Sahabatku, apa kabarmu?
Malam ini aku kembali teringat tentangmu, tentang kita,
tentang ladang jagung kita, tentang parit desa kita. Aku teringat pada
mimpi-mimpi kita yang begitu sederhana, lalu seperti biasa semua kenyataan
justru membuatku semakin menyalahkan diri sendiri. Tapi, sudahlah. Untuk apa
menyesali sesuatu yang telah terjadi, kan? Bagaimana pun, di sini, entah
bersama siapa pun, aku tidak akan pernah melupakan impian kita. Aku akan
berjuang untuk mewujudkan impian-impian sederhana itu, setiap harinya.
Sahabatku, masih ingatkah engkau hari dimana kaki-kaki
kecil kita berjalan di antara hamparan jagung yang menghijau? Masih ingatkah
ketika kita mencari lubang sangkar burung pelatuk di semua dinding sumur yang
ada di kebun? Ah, kau lah yang selalu berani memasukkan tangan ke dalam
lubang-lubang itu, sementara aku hanya bisa menunggu dengan rasa penasaran.
Terkadang tanganmu keluar dengan menggenggam beberapa butir telur, terkadang
anak burung, dan tak jarang pula hanya dengan tangan kosong. Kita juga pernah
mencoba memelihara beberapa ekor anak burung pelatuk, tapi kemudian mereka tak
berumur panjang. Akhirnya kita pun membungkus bangkai-bangkai mereka dengan
sobekan kain putih, menguburkan, kemudian menaburi kuburan mereka dengan
bunga-bunga.
Jika kuingat-ingat, sejak dulu kau lah yang lebih berani
dariku. Kau lah yang lebih tangguh dariku. Kau berani memanjat pohon rambutan
yang tinggi, sementara aku hanya menunggu pada dahan paling rendah, menunggu
buah-buah masak yang kau lemparkan ke bawah. Lihatlah, sejak dulu aku memang
tak bisa diandalkan. Sejak dulu kau bermimpi menjadi dokter, tapi sayang
keadaan selalu tak berpihak. Sejak dulu kau ingin berkuliah, dan aku selalu
mengatakan ‘Tak perlu cemas, kau pasti bisa kuliah suatu hari nanti’. Tapi
hingga detik ini aku belum kunjung bisa membantumu. Rasanya aku hanya bisa
memberimu janji manis, hanya bisa menceritakan rencana-rencana membahagiakan,
namun tak sekali pun aku bisa membuatnya nyata.
Sahabatku, aku tak begitu peduli pada kebahagiaanku
sendiri. Aku sudah pernah berjalan ke beberapa negara orang, tapi di sana tak
kutemui kebahagiaan. Lalu sejak itu, aku paham, ternyata kebahagiaan tidak
mampu kuraih dengan cara seperti itu. Ketahuilah, tak ada yang membahagiakan
ketika jasadku ini bebas terbang, namun impian masa kecil kita, keluarga kita,
masih tetap tertinggal jauh di pulau itu. Sejak saat itu hatiku bertekad, suatu
hari aku pun akan kembali menjejakkan kaki di tanah asing, namun tak lagi
sendirian, aku akan bersamamu serta keluarga kita.
Hanya saja malam ini—yang membuat tangisku tak kunjung
reda—adalah ketika mendapati kenyataan: aku bahkan menghianati janji kita,
impian kita! Aku bahkan belum mampu mewujudkan impian-impian kita yang paling
sederhana. Kita belum bisa pulang kampung bersama, kita juga belum bisa
mendatangi sebuah tempat bersama bapak dan ibu, kemudian menggelar tikar dan
makanan di sana. Lihatlah, betapa dua impian itu sangat sederhana? Bukankah dua
hal itu tak ada artinya bagi mereka yang sejak kecil sudah terbiasa berekreasi,
jalan-jalan, bersama keluarga mereka?
