Friday 3 November 2017

[Fiksi] Pertemuan dengan Racheel Hudson



Barangsiapa menyeru kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa sebagaimana dosa-dosa orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa mereka sedikit pun—HR Muslim No. 2674

Tak sampai 15 menit, empat orang lelaki tersebut berhenti di depan sebuah pintu rumah yang sederhana. Mereka membunyikan bel beberapa kali. Tak lama muncul dari balik pintu tersebut seorang lelaki yang kira-kira berumur 49 atau 50 tahun. Tubuhnya sedang, tidak tinggi dan tidak juga pendek, jenggotnya menggantung hingga sekitar satu jengkal di bawah dagu, lalu di atas kepalanya bertengger manis sebuah kopiah putih. Penampilan yang tidak jauh berbeda dengan tiga orang sahabat Mustafa.

Setelah menjawab salam, lelaki tersebut mempersilakan tamu-tamunya untuk masuk. Ia sempat memandang heran pada Aisiya. Syukurnya Mustafa segera menjelaskan sehingga senyuman ramah pun merekah di bibir si tuan rumah. Ia kemudian seperti memanggil seseorang di dalam rumah, dan tak lama muncul seorang perempuan mengenakan gamis cokelat, kerudung dan niqab hitam. Perempuan inilah yang menjemput Aisiya, bahkan menggapit tangannya untuk masuk ke dalam rumah.

Aisiya dibawa masuk ke sebuah ruangan khusus. Berbeda dari ruang tamu yang terletak paling depan. Tapi di ruangan ini juga terdapat sofa.

“Ahlan wa sahlan. Silakan duduk. Ini adalah ruang tamu khusus untuk wanita. Kau pasti heran.” Ucap wanita tersebut dengan bahasa Inggris yang sempurna. Ia tahu bahwa tamunya tersebut pasti kebingungan dan bertanya-tanya ruangan apakah ini, mengapa harus dipisah dan sebagainya.

Perempuan tersebut membuka niqab, dan sempurna lah rasa takjub Aisiya begitu mengetahui bahwa wajah di balik niqab tersebut seindah bulan purnama. Bibirnya yang selalu tersenyum, wajahnya yang selalu bercahaya seolah-olah ia adalah wanita paling bahagia di dunia ini.

“Namaku Racheel Hudson. Usiaku saat ini 38 tahun. Sudah tidak muda lagi. Tentu saja.” Katanya memperkenalkan diri dengan ramah.

Aisiya duduk. Ia masih sulit untuk menguasai diri.

“A... kau bukan orang Bosnia asli?” tanya Aisiya sedikit gugup.

“Aku lahir dan besar di Australia. Kami—aku dan suamiku—bertemu di kota Sydney pada tahun 2005, menikah di sana, lalu kemudin aku ikut suamiku ke negara ini pada tahun 2010.”

“Kau terlahir sebagai Muslim?”

“Nope.” Jawabnya masih dengan wajah ramah. “Aku masuk Islam pada tahun 2004 di Sydney. Alhamdulillah.”

“Kau mengenakan niqab mulai saat itu?” Aisiya masih dikejar rasa penasaran.

“Nope.” Wajahnya sedikit muram kali ini. “Aku berhijab tahun 2005. Niqab ini baru kukenakan sejak 3 tahun lalu, setelah aku dan suamiku sama-sama mendalami Islam. Alhamdulillah.”

“Tapi niqab bukan sebuah kewajiban bagi seorang Muslimah.” Sanggah Aisiya.

Wanita berdarah Australia itu tersenyum. Indah sekali. “Iya. Oh aku belum tahu siapa namamu?”

“Aisiya Rahmawati. Aku orang Indonesia. Umurku 22 tahun.”

“Oke, baik, Aisiya. Masya Allah namamu mengingatkanku pada salah satu wanita terbaik penghuni Surga, yaitu Aisiya binti Muzahim, istri Firaun. Semoga Allah memberimu berkah atas nama yang demikian indah.”

“Aamiiin insya Allah. Terimakasih.” Aisiya tersipu.

