Saat membuat judul di atas, aku teringat pada
novel karangan Orhan Pamuk (penulis Turki peraih nobel) berjudul ‘Istanbul,
Kenangan Sebuah Kota’. Dalam novel tersebut, Pamuk banyak bercerita tentang
masa kecilnya di Istanbul pasca keruntuhan Khalifah Ustmaniah. Pamuk senang
sekali menulis novel dengan narasi panjang tanpa dialog, sehingga aku lebih
banyak tidak menamatkan novel-novelnya. Namun untuk Istanbul, Hatiralar ve
Sehir, aku sanggup bertahan membaca karena Pamuk berhasil membawaku menyusuri
jalan-jalan Istanbul yang dicintainya, juga melihat semua kenangan masa
kecilnya di kota tersebut.
Aku belum pernah berkunjung ke Istanbul, apalagi sampai tinggal di sana, jadi tidak mungkin aku menuliskan tentang kenanganku di Istanbul. Tapi, Bogor? Tiga tahun lamanya aku membaur dengan penduduk kota ini. Ia tidak hanya sebatas kota tempatku belajar, namun juga menyimpan kenangan yang seringkali membuat mataku basah saat mengingatnya kembali.
Bogor membuatku jatuh cinta pada tetes hujannya
yang jatuh ke wajah tiap kali aku pulang kuliah di sore hari. Hujan itu membuat
langkah-langkah para mahasiswa di sepanjang trotoar menjadi dua kali lebih
cepat, bahkan setengah berlari. Jika lupa membawa payung, seringkali kami tiba
di kosan dengan keadaan basah kuyup dan bibir bergetar karena dingin. Meski
begitu, aku suka pada hujan kota ini. Hujan yang menjadi identitas. Hujan yang
menerbangkan daun-daun kering menuju badan jalan, yang seringkali membuat
imajinasi orang sepertiku terbang membayangkan sebuah kota klasik dengan
orang-orang berjalan cepat di bawah hujan berangin, membuka payung, serta
merapatkan jaket.
Ah Bogor, hujanmu membuatku rindu. Sekarang, aku hanya datang sebentar mengunjungimu, dan seorang supir angkot memberi tahu kalau hujan sudah lama sekali tidak membasahimu. Ya, aku tahu itu dari bougenville di halaman kampus yang berbunga sangat lebat. Dari dahan-dahannya muncul jutaan bunga berwarna oranye yang sangat indah, menarikku untuk berfoto di depannya. Jika tidak di musim panas, tentu bougenville tidak akan pernah mau berbunga selebat itu.
Bogorku sayang, bersabarlah sedikit, hujan pasti akan segera turun. Dan setelah itu, kita akan menyaksikan tumbuh-tumbuhan hijaumu bertunas semakin lebat.
Kemaren, aku singgah beberapa menit ke ‘mantan’
kosan yang pernah kutempati dua tahun terakhir di Bogor. Catnya sudah berganti
warna, lantainya bersih, dan semua kamar dilengkapi gembok. Aku tidak lagi bisa
masuk ke kamar yang pernah kutinggali bersama tiga temanku yang lain, hanya
bisa melihat pintunya yang terkunci. Andai saat itu aku tidak ditemani Bapak
dan Ibu, tentu aku sudah menangis.
Kosanku ada di salah satu gang, sekitar 70 m dari
jalan utama Malabar. Bagiku kosan itu sudah seperti rumah sendiri. Dulu, saat
aku kelelahan dari kampus, aku akan berjalan tergesa-gesa menuju kosan,
kemudian merasa sangat lega bila sudah sampai di kamar. Rasanya semua kelelahan
menguap. Kosan itu sudah seperti rumah sendiri. Setiap sudut, tangga, dan
ruangannya pernah kujamah. Tempatku mencuci piring, menjemur pakaian,
menyendiri, bergulat dengan teman-teman sekamar, curhat, teriak-teriak saat
nonton serial favorit, semua, membuatku seperti tidak percaya kalau sekarang
adalah waktu untuk meninggalkannya. Kenapa kenangan selalu saja terasa indah
ketika dikenang? Tidak peduli kenangan itu saat kita jatuh, jungkal, menangis,
tertawa, bahagia, semuanya terasa indah. Lalu, kita akan bergumam, andai bisa
mengulang semuanya kembali walau hanya sebentar.
