Adalah pagi saat embun-embun masih bertengger manis di atas lembar dedaunan, saat burung-burung yang baru saja berkemas dari peraduan, dan ketika nafas Subuh baru sasaat lalu berganti mega berwarna, kita untuk pertama kalinya bertemu di persimpangan. Sisa-sisa malam masih tampak di matamu, juga pakaianmu yang tak serapi biasanya. Pagi ini kau hanya mengenakan celana yang sedikit kusut, kaos putih, dan sebuah jaket tebal.
"Kebetulan. Mumpung bertemu aku ingin bicara. Mari singgah ke rumah." Aku menawari. Tanpa menunggu jawaban apapun, aku telah berbelok masuk ke halaman, kemudian memilih duduk di sebuah bangku panjang di bagian kanan rumah. Dahan-dahan kekar ketapang bertengger di atas, memberi naungan.
Dari kejauhan, aku menangkap dirimu yang ragu. Seolah kau menimbang apakah setuju untuk singgah atau sebaiknya melanjutkan perjalanan pulang.
"Sebentar saja." Ucapku. Ya ini untuk kesekian kali aku mengajakmu bicara, dan respon yang kudapatkan selalu begini. Siapa yang tidak marah padamu? Siapa yang tidak jenuh pada lelaki jenis begini?
"Ada apa?" Inilah hal pertama yang kau tanyakan begitu sampai dan duduk di sampingku, terpisah jarak sekitar satu depa.
Dan lihat lah lagi! Aduhai pertanyaanmu itu, seolah sungguhan hanya aku yang membutuhkanmu. Kini aku tersenyum tipis. Semua ini benar-benar mengenaskan.
"Bagaimana rasanya? Apakah menurutmu semua yang terjadi pada kita akhir-akhir ini begitu menyenangkan?" Aku balik bertanya.
Kau mengernyit. Berpikir sejenak--sepertinya begitu. Kemudian menggeleng dengan ragu.
"Kau yang memilih hal ini." Jawabmu.
Aku tertawa kecil, "Dan kau tak pernah bertanya kenapa aku melakukannya? Harusnya aku menulis cerita tentang hati para wanita saja, lalu kuberikan padamu. Dengan begitu kau akan tahu apa saja yang akan dilakukan para wanita ketika marah. Malangnya kaum kalian justru tak paham itu, yang ada bukannya membujuk, kalian malah ikut marah."
Giliran kau yang tertawa lirih.
"Jadi kau marah? Maaf, aku hanya tak paham bahwa semua yang kau lakukan adalah bentuk kemarahan. Kupikir kau pergi begitu saja. Mungkin karena sudah bosan bersamaku."
"Tapi aku penasaran, bagaimana rasanya? Apa kau baik-baik saja berjauhan dariku?"
Kau melihat ke arahku sejenak, kemudian tersenyum tipis. "Tidak juga."
"Lalu mengapa kau tak datang kemari? Kenapa tidak meminta maaf? Aku menunggumu sepanjang hari."
"Kupikir kau sedang butuh banyak waktu untuk sendiri. Kupikir kau tak ingin lagi melihat wajahku. Jadi akan lebih baik bila aku tak datang menjemput."
Aduhai lihat lah lagi! Benar sekali bahwa ada jutaan perkara rumit di dunia ini, tapi rasanya tak ada yang lebih rumit melebihi perkara sepasang manusia.
Kau bergumam lirih sebelum akhirnya bersuara, "Tapi aku sudah menyampaikan permintaan maaf lewat berbagai cara."
"Aku membacanya." Kataku.
"Lalu kenapa tidak pulang?"
"Kupikir kau sedang meminta maaf pada orang lain. Bodoh sekali andai aku datang dan ternyata kau sama sekali tak mengakui dosamu."
Kau masih tersenyum. Tertunduk. Melihat pada ujung kakimu. Kemudian berkata lirih, "Aku minta maaf." Akhirnya.
Aku menarik napas dalam. Tersenyum ke arahmu. "Demikian pula aku. Bisa kah kita tidak begini lagi dan kembali menjalani hari-hari seperti dulu? Bisa kah hati kita kembali dekat? Selama ini aku terus memberi isyarat dengan berbagai hal untuk melukaimu, untuk bersikap seolah tak lagi peduli padamu, tapi pada hakikatnya aku hanya melukai diri sendiri." Aku baru saja mengucapkan sebuah kejujuran.
Sofia