“Insya Allah.” Sambung Racheel. “Baik, Aisiya. Kamu pasti ingin tahu alasanku mengenakan niqab, kan? Padahal tidak ada satu ayat pun dalam Al Quran yang mewajibkan Muslimah untuk mengenakannya. Kamu benar. Niqab memang tidak wajib, namun aku senang mengenakannya. Dan aku berharap semoga ini bisa menjadi salah satu hujjahku kelak di hadapan Allah ketika ditanya, ‘Bagaimana caramu menjaga amanah wajah dan tubuh yang telah Kutitipkan padamu selama hidup di dunia?’. Alasan kedua karena aku ingin mengikuti teladan dari para wanita saliha terdahulu yang ketika turun perintah hijab, mereka seketika menarik kain-kain yang ada di sekitar mereka untuk kemudian ditutupkan ke seluruh tubuh sehingga mereka terlihat seperti gagak-gagak hitam. Alasan ketiga aku memilih niqab karena ini bertentangan dengan nafsu seorang wanita yang selalu ingin menampakkan kecantikan di depan umum demi mendapatkan pujian. Niqab juga melindungi hati-hati wanita yang bisa saja iri melihat kecantikan wanita lain. Insya Allah semoga Allah meluruskan niat di dalam hati.”

Aisiya tak bisa berkata-kata. Hatinya diliputi keharuan mendengar kesaksian luar biasa muslimah mualaf yang duduk anggun di sampingnya kini. Ia merasa malu. Sungguh. Kecantikan yang miliki sama sekali tak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan paras jelita teman barunya ini. Tapi lihatlah betapa teguh wanita ini memenjarakan nafsu. Sementara dirinya, meskipun telah berhijab, mengenakan gamis longgar, tapi tetap saja sibuk memoles wajah ketika akan keluar rumah. Dan benar apa yang diucapkan Racheel, ia ingin semua orang di luar nanti akan melihat paras ayunya kemudian memberikan pujian.

“Oh, Aisiya. Aku sampai lupa kalau suamiku juga kedatangan tamu. Kau bisa menunggu di sini sementara aku menyiapkan jamuan di dapur, atau kau juga boleh ikut bersamaku.”

“Aku ikut denganmu.” Seketika Aisiya berdiri.

Racheel menggandeng tangan Aisiya menuju dapur yang hanya terpisah dinding beton kasar dari ruang tamu untuk wanita. Rumah ini sederhana sekali. Hanya terdiri dari dua buah ruang tamu, dua kamar tidur, dan satu dapur di bagian belakang. Tak ada furniture yang mewah. Semuanya terlihat sangat sederhana, termasuk meja makan dengan enam buah kursi di ruang dapur. Meski sederhana, namun jelas sekali semuanya tampak bersih dan tertata rapi. Tak ada satu pun foto yang terpajang di dinding, hanya beberapa lukisan kaligrafi dan beberapa kerajinan tangan.

“Racheel, maaf, kalian tidak memiliki anak?”

“Alhamdulillah Allah mengamanahi kami dua orang anak. Yang pertama bernama Hassan, usianya 8 tahun. Sekarang sedang di rumah neneknya di Butmir. Sedangkan yang kedua bernama Safiye, usianya baru dua tahun. Dia sedang tidur di kamar. Nanti kau bisa melihatnya.” Racheel menunjuk kamar di bagian depan. Senyuman di wajahnya berbinar, seolah mengatakan bahwa ia sangat bahagia.

“It will be my pleasure to see your little princess.” Aisiya tak kalah bahagia.

Dua wanita itu kemudian sibuk menyiapkan jamuan selama 30 menit ke depan. Aisiya membantu apa yang mampu ia lakukan, sementara Racheel yang meracik hingga bahan-bahan makanan tersebut menjadi sebuah hidangan.

“Olahan daging ini dikenal masyarakat Bosnia dengan nama cevapcici. Bisa dari daging sapi atau domba. Yang kubuat sekarang adalah daging domba. Kau sudah pernah mencicipi cevapcici sebelumnya?”

Aisiya menggeleng dengan senyuman polos.

“Insya Allah kau akan mencicipinya siang ini.”

