Wednesday, 23 November 2016

A Part of Novel Project





Pagi hari di penghujung tahun 2008, mendung menggelayut hitam di langit kota Ann Arbor. Gerimis malam tadi membuat jalanan basah. Jaket-jaket dirapatkan. Payung dibuka. Orang-orang semakin mempercepat langkah mereka.

Naela terbangun sekitar pukul delapan lebih. Pengaruh obat tidur ditambah obat bius yang disuntikkan seseorang malam tadi membuat tidurnya melebihi batas. Saat matanya terbuka, pandangannya masih kabur. 

Ia berusaha mengingat kejadian terakhir yang dialami, termasuk mengingat apakah itu kamarnya sendiri atau bukan. 

Hampir lima menit ia berusaha mengumpulkan kesadaran, hingga akhirnya ia dikejutkan oleh semua kenyataan yang ada di depan matanya. 

Kamar itu bukan miliknya, tempat tidur juga bukan, dan tubuhnya yang terbungkus selimut kenapa bisa tanpa pakaian? Keterkejutan Naela semakin menjadi-jadi saat ia mendapati setumpuk pakaian yang bertumpuk di atas sofa, termasuk kerudung biru muda yang tadi malam masih menempel di kepala. 

Dadanya terasa sangat sesak, bahkan ia kesulitan untuk bernapas. Matanya perih, tapi tidak menangis. Berkali-kali ia berseru bahwa semua itu hanya mimpi dan ia akan segera bangun. Tapi semakin ia berusaha untuk menenangkan diri, semakin ia sadar bahwa semua itu bukan mimpi. Itu adalah kenyataan pahit yang harus dihadapi, benar-benar harus ia hadapi di dunia nyata.

Ia beranjak sambil membawa serta selimut untuk menutupi tubuh. Ada rasa perih dan nyeri yang amat sangat saat ia berjalan. Ia mondar-mandir seperti orang gila, kemudian menggedor-gedor pintu kamar mandi. Tidak ada siapa pun di kamar itu selain dirinya sendiri. Tidak ada benda apapun yang ditinggalkan sang lelaki kecuali seprei yang kusut dan sedikit noda di sana. 

Pagi itu Naela tidak lagi ingat bahwa ia belum shalat Subuh. Itu adalah puncak kehancuran yang membuat hidupnya tidak ada gunanya lagi. Seperti orang gila dia meninggalkan hotel, berjalan tersaruk-saruk di bawah gerimis, menangis menuju apartemen. Pakaiannya basah. Dingin menggigit, namun ia tidak peduli. Rasanya semua manusia di kota itu sangat kejam padanya, hingga saat kondisi yang seperti itu tak ada satu pun yang sudi menghampiri. Satu dua orang yang berpapasan hanya melemparkan pandangan aneh tanpa berniat untuk bertanya apapun. 

Saat melintas di sebuah jembatan, sempat terbersit dalam pikiran Naela untuk lompat ke bawah. Lantas tidak akan ada lagi rasa sakit, dendam, marah, dan malu yang harus ia tanggung. Mungkin sore nanti salju pertama akan turun. Jantungnya akan cepat berhenti bersama tubuh yang membeku. Lalu mayatnya yang kaku akan ditemukan orang-orang beberapa jam kemudian. 

Laki-laki itu pasti akan hidup dengan rasa bersalah saat melihat jasadmu. Dia tidak akan hidup tenang. Ayo, lompatlah Naela! Untuk apa lagi kamu hidup dengan noda seperti ini? Kamu mau pulang ke negaramu dengan bangga seperti para perantau lainnya? Cuih, kamu pikir kamu sama dengan mereka yang suci? Di mana mukamu? Lalu bagaimana jika kamu mengandung anak setan itu, apakah kamu sanggup melahirkan dan membesarkannya? Cepat, lompatlah!” suara yang entah dari mana asalnya berkeliaran dalam kepala Naela.

“Diam...! Kumohon diamlah! Aku tidak akan pernah bunuh diri...!!!” jeritnya di atas jembatan yang kosong. 

