Saturday, 31 December 2016

Sarajevo to Mostar, Bosnia & Herzegovina [Fiction]




Pesawat Turkish Airlines yang kita tumpangi mendarat tidak begitu halus di Sarajevo International Airport, bandara terbesar sekaligus tersibuk di Bosnia Herzegovina. Tiket yang kita beli dari salah satu website booking adalah tiket penerbangan langsung menuju Sarajevo, tidak harus transit terlebih dahulu di Wina, Austria. 

Dua jam dua menit selama penerbangan kuhabiskan dengan memandang keluar jendela, pada awan-awan tipis yang melayang. Seolah mereka tercipta hanya untuk terbang bebas tanpa beban. Dan jika sudah sampai waktunya, mereka akan berubah dalam wujud lain berupa tetes hujan atau salju yang meluncur menuju bumi, kembali menemukan sebuah kehidupan baru. 

Perangkat hiburan yang disediakan di depan kursi tidak kusentuh sama sekali. Kamu pun begitu. Sejak tadi—kuperhatikan—kau justru lebih sibuk membaca buku yang kau bawa dari Tanah Air. Kita hanya sesekali berbicara, selebihnya lebih banyak terisi oleh deru mesin pesawat.

Zdravo. Dobro jutro. Welcome in Sarajevo International Airport. Thank you for chose a flight with us.” Seorang pramugari yang berdiri melepas kepergian penumpang di pintu kabin menyapa, ucapan yang sama untuk penumpang lainnya. Senyum dan bentuk wajahnya khas Turki, sangat cocok dipadukan dengan seragam biru donkernya.

Angin musim dingin menyambut kita begitu keluar dari pesawat. Tidak ada perbedaan yang kontras antara Turki dan Bosnia Herzegovina, suhu yang tidak jauh berbeda dan waktu yang hanya memiliki selisih satu jam.Ini adalah kali pertama aku menginjakkan kaki di bandara ini. 

Dulu selama perang 1992-1995, penerbangan umum ditutup sementara waktu dan hanya dipakai untuk kegiatan kemanusiaan, seperti mengantarkan bantuan-bantuan dari seluruh dunia untuk korban perang. Bandara ini baru kembali beroperasi normal satu tahun setelah perang usai.

Kita berjalan mengikuti lorong yang mengantar menuju conveyor dan petugas pemeriksaan. 

Hvala (thanks)” ucapmu dengan bahasa Bosnia setelah petugas imigrasi laki-laki yang memeriksa paspormu.

“Da li govorite bosansky? Odakle ste? (Apakah bicara bahasa Bosnia? Dari mana asalmu?)” Wajah petugas itu terlihat semangat
 
“Razumijem bosansky, just little. (Aku bisa sedikit)Jawabmu dengan memberikan sedikit senyuman, kemudian berlalu meninggalkan mejanya. Aku sendiri kaget saat mendapati kamu mengerti sedikit bahasa Bosnia.

 “Kau tahu, bandara ini telah menerima beberapa international award.” Aku berseru sambil melihat kembali ke arah pintu bandara.

“Baguslah.” Kau merespon pendek.

Seperti kebanyakan bandara internasional, pastinya di terminal keberangkatan dan kedatangan penerbangan internasional selalu dipenuhi dengan wajah-wajah antarbangsa. Sekumpulan turis berwajah Cina terlihat baru keluar dari pintu exit bangunan bandara, wajah senang jelas sekali tergambar dari wajah mereka. Aku sudah hapal dengan kebiasaan orang Cina, mereka tidak pernah kehabisan suara. Selalu saja berisik ketika berbicara dengan sesama mereka. Seketika mereka mengerubungi seorang laki-laki separuh baya yang membawa kertas bertuliskan sesuatu di depan dadanya. Kemungkinan besar ia adalah tour guide yang akan memandu perjalanan para turis Cina itu.

Seorang laki-laki menghampiri. Dengan bahasa Bosnia ia menawari kita untuk naik ke taksinya. Aku tidak mau berpikir lama, ditambah udara yang semakin menusuk tulang, langsung saja kuterima tawarannya. Koper kecil di tanganku seketika berpindah tangan, supir yang kuterka berumur lima puluh itu mengangkut ke bagasi taksinya. Senyum ramah tetap tersungging di bibir laki-laki tua itu ketika ia mempersilakan kita masuk ke dalam taksi.

