Cerita tentang drama Korea, sebenarnya aku nggak
punya pengalaman yang terlalu mengesankan. Beda jauh jika dibandingkan dengan
para K-Drama lovers yang hapal nama-nama aktor di luar kepala. Bahkan untuk
satu drama yang memiliki 16 episode saja, aku masih nggak bisa ingat nama
pemain utamanya. Yah, menurutku nama orang-orang Mata Sipit itu mirip-mirip dan nggak bisa dibedakan. Saat masa orientasi di sekolah dan perkuliahan saja, aku
butuh waktu berminggu-minggu hanya untuk mengingat nama teman. So, bukan hal
yang aneh kalau aku memang nggak ingat satu pun nama artis Korea, kecuali Rain,
karena namanya gampang (Ini pun setelah aku nonton Full House dua hari
terakhir).
Hmm... Kapan pertama kali aku mengenal drama
Korea?
Tepatnya saat hari-hari pertama masuk pesantren,
sekitar 5 tahun silam, yaaahhh tahun 2012 pertengahan lah. Saat itu aku
menempati sebuah kamar dengan seorang teman bernama Sefni. Kamar itu punya satu
ranjang bertingkat. Aku di atas, dan Sefni di bawah. Suatu malam, saat kami
sudah berbaring di tempat tidur masing-masing, Sefni bercerita betapa ia sangat
menyukai drama Korea.
“Korea? Memangnya itu di mana? Kok aku nggak pernah dengar? Barat, ya?” tanyaku. Jujur, saat itu aku masih belum paham negara ini di mana dan negara itu di mana. Tahunya orang kulit putih itu orang Barat, tidak tahu juga Barat itu mana-mana saja. Pikirku semua bule itu (artian sempit) menempati negara yang sama. Dan dengan simpelnya pula aku beranggapan Amerika dan Inggris itu tetanggaan. Jadi Korea? Yang muncul di kepalaku saat itu adalah orang-orang berwajah Barat.
“Itu lho Sof, BBF yang tayang setiap sore. Masak kamu nggak tahu?”
“Nggak. Memang cerita tentang apa?” Oh Sefni, tahu sendiri lah, di desaku tidak ada listrik. Adanya diesel yang hanya nyala di malam hari! Mana paham aku drama-drama yang tayang di sore hari.
Dasarnya Sefni emang lagi kangen BBF, jadinya dia
pun dengan senang hati menceritakan dari awal cerita. Sayang, cerita masih
pertengahan, Sefni udah harus cabut ke pesantren. Dan bye bye BBF. Untungnya
pas lagi liburan di rumah teman yang ada di Pekanbaru, selama dua mingguan, BFF
kembali ditayangkan di TV dan sedikit-sedikit aku tahulah jalan ceritanya.
Meskipun nggak begitu tertarik.
Selain BBF, ada beberapa drama Korea lagi yang
kutonton selama di pesantren. Kok bisa di pesantren nonton? Hihi, itulah
hebatnya pesantren beta. Kami dperbolehkan bawa laptop, ada wifi gratis
sepanjang hari lagi. Nggak taulah dari mana, yang jelas aku nontonnya nimbrung
teman. Naik ke kelas dua, kita harus satu kamar dengan 17 santriwati lain, jadi
kalau ada yang nonton, ya monggo ikutan.
Drama pertama berkisah tentang nikah dini gitu,
cowoknya diperanin oleh cowok rambut merah sok pahlawan di BBF dan ceweknya kurang tau juga.
Nggak nyampe tamat sih nontonnya, nggak betah. Seingatku cuma lima episode. Jangan
tanya ending!
Waktu berlalu, di kelas 3 kami tinggal di kamar dengan dua atau tiga orang teman. Nah, lagi-lagi teman ngajakin nonton Korea. Ternyata ceritanya tentang suami yang setia banget sama istrinya yang sering hilang ingatan. Untuk pemain, aku nggak inget, judulnya juga lupa. Ada lagi tentang pengacara perempuan gitu. Dan keduanya nggak mampu aku tamatkan.
Waktu berlalu, di kelas 3 kami tinggal di kamar dengan dua atau tiga orang teman. Nah, lagi-lagi teman ngajakin nonton Korea. Ternyata ceritanya tentang suami yang setia banget sama istrinya yang sering hilang ingatan. Untuk pemain, aku nggak inget, judulnya juga lupa. Ada lagi tentang pengacara perempuan gitu. Dan keduanya nggak mampu aku tamatkan.
Di perkuliahan, proses barter film semakin mudah
dan hampir semua teman punya laptop. Jadi nggak perlu pusing-pusing download.
Aku sempat bosan karena liburan semester yang dihabiskan di kosan selama
berminggu-minggu, jadi minta film ke adik tingkat yang tinggal di lantai bawah.
Eh, dia cuma punya drama Korea. Daripada nggak sama sekali, aku terima. Buanyak banget.
