Langit mendung, angin bertiup menggugurkan dedaunan
kering, dan aku menyukai suasana ini. Entah mengapa, sejak dulu aku menyukai
langit yang kelabu. Sebaliknya, aku tak begitu suka pada intensitas cahaya
matahari yang terlalu tinggi dan panas. Percaya atau tidak, aku selalu menutup
gorden rumah di waktu pagi. Tahu kenapa? Karena rumahku menghadap ke Timur
sehingga matahari pagi terasa ganas sekali menerobos ke dalam. Andai bisa
memilih, aku ingin matahari tak perlu bersinar terik sepanjang tahun.
Dulu, semasa kuliah, hatiku terasa begitu bahagia ketika
mendung dan angin datang bersamaan dengan aku yang sedang berjalan kaki. Aku senang menyusuri trotoar
pada saat-saat seperti itu. Aku suka ketika pakaianku beterbangan kemudian aku
bisa bersedekap sambil berjalan. Kalau sudah begitu, aku akan membayangkan
diriku berjalan di sebuah jalanan yang diapit pepohonan meranggas, di tepian
musim gugur. Mungkin di salah satu jalan di desa kecil Transylvania, menuju kastil
Dracula bermenara lancip yang terkenal itu.
“Bukankah itu menyenangkan? Maksudku menjadi seseorang
yang suka berkhayal?” tanyaku padamu.
Kau tersenyum sambil menggelengkan kepala, kemudian
menarik cangkir cappucino, menyeruputnya sedikit.
“Mengapa Transylvania? Kenapa kau tidak menghayalkan
sebuah jalanan desa di Inggris misalnya? Kurasa akan lebih menyenangkan. Aku
pernah mengunjungi desa Castle Combe, sekitar 40 menit naik kereta dari Bristol,
dan rasanya tidak ada tempat di dunia ini yang lebih klasik dari itu. Jadi
sekali lagi, kanapa harus Transylvania?”
Sesaat aku membuka mulut. Pertanyaan ini sungguh di luar
dugaan. Tapi kemudian aku tersenyum, lalu menopang dagu dengan kedua tangan.
Jika kau melihat mataku saat ini, pasti keduanya sedang bersinar terang,
seterang mimpi tentang Transylvania.
“Karena aku menyukai sejarah. Kau boleh percaya atau
tidak, aku adalah pecinta nomor wahid tentang sejarah kekhalifahan Turki
Ustmani. Dan di Transylvania, di sanalah berdiri kastil Dracula yang merekam
sejarah mendebarkan, memiliki desain klasik, juga beratmosfer mencekam. Tiga
hal ini menjelma sihir tersediri bagiku.”
Kau terlihat berpikir selama beberapa saat.
“Lalu apa hubungan antara Turki Ustmani dan Dracula?”
Sekarang aku bisa tertawa. Untuk pertama kalinya aku
merasa wawasanku berada satu tingkat di atasmu.
“Selama ini kau pasti terlalu fokus dengan buku-buku
ilmiah.” Kataku cemberut. “Seharusnya kau sudah tahu tentang fakta Dracula yang
meregang nyawa di ujung pedang Muhammad Al Fatih. Jangan bilang kau juga tidak
kenal siapa itu Muhammad Al Fatih.”
“Aku tahu. Tadi hanya ingin membuatmu sedikit senang
saja.” Kini giliran kau yang tersenyum mengejek. Tapi aku tidak akan percaya
begitu saja.
“Kalau begitu... ceritakanlah!”
Kau mengawali cerita dengan senyuman istimewa. Kenapa
istimewa? Karena siapapun yang melihatnya pasti tak akan tega marah
berlama-lama. Lalu kau mulai menjelaskan dengan detail dan bahasa yang indah
mengenai siapa itu Muhammad Al Fatih. Mendengar penuturanmu, aku seperti merasa
sosok Al Fatih ada di meja ini, kemudian duduk dan memperhatikan kita berdua
seraya tersenyum kebapakan. Ah, lagi-lagi aku berkhayal!
Kemudian ceritamu berlanjut tentang hubungan antara Al
Fatih dan Dracula saat mereka berdua sama-sama belajar di bawah pengasuhan guru
yang sama, seorang Sheikh yang ‘alim sekaligus penasehat Sultan. Kau terus
bercerita dengan runut, jelas, dan tentu saja berdasarkan pengetahuan yang
benar.
“Faktanya Dracula memang mati di tangan Al Fatih. Tapi
kita tidak boleh lupa satu hal, bahwa sejarah adalah milik mereka yang menang.
Dracula boleh kalah saat itu, tapi kemudian sejarah mencatat, pada akhirnya kekhalifahan
Turki Ustmani runtuh di bawah kekuasaan Barat. Mereka—orang-orang Barat—yang
tak menyukai Ottoman, bisa dengan leluasa menukar sejarah. Lalu para generasi
penerus didoktrin melalui film-film yang menceritakan kehebatan manusia
penghisap darah alias Dracula. Bukan main, mereka menjadikan sosok kejam itu
sebagai tokoh utama. Dan kau pasti tahu film Dracula Untold, kan? Lihatkah
bagaimana lihainya mereka memutar balikkan fakta.”
“Mengapa kau terlalu pintar? Seharusnya kau tidak perlu
tahu cerita ini, sehingga akulah yang akan menceritakannya padamu.” Aku berucap
kecewa.
“Aku tidak pintar. Percayalah. Aku hanya senang membaca
apa yang kau senangi. Sejak pertama bertemu denganmu, aku tahu kau menyukai
segala sesuatu tentang Ottoman. Aku hanya ingin menjadi teman diskusi yang
baik. Bagimu.”
“Kau tak perlu melakukan itu. Bersama bukan berarti kau
harus menyukai segala sesuatu yang kusukai. Demikian pula aku yang tak harus
menyukai segala sesuatu yang kau sukai juga.”
Tapi kau menggeleng.
“Tidak. Sejak aku memutuskan bersama denganmu, aku juga
memutuskan bahwa kita akan melakukan apa-apa yang kau sukai, dan apa-apa yang
kusukai, bersama-sama. Itu hal sederhana. Lagipula hati manusia tidak pernah
rumit. Sistem di dalam hati kita sudah terprogram begitu baik. Mereka akan
spontan menyukai segala sesuatu yang disukai oleh orang-orang yang kita sukai.
Ah, kenapa bahasanya jadi rumit begini.” Kau menyengir kesal.
Aku tertawa. Bagiku itu tadi lucu.
Menyukai segala sesuatu yang disukai oleh
orang-orang yang kita sukai.
“Aku suka makan risoles yang disiram mayones, yoghurt,
dan saos tomat. Bagaimana, kau bersedia menyukainya juga?” tanyaku.
“Kecuali yang itu.” Jawabmu datar, tak ada toleransi.