Sahabatku, tiap kali teringat tentang kita, tentang
impian yang dulu pernah membuat matamu berbinar saat mendengarnya, aku selalu
tak mampu membendung air mata. Percayalah, aku mencintaimu melebihi cintaku
pada diriku sendiri. Itulah mengapa dahulu, saat satu tahun kebersamaan kita,
aku akan berusaha selalu ada tiap kali kau membutuhkan.
Pernah suatu malam kau
menelepon, minta diantar ke tempat kerja karena 15 menit lagi bisa jadi
terlambat. Seseorang yang sudah berjanji akan mengantarmu ternyata berhalangan.
Lalu aku pun bergegas datang, padahal tahukah kau jika waktu itu aku sudah
hampir terlelap? Lalu sepulang dari tempat kerjamu, aku harus sendirian
melewati jalanan yang sepi, belum lagi saat itu aku masih baru belajar
mengendarai motor. Tak bisa dibayangkan lagi betapa aku begitu ketakutan. Tapi
sekali lagi kutegaskan, kau bukan hanya sekadar sahabat kecil, sepupu,
melainkan juga adik perempuanku. Apapun yang terjadi, kau lebih berharga dari
diriku sendiri. Apapun yang terjadi, di sini, dan setiap hari, aku selalu
berdoa untuk semua kebaikan-kebaikanmu.
***
Suatu hari di permulaan September 1995, aku dilahirkan. Di
saat yang sama, Evi yang tak lain adalah tetangga dan sepupuku sudah memasuki
usianya yang kedelapan bulan. Lalu di hari-hari berikutnya kita tumbuh bersama
menjalin persahabatan hingga hari ini.
Ini adalah cerita tentang aku dan seseorang yang
kucintai melebihi cinta pada diriku sendiri. Percayakah jika kukatakan bahwa
aku selalu menangis saat ada seseorang yang bercerita buruk tentangnya? Percayakah
jika kukatakan bahwa dosa terbesar yang hingga hari ini selalu kusesali adalah dosa
karena tak memenuhi janji padanya? Percayakah jika kukatakan bahwa saat
mengingatnya pun aku bisa menangis?
Kurasa tak banyak orang yang sudi percaya. Begitu pula
dengan teman-temanku kebanyakan. Memang, bagi kalian yang tak pernah memiliki
seorang teman kecil yang tumbuh bersama, akan sulit untuk memahami hal-hal
semacam ini. Berbeda denganku dan segelintir orang yang bernasib sama. Wajar saja
ketika aku membaca novel berjudul The Kite Runner, tangisku tak bisa berhenti
hingga halaman terakhir. Novel itu membawaku menyusuri hari-hari kecil Hassan
dan Amir, permainan layang-layang di kota Kabul, dan tentu rasa bersalah yang
menghantui Amir hingga 20 tahun kemudian. Dosaku pada Evi memang tak seberat
dosa Amir pada Hassan, namun sama seperti Amir, aku pun ingin kembali ke masa
lalu kemudian memperbaiki segala kesalahan yang pernah kuperbuat.
Tak berbeda dengan anak-anak lain yang menikmati masa
kecil di akhir tahun 90-an hingga 2000-an, aku dan Evi selalu berhasil
menemukan kebahagiaan kami sendiri. Meskipun terlahir dan tumbuh di sebuah
pulau yang cukup terpencil di perbatasan Riau dan Kepulauan Riau, kami tetap
tak pernah kehilangan ide untuk selalu berbahagia.
Aku masih ingat hari-hari saat ladang jagung orang tua
kami mulai berbuah, burung-burung yang berterbangan menghiasi langit biru, kemudian
angin yang berhembus dari hutan desa kami. Aku masih ingat hari-hari ketika
kami memperebutkan walkman usang demi mendengarkan lagu-lagu kasidah, dangdut,
atau lagu Malaysia. Aku masih ingat ketika pita kaset favorit kita kusut,
kemudian kita merapikannya kembali dengan sebatang pensil atau pulpen. Dan tentu
ada banyak hal lain yang tak bisa kulupakan hingga detik ini, seperti pada
sampan-sampanan dari sebilah papan dan pelampung kelapa, uang-uang dari daun
kopi, pot-pot bunga, mainan gembot yang selalu jadi rebutan, buku-buku rajutan,
film-film India di siaran Malaysia TV3, ikan-ikan kecil di parit yang selalu
jadi sasaran keisengan kita, para belalang yang ketakutan, anjing yang lari
terbirit-birit saat kita kejar, sepeda yang melaju di atas tanah gambut
berdebu, buah-buah rambutan, dan kebiasaan kita mendengarkan radio di hari-hari
Ramadhan.