Di jalan Malabar, aku tidak akan pernah lupa pada
warung bakso Bantolo yang bapak penjualnya tidak pernah sekali pun bermuka
masam saat melayani pembeli. Aku suka baksonya, pop ice-nya, mi ayamnya, juga
jus buahnya. Selain itu, anak-anak Bapak Bantolo—begitu kami memanggil—sangat
menggemaskan. Aku melihat pertumbuhan anak kedua Bapak Bantolo sejak ia masih
belajar merangkak hingga kini sudah berlarian ke sana ke mari bersama
teman-temannya, hingga kini Pak Bantolo sudah punya anak ketiga yang besarnya
sama dengan anak kedua saat pertama kali aku datang.
Di antara deretan warnet yang berjejer di
sepanjang jalan Malabar, aku sangat menyukai warnet di samping warung piscok
(pisang goreng cokelat). Tiap kali butuh koneksi internet cepat, nge-print, dan
burning, aku tidak akan pergi ke warnet lain selagi warnet yang ini buka. Bapak
pemilik warnet berumur sekitar 40-an, kulitnya putih, berkumis, wajahnya selalu
teduh dan menentramkan. Jika di warnet lain USB kami tidak terbaca akibat ulah
virus, seringkali si pemilik warnet tidak sabar membantu, namun bapak berwajah
teduh tidak pernah sekali pun marah.
Masa-masa mengerjakan Tugas Akhir, hampir tiap
hari aku datang ke warnet bapak baik hati untuk nge-print, dan tiap hari pula
dia selalu membantu. Bahkan bapak ini sering membantuku merapikan format
tulisan. Soal kesopanan dan tutur bahasa yang halus, aku merasa wajib belajar
dari bapak ini. Dia selalu tersenyum dan mempersilakan kita menggunakan
fasilitasnya dengan sangat hormat. Pernah suatu siang ia dibantu anak lelakinya
yang berumur sekitar 20-an, dan ternyata ada di moment tertentu si anak
terlihat sebal mengurusi printer yang macet, si bapak langsung mengingatkan
dengan lembut, “Yang sabar, Aa... Pelan-pelan saja memperbaikinya.” Lalu suatu
siang yang lain, bapak ini memerintahkan si anak membeli sesuatu, hingga beberapa
menit kemudian si anak menelepon untuk bertanya sesuatu yang kurang jelas,
bapak tersebut menjawab, “Bukan, sayang. Aa cari yang lain, yang bla bla
bla...” dan semua itu dijelaskan dengan sabar. Bayangkan, anak lelakinya bukan
bocah lagi, sudah cocok menikah, tapi bapak itu tetap memanggil ‘sayang’. Aku
sedang mengetik saat mendengar pembicaraan Bapak Baik Hati bersama anaknya itu,
namun kata ‘sayang’ yang ia ucapkan membuat jari-jariku terhenti sejenak. Detik
itu, kekagumanku pada Bapak tersebut bertambah sepuluh kali lipat.
Bogor, untuk mall-mallnya, aku paling sering
berkunjung ke Bogor Trade Mall (BTM) dan Botani Square karena dua mall inilah
yang paling dekat dengan kosan. Di BTM, aku menyukai balkon belakang lantai
empatnya. Dari balkon tersebut setiap mata bisa menyaksikan hamparan rumah
penduduk yang terlihat menjadi sangat kecil, sedangkan di waktu malam
pemandangan akan berubah menjadi lautan kerlap-kerlip cahaya lampu. Di Botani
Square, aku suka Gramedia-nya yang selalu menggoda dengan koleksi buku-bukunya.
Tiap kali menerima uang bulanan, aku selalu menyisihkan sedikit untuk membeli
satu atau dua buku di sana.
Di Gramedia Botani Square, aku punya pengalaman
yang berkesan yang masih saja teringat hingga sekarang. Hari itu cuaca sedang
terik, usai kuliah di salah satu kelas di kampus Baranang Siang, aku sengaja
pergi seorang diri ke Gramedia. Tujuannya sudah jelas, aku ingin membeli buku
terbaru dari Hanum Rais dengan judul ‘Berjalan di Atas Cahaya’. Namun sebelum
menuju kasir, aku terlebih dahulu melihat-lihat buku yang lain. Hingga akhirnya
aku sampai di depan rak yang memajang sebuah novel berjudul ‘Ayah’ (aku lupa
apakah novel ini karangan Andrea Hirata atau yang lain). Lama aku diam di sana,
namun tidak sedikit pun hatiku tergerak untuk mengambil novel tersebut. Mataku
lebih asik menyusuri tulisan singkat di sampul belakang novel yang lain.
