Menurut survei UNESCO,
hanya satu dari seribu orang membaca secara serius di Indonesia. Bila dihitung
secara kasar, hanya ada 250.000 pembaca di antara 250 juta jiwa. Jadi tidak mengherankan
kalau bangsa yang tingkat literasinya sedemikian rendah memiliki kecenderungan untuk membaca berbagai hal
secara literal. Tidak mengherankan juga
kalau ada perempuan yang masih jomblo karena kriterianya dalam mencari pasangan
hidup adalah siapapun lelaki itu, ia juga harus gemar membaca.
Mari kita mencongak sedikit. Dari 250.000 pembaca itu,
anggap saja setengahnya adalah perempuan. Kurangi setengahnya lagi, karena
kemungkinan mereka berada di demografi lelaki berusia di bawah umur yang belum
doyan perempuan atau lelaki usia tidak produktif. Lanjut kurangi lagi jumlahnya
dengan lelaki yang sudah berumah tangga. Terakhir, kurangi lagi setengahnya
dengan lelaki yang tidak doyan perempuan. Sudah? Tebak sisanya berapa.
Hanya tersedia 15.000 lelaki (available) yang gemar membaca untuk
satu bangsa.
Tidak heran perempuan tersebut masih jomblo. Ia yang hanya bisa dirayu dengan kata-kata,
luluh dengan bahasa, dan gemetar dengan majas yang digunakan secara sempurna
tidak akan tertawan oleh lelaki yang tidak suka membaca. Agak susah, misalnya,
ia bisa jatuh hati dengan lelaki yang mengirimkan WhatsApp dan tertawa dengan
mengetik ‘wkwkwkwk’ seperti Donal Bebek. Tidak mungkin juga ia bisa terpesona
dengan lelaki yang hanya bengong sementara ia tertawa terpingkal-pingkal dari
awal hingga akhir saat menonton Zootopia dan humor sarkastik di sepanjang film
itu. Sarkasme tidak akan bisa ditangkap oleh mereka yang literal.
Kadang ia berpikir bahwa ia mungkin menginginkan
terlalu banyak dari satu lelaki. Setia, pekerja keras, berbakti kepada orang tua
dan ngga neko-neko sudah jauh dari
cukup bukan? Cari suami yang “polos” adalah nasehat yang didengungkan oleh para
tante yang khawatir kepadanya yang masih saja sendiri. “Polos” dalam Bahasa
Bali berarti ketiga kriteria tadi di atas. Tapi ia selalu berpikir, harusnya
ada yang lebih dari sekedar tiga kualitas itu saat mengatakan “saya bersedia”
di hadapan Tuhan dan keluarga bukan?
Harusnya ada pertanyaan “buku apa yang sedang kamu
baca hari ini?” saat ia dan lelakinya bertemu saat makan malam. Harusnya ada
juga kunjungan rutin pada setiap akhir minggu ke toko buku yang dilanjutkan
dengan sesi membaca di antara long black
dan cafe latte. Harusnya lagi, ada
hari Minggu dimana ia dan lelakinya dapat menyelesaikan teka-teki silang dan
memutuskan untuk diam di rumah dengan koran-koran yang berserakan di kamar.
Harusnya ada tawa, saat si lelaki tiba-tiba terkekeh di tengah bacaannya dan
berkata,”Sayang, coba dengar...”lalu ia bacakan paragraf yang tadi membuatnya
terbahak untuk membuat si perempuan ikut tertawa. Harusnya ada malam dimana si
perempuan menemukan lelakinya tertidur dengan buku di dadanya dan sinar lampu
di wajahnya, dan bahwa di samping tempat
tidur mereka, ada tumpukan buku yang sama tingginya.
Ia tahu mencari lelaki “polos” jauh lebih mudah
daripada lelaki yang tergila-gila oleh kata. Ia tahu tidak banyak lelaki
seperti itu di Indonesia. Tapi, ia juga tahu bahwa lelaki yang suka membaca
mempunyai dunia yang lebih kaya dan hati yang lebih peka. Ia tahu lelaki yang
suka membaca adalah lelaki yang suka belajar, selalu penasaran, dan berpikiran
terbuka. Ia tahu bahwa lelaki yang sanggup menyelesaikan buku setebal seribu
halaman akan mampu bersabar saat ia sedang mengalami siklus bulanannya dan
menggerutu kemana-mana. Ia tahu lelaki yang suka membaca akan senantiasa
menantangnya dalam berpikir, bahwa mereka akan berargumentasi dan berbeda
pendapat, hingga akhirnya mereka bersepakat dalam ketidaksepakatan. Ia tahu
lelaki yang suka membaca akan menghormati pemikirannya dan menghargai perasaannya.
Ia tahu, mereka akan saling memberi ruang untuk berkembang dan bertumbuh
bersama.
Kini, yang perlu ia lakukan hanyalah menemukan lelaki
itu di antara kelangkaan 15.000 kaumnya.
*Thanks for Mbak http://www.evetedja.com for this bombing article. I do agree, haha
No comments:
Post a Comment