Tuesday, 11 April 2017

Selain tentang Cinta




Hari ini mendung menggelayut di langit kota. Sejak pagi aku tidak melihat matahari menampakkan cahaya emasnya. Hanya ada semburat putih yang menyeruak dari gumpalan awan kelabu. Aku yang seharian menghabiskan waktu di apartemen sambil membaca beberapa buah jurnal kesehatan, akhirnya merasa bosan.

Di tengah kebosanan itu, aku berjalan menuju jendela dengan secangkir teh di tangan. Aku melirik ke bawah. Seorang wanita paruh paya tampak kesusahan membawa barang belanjaan, dan di sisi lain aku melihat anak-anak yang sedang bermain bola. Sementara di ujung jalan, ranting-ranting magnolia mulai mengeluarkan bunga-bunganya berwarna pink. 

Ah, sekarang sudah merangkak ke pertengahan musim semi. Aku hampir saja lupa. Di musim seperti ini, tulip-tulip yang ditanam di taman kota pasti sudah mulai berbunga, menciptakan hamparan warna-warni yang sayang untuk dilewatkan. Tapi lihatlah pada mendung yang menggantung di atas itu? Sesuatu yang membuat bibirku kembali terlipat. Aku yang sedetik lalu sudah membuat rencana untuk berjalan keluar, tiba-tiba didera kekecewaan.

“Mariam! Mariam! Kau di dalam?” seseorang memanggil dari luar. Dari suaranya seperti aku sudah tahu siapa dia.

“Alena? Kaukah itu?” aku berjalan menuju pintu.

Sebuah senyuman lebar mengembang ketika mata kami bertabrakan. Ya, benar Alena. Tanpa dipersilahkan pun dia sudah mengeloyor masuk.

“Aku bawakan noghut corbasi untukmu. Ayo dimakan mumpung masih panas. Tadi aku beli di restoran depan sana.” Alena langsung menuju dapur, mengambil dua buah mangkok.

Aku yang duduk di sofa hanya memperhatikan gerak-geriknya yang lincah.  

“Alena...” aku mengeluh. “Kau selalu membawakan makanan ini untukku.” Entahlah, akhir-akhir ini mungkin lidahku sudah jenuh dengan makanan penduduk negara ini. Aku merindukan makanan Indonesia yang bahkan bisa membuat berkeringat saat melahapnya.

“Hey!” Alena keluar dari dapur, tidak terima pada kekesalanku. “Sup ini baik untuk tubuhmu. Kudengar chikpea sangat bagus untuk dikonsumsi di masa kehamilan atau anak di usia pertumbuhan.” Dia nyengir. Lelucon yang ganjil.

Aku kembali mengeluh. “Alena yang baik, aku bukan anak-anak lagi. Dan aku tidak sedang hamil.”

Tetap saja, Alena tidak pernah mau menggubris penolakanku. Dia justru duduk dengan manis, kemudian meniup sesendok sup lalu menyodorkan ke depan bibirku.

“Ayo buka mulutmu. Ini enak sekali.” Katanya dengan mata berbinar.

“Kau selalu memaksaku.” Mau tak mau aku pun membuka mulut.

Sup yang berbahan utama chikpea atau yang dikenal dengan kacang arab ini terpaksa kukunyah. Rasanya sedikit asam karena dicampur dengan pasta tomat dan bawang bombay. Yang membuat sup ini terasa gurih ya karena daging cincangnya. Kurasa kunci lezat tidaknya sup ini juga terletak pada teknik perebusan daging. Ah, entahlah. Aku hanya menerka.

“Sudah, Alena. Aku mual. Sungguh. Akhir-akhir ini perutku tak begitu bersahabat dengan makanan di sini. Mungkin karena aku begitu merindukan makanan Indonesia. Sejak malam tadi aku terus membayangkan nasi hangat, sambal terasi dan lalapan.” Aku cemberut.

Alena diam beberapa saat, tapi kemudian bergegas bangkit dari duduknya.

“Ayo belanja. Kita bisa masak di sini. Kau masih menyimpan terasi?”

Akhirnya kami memutuskan untuk keluar selama beberapa menit. Beruntung apartemenku tidak terlalu jauh dari pusat perbelanjaan. Tak lama kemudian kami sudah kembali membawa bahan masakan.

“Kau masih ingat Safiye?” tanya Alena saat kami sibuk di dapur.

“Dia temanmu yang kuliah di Uludag itu, kan? Rasa-rasanya aku masih ingat. Kenapa dia?”

“Minggu lalu dia menikah. Aku ingin mengajakmu datang ke pesta pernikahannya. Tapi kurasa kau tak akan mau menempuh perjalanan jauh. Jadi aku hanya datang berdua dengan Ahmed.”

“Baguslah. Sampaikan ucapan selamat dariku.” Responku datar.

“Dia dan suaminya saling mencintai. Ternyata mereka saling mengagumi satu sama lain sudah sejak lama. Hanya keduanya sama-sama diam. Suaminya bernama Osman, asli Istanbul. Seorang pengacara. Mereka bertemu di kampus. Tiba-tiba dua hari setelah Safiye wisuda, Osman mendatangi rumahnya.” Alena bersemangat menceritakan kisah Safiye.

“Baguslah.” Responku singkat.

“Kau kenapa, Mariam?” kini Alena menoleh ke arahku, memandang dengan tatapan cemas.