Gadis Indonesia itu semakin riang. Ia memperhatikan setiap gerak tangan Racheel dalam mengolah daging tersebut. Mulai dari proses pencampuran bumbu dengan bawang bombai, bawang putih, merica, garam, dan paprika bubuk, kemudian membentuk daging cincang menjadi lonjong pipih, hingga membakarnya di atas tungku. Setelah matang, cevapcici diletakkan di atas piring besar, kemudian siap dihidangkan bersama roti bundar, yoghurt, dan irisan bawang bombai. Tidak lupa Racheel menyeduh beberapa cangkir kopi Bosnia.

Setelah semuanya siap, Racheel memanggil suaminya untuk mengangkut semua hidangan tersebut ke ruang tamu depan. Masih ada dua porsi cevapcici dan dua cangkir kopi yang tersisa di atas meja makan. Tentu saja itu adalah bagiannya dan Aisiya.

“Silakan duduk, Aisiya. Semoga kau suka dengan hidangan sederhana ini.” Wanita asal Autralia itu menarik kursi untuk tamunya.

Dua wanita itu duduk berhadapan. Setelah membaca basmallah dan doa, mereka mulai menyantap hidangan tersebut.

“Hmm... ini enak sekali. Meskipun dibakar, tapi daging ini tidak kering saat digigit. Dan rasanya sangat gurih. Kau dianugerahi tangan yang sangat berbakat, Racheel.” Puji Aisiya tulus.

“Aku senang kau menyukainya. Kelak setelah menikah, kau pun akan belajar banyak seputar dapur. Dan yang terpenting bagi seorang Muslimah adalah meniatkan semua pekerjaan rumah kita sebagai ibadah kepada Allah, termasuk menyiapkan makanan. Kau tahu, dulu aku tak suka memasak. Suamiku, Ismail, justru dia yang lebih sering menyiapkan makanan. Tapi kemudian setelah aku mendalami Islam, paham betapa besar kemuliaan yang bisa didapatkan oleh seorang Muslimah melalui aktivitas di rumah-rumah mereka, semakin hari aku merasakan kebahagiaan ketika memasak.”

“Kau tidak bosan di rumah terus? Kau tidak bermimpi punya karier seperti wanita-wanita jaman sekarang?”

“Dunia adalah penjara bagi orang-orang yang beriman, dan surga bagi orang-orang kafir. Namun bagi orang-orang beriman, Allah melimpahkan sakinnah dalam penjara-penjara tersebut. Menurut Imam Nawawi rahimahullah, sakinnah ialah sesuatu yang sangat istimewa meliputi ketenangan, ketenteraman, rahmat, kesejahteraan, dll, yang diturunkan Allah bersama-sama dengan para malaikat. Allah dan Rasul-Nya lebih ridho ketika seorang wanita berada di rumahnya, mendidik anak-anaknya, dan aku lebih senang memilih sesuatu yang diridhai Allah dan Rasul-Nya dibandingkan kampanye duniawi kaum kapitalis. Tapi bukan berarti aku menyalahkan para Muslimah yang memiliki karier, Aisiya. Tidak. Ini hanya pilihanku sendiri dan aku telah mengungkapkan alasannya. Aku juga sering keluar rumah. Setiap 3 hari sekali, Ismail menemaniku berbelanja kebutuhan dapur. Dia mengantarku apabila ada kajian-kajian Muslimah yang ingin kudatangi. Dan seminggu sekali kami akan berkunjung ke rumah mertuaku di Butmir.”

“Kau pernah membaca A Thousand Splendid Suns karya penulis asal Afghanistan, Khaled Hosseini? Novel ini menggambarkan jelas betapa tertekan kehidupan wanita Muslimah dalam rumah-rumah mereka.”

