Tuesday 4 April 2017

Something Called Friendship




Sahabatku, apa kabarmu? 

Malam ini aku kembali teringat tentangmu, tentang kita, tentang ladang jagung kita, tentang parit desa kita. Aku teringat pada mimpi-mimpi kita yang begitu sederhana, lalu seperti biasa semua kenyataan justru membuatku semakin menyalahkan diri sendiri. Tapi, sudahlah. Untuk apa menyesali sesuatu yang telah terjadi, kan? Bagaimana pun, di sini, entah bersama siapa pun, aku tidak akan pernah melupakan impian kita. Aku akan berjuang untuk mewujudkan impian-impian sederhana itu, setiap harinya.

Sahabatku, masih ingatkah engkau hari dimana kaki-kaki kecil kita berjalan di antara hamparan jagung yang menghijau? Masih ingatkah ketika kita mencari lubang sangkar burung pelatuk di semua dinding sumur yang ada di kebun? Ah, kau lah yang selalu berani memasukkan tangan ke dalam lubang-lubang itu, sementara aku hanya bisa menunggu dengan rasa penasaran. Terkadang tanganmu keluar dengan menggenggam beberapa butir telur, terkadang anak burung, dan tak jarang pula hanya dengan tangan kosong. Kita juga pernah mencoba memelihara beberapa ekor anak burung pelatuk, tapi kemudian mereka tak berumur panjang. Akhirnya kita pun membungkus bangkai-bangkai mereka dengan sobekan kain putih, menguburkan, kemudian menaburi kuburan mereka dengan bunga-bunga.



Jika kuingat-ingat, sejak dulu kau lah yang lebih berani dariku. Kau lah yang lebih tangguh dariku. Kau berani memanjat pohon rambutan yang tinggi, sementara aku hanya menunggu pada dahan paling rendah, menunggu buah-buah masak yang kau lemparkan ke bawah. Lihatlah, sejak dulu aku memang tak bisa diandalkan. Sejak dulu kau bermimpi menjadi dokter, tapi sayang keadaan selalu tak berpihak. Sejak dulu kau ingin berkuliah, dan aku selalu mengatakan ‘Tak perlu cemas, kau pasti bisa kuliah suatu hari nanti’. Tapi hingga detik ini aku belum kunjung bisa membantumu. Rasanya aku hanya bisa memberimu janji manis, hanya bisa menceritakan rencana-rencana membahagiakan, namun tak sekali pun aku bisa membuatnya nyata.

Sahabatku, aku tak begitu peduli pada kebahagiaanku sendiri. Aku sudah pernah berjalan ke beberapa negara orang, tapi di sana tak kutemui kebahagiaan. Lalu sejak itu, aku paham, ternyata kebahagiaan tidak mampu kuraih dengan cara seperti itu. Ketahuilah, tak ada yang membahagiakan ketika jasadku ini bebas terbang, namun impian masa kecil kita, keluarga kita, masih tetap tertinggal jauh di pulau itu. Sejak saat itu hatiku bertekad, suatu hari aku pun akan kembali menjejakkan kaki di tanah asing, namun tak lagi sendirian, aku akan bersamamu serta keluarga kita.

Hanya saja malam ini—yang membuat tangisku tak kunjung reda—adalah ketika mendapati kenyataan: aku bahkan menghianati janji kita, impian kita! Aku bahkan belum mampu mewujudkan impian-impian kita yang paling sederhana. Kita belum bisa pulang kampung bersama, kita juga belum bisa mendatangi sebuah tempat bersama bapak dan ibu, kemudian menggelar tikar dan makanan di sana. Lihatlah, betapa dua impian itu sangat sederhana? Bukankah dua hal itu tak ada artinya bagi mereka yang sejak kecil sudah terbiasa berekreasi, jalan-jalan, bersama keluarga mereka?

