Wednesday, 25 October 2017

[Diambil dari] ISTANBUL: Kesaksian Sebuah Kota


Aisiya melirik jam tangan. Pukul 8.30. Kelas tafsir hadist Mustafa tentu sudah berjalan sejak 30 menit lalu. Ia sedikit ragu untuk mengetuk pintu ketika kakinya telah sampai di depan kelas. Setelah membaca basmallah, Aisiya mengetuknya tiga kali.

Pintu tersebut ditarik seseorang dari dalam. Dan sosok lelaki muda, mengenakan kemeja berwarna biru, dasi, juga jas hitam, muncul dengan wajah datar. Tapi kemudian setelah tahu siapa yang ada di luar pintu, ia menampakkan sebuah senyuman.

“Rahma. Silakan masuk. Kau boleh duduk di kursi yang kosong. Aku akan menyelesaikan kelas ini 1,5 jam lagi.”

Aisiya mengangguk sopan. Selama beberapa detik ia melihat seluruh isi kelas, menimbang ke mana seharusnya ia duduk. Seluruh siswa di kelas itu memandang padanya dengan mata bertanya-tanya. Gadis itu jadi salah tingkah. 

Mehmet. Remaja itu. Kebetulan kursi di sampingnya kosong. Aisiya segera menuju ke sana.

“Boleh aku duduk si sini?” Tanyanya menunjuk satu kursi kosong di samping remaja Bosnia berambut jagung itu.

“Sure.” Jawabnya disertai senyuman ramah.

Di depan kelas, Mustafa memperkenalkan siapa Aisiya kepada siswanya. Sebagian besar menoleh pada wanita Indonesia itu, tersenyum, menyapa hi, atau hanya sekadar memandang dengan wajah ramah.

Aisiya mengeluarkan sebuah buku notes kecil lengkap dengan pulpennya ketika Mustafa melanjutkan penjelasan. Di papan tulis sudah tertulis dengan tinta spidol beberapa patah kalimat Arab, sementara di tangan pria itu ada sebuah kitab hadist yang cukup tebal.

“Apa yang dia jelaskan?” Aisiya bertanya pada Mehmet, menunjuk Mustafa dengan anggukan dagunya.

“Dia menjelaskan sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Hakim dan Tarmidzi. Ini hadist tersebut. Kau bisa menyalinnya jika mau.” Mehmet menyodorkan buku tulisnya pada Aisiya.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah salallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Apabila ummatku sudah mengagungkan dunia, maka tercabutlah dari mereka kehebatan Islam. Dan apabila ummatku meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar (dakwah), maka diharamkan bagi mereka keberkahan wahyu. Dan apabila ummatku saling mencaci maki satu sama lain, maka jatuhlah mereka dari pandangan Allah subhanahu wa ta’ala.”
Aisiya mengangguk-angguk. Untuk sementara ia menyalin hadist yang telah ditulis Mehmet dengan rapi dalam bahasa Arab dan terjemahan bahasa Inggris. Pemuda ini cukup cerdas. Padahal Mustafa menerjemahkan hadist tersebut ke dalam bahasa Bosnia, namun ia berinisiatif sendiri menulisnya dalam bahasa Inggris. Pantas saja jika ia sama sekali tidak tampak sedikit pun kesulitan saat berkomunikasi dengan Aisiya, meski sedikit terbata-bata.

Mustafa terus menjelaskan. Terkadang ia meminta para siswa untuk bertanya, dan semuanya berlomba-lomba mengacungkan tangan.

“Dia guru favorit.” Mehmet memberi kode pada Aisiya.

“Apa yang istimewa darinya?” Aisiya memandang sesaat pada lelaki yang berdiri di depan papan tulis.

“Bahasa Bosnia-nya luar biasa. Padahal ia baru satu tahun di sini. Ia hafal Al Quran sejak usia 9 tahun. Lidahnya bergerak dalam lima bahasa: Turki, Arab, Bosnia, Inggris, dan Prancis. Dia mengajarkan Quran dan Hadist dengan cara yang berbeda dari kebanyakan guru. Anda tahu, setiap seminggu sekali, biasanya di sore Kamis, ia akan membagi siswa laki-laki dalam beberapa kelompok. Satu kelompok terdiri dari tiga orang. Kami ditugaskan untuk mengetuk pintu-pintu rumah orang Muslim, kemudian mengajak para lelaki di rumah itu agar menunaikan shalat di Masjid. Itulah cara Mustafa Hoca melatih kami berdakwah, sekaligus bertazkiah.”

“Apa itu tazkiah?”