Waktu itu di desa kami belum ada yang punya diesel, juga
tak ada televisi warna. Ada televisi, itupun masih hitam putih dan harus
disambungkan pada baterai aki. Jangan harap antena di pulau kami bisa menangkap
siaran-siaran TV nasional, yang ada hanya siaran Malaysia. Jadi, ketika
anak-anak generasi kami yang tinggal di kota bisa menikmati masa kecil mereka
bersama Jinny oh Jinny, Tuyul dan Mbak Yul, Pernikahan Dini, Westlife, Winter
Sonata, Endless Love, Full House, majalah Bobo, atau novel-novel Harry Potter,
maka kami tak bisa mengenal semua itu. Aku bahkan baru bisa menikmati semua itu
ketika mulai duduk di bangku SMA. Terkadang saat mendengarkan lagu dan drama
lama, aku bisa menangis sendiri. Tahu kenapa? Karena aku selalu menyayangkan
satu hal, seharusnya aku menikmati semua itu di masa kecil dahulu.
Masa kecilku bersama Evi tak lah selalu berjalan
menyenangkan. Pada pertengahan 2007, setelah melalui pertengkaran dan proses
panjang, akhirnya kedua orang tua Evi bercerai. Tanah mereka harus dibagi dua,
satu bagian untuk bibiku dan kedua anaknya, kemudian bagian yang lain untuk
sang ayah. Karena rumah mereka berada di atas tanah milik sang ayah, akhirnya
rumah tersebut harus dibongkar untuk dipindahkan ke tanah milik mereka. Dan untuk
sementara waktu, bibi, Evi, dan adiknya tinggal di rumahku.
Aku masih begitu kecil saat itu. Masih banyak keegoisan
yang belum bisa dikendalikan. Aku tak mengerti kalau Evi berada dalam situasi
sulit dalam hidupnya. Terkadang kami bertengkar dan dan aku mengadukannya pada
Bapak dan Ibu (di depan ibunya), terkadang aku mengeluarkan kata-kata sindiran
yang membuatnya tak nyaman tinggal di rumahku. Terkadang aku memarahi adiknya,
mem-bully adiknya, sedangkan di lain sisi aku begitu memanjakan adikku
sendiri. Dan masih banyak lagi.
Ah, andai saja aku sudah mampu berpikir seperti
sekarang. Tentu peristiwa-peristiwa menyakitkan seperti itu tak perlu terjadi.
Kini Evi tak pernah lagi berkomunikasi dengan ayahnya, kurasa sudah hampir 10
tahun. Ia telah melalui berbagai rentetan hari yang sulit. Tidak hanya dia,
tapi juga adiknya. Di masa seharusnya mereka memperoleh kasih sayang kedua
orangtua, mereka malah dititipkan ke sana ke mari ketika bibiku kerja di Malaysia.
Kini saat mengenang semua itu, saat memposisikan diriku
menjadi mereka, yang tersisa hanyalah rasa bersalah. Mengapa dulu—saat ia
tinggal di rumahku—terkadang aku tak memperlakukan mereka dengan baik?
Begitulah. Jika kalian bertanya padaku, siapakah orang
yang paling kusayang? Jawabannya adalah Evi, tanpa melupakan bahwa aku juga
sangat menyayangi kedua orang tuaku. Bagiku, Evi tidak hanya sekedar sepupu, melainkan
juga adik perempuan sekaligus sahabat masa kecil. Mengapa aku bisa begitu
menyayanginya?