Ada Master Sun, The Heirs, Suspicious Housekeeper, My Love From the Star, City
Hunter, terus tentang pengacara yang suka ama brondong, Boy Next Door, dan
Emergency Couple. Semua itu coba kutonton satu-satu. Dan endingnya sama, nggak
ada satu pun yang kutonton semua episodenya. Aku hanya bertahan sampai 4 atau 5
episode, lalu langsung loncat ke episode terakhir. Karena menurutku, makin ke
sana ceritanya membosankan. Kalau dua pemain utamanya udah saling mengungkapkan
cinta, maka jalan cerita pun berubah datar.
Lagipula menurutku drama Korea itu kurang kreatif.
Selalu begitu-begitu saja karakternya. Cowok yang cool plus tajir banget, cewek
rada-rada begok, mereka bertemu dan bersatu setelah melewati proses yang
dramatis. Oh, jangan lupa, selalu ada satu pria yang lebih cool dan lebih
dewasa dibandingkan pria tokoh utama, dan biasanya akan jatuh cinta plus
sanggup berkorban perasaan demi pemain utama wanita. Biasanya lagi, ada juga
seorang wanita pendiam yang cinta pada pemain utama pria dan nih cewek sulit
banget ngomong kalau dia ini suka. Yeah, tipe pendiam, ilegan, wanita karir,
semacam itulah. Pokoknya sifat cewek ini berbanding terbalik dengan cewek
pemeran utama yang slebor, rada-rada begok, nggak punya malu, dan selalu
berbahagia.
Percaya deh, rata-rata drama Korea seperti itu
ceritanya. Nggak kreatif, kan? That’s why aku nggak begitu tertarik (pada
awalnya). Teman-temanku pada suka Lee Min Ho (inget karena temen kamarku dulu ngefan nih orang), tapi aku nggak ah. Setelah nonton
Full House, satu-satunya aktor plus penyanyi Korea favoritku adalah Rain.
Hihihi...
Full House: Drama Korea yang Memberikan Kesan
Berbeda
Liburan panjang, melelahkan, dan membosankan. Mumpung
ada wifi gratis dengan highspeed, jadi aku manfaatkan untuk download film. Pada
mulanya aku coba cari referensi film bagus di blog dan web, dan entah bagaimana
ceritanya aku bisa landing di page yang membahas beberapa drama Korea bertema
kawin kontrak. Di antara sekian deret judul, aku coba nonton drama berjudul The
Prime Minister and I. Ceritanya tentang perdana menteri yang terlibat skandal
hingga memaksa dia nikah kontrak dengan wartawan majalah Scandal News. Aduh eneg
sumpah nontonnya. Pemain utama prianya udah punya anak 3 dan masih main
cinta-cintaan. Plis deh nggak cocok banget. Aku hanya sanggup bertahan sampai
episode 2.
Aku kembali membuka blog yang tadi memberikan
rekomendasi, dan akhirnya setelah membaca sinopsis, aku tertarik dengan drama
berjudul Full House. Tiba-tiba ingat pas mau wisuda, teman satu wisma sempat
nonton Full House versi Thailand.
“Kalau sampai dibikin versi sana-sini, berarti nih drama emang beneran bagus. Tapi... yang benar aja tahun 2004? Itu artinya aku masih SD kelas 4, dan mereka udah syuting???” tiba-tiba ingatanku kembali pada tahun 2004. Aduh, pasti jadul bangeeeeeet. Tapi ternyata, rasa penasaranku mengalahkan itu semua.
Episode 1 selesai didownload sekitar 5 menitan. Langsung
kutonton, dan tepat sekali, pakaian Young Jae (diperankan oleh Rain) jadul
banget. Aku paling risih lihat cowok pakai kemeja berbunga-bunga, pita-pita,
apalagi slayer yang diikat di leher. Hiii... nggak banget. Dan begitulah
style-nya Young Jae. Syukurnya pas di rumah, dia sering berpakaian normal.
Okay, Sofi, jangan menilai sesuatu dari
penampilan. Bertahan dan lanjutkan! Dan entah mengapa akuuuu suuuukaaaaa....
Aku suka Young Jae yang punya dua karakter. Saat di depan publik, he is really
cool. Tapi udah di Full House, amit-amit banget. Biar gitu, ceritanya nggak
garing. Aku sampe ngakak sendirian tengah-tengah malam. Kadang haru juga kalau
ingat drama ini sudah 12 tahun lalu diproduksinya. Entahlah, kadang penilaianku
terhadap sesuatu memang nggak berdasarkan parameter tertentu. Ada sisi-sisi
tertentu dari drama Full House yang mengingatkan pada masa-masa silam. Salah
satunya lagu Sha la la.
Ya, lagu Sha la la ini udah pernah kunyanyiin
sejak dulu. Sering banget aku nyanyi Yespi
syalalala yespi *&%$*&*$# (haha makin ke sono makin mirip orang
berkumur nyanyinya). Tapi kapan pertama kali aku dengar lagu ini, tahun berapa,
di mana, aku nggak ingat. Makanya pas lagu ini keluar di tengah-tengah cerita,
aku langsung teriak ‘Aaaaa...lagu ini! Aku tauuuu!!!’
