya. Au tidak akan pernah berkembang apabila tidak pernah mencoba. 

Kami terus berjalan melewati pintu belakang terminal Baranang Siang, toko-toko buku bekas, warteg kumuh, sebuah bangunan putih yang tidak terawat, hingga kami tiba di sebuah pertigaan. Jika aku naik angkot ke arah kanan, maka beberapa menit kemudian akan tembus di samping pasar Bogor, dekat Tugu Kujang. Tapi itu adalah jalan ke arah kosanku, dan saat itu tujuanku bukanlah kembali ke kosan. Mbak Keke menunjuk sebuah pintu kecil berukuran satu depa yang dibuat seadanya di tengah pagar besi yang sudah karatan. Kami menyeberang dan masuk ke pintu tersebut, menuruni anak tangga yang curam, dan masuk ke dalam sebuah kompleks padat rumah penduduk. 

Beberapa menit kemudian kami sampai di sebuah gang sempit yang menjadi jalan utama kompleks tersebut. Gang yang diapit oleh pintu-pintu rumah, kedai-kedai, dan kain-kain jemuran itu hanya bisa dilewati oleh satu buah motor saja. Saat berjalan di sana, aku bisa mendengarkan orang-orang di dalam rumah yang sedang berbicara, suara bayi-bayi yang sedang menangis di dalam ayunan, suara minyak di penggorengan, serta mencium harum masakan yang menguar dari satu dua pintu. 

Rumah-rumah di sana tidaklah ‘sesederhana’ rumah-rumah yang berdiri di sekitar sungai hitam yang membelah kota Jakarta, namun tidaklah sebagus rumah-rumah di lingkungan kosanku. Meskipun lantainya sudah dibuat dari beton, rumah-rumah di sana berukuran kecil. Ketika melintas di depan rumah-rumah itu, aku bisa memastikan kalau masyarakat di sana hidup sangat apa adanya.
“Kita sudah sampai.” Kata Mbak Keke mengejutkanku.
Aku melongok ke sana ke mari. “Di mana tempat belajarnya?”
Sepertinya Mbak Keke maklum dengan kepolosanku, tangannya kemudian menunjuk kecil sebuah tangga sempit di samping rumah beratap rendah. Aku mengikuti arah tangan Mbak Keke, hingga mataku menangkap sebuah teras berukuran 2 x 2 yang biasa dipakai pemilik rumah untuk menjemur pakaian.Tidak ada papan tulis tertempel di dinding, tidak ada meja kursi, tidak ada meja belajar, juga tidak ada foto presiden dan wakilnya. Hanya satu buah tikar bekas.
“Sofi tunggu di sini saja, ya. Saya mau jemput anak-anak dulu.”
“Jemput?” aku masih belum berhenti heran.
“Kalau nggak dijemput, mereka pada nggak mau datang belajar.” Mbak Keke tertawa kecil.
“Kalau begitu saya ikut Mbak Keke saja.” Dengan cepat aku sudah memegang tangannya. Mbak Keke mengangguk.
Mbak Keke terlihat sudah kenal akrab dengan masyarakat di sana. Saat kami sampai di sebuah kedai, para ibu yang ada di sana langsung menyapanya. Dengan bahasa Sunda mereka segera memerintahkan anak-anak untuk menjemput teman mereka. Mataku jadi berkaca-kaca saat di sekelilingku anak-anak berlari dari satu rumah ke rumah lainnya dengan bibir yang terus memanggil nama teman-teman mereka.
“Si Asep ngggak ada di rumah, Kak. Dia ikut ibunya ke hajatan.” Kata Dani sambil menyalami tanganku dan Mbak Keke.
Ternyata hari itu sedang ada acara khitanan di salah satu rumah. Banyak anak yang tidak mau belajar karena tidak mau meninggalkan acara. Total hanya ada lima orang yang ikut kami ke tempat belajar.
“Ya begitulah, Sof. Apalagi kalau pas hujan, mereka sering ijin pulang sebentar, tapi ternyata tidak datang lagi. Tahunya semua pergi ke lampu merah buat ngojek payung.” Mbak Keke memberi tahu.