“Mbak sudah baca novel ini?” pertanyaan sekaligus kehadirannya yang tiba-tiba membuatku tersentak, hampir saja novel di tanganku jatuh. Dia adalah seorang lelaki muda, salah satu karyawan di sana.
“Aa, maaf?” aku masih gugup.
“Sudah pernah baca novel yang ini?” ia tersenyum sambil tangannya menarik novel berjudul ‘Ayah’, kemudian menunjukkan padaku.
Aku menggeleng sambil terus berusaha menguasai
diri.
“Saya baca dalam waktu tidak sampai dua hari. Ceritanya mengharukan. Saya yang lelaki saja sampai menangis.” Ia terus berbicara menceritakan jalan cerita yang tertulis dalam novel tersebut, sementara aku hanya manggut-manggut sambil sesekali menanggapi, “Oh, benarkah?”.
Novel yang ia ceritakan itu tetap tidak kubeli,
karena sejak awal aku sudah bertekad untuk membeli buku karangan Hanum Rais.
Lagipula budget-ku tidak cukup jika harus menambah beli yang lain lagi. Aku
hanya mengucapkan permohonan maaf karena tidak bisa membeli buku berjudul Ayah,
dan lelaki tersebut mengangkat tangan, menggeleng, seraya tersenyum, “Oh, saya
nggak seperti sales atau pebisnis MLM, Mbak. Tugas saya menyusun buku. Saya
hanya ingin menceritakan isi buku yang telah menarik hati saya kepada Mbak.” Ucapnya.
Aku sangat mengapresiasi karyawan baik hati itu.
Andai semua toko buku memiliki karyawan sepertinya, tentu akan sangat
menyenangkan. Semoga nanti ada orang-orang yang mau membuat sebuah toko buku
homey dengan karyawan-karyawan yang paham mengenai buku-buku yang dijual.
Mereka tidak hanya menjual buku, namun juga membacanya.
Kembali pada Bogor, sebuah kota dengan deretan
pohon hijau, juga angkot-angkotnya yang hijau. Kota yang tidak hanya menyimpan
kenangan, namun juga cinta yang menakutkan. Cinta yang tidak pernah
diceritakan, atau ditunjukkan dengan kode-kode maupun sandi. Cinta yang sejak
dulu hanya bersemayam dalam hati dan mati-matian kujaga agar tidak merebak
keluar. Cinta pada seseorang yang baik hatinya, juga indah tutur bahasanya,
yang menarik hatiku sejak bertahun-tahun lalu. Dan mungkin, hingga nanti cinta
ini akan tetap menjadi ceritaku sendiri saja. Apapun yang ditakdirkan Allah, percayalah
itu yang terbaik. Baik baginya, dan baik bagiku.
Kenangan tentang
Bogor tidak akan habis jika dituliskan dalam sekali duduk. Jika nanti ada
kesempatan, insya Allah akan dilanjutkan kembali. Semoga Allah memperindah
Bogor dengan hujan yang mendatangkan rahmat.
NOTE: Maaf untuk teman-teman bloggerku yang baik hati, selama beberapa bulan terakhir aku tidak pernah meninggalkan komentar di blog kalian, jaringan di kampung halaman sangat terbatas, bahkan untuk posting satu tulisan saja aku butuh waktu hampir satu jam. Terimakasih karena masih setia berkunjung ke blog sederhana ini.
kulinernya bogor lagi dong ekseskusi di blog nya :D
ReplyDeletesiapa tau nanti aq ke bogor jalan2 hahahaha
kalo ke Bogor lagi, bilang2 ya :)
ReplyDeletebogor memang indah :D
ReplyDeletepengen sekali ke bogor..aku belum pernah ke bogor sebelumnya...
ReplyDeletegak masalah mbak, yang penting pintu rumah blog ini tetap terbuka kalau aku mampir ya :)
ReplyDeleteWah Sofi termasuk penyuka hujan dan kenangan. Tulisannya apik, mengalir rapi. Kuliah sudah selesai ya Sofi? Semoga ada ending terbaik bagi cinta itu ya ^^d
ReplyDeletembak sofia, saya tertarik dengan cerita-cerita mbak yang begitu teduh ketika dibaca. saya masih pemula dalam hal tulis-menulis. Saya ingin belajar banyak dari mbak sofi. Minta emailnya ya mbak.. ini email saya zulfaka98@gmail.com
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Isti. Saya terharu baca komentarnya. Emailnya fhy_diamond@yahoo.com yaaa :)))
Deletebogor tiap jam 3 ujan sampe mlm :p.. itu yang aku kenang dari kota ini
ReplyDeleteWatch box office