Sahabatku, tiap kali teringat tentang kita, tentang impian yang dulu pernah membuat matamu berbinar saat mendengarnya, aku selalu tak mampu membendung air mata. Percayalah, aku mencintaimu melebihi cintaku pada diriku sendiri. Itulah mengapa dahulu, saat satu tahun kebersamaan kita, aku akan berusaha selalu ada tiap kali kau membutuhkan. 

Pernah suatu malam kau menelepon, minta diantar ke tempat kerja karena 15 menit lagi bisa jadi terlambat. Seseorang yang sudah berjanji akan mengantarmu ternyata berhalangan. Lalu aku pun bergegas datang, padahal tahukah kau jika waktu itu aku sudah hampir terlelap? Lalu sepulang dari tempat kerjamu, aku harus sendirian melewati jalanan yang sepi, belum lagi saat itu aku masih baru belajar mengendarai motor. Tak bisa dibayangkan lagi betapa aku begitu ketakutan. Tapi sekali lagi kutegaskan, kau bukan hanya sekadar sahabat kecil, sepupu, melainkan juga adik perempuanku. Apapun yang terjadi, kau lebih berharga dari diriku sendiri. Apapun yang terjadi, di sini, dan setiap hari, aku selalu berdoa untuk semua kebaikan-kebaikanmu.
 
***

Suatu hari di permulaan September 1995, aku dilahirkan. Di saat yang sama, Evi yang tak lain adalah tetangga dan sepupuku sudah memasuki usianya yang kedelapan bulan. Lalu di hari-hari berikutnya kita tumbuh bersama menjalin persahabatan hingga hari ini.

Ini adalah cerita tentang aku dan seseorang yang kucintai melebihi cinta pada diriku sendiri. Percayakah jika kukatakan bahwa aku selalu menangis saat ada seseorang yang bercerita buruk tentangnya? Percayakah jika kukatakan bahwa dosa terbesar yang hingga hari ini selalu kusesali adalah dosa karena tak memenuhi janji padanya? Percayakah jika kukatakan bahwa saat mengingatnya pun aku bisa menangis?

Kurasa tak banyak orang yang sudi percaya. Begitu pula dengan teman-temanku kebanyakan. Memang, bagi kalian yang tak pernah memiliki seorang teman kecil yang tumbuh bersama, akan sulit untuk memahami hal-hal semacam ini. Berbeda denganku dan segelintir orang yang bernasib sama. Wajar saja ketika aku membaca novel berjudul The Kite Runner, tangisku tak bisa berhenti hingga halaman terakhir. Novel itu membawaku menyusuri hari-hari kecil Hassan dan Amir, permainan layang-layang di kota Kabul, dan tentu rasa bersalah yang menghantui Amir hingga 20 tahun kemudian. Dosaku pada Evi memang tak seberat dosa Amir pada Hassan, namun sama seperti Amir, aku pun ingin kembali ke masa lalu kemudian memperbaiki segala kesalahan yang pernah kuperbuat.

Tak berbeda dengan anak-anak lain yang menikmati masa kecil di akhir tahun 90-an hingga 2000-an, aku dan Evi selalu berhasil menemukan kebahagiaan kami sendiri. Meskipun terlahir dan tumbuh di sebuah pulau yang cukup terpencil di perbatasan Riau dan Kepulauan Riau, kami tetap tak pernah kehilangan ide untuk selalu berbahagia.

Aku masih ingat hari-hari saat ladang jagung orang tua kami mulai berbuah, burung-burung yang berterbangan menghiasi langit biru, kemudian angin yang berhembus dari hutan desa kami. Aku masih ingat hari-hari ketika kami memperebutkan walkman usang demi mendengarkan lagu-lagu kasidah, dangdut, atau lagu Malaysia. Aku masih ingat ketika pita kaset favorit kita kusut, kemudian kita merapikannya kembali dengan sebatang pensil atau pulpen. Dan tentu ada banyak hal lain yang tak bisa kulupakan hingga detik ini, seperti pada sampan-sampanan dari sebilah papan dan pelampung kelapa, uang-uang dari daun kopi, pot-pot bunga, mainan gembot yang selalu jadi rebutan, buku-buku rajutan, film-film India di siaran Malaysia TV3, ikan-ikan kecil di parit yang selalu jadi sasaran keisengan kita, para belalang yang ketakutan, anjing yang lari terbirit-birit saat kita kejar, sepeda yang melaju di atas tanah gambut berdebu, buah-buah rambutan, dan kebiasaan kita mendengarkan radio di hari-hari Ramadhan.