Mobil kuning yang masih cukup bagus itu bergerak meninggalkan bandara. Salju tipis turun tapi masih jarang-jarang. Setelah mengucapkan selamat datang dan menanyakan tujuan kita, supir tua itu mengarahkan mobilnya melewati jalan Brace Mulic, kemudian Belok kiri menuju Senada Poturka Sencija. Berdasarkan penuturannya, ada tiga rute yang bisa ditempuh dari bandara menuju stasiun bus di tengah kota Sarajevo. Tidak ada perbedaan jarak tempuh yang signifikan di antara ketiga rute itu. Semuanya tidak memakan waktu lebih dari 20 menit.

Mobil terus melaju di jalanan yang tidak begitu padat. Ada getaran halus menyusup dalam dadaku, mencipatakan keharuan yang indah. 

Sarajevo, tidak pernah terbersit dalam pikiranku untuk mendatangimu, bahkan dahulu semua ini hanyalah mimpi. 

Kini kota ini sudah banyak berubah. Tidak ada lagi bangunan-bangunan hancur dengan asap membumbung tinggi. Tak ada tank-tank chetnik yang berjalan serupa monster yang mengejar mangsanya. Tak ada barisan setan yang menembaki penduduk. Tak ada jeritan luka wanita dan anak-anak. Tak ada air mata yang meleleh dari sudut mata laki-laki ketika dipisahkan dari anak istrinya. Tak juga terdengar dentuman-dentuman yang menakutkan dari segenap penjuru kota.

Sekarang kota ini adalah tempat yang aman, yang indah, dan menyihir. Air mata dan darah penduduk yang terbunuh bertitah pada bumi untuk menumbuhkan keindahannya.

Aku melihat bangunan di sepanjang jalan. Beberapa bangunan seperti Masjid tetap terlihat seperti dulu, bergaya Ottoman dengan menara-menara runcingnya. Gedung-gedung yang dulu hancur akibat perang telah direkonstruksi kembali sedemikian rupa. Beberapa bangunan masih mempertahankan keadaan aslinya sebagai peninggalan sejarah. Tidak bisa dipungkiri, sejak perang 1992-1995, Bosnia identik dengan negara yang menyeramkan karena dipenuhi sisa-sisa perang. Tidak banyak yang mengetahui keindahannya. Bahkan sebagian orang menganggap kunjungan ke Bosnia tidak ubahnya kunjungan ke kota kelam yang berhantu. Tetapi kini bisa kupastikan, ketika seseorang menginjakkan kaki di atasnya, ia akan terpukau dengan pesona Bosnia. Pesona semenanjung Balkan seperti yang ada dalam tulisan dan lukisan ada di sini, di Bosnia. 

“Jika kita terus mengikuti jalan ini, kemudian berbelok tiga kali, sampailah nantinya di jalan Zelenih Beretki. Biasanya itu adalah titik pertama Sarajevo yang dikunjungi oleh turis mancanegara.” Supir tua itu menjelaskan ketika kita melaju di jalan Zvornicka. Telunjuknya menunjuk kecil ke depan.



“Di sana memang indah. Kita bisa berjalan-jalan di pinggir sungai Miljacka, lalu menyeberanginya melewati jembatan Latin dan melihat-lihat Museum Sarajevo 1878-1918.” Sambungmu dengan suara datar. 

Aku jadi teringat salah satu sahabat asal Bosnia yang bernama Elma Izetbekovic. Kami berkenalan di Jakarta. Waktu itu dia datang ke Indonesia untuk sebuah persentasi paper di Universitas Indonesia. Elma pernah bercerita mengenai masa kecilnya di Sarajevo, terutama tentang masa kecilnya di area Zelenih Beretki.

