“Demi
masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al
‘Ashr: 1-3).
Banyak yang ingin kutuliskan pada malam ini. Tapi sejak tadi, aku hanya diam memandangi layar laptop tanpa bisa menuliskan satu patah kata pun. Di luar pintu kamar, semua penghuni asrama sedang berkumpul membahas ujian lisan yang akan diadakan satu minggu lagi. Aku sengaja tidak ikut, karena merasa sudah terlalu banyak pengasuh senior yang mengurusi hal itu.
Hingga malam ini, pikiranku masih dipenuhi
oleh satu hal. Ya, sejak tadi sore, entah mengapa aku merindukan teman-teman
yang dulu bernaung di bawah atap asrama ini bersamaku. Kini aku kembali ke
sini, dan tidak banyak perubahan pada teras, kamar, cat dinding, maupun taman
di depan. Yang berubah adalah orang-orangnya. Setelah hampir lima tahun
meninggalkan asrama ini, ternyata sudah banyak generasi yang berlalu.
Tadi menjelang Maghrib, saat aku berjalan
menuju Masjid, seorang santriwati menyapa. Dia menanyakan apakah aku mengenal
kakaknya. Setelah ia menyebutkan nama sang kakak, aku baru sadar bahwa gadis
jelita di sampingku adalah adik sahabatku dulu. Sungguh tidak menyangka. Dulu sahabatku
sering menunjukkan foto adiknya yang masih kecil, masih duduk di bangku SD.
Lalu kini, si adik ternyata telah menjelma gadis remaja yang tidak lagi bisa
disebut polos.
Rasanya baru kemaren aku menjadi santri,
kini aku sudah kembali dengan status yang berbeda. Rasanya baru kemaren aku
duduk di meja belajar, kini aku harus duduk di meja depan yang terkadang membuatku
kehilangan bahan pembicaraan. Rasanya waktu begitu cepat melindas segalanya. Seolah
masa-masa aku berkuliah selama tiga tahun, lalu kerja dan hal-hal lain selama
dua tahun, itu tidak pernah terjadi.
Itulah waktu!
Jika aku ditanya, apakah yang paling kejam
di muka bumi ini? Maka jawabannya adalah waktu! Lihatlah betapa buasnya waktu
melahap segalanya: masa kecil, masa muda kedua orang kita, masa remaja,
teman-teman, dan orang-orang tercinta. Waktu memangsa semua itu tanpa sedikit
pun memberi kesempatan untuk kembali lagi. Tinggalah kita yang duduk mengenang,
meratap, tersenyum getir, tertawa kecil, menitikkan air mata, kala mengenang
segalanya.
Ah, waktu. Andai ia berwujud, maka akulah
orang pertama yang akan datang padanya, menuntut padanya. Aku akan minta ia
mengembalikan usia kedua orang tuaku, masa muda Bapak dan Ibuku, sahabat masa
kecilku, desa dan parit-parit tempat kami berenang, hutan belukar tempat kami
bermain petak umpet, dan ladang-ladang jagung tempat kami berlarian bersama
angin.
Ah, waktu yang begitu kejam tanpa belas
kasihan. Tapi setidaknya ada satu hal yang aku sukai darimu, adalah karena
engkau mengajarkan kerinduan serta kasih sayang. Karena engkau, aku jadi
merindukan masa kecil, masa lalu, sehingga aku bisa menyayangi sahabat kecilku
dulu dengan tulus. Karena engkau, aku jadi bersemangat mengejar cita-cita,
mengingat umur kedua orang tuaku yang terus merangkak tua.
Saat ini, aku hanya ingin menikmati
apa-apa yang telah disisakan oleh waktu di tempat ini. Aku kembali ke pesantren
tempatku dulu belajar. Setidaknya, jika aku merindukan sahabat-sahabatku dulu,
masih ada menara Masjid yang bisa dipandangi, juga rumpun bougenville di
samping asrama. Dua hal yang dulu kucintai, tidak berubah, dan kini juga masih
kucintai.
Ini adalah kembali yang tidak kuharapkan,
tidak kuangan-angankan. Bagiku, kembali ke sini adalah mimpi.
Entahlah. Apakah ia mimpi baik atau buruk.
Selama ini aku selalu ketakutan ketika
membayangkan kembali ke sini. Karena itu pula aku selalu menunda pengabdian. Kala
itu aku tidak sanggup menyaksikan sisa-sisa masa laluku—masa remajaku—di tempat
ini.
Tapi inilah hidup. Jika Allah menghendaki
sesuatu, maka sejauh apapun kaki kita melangkah, Dia akan membawa ke titik
awal.
Ini adalah tanggung jawabku, hutangku...
Mau tidak mau, suka tidak suka, pahit atau manis, hutang tetaplah menuntut
bayarannya. Jika tidak sanggup melunasi di dunia, maka di akhirat pun akan
tetap kita lunasi dengan azab yang pedih.
Sekarang, aku akan belajar menikmati
hari-hariku sebagai pengajar. Suatu kegiatan yang selama ini sama sekali tidak
ada dalam benakku. Di antara sekian banyak kekuranganku, salah satunya adalah
aku tidak pandai bergaul akrab dengan sembarang orang. Karena itulah aku takut
murid-murid tidak menyukaiku. Aku takut mereka bosan dengan penjelasanku. Dan karena
itu pula, aku tidak pernah bermimpi menjadi seorang pengajar.
Namun apapun yang terjadi, takdir apapun
yang menimpa dirimu, insyaAllah semua ada hikmahnya. Percaya bahwa rencana
Allah swt jauh lebih baik dari rencanamu.
Kalau ingat masa lalu, rasanya ingin nangis, Mbak. Ada rasa haru dan nggak nyangka. Begitu cepat waktu berlalu rasanya.
ReplyDelete