Karena ia menyimpan masa laluku, dan aku pun menyimpan
masa lalunya. Karena ia telah membuat hari-hari lampau terasa begitu
membahagiakan. Karena ia selalu percaya pada semua impianku. Benar sebuah
pepatah mengatakan, “Friendship is not a big thing. It is million of little
things”.
Suatu hari nanti di hari bahagia Evi, aku ingin sekali berada
di sisinya. Aku ingin menjadi orang pertama yang menyaksikan keindahan henna di
tangannya. Aku ingin menonton ia yang didandani seperti seorang puteri. Aku lah
yang akan berkomentar bila si perias salah ketika menggambar alis matanya.
Dulu, di masa kecil, aku pun pernah mendandaninya dengan
bunga-bunga taman. Aku suka menghias rambutnya, kemudian memasang bunga aneka
warna di atas kepalanya. Lalu teman-teman kecil kami akan menggiringnya ke
pelaminan yang kami ciptakan dari kayu-kayu dan dedaunan. Waktu itu kami selalu
kesulitan menemukan teman yang bisa berperan sebagai pengantin lelaki, karena
di generasi kami tak ada anak lelaki yang sebaya. Ada satu, itu pun harus
pindah ke Jawa dan kembali setelah ia duduk di bangku sekolah menengah. Jadi
masa kecil kami benar-benar dikelilingi oleh teman-teman perempuan.
Tapi sekarang, soal siapa yang akan jadi pengantin
laki-laki, kami tidak perlu pusing lagi. Evi telah menemukannya. Aku berdoa
semoga dia adalah sebaik yang aku lihat. Semoga akhlaknya seanggun yang kusimpulkan.
Semoga ia mencintai sahabatku dengan segenap hati dan jiwa. Semoga ia memuliakan
sahabatku laksana perhiasan yang tidak ternilai. Semoga pada diri lelaki itu ia
menemukan kebahagiaan yang sejati.
Nanti, di hari bahagia itu, aku ingin sekali memberi
hadiah berupa buket bunga tulip pada Evi. Sejak kecil kami menyukai bunga, dan
aku ingin ia melihat bunga yang sebelumnya tidak pernah kami lihat. Bunga yang
tidak tumbuh di Indonesia, terlebih di pulau kecil kami. Meski terkadang hidup
selalu tak berjalan sesuai dengan yang kita rencanakan, aku ingin ia tidak
pernah putus asa untuk bermimpi. Masih ada banyak hal yang belum kita lihat, dan
masih ada banyak kesempatan bagi mereka yang terus berjuang.
Untuk para pembaca blog ini, aku berharap kamu bisa
mengambil pelajaran dari ceritaku ini. Ketika ingin menyakiti seseorang,
cobalah posisikan diri sendiri sebagai orang yang ingin kita sakiti tersebut.
Cobalah untuk menyayangi sanak famili dengan tulus. Ketika mereka menginap di
rumahmu, perlakukan mereka dengan baik sebagaimana kamu memperlakukan dirimu
sendiri. Jangan pernah pilih kasih pada anak-anak. Misalnya dengan memberikan
es krim harga 10 ribu untuk anak sendiri, sebaliknya es krim harga 5 ribu untuk
keponakan. Maksudku, cobalah untuk memperlakukan orang lain sebaik dan seadil
mungkin. Aku hanya tak ingin ada kesalahan-kesalahan kecil yang kelak—mungkin
pada detik-detik penghujung hidup—justru membuat kita begitu menyesal.
Perbaikilah selagi ada kesempatan.
Saat pertemuan kami satu tahun lalu. Evi tidak berhijab. |
Note: Untuk pembelian buket bunga segar, bisa dilakukan secara online di elevania. Tersedia banyak jenis bunga baik lokal maupun impor yang akan dikirim hari itu juga ke seluruh area Jabodetabek.
noted sofia sudah lama tak bersua ya, senang sekali punya sahabat dekat layaknya saudara
ReplyDeleteTerenyuh bacanya. :')
ReplyDelete