Racheel mengangguk. “Aku membacanya satu tahun sebelum memeluk Islam. Dan karena hal itu pula aku selalu bertanya pada teman-teman wanitaku yang beragama Islam. Tapi semuanya tidak bisa memberikan jawaban memuaskan. Hingga kemudian Allah mempertemukanku dengan seorang Muslimah asal Polandia di tahun 2003, namanya Cecylia. Dia tidak memberikan jawaban langsung, melainkan memberiku hadiah satu buah Al Quran terjemahan dan satu buah kitab yang berisi hadist-hadist. Ia memberikan catatan khusus ayat dan hadist mana yang harus dibaca terlebih dahulu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanku tersebut. Dan satu hari setelahnya aku sudah mendapatkan jawaban jelas. Kau sungguh tidak tahu mengapa dua tokoh utama dalam novel tersebut, yaitu Mariam dan Laila, mengalami kehidupan yang demikian tersiksa?”

Aisiya menggeleng. “Suaminya, Rasheed, telah meminta mereka mengenakan niqab saat keluar rumah. Tidak berbeda dengan Ismail yang memintamu mengenakan niqab. Jika kau bisa merasakan bahagia, lalu kenapa dua wanita tersebut tidak?”

“Aku berlindung kepada Allah dari perkara yang tidak kuketahui hakikatnya. Tapi yang bisa kukatakan sekarang, demi Allah, Ismail tidak sama dengan Rasheed. Dan Ismail tidak pernah memaksaku mengenakan niqab. Jika kau membaca novel itu dengan teliti, kau akan tahu dimana letak kesalahan-kesalahannya. Mereka memang meminta istri-istri mereka mengenakan niqab, bahkan sampai mata mereka pun ditutup. Tapi perhatikan sekali lagi, mereka tak paham apapun tentang agama ini, Aisiya.

Seorang suami yang paham tentang Islam, mereka tak akan berbuat zalim kepada istrinya. Tak akan mengoleksi majalah-majalah pembangkit syahwat. Tak akan menghina dan menyakiti hati istrinya. Tak akan melarang anak perempuan untuk menuntut ilmu. Seorang suami yang paham tentang Islam, ia akan memuliakan istrinya seumpama sebuah perhiasan yang terpelihara.

Jika kau membaca novel itu sekali lagi, kau akan tahu bahwa novel tersebut tidak menggambarkan kehidupan Islam yang sebenarnya. Khaled hanya menuliskan kehidupan orang-orang Muslim di Afghanistan sana yang ternyata—dalam novel itu—kebanyakan salah dalam mamahami dan mengamalkan Islam. Aku tidak tahu apakah benar seperti itu kondisi di Afghanistan ketika di bawah pemerintahan Taliban.”

Aisiya mengangguk-angguk.

“Kamu seorang jurnalis, Aisiya. Dan kamu juga seorang Muslim. Pesanku sebagai seorang sahabat, niatkan lah semua aktivitas kita untuk Allah semata, termasuk tulisan yang nantinya akan kamu rangkai. Bertakwa lah kepada Allah, ingat bahwa nanti setiap kita akan mempertanggung jawabkan semua perbuatan di dunia ini pada yaumil hisab.

Jangan pernah berpikir bahwa satu bait tulisan yang dibaca orang lain terbebas dari pengadilan akhirat. Bahkan meskipun itu hanya beberapa patah kata, sama saja kelak di hadapan Allah. Apabila tulisan tersebut memberikan manfaat bagi orang lain, insya Allah ia akan bernilai kebaikan. Tapi jika tulisan tersebut menyesatkan orang lain, membuat orang lain berangan-angan kosong, apalagi sampai membayangkan maksiat, dan bahkan mendorong orang lain melakukan maksiat, maka tulisan tersebut akan bernilai keburukan dan dosa. Bahkan bisa jadi sang penulis akan menanggung dosa para pembaca yang ia sesatkan.”

“Insya Allah. Terimakasih atas nasehatmu, Racheel. Aku tidak akan pernah melupakannya.” Mata gadis Indonesia itu telah berkaca-kaca. Ia tidak menyangka akan mendapatkan nasehat seperti ini dari seorang wanita Australia. Nasehat yang bahkan tak pernah ia dapatkan selama di Indonesia.

Selesai bersantap, mereka mencuci semua peralatan kotor. Kemudian Racheel mengajak Aisiya untuk melihat putrinya di kamar.