“Tazkiah dalam Al Quran adalah menyucikan diri atau bisa juga diartikan sebagai cara untuk membuka hati. Ummat Islam saat ini begitu banyak, tapi mereka tidak mengamalkan agama. Zaman dahulu, Rasulullah salallahu ‘alahi wassalam dan para sahabat tidak mengetuk pintu rumah Muslim, melainkan para kafir Qurays. Namun zaman sekarang tidak sama. Islam sudah menjadi asing bagi penganutnya sendiri. Banyak Muslim hafal beberapa ayat Al Quran, tetapi mereka tidak shalat. Tahu khamr dan perjudian adalah dosa, tetapi tetap dilakukan. 

Di sinilah pentingnya tazkiah, yaitu pembersihan hati. Karena Islam ini sangat berat diamalkan bagi mereka yang hatinya gelap. Orang-orang Islam yang menjalankan sesuatu yang haram, bukan mereka tidak tahu hal itu haram. Mereka tahu. Namun mereka tidak memiliki kekuatan untuk mengamalkan agama karena mata hatinya tertutup. Dan di sini pula pentingnya mendakwahkan Islam dengan cara serupa seperti yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah salallahu ‘alahi wassalam. Dakwah tidak cukup hanya di Masjid-Masjid, kita perlu mendatangi mereka. Kita para Muslim harus bergerak, mengamalkan Islam dengan kaffah, barulah kemudian kemuliaan Islam ini dengan sendirinya akan dilihat oleh non Muslim.”

Beberapa saat Aisiya tidak bisa berkata-kata. Ia menggelengkan kepalanya. Takjub. 

“Wow. Mehmet. Masya Allah. Semoga Allah merahamatimu. Kau berbicara layaknya da’i yang sudah berpengalaman bertahun-tahun.” Puji Aisiya.

“Insya Allah. Setiap Muslim memiliki kewajiban untuk amar maruf nahi munkar seperti yang telah disebutkan dalam hadist ini. Itu artinya setiap Muslim mengemban kewajiban untuk mendakwahkan agama ini. Dan semoga Allah merahmati Mustafa Hoca.” Pemuda itu tersenyum. Wajahnya ketara sekali bahwa ia begitu bahagia sebagai seorang remaja Muslim.

 ***

Tepat pukul 10 kelas Mustafa selesai. Ia mengajak seluruh kelas membaca doa kafaratul majelis, kemudian mengucap salam sebelum akhirnya keluar.

Aisiya mengikuti.

“Apa bahan tulisanmu sudah cukup?” tanya pemuda itu tanpa melihat Aisiya yang berjalan tidak jauh darinya.

“Masih ada beberapa hal yang perlu kutanyakan.” Jawab Aisiya sambil berusaha menenangkan hatinya yang sejak tadi gemetar tidak jelas.

“Kau akan mendapatkan jawaban seiring dengan berjalannya waktu.”

Mereka terus berjalan tanpa bicara apapun. Aisiya menunggu aba-aba dari lelaki di depannya mengenai apa yang harus dilakukan selanjutnya. Apakah lelaki itu akan mengajaknya duduk di suatu tempat? Di sebuah cafe? Atau mungkin duduk di tepi sungai Neretva yang masih mengeluarkan uap dingin?

Tiba di depan pintu gerbang, Aisiya berhenti ketika mereka berpapasan dengan tiga orang lelaki paruh baya. Usia mereka jauh di atas Mustafa. Mungkin tertaut dua puluhan tahun. Semuanya berjenggot dan memakai jubah, celana cingkrang, persis seperti orang Arab. Namun satu hal yang membuat Aisiya takjub, Mustafa menjabat tangan bahkan memeluk satu per satu lelaki itu dengan akrab. Entah apa yang mereka bicarakan, Aisiya hanya menangkap ucapan salam atau ungkapan-ungkapan lain seperti masya Allah, subhanallah, dan sejenisnya.

“Namanya Rahma. Seorang jurnalis dari Indonesia. Dia akan mengikuti beberapa aktivitasku selama beberapa waktu ke depan untuk bahan tulisannya. Dan Rahma, mereka adalah guru sekaligus teman-temanku. Mereka datang dari Turki. Kami akan ke rumahku selama beberapa saat, kemudian bersilaturrahim ke rumah teman-teman sampai tiba waktu shalat Zuhur. Kau boleh ikut jika mau.” Mustafa memperkenalkan Aisiya pada tiga orang temannya tersebut, sekaligus menjelaskan  kegiatannya selama beberapa jam ke depan.

Selam aleykum wa rahmatullah. Semoga pekerjaan Anda menjadi jalan untuk dakwah Islam, sehingga setiap huruf yang Anda tuliskan akan dihitung sebagai amal ibadah di sisi Allah ta’ala.” Lelaki yang memiliki jenggot paling tebal melambaikan tangan. Senyumnya tulus.