“Dulu masa kecil kami di Sarajevo, aku juga sering menyusuri sungai Miljacka dengan sepeda. Area Zelenih Beretki adalah salah satu tempat kegemaranku untuk menghabiskan waktu libur. Jembatan Latin yang tiangnya berbentuk lengkungan-lengkungan itu tidak pernah membosankan untuk dipandang. Dan jika sudah lelah, aku akan masuk ke museum Sarajevo 1878-1918atau yang dikenal dengan museum Austria-Hongaria. Disebut begitu karena memang museum itu bercerita tentang masa kedudukan Austria-Hongaria di Sarajevo, selama periode 1878-1918. Tempat terbunuhnya Franz Ferdinand yang memicu perang dunia pertama pun diduga terjadi di area itu.” Suara Elma seperti menggema di telingaku, membuatku tersenyum.

Mobil meninggalkan jalan Zvornicka, berbelok ke kiri memasuki jalan Hamdije Cemerlica. Di trotoar jalan yang mulai dilapisi salju, tampak para wanita Bosnia yang berjalan dengan plastik-plastik belanja di tangan. Kini para wanita Bosnia banyak yang mengenakan kerudung. Dulu, ketika Bosnia masih berada dalam federasi Yugoslavia, semua hal yang berbau agama tidak boleh diperlihatkan. Masjid-Masjid sepi seperti kuburan. Keadaan itu berbanding terbalik pasca perang Bosnia, pengalaman pahit selama periode perang sepertinya membawa para Bosnian pada kesadaran, ditambah lagi dengan syiar Islam yang digemakan oleh para mujahidin antar bangsa yang membantu Bosnia. 

“Lihat para gadis kami, mereka cantik-cantik, bukan?” tanya Pak Supir.

Aku membenarkan. 

Taksi terus melaju selama beberapa menit, kemudian berhenti tepat di depan Autobuska stanica Sarajevo—terminal bus kota Sarajevo. 

Setelah kamu yang membayar tarif taksi, bapak supir itu langsung memutar mobil. Ia memberikan senyuman sebelum melajukan mobil meninggalkan kita.

Kita berjalan menuju tempat pembelian tiket, kemudian bergegas masuk ke dalam bus. Sepuluh menit kemudian bus bergerak keluar dari terminal. Setelah berada di badan jalan, bus melaju dengan halus meninggalkan Sarajevo. Lanskap kota Sarajevo berganti dengan hamparan rerumputan meranggas yang dilapisi salju tipis. Dua jam tiga puluh menit lagi kami akan tiba di Mostar.


“Kenapa kau diam saja? Kau tidak menyukai perjalanan kita?” tanyaku akhirnya. Jujur, sejak tadi aku sedikit tidak nyaman dengan ekspresimu yang datar.

Kau menutup buku, memandangku sejenak. “Aku menyukainya. Tapi bukan berarti aku harus terus-terusan tertawa, kan?”

Aku menggeleng, “Itu bukan jawaban yang kuinginkan. Baiklah. Aku akan tidur. Barangkali kau sedang lelah.” Aku menyandarkan kepala, coba memejamkan mata. Detik ini, sungguh, aku bosan dengan dirimu yang diam. 

“Tidurlah. Aku akan menceritakan sebuah cerita sebagai pengantar tidurmu.” Katamu.

Aku tersenyum. Dalam hati. Inilah yang aku sukai dari dirimu. Kau selalu menghadiahiku hal-hal kecil yang tak semua pasangan melakukannya.

Lalu, kau pun mulai bercerita, tentang kisah peperangan di tanah ini yang begitu memilukan. Ketika melakukan genosida terhadap etinis Bosnia yang beragama Islam 20 tahun lalu, tentara Serbia benar-benar seperti iblis. Mereka memisahkan  semua laki-laki dewasa etnis Bosnia, dengan anggota keluarga perempuan dan anak laki-laki di bawah 12 tahun. Setelah itu mereka akan meminta para laki-laki itu berbaris sebelum akhirnya diberondong senjata mesin.  Mereka tidak mempedulikan jeritan para wanita dan tangisan anak-anak. Bagi mereka etnis Bosnia tidak berbeda dengan hewan buruan yang layak mati di ujung senapan. Ketika para tentara itu mengejar orang-orang Bosnia yang berusaha melarikan diri, mereka menganggapnya seperti sedang berburu. Saat peluru senapan mereka menjatuhkan orang-orang Bosnia, mereka tertawa terbahak-bahak dan berteriak senang pada sesama mereka.