Gadis kecil itu ternyata sudah bangun dari tidur. Tapi dia tidak menangis. Matanya yang bulat bercahaya mengerjap-ngerjap, memandangi mainan yang digantungkan di atas ranjang bayi. Begitu wajah sang ibu muncul, bayi cantik itu seketika tertawa hingga menampakkan gusi yang baru ditumbuhi empat batang gigi.

Racheel mengangkat putrinya ke dalam gendongan, “Kau ingin menggendongnya?” Ia menawari Aisiya yang sejak tadi belum bisa melepaskan pandangan dari bayi berusia 2 tahun itu.

“Aku takut, Racheel. Seumur hidup aku tak pernah menggendong bayi.” Pekik Aisiya tertahan.

“Tak perlu takut. Safiye sudah tumbuh besar. Lehernya pun sudah cukup kuat. Jangan panik. Oke?”

Akhirnya Aisiya setuju. Dengan penuh kehati-hatian ia mengambil alih Safiye dari tangan Racheel. Beruntung Safiye adalah tipe bayi yang ramah. Ketika tangan Aisiya diulurkan, Safiye langsung menyambut dengan dua belah tangan yang diacungkan. Senyuman bayi itu merekah di antara rambutnya yang keriwil-keriwil bewarna kecokelatan.

“Masya Allah tubuhnya harum sekali. Seolah aku sedang memasuki sebuah taman mawar di puncak musim semi.” Puji Aisiya begitu ia mencium pipi Safiye.

“Iya aku mengolesinya dengan minyak mawar yang dibawa Ismail dari Turki. Kalau tidak salah ia membelinya di Isparta, sebuah kota di Turki yang terkenal dengan julukan ‘Kota Mawar’. Dari cerita Ismail, bahkan hingga kerudung dan tasbih yang dijual di sana pun beraroma mawar.” Jelas Racheel bersemangat. Ia mengajak Aisiya untuk duduk di sofa tidur yang tersedia di sudut kamar itu.

“Kau melahirkan kedua anakmu dengan proses normal atau operasi caesar?”

“Alhamdulillah normal.”

“Apakah sakit?”

“Tentu saja.”

“Karena itulah aku masih tidak siap untuk berumah tangga. Aku selalu membayangkan proses kehamilan hingga melahirkan yang sepertinya sakit sekali.” Ucap Aisiya sambil terus memperhatikan Safiye yang kini memainkan salah satu ujung kerudungnya.

“Aisiya. Aku bisa saja menunjukkan padamu berbagai hadist Rasulullah salallahu ‘alaihi wassalam perihal keistimewaan yang diberikan Allah kepada wanita yang sedang hamil hingga bersalin, bahkan sampai 40 hari pasca kelahiran. Tapi semua itu tidak akan ada bekasnya di dalam hati apabila kamu tidak bertakwa. Kunci segala hikmah dan kebaikan bisa menyentuh kalbu adalah ketika kita bertakwa kepada Allah seutuhnya. Hadirkan lah perasaan gembira ketika kamu shalat, ketika mengingat Allah. Apabila semua itu sudah mampu diraih, maka pertahankan lah dengan memperbanyak dzikir. Jangan lengah sedikit pun karena syaitan akan memanfaatkan kelengahanmu tersebut. Kemudian ketika itu semua telah mampu kamu kerjakan dengan ikhlas, bacalah berbagai hadist yang menerangkan tentang keistimewaan para wanita yang sedang hamil hingga melahirkan. Apakah kamu belum tahu bahwa ketika seorang wanita Muslimah hamil, maka seluruh malaikat akan memintakan ampun untuknya?”

Aisiya menggeleng. “Yang aku tahu, apabila seorang Muslimah meninggal saat melahirkan atau dalam rentang 40 hari setelah melahirkan, ia akan dianggap sebagai mati syahid. Tapi entahlah. Aku tak yakin. Bagaimana jika wanita tersebut seorang pendosa?”

“Aku tidak mengetahui perkara ghaib, Aisiya.” Racheel tersenyum. “Kita tidak pernah tahu siapa yang kelak akan mendapatkan ridho dan ampunan Allah. Tapi yang banyak diterangkan dalam hadist, selama orang tersebut tidak melakukan dosa besar dan syirik, insya Allah masih ada peluang baginya mendapatkan keistimewaan tersebut. Kamu ingin dengar sebuah cerita? Ini kisah nyata yang dialami oleh salah satu teman Ismail, suamiku.”