Waktu itu di desa kami belum ada yang punya diesel, juga tak ada televisi warna. Ada televisi, itupun masih hitam putih dan harus disambungkan pada baterai aki. Jangan harap antena di pulau kami bisa menangkap siaran-siaran TV nasional, yang ada hanya siaran Malaysia. Jadi, ketika anak-anak generasi kami yang tinggal di kota bisa menikmati masa kecil mereka bersama Jinny oh Jinny, Tuyul dan Mbak Yul, Pernikahan Dini, Westlife, Winter Sonata, Endless Love, Full House, majalah Bobo, atau novel-novel Harry Potter, maka kami tak bisa mengenal semua itu. Aku bahkan baru bisa menikmati semua itu ketika mulai duduk di bangku SMA. Terkadang saat mendengarkan lagu dan drama lama, aku bisa menangis sendiri. Tahu kenapa? Karena aku selalu menyayangkan satu hal, seharusnya aku menikmati semua itu di masa kecil dahulu.

Masa kecilku bersama Evi tak lah selalu berjalan menyenangkan. Pada pertengahan 2007, setelah melalui pertengkaran dan proses panjang, akhirnya kedua orang tua Evi bercerai. Tanah mereka harus dibagi dua, satu bagian untuk bibiku dan kedua anaknya, kemudian bagian yang lain untuk sang ayah. Karena rumah mereka berada di atas tanah milik sang ayah, akhirnya rumah tersebut harus dibongkar untuk dipindahkan ke tanah milik mereka. Dan untuk sementara waktu, bibi, Evi, dan adiknya tinggal di rumahku.



Aku masih begitu kecil saat itu. Masih banyak keegoisan yang belum bisa dikendalikan. Aku tak mengerti kalau Evi berada dalam situasi sulit dalam hidupnya. Terkadang kami bertengkar dan dan aku mengadukannya pada Bapak dan Ibu (di depan ibunya), terkadang aku mengeluarkan kata-kata sindiran yang membuatnya tak nyaman tinggal di rumahku. Terkadang aku memarahi adiknya, mem-bully adiknya, sedangkan di lain sisi aku begitu memanjakan adikku sendiri. Dan masih banyak lagi.

Ah, andai saja aku sudah mampu berpikir seperti sekarang. Tentu peristiwa-peristiwa menyakitkan seperti itu tak perlu terjadi. Kini Evi tak pernah lagi berkomunikasi dengan ayahnya, kurasa sudah hampir 10 tahun. Ia telah melalui berbagai rentetan hari yang sulit. Tidak hanya dia, tapi juga adiknya. Di masa seharusnya mereka memperoleh kasih sayang kedua orangtua, mereka malah dititipkan ke sana ke mari ketika bibiku kerja di Malaysia.

Kini saat mengenang semua itu, saat memposisikan diriku menjadi mereka, yang tersisa hanyalah rasa bersalah. Mengapa dulu—saat ia tinggal di rumahku—terkadang aku tak memperlakukan mereka dengan baik?

Begitulah. Jika kalian bertanya padaku, siapakah orang yang paling kusayang? Jawabannya adalah Evi, tanpa melupakan bahwa aku juga sangat menyayangi kedua orang tuaku. Bagiku, Evi tidak hanya sekedar sepupu, melainkan juga adik perempuan sekaligus sahabat masa kecil. Mengapa aku bisa begitu menyayanginya?

