Friday 5 February 2016

A Part from My Novel Project

Photo credit: @mualliiime

Ini adalah hari terakhir Naela di penjara. Sejak satu jam lalu ia terus berdiri menghadap jendela, menyaksikan dedaunan kering yang diterbangkan angin. Terus bertanya pada diri sendiri, apakah ia bahagia?

Ah, Naela belum bisa menjawabnya.

Penjara telah menjadi rumah yang paling aman baginya selama satu tahun terakhir. Di sini ia merasakan hidup yang lebih tenang. Tidak ada gunjingan, lemparan tomat atau telur busuk, karena semua yang mendekam di bawah atap ini adalah sama. Senasib sepenanggungan.

Bersama para wanita tahanan lainnya, Naela membentuk pengajian rutin setiap habis shalat Isya. Mereka membaca surah-surah pendek dari Al Quran kemudian membaca terjemahannya. Terkadang Naela diminta untuk memberi pengajian singkat, dan ia tidak keberatan. Karena itu pula, semakin hari seluruh penghuni lapas semakin menghormatinya. Ia selalu mendapat perlakuan yang istimewa dari sesama tahanan maupun sipir. 

Mereka kompak mempercayai bahwa Naela tidak berdosa. Peduli amat soal foto tanpa pakaian dan percobaan pembunuhan itu, toh Naela yang mereka kenal adalah wanita muda berhati malaikat.

Selama satu tahun ini pula, sudah puluhan wanita di lapas yang berhijrah untuk mengenakan hijab. Tiap kali Ibu atau Sofi berkunjung, Naela selalu berpesan agar mereka membawakan beberapa hijab pada kunjungan selanjutnya. Semua itu untuk dibagi-bagikan kepada teman-temannya. 

Dan hari ini sudah saatnya ia meninggalkan tempat ini. Masa hukuman sudah selesai ia tunaikan. Hanya saja Naela masih bimbang, akankah ia sanggup menghadapi dunia luar yang sama sekali berbeda?

Di sini ia memiliki banyak teman, tapi di luar sana ia akan bertemu dengan orang-orang yang menganggap dirinya wanita bayaran. Ia akan kembali mendengar caci maki dan gunjingan. Atau mungkin tidak hanya sebatas itu, ia juga akan dilempari tomat dan telur busuk seperti satu tahun lalu.
“Mbak Naela, ayolah... Kita punya sesuatu yang ingin ditunjukkan.” Seorang wanita berumur 23 tahun menyentuh pundaknya.
Naela tergagap. Ia mengangguk lalu berjalan sambil menggapit lengan temannya.
“Mbak Naela kenapa melamun? Inikan hari terakhirnya Mbak di sini. Seharusnya Mbak bahagia.”
“Mbak juga bingung, Nur. Sepertinya hati Mbak belum siap untuk meninggalkan tempat ini.”
“Tapi Mbak bisa bertemu Fatih.”
Ucapan Nur membuat kerongkongan Naela terasa pahit. Fatih sayang, cahaya matanya... Apa kabar putranya itu sekarang? Sedang apakah dia? Apakah ia sedang tertawa?

Naela begitu rindu. Tak jarang kerinduan yang amat sangat membuatnya begitu kesakitan, seperti ada belati yang dihujamkan tepat ke pusara jantung, seperti ada benda tajam yang mengiris-ngiris hatinya. Semakin Naela berusaha membunuh rindu, semakin pula kerinduan yang membunuhnya.
“Entahlah, Nur. Mbak bahkan tidak tahu kabar Fatih sedikit pun. Mbak seperti sudah kehilangan hak untuk merindukannya.” Ucap Naela lemah.
“Jika Allah menginginkan kalian bertemu kembali, maka tidak ada satu kekuatan pun yang mampu menghalangi.”
Naela tersenyum. Itulah yang terus ia pikirkan selama ini untuk menguatkan hati. Fatih adalah putranya, darah dagingnya, selalu ada kekuatan yang akan membawa anak itu kembali padanya. Insya Allah...

Beberapa menit berlalu dan mereka sampai di sebuah ruangan. Naela terkejut sekaligus haru ketika mendapati seluruh penghuni lapas telah berkumpul di sana.
Hari ini sebuah acara perpisahan digelar. Naela tidak sanggup menahan air mata ketika satu per satu teman datang dan memeluknya.
“Setiap musim dingin, akan ada musim seminya. Itulah yang selalu kau katakan pada kami. Jemputlah musim semimu, Naela. Doa kami menyertaimu. Semoga saat musim semi itu datang, kami juga bisa mencium harumnya.” Zahrah, seorang wanita berumur 40 tahun berucap sebelum memeluk Naela.
Zahrah harus mendekam di tempat ini karena tersangkut skandal narkoba. Meski bukan murni kesalahannya, tapi ia tetap tidak bisa berkutik dan memberikan pembelaan terlalu jauh. Kehidupan mungkin kurang berpihak padanya. Satu minggu lalu ia menerima keputusan pahit dari pengadilan, bahwa dirinya akan dieksekusi lima hari lagi. Yang membuat Naela takjub, Zahrah tidak pernah terlihat menangis meski hanya dengan setetes air mata pun. Sebaliknya ia tetap terlihat bersemangat beribadah dan membantu teman-temannya.
“Semoga Allah menganugerahi musim semi untuk kita semua, Mbak Zahrah. Musim semi yang indah dengan langit berwarna biru, angin yang membawa kehidupan, tunas-tunas yang saling berlomba memekar, serta kawanan burung yang bernyanyi sepanjang hari. Musim semi yang akan menghapus kebekuan yang kita rasakan selama ini.” Jawab Naela seraya terisak.
Naela membuka telapak tangan Zahrah, kemudian menciumnya, “Aku mencintaimu karena Allah, Mbak Zahrah. Jika kehidupan sedikit berbaik hati, aku ingin bertemu kembali denganmu di luar sana. Kita akan jalan-jalan bersama di sebuah taman, di atas rumput hijau dan hamparan bunga berwarna putih, lalu anak-anak kita akan berlarian mengejar kupu-kupu. Tapi jika takdir menginkan hal lain, aku akan terus berdoa semoga kita menjadi saudara di surga. Semoga Allah membangun istanaku di samping istanamu. Terimakasih telah menjadi sahabat terbaikku di tempat ini.”
“Oh, Naela...” Zahrah memeluknya. Untuk pertama kali wanita itu menangis hingga punggungnya berguncang.
Melihat dua wanita itu berpelukan, semua wanita yang hadir di sana ikut menangis. Mereka tahu betul sedekat apa persahabatan antara Naela dan Zahrah setahun terakhir. Bagaimana pun, perpisahan adalah kepastian. Jika tidak hari ini, perpisahan tetap akan terus mengikuti hingga hari esok, lusa, atau suatu saat nanti.

Lots of Love
Sofia

3 comments:

  1. Banyaknya novel/tulisan sofy yaa..
    ini sebagian isi novelnya aja udh lumayan panjang.
    duh setebal apa ya kira" skrip novelnya yg sekarang lg digarap..hehe
    Semangatt terus sofy :)

    ReplyDelete
  2. Semangat buat lanjutin novelnya, ya? ^^/

    ReplyDelete
  3. sukses ya kak untuk kelanjutan novelnya

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...