“Tentu saja. Ceritakanlah padaku.” Sambut Aisiya dengan riang.

Racheel, wanita Australia yang wajahnya bercahaya itu memulai ceritanya. Lelaki teman suaminya itu bernama Hamzah. Dia tinggal di sebuah desa terpencil sekaligus tertua  bernama Lukomir, bagian Tenggara Bosnia. Satu tahun lalu, tanpa ada sebab yang jelas, tiba-tiba saja Hamzah tidak sadarkan diri selama beberapa jam. Istri, anak-anak, dan semua ahli keluarganya menjadi panik. Mereka mencari berbagai cara untuk membangunkan Hamzah, termasuk dengan mendatangkan seorang tabib yang masyhur di desa tersebut.

Setelah sekian lama mereka menunggu dengan resah, akhirnya Hamzah bangun dari pingsan. Begitu kesadarannya telah sempurna pulih, ia bercerita, “Dalam pingsanku tadi, aku seperti menyusuri sebuah jalan. Lalu aku berpapasan dengan satu per satu orang yang telah meninggal di desa ini. Tapi setiap kali aku memanggil, tidak ada satu pun dari mereka yang sudi menjawab. Bahkan mereka memalingkan wajah. Hal ini membuatku heran. Hingga beberapa lama kemudian, aku bertemu dengan almarhumah Salma.

Kalian pasti belum lupa siapa Salma. Tetangga kita itu. Wanita yang meninggal saat melahirkan sekitar 5 tahun lalu. Nah dalam perjalananku itu, aku melihat Salma, meskipun tak seketika aku mengenali sampai akhirnya dia menyebutkan siapa namanya, ‘Aku ini Salma. Tetanggamu dulu.’ Tapi yang membuatku tidak percaya, wanita ini memiliki wajah yang sangat jelita, sementara Salma yang kita ketahui bisa dikatakan tak memiliki paras yang istimewa. Karena dia meyakinkan bahwa dirinya benar-benar Salma, akhirnya aku menyerah dan percaya.

Dia mengajakku singgah ke rumahnya yang masya Allah sangat megah. Tapi sebelum itu, Salma mengajakku berkeliling taman di sekitar rumah tersebut. Di sana aku menyaksikan bunga-bunga yang keindahannya belum pernah kulihat di dunia ini.

Dia juga memberi tahuku sebuah rumah yang tidak kalah indahnya yang dibangun di samping rumahnya. ‘Rumah itu mau dijual. Kamu bisa membelinya’. Kukatakan padanya bahwa aku tidak mungkin sanggup membeli rumah seindah itu. Belum sempat aku melihat bagian dalam rumah Salma, alhamdulillah aku sudah sadarkan diri.”

Racheel mengakhiri ceritanya dengan senyuman. Ah, rasanya wanita ini memang selalu tersenyum. Bahkan saat ia sedang tidak tersenyum pun, orang lain akan memandangnya seolah ia sedang tersenyum. Pada point inilah Aisiya percaya hadist yang menyebutkan bahwa orang-orang yang menjaga shalatnya akan mendapatkan 10 kebaikan, salah satunya adalah memancarnya nur atau cahaya pada wajah, adalah benar.

“Kamu tahu, berdasarkan kesaksian Hamzah, perempuan bernama Salma ini, selama hidupnya tidak kelihatan terlalu tekun mengamalkan agama. Dia Muslimah yang biasa saja atau dalam bahasa yang lebih mudah dipahami, ‘tidak saleha-saleha amat’. Hanya saja dia memiliki satu keberuntungan yaitu meninggal ketika melahirkan. Kamu boleh mempercayai cerita Hamzah ini atau tidak percaya. Semua kembali padamu. Tapi jangan pernah lupa Aisiya, seorang Muslimah yang berjuang susah payah melahirkan bayi yang berada dalam kandungan itu sama nilainya dengan seseorang yang berjihad di jalan Allah. Hanya ada dua kebaikan baginya, yaitu: menyaksikan seorang malaikat kecil penerus generasi yang menangis untuk memulai kehidupan, atau syahid dan hidup berbahagia selamanya di sisi Allah. Tapi sekali lagi jangan lupa, Allah tidak mengampuni dosa syirik dan beberapa dosa besar lain yang hanya bisa diampuni melalui jalan taubat. Semoga Allah menjauhkan kita dari dosa-dosa tersebut.”