Dua lelaki lain ikut mengucap salam.

Waalaikumussalam wa rahmatullah. Aamiiin insya Allah.” Jawab Aisiya. Sungguh ucapan lelaki tersebut menyentuh kalbunya. Sejauh ini, meskipun dirinya yakin telah mengamalkan Islam sebaik mungkin, tapi ia belum pernah meniatkan pekerjaannya sebagai ladang dakwah. Sejak kecil ia suka menulis, oleh sebab itu ia bercita-cita menjadi seorang jurnalis. Semakin beranjak dewasa cita-citanya bertambah untuk mengunjungi negara-negara di seluruh dunia, dan ia berharap profesi jurnalis bisa menjadi jembatan. Gayung bersambut. Satu tahun bekerja di Detak.com, ia sudah mendapat tugas liputan ke Balkan. Kini, di negara yang jauh dari pangkuan Ibu Pertiwi ini, di negara yang Islam tidak terlihat sesemarak di Tanah Air, ia justru disadarkan bahwa seharusnya seorang Muslim tidak melupakan tugas dakwah dalam setiap pekerjaan maupun aktivitasnya. Karena sejatinya setiap gerak dan langkah seorang Muslim itu sendiri adalah dakwah.

“Apakah tidak masalah jika aku ikut bersama kalian?” Aisiya serba salah. Biasanya para lelaki yang berpenampilan seperti ini sangat fanatik mengamalkan Islam, Aisiya khawatir mereka akan beranggapan dirinya adalah Muslimah yang liar. Lihatlah hijabnya yang biasa saja. Belum lagi tentang dirinya yang berkeliaran hingga sejauh ini tanpa mahram.

Insya Allah tidak. Kita niatkan semuanya karena Allah ta’ala.” Sambung seorang lagi dengan wajah ramah. Wajah mereka selalu tersenyum, meskipun tidak pernah sekali pun menatap Aisiya ketika bicara. Seandainya pun harus melihat, itu hanya pandangan selintas saja demi menghormati seseorang yang diajak bicara.

Akhirnya mereka sepakat untuk langsung menuju rumah Mustafa. Empat orang lelaki itu berjalan beriringan di depan, sementara Aisiya mengikuti beberapa meter di belakang.

Tidak butuh waktu lama untuk berjalan kaki, karena rumah tugas Mustafa berada tepat di belakang masjid Gazi Husrev yang bersebelahan dengan madrasah. Pria Turki 25 tahun itu segera membuka gembok, kemudian mempersilakan tamu-tamunya untuk masuk.

Aisiya belum lupa kondisi ruang tamu ini. Sebuah sofa sederhana berwarna marun, lemari yang penuh berisi kitab, dan sebuah gambar kakbah yang menggantung di dinding. Tak ada kemewahan apapun yang ditampilkan.

Tiga orang teman Mustafa khusyuk berbincang dalam bahasa Turki sementara si tuan rumah menyiapkan sesuatu di dapur. Aisiya hanya diam mendengarkan. Dia tidak diacuhkan, hanya saja para lelaki paruh baya ini tidak bisa bahasa Inggris. Jadi mereka kesulitan untuk berkomunikasi.

Selang lima menit kemudian, Mustafa datang membawa sebuah nampan besar berisi lima gelas teh dan dua piring kacang almond sangrai. Jas hitam yang tadi ia kenakan saat mengajar kini sudah ia lepaskan, tersisa kemeja biru pudar yang begitu serasi dengan warna kulit dan postur tubuhnya.

“Silakan dinikmati. Maaf tidak bisa menjamu dengan yang lebih baik dari ini.” Pria Turki berwajah tampan itu meletakkan satu per satu gelas teh ke atas meja. “Rahma, enjoy your tea. It’s Turkish tea.” Katanya lagi.

“Thank you.” Aisiya menjawab sambil memperhatikan gelas berbentuk tulip yang kini tersaji di depannya. Inilah untuk pertama kali Aisiya melihat gelas—yang kemudian hari ia tahu—dimiliki oleh hampir seluruh masyarakat Turki.

Empat orang lelaki itu kemudian tenggelam dalam sebuah diskusi. Sepertinya tentang agama. Aisiya tidak paham apapun. Hanya saja menyaksikan Mustafa, lelaki yang masih begitu muda ini bisa berteman akrab dengan orang-orang yang jauh lebih tua, membuat dada Aisiya bergetar. Terkadang Mustafa mendengarkan takzim, sesekali mengeluarkan pendapatnya, dan tak jarang ia tersenyum lebar seraya menundukkan kepala. Ah, meskipun sekarang musim dingin belum beranjak meninggalkan bumi Bosnia, tapi Aisiya seperti menyaksikan bunga-bunga yang mememekarkan kuncupnya di sepanjang sungai Neretva.