“Kau ingin aku jujur?” aku mengambil napas, “Berhentilah menceritakan kisah cinta padaku, Alena. Kau sudah tahu itu. Percuma, aku tak percaya ada dua orang yang bisa saling mencintai di dunia ini. Sejauh ini aku hanya menyaksikan banyak kisah cinta yang menyakitkan. Bahkan beberapa kali aku dihantui mimpi buruk, menikah dengan seseorang yang sama sekali tak kusukai.” Aku tersenyum getir. “Aku bahkan tak percaya akan menikah suatu hari nanti. Jadi kumohon, carilah cerita lain yang lebih menarik selain kisah cinta.”

“Mariam, Sayang...” Alena menatapku. “Selama kau tak bisa melupakan lelaki itu, maka kau akan terus dihantui cinta yang menyakitkan. Ayolah lihat di sekelilingmu, ada banyak hal-hal indah. Kau terlalu fokus pada luka itu.”

Mataku berair. Aku meninggalkan Alena untuk kemudian duduk di sofa. Alena menyusul, duduk di samping.

“Kau bisa bilang begitu karena kau tak pernah mengalami sendiri. Aku pernah jatuh cinta. Sekali. Cinta yang membuatku menanti hari esok, yang membuatku begitu bersemangat, yang membuat hari-hari terasa dua kali lebih indah. Cinta yang sederhana, Alena. Tapi kemudian cinta sederhana itupun harus berakhir dengan sederhana, dia menikah dengan wanita yang ia cintai, dan wanita itupun mencintainya. Kemudian hal sederhana yang paling mungkin untuk kulakukan adalah berbahagia untuknya. Bahagia yang menyakitkan. Bahkan hingga hari ini aku masih berharap Tuhan sudi mempertemukan kami, walau sebentar. Ya, mungkin jika dunia ini terlalu singkat sehingga Tuhan kesulitan mencari waktu yang tepat untuk pertemuan itu, kuharap di kehidupan selanjutnya Tuhan mau sedikit berbaik hati padaku.”

“Mariam, jika Tuhan berkehendak, jangankan pertemuan, kebersamaan kalian pun adalah hal mudah bagi-Nya. Kau tak bisa bersama dia, itu karena sudah kehendak-Nya. Sudahlah, lupakan dia. Kau telah banyak mengabaikan hal-hal baik di dunia ini hanya karena sibuk meratapi luka itu. Menganggap kaulah yang paling tersiksa di dunia ini. Masih ada banyak hal yang bisa kau kerjakan daripada harus berlama-lama dalam kubangan patah hati, Mariam.”

“Kau benar.” Aku mengangguk. “Minggu depan aku akan ikut tim relawan ke perbatasan. Aku juga sudah mendaftar di sebuah organisasi amal yang berfokus di bidang penyaluran dana untuk anak-anak korban perang. Di sana kami akan membangun pemukiman layak bagi mereka. Seperti katamu, masih ada banyak hal yang bisa aku kerjakan daripada harus berlama-lama dalam kubangan patah hati.”

“Mariam?” Alena kaget. Tidak percaya. "Bukan begitu maksudku." Ia menampakkan wajah bersalah.

“Kau tenang saja. Aku sudah memikirkan hal ini matang-matang. Aku akan berusaha rutin mengunjungimu.”

Ya, aku tidak berbohong. Minggu depan aku memang akan berangkat. Seorang teman asal Australia bersedia menjemput. Semuanya bermula dari satu malam dimana aku menangis sambil melihat satu per satu foto lelaki itu. Juga foto pernikahannya. Tapi kemudian seorang teman mengirim sebuah foto. Dalam foto itu terlihat seorang wanita Barat berhijab rapat sedang menyalurkan bantuan bagi wanita dan anak-anak korban perang. Mereka adalah para janda dengan beberapa anak yang bahkan rumah mereka telah hancur. Tak ada kasur hangat, tak ada televisi, tak ada hiburan, beberapa keluarga bahkan baru saja tewas kemaren lusa, lalu ada anak-anak yang menatap dengan wajah menahan lapar. Sementara aku di sini, juga mungkin kebanyakan kaum muda, terlalu khusyuk masyuk dengan urusannya sendiri: cinta! Mereka bermimpi akan ada lelaki bak pangeran yang akan datang dengan sikap dingin namun perhatian, seperti dalam drama kebanyakan. Tapi setelah mereka terbangun, yang didapati adalah kisah cinta yang nyilu, tak sesuai harapan, atau uluran tangan yang tak bersambut. Mungkin sudah saatnya aku meninggalkan khayalan yang dibuat manusia tentang cinta, tentang tak ada kebahagiaan yang lebih indah melebihi kebahagiaan cinta. Karena pada kenyataannya, faktanya, di dunia ini masih ada banyak hal menyakitkan yang membutuhkan uluran tangan dan sedikit kepedulian. 

*I think it will be the main idea for my upcoming novel. Sebenarnya inspirasi terbesar itu dari organisasi non profit bernama  one solid ummah yang saat ini terus menyalurkan dana untuk anak-anak yatim piatu di Syria. Founder-nya Abdullateef Khaled terus update perkembangan terbaru mereka on the spot. Kadang suka speechless aja, di tengah kehidupan jaman sekarang yang sayang dilewatkan, masih ada orang-orang yang setiap hari berjuang untuk kehidupan orang lain, untuk membahagiakan orang lain. Sering nangis, tapi nangis untuk diri sendiri yang lebih banyak ngurusin hal-hal gak penting, padahal di luar sana masih banyak hal yang membutuhkan perhatian kita. 

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...