Seandainya para laki-laki yang tega menodai wanita itu mengerti betapa berat beban lahir dan batin yang harus ditanggung korbannya. Masihkah mereka mementingkan nafsu sesaat yang keindahannya tidak bersisa? Hingga kiamat pun mereka tidak akan pernah mengerti, kecuali jika Tuhan berkenan mengubahnya menjadi wanita. Karena sejak dulu, hati wanita selalu berlebihan dalam memaknai sesuatu. Ia bisa sangat bahagia karena hal sederhana, atau sangat kesakitan karena hal sederhana pula. 

Tapi hari itu, semua orang sepakat bahwa Naela tidak sedang mengalami hal sederhana. Karena itu akan menjadi noda yang melekat sampai akhir hidupnya nanti. Itu adalah noda yang akan dipakai seperti ia memakai nama sendiri.

***

*Saya sudah pernah mengirimkan naskah novel setebal 400+ halaman ke sebuah penerbit mayor yang bisa dibilang nomor satu di negeri ini, dan tiga bulan kemudian saya menerima jawaban dari mereka. Ya, seperti kebanyakan penulis pemula, naskah pertama ditolak. Mereka bilang ceritaku masih bisa dikembangkan lagi. 

This is the copy of their comment, "Ide cerita naskah Anda menarik dan ditulis dengan baik sekali. Perjuangan perempuan dalam menghadapi tantangan dalam hidupnya selalu dapat memotivasi perempuan lain untuk menjadi lebih baik. Namun sayangnya, ide, teknik penulisan, dan amanat yang baik saja belum cukup untuk menjadikan agar sebuah karya dicintai para pembaca. Dibutuhkan racikan pas antara unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik lain, serta sudut pandang yang khas dan mampu memberikan keistimewaan satu naskah dari naskah lain. Naskah 'Musim Kesabaran' masih memiliki banyak ruang pengembangan untuk kemudian akan dicintai dan senantiasa dinikmati para pembacanya. Bila memang kita tidak berjodoh untuk bekerja sama kali ini, kami tetap membuka kesempatan selebar-lebarnya untuk kesempatan lain di masa mendatang."

Dan setelah naskah kubaca kembali, yes they are true, untung saja naskah itu dikembalikan, jika tidak aku pasti malu saat dibaca orang lain. Masih banyak kekurangan di sana-sini. Now I am working in editing, also revise some chapters. Bahkan sekitar 70% cerita saya rubah. Setelah dibaca ulang, saya sampe berseru, "Duh Sofi, tulisan kamu kok hancur begini??? Banyak hal gak penting kamu masukkan." 

Yes, sekarang sudah hampir setahun dan naskah tidak kunjung rampung *tears. Doakan ya sahabat semua. Saya sengaja bekerja keras agar kelak naskah ini bisa diterbitkan oleh penerbit mayor, that's why saya gak mau asal nulis untuk kemudian diterbitkan sendiri melalui self publishing. Apapun yang terjadi harus tetap semangat menulis. Penolakan hal yang biasa. I need a year just for writing my first experience. Hehe...

Hope you enjoy a part of my novel. *Novel yang ide ceritanya, juga nama tokoh utamanya, sudah dibuat sejak jaman di pesantren.


6 comments:

  1. Bagus ya, kata2nya rapi. Ketahuan kalau sering latihan. :D

    ReplyDelete
  2. Hebat! Bikin novel setebal itu? Aku bikin seratus halaman aja masih megap-megap. :p

    ReplyDelete
  3. Aku tulis tentang resep-resep saja deh. Kalau novel nyerah. Suka baca doang. Hihihi

    ReplyDelete
  4. Postingan Mbak ini mengispirasi lho. Intinya, jangan menyerah. :D

    ReplyDelete
  5. I do enjoy reading this story word by word mbak Sofy...Indah.. dan emosi karakternya bisa terasa. Saya juga sama nih, rasanya diterbitkan di penerbit mayor meski butuh waktu panjang dan revisi yang tak cukup sekali dua kali lebih mengasah kemampuan ya. Ditolak, perbaiki, coba kirim lagi.. dan semoga ada kejutan manis sebagai buah dari usaha. Butuh tenaga dan kesabaran ekstra memang^^ Good Luck!

    ReplyDelete
  6. sofiiii... keep fight dear, kutunggu novelmu terbit ya :)

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...