Karena ia menyimpan masa laluku, dan aku pun menyimpan masa lalunya. Karena ia telah membuat hari-hari lampau terasa begitu membahagiakan. Karena ia selalu percaya pada semua impianku. Benar sebuah pepatah mengatakan, “Friendship is not a big thing. It is million of little things”.



Suatu hari nanti di hari bahagia Evi, aku ingin sekali berada di sisinya. Aku ingin menjadi orang pertama yang menyaksikan keindahan henna di tangannya. Aku ingin menonton ia yang didandani seperti seorang puteri. Aku lah yang akan berkomentar bila si perias salah ketika menggambar alis matanya.

Dulu, di masa kecil, aku pun pernah mendandaninya dengan bunga-bunga taman. Aku suka menghias rambutnya, kemudian memasang bunga aneka warna di atas kepalanya. Lalu teman-teman kecil kami akan menggiringnya ke pelaminan yang kami ciptakan dari kayu-kayu dan dedaunan. Waktu itu kami selalu kesulitan menemukan teman yang bisa berperan sebagai pengantin lelaki, karena di generasi kami tak ada anak lelaki yang sebaya. Ada satu, itu pun harus pindah ke Jawa dan kembali setelah ia duduk di bangku sekolah menengah. Jadi masa kecil kami benar-benar dikelilingi oleh teman-teman perempuan. 

Tapi sekarang, soal siapa yang akan jadi pengantin laki-laki, kami tidak perlu pusing lagi. Evi telah menemukannya. Aku berdoa semoga dia adalah sebaik yang aku lihat. Semoga akhlaknya seanggun yang kusimpulkan. Semoga ia mencintai sahabatku dengan segenap hati dan jiwa. Semoga ia memuliakan sahabatku laksana perhiasan yang tidak ternilai. Semoga pada diri lelaki itu ia menemukan kebahagiaan yang sejati.



Nanti, di hari bahagia itu, aku ingin sekali memberi hadiah berupa buket bunga tulip pada Evi. Sejak kecil kami menyukai bunga, dan aku ingin ia melihat bunga yang sebelumnya tidak pernah kami lihat. Bunga yang tidak tumbuh di Indonesia, terlebih di pulau kecil kami. Meski terkadang hidup selalu tak berjalan sesuai dengan yang kita rencanakan, aku ingin ia tidak pernah putus asa untuk bermimpi. Masih ada banyak hal yang belum kita lihat, dan masih ada banyak kesempatan bagi mereka yang terus berjuang.

Untuk para pembaca blog ini, aku berharap kamu bisa mengambil pelajaran dari ceritaku ini. Ketika ingin menyakiti seseorang, cobalah posisikan diri sendiri sebagai orang yang ingin kita sakiti tersebut. Cobalah untuk menyayangi sanak famili dengan tulus. Ketika mereka menginap di rumahmu, perlakukan mereka dengan baik sebagaimana kamu memperlakukan dirimu sendiri. Jangan pernah pilih kasih pada anak-anak. Misalnya dengan memberikan es krim harga 10 ribu untuk anak sendiri, sebaliknya es krim harga 5 ribu untuk keponakan. Maksudku, cobalah untuk memperlakukan orang lain sebaik dan seadil mungkin. Aku hanya tak ingin ada kesalahan-kesalahan kecil yang kelak—mungkin pada detik-detik penghujung hidup—justru membuat kita begitu menyesal. Perbaikilah selagi ada kesempatan.

Saat pertemuan kami satu tahun lalu. Evi tidak berhijab.

Note: Untuk pembelian buket bunga segar, bisa dilakukan secara online di elevania. Tersedia banyak jenis bunga baik lokal maupun impor yang akan dikirim hari itu juga ke seluruh area Jabodetabek. 

2 comments:

  1. noted sofia sudah lama tak bersua ya, senang sekali punya sahabat dekat layaknya saudara

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...