Kami mulai belajar sekitar pukul dua siang. Sebagai pembukaan kami mengajari mereka mengaji dengan cara menyimak bacaan satu per satu. Ada yang masih di iqro satu, ada yang tiga, empat, dan enam, sesuai dengan umur mereka yang rata-rata berkisar 7-10 tahun. Hanya Ridwan yang paling besar, umurnya sekitar 15 tahun. Pada minggu-minggu berikutnya aku tahu kalau dia ini peserta belajar yang paling rajin. Dia selalu menyambut kami sebelum teman-temannya datang, menyiapkan tempat belajar, dan juga setia sekali ikut belajar. Sayangnya Ridwan putus sekolah karena masalah ekonomi. Padahal ia anak yang cerdas dan punya kemauan besar, selain itu Ridwan juga anak yang baik dan penurut. Ketika Mbak Keke memberi tahu kenyataan mengenai Ridwan, hatiku terasa pedih. Aku membayangkan Ridwan yang postur tubuhnya mirip adikku itu harus kerja berat hanya karena tidak bisa sekolah tinggi. Senyum dan sorot mata Ridwan, semua itu seperti memberi tahu bahwa ia begitu pasrah pada kenyataan hidupnya. Aku sering memperhatikan Ridwan yang tersenyum tulus saat membantu adik-adik lain belajar berhitung, dan pemandangan itu hanya membuatku ingin menangis. 

Kebanyakan adik yang belajar di sana masih duduk di bangku SD. Mereka anak-anak yang cerdas, namun sangat sulit mengajak mereka belajar. Umur-umur seperti itu tentu lebih memilih untuk bermain petak umpet dan pondok-pondokan. Terkadang kami para pengajar bergantian membelikan dua kotak cokelat sebagai imbalan untuk mereka yang hadir belajar. Kalau sudah usai belajar, biasanya mereka akan menuruni tangga menuju bebatuan di sungai Ciliwung. Di bawah sana mereka melompat dari satu batu ke batu lainnya, terkadang mandi, dan ada juga yang tidak malu-malu buang air kecil. 

Malam ini aku sangat merindukan mereka. Merindukan semangat mereka saat belajar matematika lalu rebutan menyerahkan lembar hasil pekerjaan kepadaku, merindukan lukisan mereka yang tidak serasi dengan ayam yang sama besar dengan rumah, atau bunga yang tingginya sama dengan ujung atap; merindukan bibir-bibir mungil mereka yang mengeja huruf hijaiyah, juga merindukan teman-teman pengajar yang begitu sabar dan tulus. Andai aku punya banyak kesempatan tinggal di Bogor, tentu aku akan kembali ke sana. Hingga kini aku masih menyimpan kertas-kertas berisi lukisan mereka, dan seringkali aku memandanginya begitu lama. Aku tidak menyangka pernah berada di tengah-tengah mereka, meski hanya sebentar. Aku tidak menyangka menjadi seorang pengajar itu bisa membuatku sangat bahagia dan merasakan hidup. Andai waktu itu aku tidak memilih untuk sedikit lebih berani, mungkin hingga saat ini aku sudah menyelesaikan pendidikan, aku tidak akan pernah menjejakkan kaki di kompleks padat di pinggiran Ciliwung itu. Pengalaman ini adalah salah satu pengalaman paling berharga saat aku berkuliah di Bogor, menjadikan Bogor sebagai kota kecil yang sangat berarti dalam hatiku. 

Semoga jiwa adik-adikku di sana selalu dipenuhi semangat belajar, semangat untuk meraih impian seterang bintang di langit. Dan semoga Allah, Sang Pemilik Segala Ilmu Pengetahuan, melimpahkan cahaya yang terang dan hikmah ke dalam hati dan jiwa setiap kita...

7 comments:

  1. seneng sekali pastinya berkumpul dengan mereka apalagi berbagi ilmu ya mbak...

    ReplyDelete
  2. Ada toko toko buku bekas blakang baranangsiang?, sedekah ilmu ya mbak sofi :)

    ReplyDelete
  3. wah asyik banget belajar di alam begitu

    ReplyDelete
  4. Pengalaman yang paling berharga adalah guru :) lanjutkan perjuanganmu dek, insya Allah jasamu akan terkenang selama-lamanya ....

    ReplyDelete
  5. Ikut sedih membayangkan sosok Ridwan :(

    ReplyDelete
  6. Speechless bacanya. Semoga makin banyak anak muda seperti kalian.

    ReplyDelete
  7. buat adik-adik semangat terus belajarnya

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...