Di sini aku nggak menuliskan jalan cerita, karena
kalian pasti sudah nonton drama ini. Bagiku menulis hal-hal seperti ini punya
makna tersendiri. Beberapa mungkin melontarkan predikat anak alay, dan hellow kenapa
peduli kalau memang suka. Sampai sekarang aku masih memikirkan drama ini. Berikut
beberapa hal yang aku sukai dari Full House:
Rumah Bernama Full House
Full House adalah rumah kaca berwarna putih dengan desain minimalis yang sangat memikat. Full House berarti rumah yang penuh cinta—dari kamus mana mereka men-translate aku pun nggak paham. Cari-cari di google kamus, nggak ada satu pun yang bilang kalau Full House itu berarti rumah penuh cinta. Oh ya perlu diketahui, rumah itu dibangun khusus untuk syuting drama ini lho. Dan bersamaan dengan meledaknya drama ini, Full House pun ikutan tenar, bahkan jadi tujuan wisata. Sejak itu pula rumah bergaya minimalis digemari orang-orang. Uh, rumahnya emang bagus banget. Di tepi pantai, punya jembatan, punya taman rumput, dan berdinding kaca. Sekarang aja masih kelihatan bagus, gimana pas tahun 2004 ya?
Sayang banget, sekarang rumah untuk syuting ini sudah dibongkar habis. Sedih bangeeett...
Why Song
Hal lain yang membuatku suka drama ini adalah lagu
Why yang dinyanyikan Rain sendiri. Lagu ini diputar setiap ujung episode,
dekat-dekat kemunculan tulisan bersambung. Kalau kamu dengar musik pembukanya,
pasti langsung suka. Mungkin ini satu-satunya lagu yang dinyanyikan Rain dengan
benar dan tulus, nggak anti mainstream. Lagu ini adalah lagu Korea pertama yang
ku-download sekaligus lagu Korea pertama yang ada di ponselku, bahkan masuk
dalah daftar putar berjudul Everlasting Songs bareng Flying Without Wings-nya
WestLife.
RAIN
Versi sekarang :D |
Tadi aku coba buka youtube, coba dengerin
lagu-lagunya yang lain. Salah satu yang aku suka berjudul ‘Hip Song’, ada
dance-nya. Dan bagi kamu yang lagi suntuk, boleh coba didengar. Pas tahu Rain
itu pinter dance, aku nggak percaya. Terbayang perannya di Full House.
Rain ini seorang koreografer juga. Beberapa dance
yang dibawakan K-Pop Korea adalah karya Rain. Soal prestasi baik itu album,
drama, film, TV shows, kegiatan amal dan konser, silakan baca sendiri di
wikipedia, ya. Secara garis besar, dia pernah bikin konser di Amerika, pernah
dapat lead role di film Hollywood, pernah main film China, dan banyak lagi. Aku sendiri sampai nggak percaya kalau dia itu
adalah lelaki yang sama yang pernah main di Full House. Yang pasti, penampilan
Rain memang sering nyentrik.
Okay, karena sudah larut malam, tulisan kali ini
aku cukupkan dengan sangat tiba-tiba. Yang jelas ini adalah satu-satunya drama Korea yang kutonton full episode (16 episode) tanpa lompat-lompat. Lain kali semoga ada waktu untuk berbagi cerita ringan
dan hal remeh-temeh di sini. Terkadang hidup memang jangan dijalani terlalu
kaku. Sometimes we need to be a child too... and I do it when I get borred or
sad. Siapa lagi yang bisa menghibur dan membuatmu bahagia jika bukan dirimu
sendiri. Maybe they are true, there is no space for gengsi person in this life.
Kamu boleh saja bilang dirimu sibuk, penuh kegiatan akademik, amal, dan bisnis
ke sana sini, tapi jangan pernah lupa, ada sisi manusia biasa di dalam dirimu. Sisi
itu juga bisa bersedih, sakit, kecewa, dan butuh hiburan seperti yang dilakukan
orang-orang. Menjadi orang sukses dalam karir, pintar, berprestasi, bukan
berarti menjadi kaku, kan?
FUll house aku juga ngikutin banget ini, suka banget. Tapi sayang skr udah gak pernah nonton drakor lagi
ReplyDeletesuka banget dengan film ini..terus lihat rumahnya seneng banget berasa betah deh...
ReplyDeleteLagunya Full House emang yaaa... ampe sekarang masih enak aja didenger. Sama Sof, beberapa drama Korea yang kutonton belakangan aku selalu berhenti di episod 6-8, udah mulai konflik nggak jelas, males deh. Trus baca spoiler endingnya deh =))
ReplyDeleteWah saya kira FULL HOUSE sitkom dari barat yang sudah pernah ditayangkan beberapa tahun yang lalu heieiiehiehiee. Drama korea rupanya. Asyik nih bisa dapat referensi baruuu
ReplyDelete