“Semoga Allah merahmatimu atas ilmu yang demikian bermanfaat. Aku tidak menyangka akan bertemu dengan Muslimah yang mengamalkan agama dengan baik sepertimu justru saat aku berada di tanah Eropa.”

Wa laa yuhithuuna bi syai in min ‘ilmihi illaa bi maasyaaa. Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah, melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kudengar Ismail memanggil, sepertinya mereka akan segera ke Masjid. Kamu ikut mereka atau tetap di sini?”

“Aku datang bersama Mustafa dan harus kembali bersamanya pula.” Aisiya menyerahkan Safiye setelah mencium gadis kecil itu sebanyak tiga kali.

“Mustafa. Suamiku banyak bercerita tentang pria Turki yang satu ini. Kamu tahu, Aisiya? Mustafa itu telah banyak menerima tawaran beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke berbagai negara-negara maju karena kecerdasannya. Tapi dia memilih untuk mengabdikan diri di Bosnia. Kudengar dari Ismail pula, bahwa Mustafa selama 4 tahun terakhir tidak pernah meninggalkan shalat malam. Ia hanya tidur selama 3 jam saja. Tidak lebih.”

“Benarkah?” mata Aisiya membulat.

“Iya, benar! Biasanya dia tidur sebentar sebelum shalat Zuhur, karena tidur pada waktu ini adalah sunnah. Sementara shalat malam Mustafa sangat panjang. Dia bahkan bisa membaca berjuz-juz al Quran dalam satu rakaat. Akal manusia biasa tidak akan bisa memahami hal ini. Tapi yang seperti ini nyata terjadi. Ada banyak Muslim yang beribadah seperti ini. Bahkan tidak sedikit para tabi’in yang shalat Subuh tanpa memperbarui wudhu shalat Isha mereka. Dan itu mampu dipertahankan selama puluhan tahun hingga wafat.”

Aisiya bahagia mendengar hal ini. Ketakjuban dalam dadanya kini terasa sampai di puncak. Bagaimana mungkin lelaki itu sanggup menghabiskan malam hanya dengan tidur selama 3 jam? Sementara dirinya sendiri untuk bangun setengah jam sebelum azan Subuh saja sering terlewat.

Benar apa yang diucapkan Racheel, keistimewaan lelaki ini sangat sulit untuk dipahami akal. Keistimewaan ini pula yang justru membuat Aisiya merasa sedih. “Jika benar begitu, maka hanya bidadari yang pantas menjadi istrinya.” Spontan kalimat ini meluncur dari lisannya.

Racheel tersenyum lebar. Bisa dikatakan ia sedang tertawa kali ini. “Eh, kamu lupa ya kalau Rasulullah salallahu ‘alaihi wassalam saja beristrikan manusia?”

“Iya. Tapi bukan manusia hina sepertiku.” Sambung Aisiya polos, membuat lawan bicaranya mengernyitka dahi.

“Apakah itu artinya kamu tertarik untuk menjadi istri Mustafa?” selidik Racheel dengan wajah menggoda.

Gadis Indonesia itu baru sadar bahwa ucapan demi ucapannya tadi telah membimbing Racheel pada satu kesimpulan penting. Seketika wajahnya merona. Dia tidak menjawab apapun, tapi semua orang kini paham apa sebenarnya yang tersimpan di balik hatinya.


-Diambil dari Istanbul: Kesaksian sebuah Kota. Kisah tentang Hamzah yang bertemu dengan Salma adalah kisah salah satu penduduk di desa saya. Kisah nyata. Hanya saya mengganti nama tokoh dan tempatnya. Semoga bermanfaat ;)

2 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...