“Aku pemburu ulung. Lihatlah aku berhasil menumbangkan lima. Kau sudah berhasil membidik berapa buronan, Jack?”

“Sial! Lari mereka ternyata cukup kencang juga. Tapi tidak apa, aku suka. Justru ini sangat menantangku.”

Kembali mereka terbahak-bahak, melajukan tank-tank baja ke pemukiman penduduk. Rumah-rumah kebanyakan tidak utuh lagi. Asap membumbung tinggi dengan bau sangit dan daging terbakar. Mayat menumpuk dimana-mana. Wujud mereka tidak lagi mudah dikenali, tercabik-cabik, perut terburai, dan tidak sedikit juga yang telah terpisah jauh dengan kepalanya. 

Para tentara Serbia memiliki persediaan senjata yang banyak, karena mendapat pasokan dari Soviet. Sementara muslim Bosnia hanya melawan dengan senjata seadanya. Mungkin kamu sudah lupa, apa yang melatar belakangi perang Bosnia 1992-1995? Baiklah, akan kuingatkan sedikit.

Bosnia Herzegovina adalah sebuah negara di semenanjung Balkan yang termasuk ke dalam Federasi Yugoslavia. Penduduknya mayoritas beragama Islam sejak masuknya Islam pada abad ke-14 oleh Dinasti Ottoman. Runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991 menyebabkan efek domino yang berimbas pada Federasi Yugoslavia, sehingga harus dipecah menjadi enam negara bagian, yaitu Bosnia, Serbia, Kroasia, Macedonia, Slovenia, dan Montenegro.

Tiga negara yang memiliki perbedaan etnis dan agama paling mencolok adalah Bosnia dengan etnis Bosnia beragama Islam, Serbia dengan etnis Serbia beragama Ortodoks, dan Kroasia yang beragama Katolik Roma. Serbia memiliki ambisi untuk menyatukan kembali Federasi Yugoslavia dan sangat menentang berdirinya negara Bosnia yang beragama Islam. Itulah sebabnya mereka melakukan merampasan wilayah dengan cara menghabisi seluruh penduduk Bosnia.

Orang-orang Serbia menganggap setiap Muslim adalah orang-orang Turki yang menjajah semenanjung Balkan, sehingga mereka semua—muslim—pantas diusir. Keyakinan seperti ini mereka tanamkan sejak kecil. Sekolah-sekolah mereka mengajarkan sebuah syair yang dikenal dengan syair iklil al jabal. Syair ini mengungkapkan penghinaan yang begitu besar pada Islam.”

Kau mengakhiri cerita. Mataku yang terpejam, sebenarnya tidak bisa jatuh tertidur. Aku mendengarkan sejak tadi, mendengarkan dengan khidmat. 

“Karena itu, aku tidak bisa tersenyum sejak tadi. Negara ini menyisakan luka yang tak mudah untuk diabaikan begitu saja, Mariam. Tapi satu hal yang perlu engkau tahu, aku bahagia berada di sampingmu. Aku bahagia bisa menemanimu mewujudkan mimpi untuk berkunjung ke negara ini. Kau tak pernah bisa menerka sebesar apa kebahagiaanku.” Katamu pada akhirnya.

Aku membuka mata. Detik ini, sungguh—aku telah mengubah statementku beberapa menit yang lalu, bahwa aku begitu bahagia dengan dirimu yang diam. Kau selalu punya alasan yang membuatku jatuh hati berkali-kali. 

“Terimakasih. Terimakasih kau telah banyak tahu tentang negara ini, melebihi aku. Tapi kau juga perlu tahu satu hal, tidak ada orang yang berhasil tidur dengan kisah pengantar seperti ini. Lain kali, aku akan membelikanmu buku dongeng pengantar tidur.” Kataku lirih. Bercanda. Tersenyum. 



Kali ini aku melihat kau tersenyum tipis. Bus yang kita tumpangi terus melaju di atas jalanan yang bersepuh salju. Deretan pegunungan khas Semenanjung Balkan membentang di kanan dan kiri jalan, membuatku tak hentinya bersyukur.

Hari ini, dua impianku telah diijabah Tuhan. Pertama, adalah mimpiku untuk menginjakkan kaki di Bosnia, dan kedua adalah mimpiku untuk duduk di sampingmu.







No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...