“Kami saling menasehati dan mengingatkan tentang pentingnya zikir kepada Allah.” Ucap Mustafa dengan bahasa Inggis. Ia tahu Aisiya hanya pura-pura mendengarkan dan tak paham apapun. “Ibrahim Hoca, “ Ia menunjuk temannya yang paling tua, “Mengingatkan kami tentang 7 baris kalimat yang pernah diucapkan Ustman bin Affan radhiallahu ‘anhu, yaitu:

1. Aku heran terhadap sikap orang yang mengetahui adanya maut, tetapi ia masih tertawa.
2. Aku heran terhadap sikap orang yang mengetahui bahwa dunia akan kiamat, tetapi masih mencintainya.
3. Aku heran terhadap sikap orang yang mengetahui bahwa segala sesuatu berlaku menurut takdir-Nya, tetapi ia masih berduka cita apabila kehilangan sesuatu.
4. Aku heran terhadap sikap orang yang mengetahui adanya hisab terhadap dirinya, tetapi masih menimbun-nimbun harta kekayaan.
5. Aku heran terhadap orang yang mengetahui adanya api neraka Jahannam, tetapi ia masih berani melakukan maksiat.
6. Aku heran terhadap sikap orang yang mengenal Dzat Allah ta’ala, tetapi ia mengingat sesuatu selain-nya.
7. Aku heran terhadap sikap orang yang mengetahui adanya surga, tetapi masih mencari kemewahan hidup di dunia.

Ini nasehat yang luar biasa, Rahma. Dan hanya bisa diresapi oleh mereka yang mata hatinya terbuka. Ketiga temanku ini masing-masing punya usaha yang maju di beberapa kota di Turki, tapi masya Allah kehidupan mereka sangat sederhana. Semoga Allah memberimu kesempatan untuk berkunjung ke rumah-rumah mereka suatu hari nanti, bertemu dengan istri mereka yang insya Allah para wanita saliha. Kau tahu Rahma, salah satu penyebab utama kemunduran ummat Islam saat ini tidak lain disebabkan karena ummat ini telah berubah menjadi pecinta dunia. 

Pada zaman Rasulullah salallahu ‘alaihi wassalam lalu berlanjut ke masa kekhalifahan para sahabat radhiallahu ‘anhum, Islam bukan hebat karena harta dan kekayaan. Namun ternyata ummat yang terkenal melarat, pakaian bertambal, satu hari makan dan hari berikutnya lapar, serta bersenjata apa adanya itu mampu menaklukkan dua imperium besar nan masyhur yang sudah dibangun sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu, yaitu Persia dan Romawi. Dari peristiwa ini kita bisa mengambil satu poin penting bahwa kunci keberhasilan ummat ini adalah seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah salallahu ‘alaihi wassalam dan para sahabat rahimakumullah, yaitu dengan tidak memberi ruang sedikit pun kepada hati untuk mencintai dunia. 

Karena apabila sedikit saja ummat Islam tergiur pada kemewahan dunia, mereka menjadi lalai, mementingkan diri sendiri, dan kekuatan untuk mengamalkan agama pun menjadi hilang.” Jelas Mustafa dengan bahasa Inggris-nya yang di atas rata-rata.

“Tapi, Mustafa. Jika kau pernah mendengar atau berkunjung ke negara-negara Barat, para gelandangan yang paling banyak ditemui di pinggiran jalan adalah Muslim. Lihatlah saat ini, ummat Islam kebanyakan hidup melarat sehingga kaum kafir bisa menertawakan sepuas hati. Zuhud tidak bisa diterapkan lagi di kehidupan modern seperti sekarang. Ini menurut pendapatku.” Sanggah Aisiya.

Mustafa tersenyum maklum. “Seandainya ummat Islam bersama-sama menunaikan perintah agamanya, insya Allah tidak akan ada lagi peminta-peminta. Kau tahu kenapa banyak peminta-peminta itu adalah Muslim? Karena kebanyakan dari kita sudah tidak peduli lagi pada saudaranya. Kita sibuk menimbun kekayaan untuk diri sendiri. Padahal jelas-jelas dalam Al Quran, Allah meminta kita untuk menginfakkan separuh harta. Bahkan dalam beberapa hadist, kita diminta untuk menginfakkan harta yang lebih dari yang kita gunakan sebagai kebutuhan. Kau sudah pernah mendengar kisah Abu Bakar ketika istrinya ingin sekali makan manisan?”

Aisiya menggeleng.

“Ketika itu Abu Bakar telah menjabat sebagai khalifah sehingga ia sudah tidak bisa lagi berniaga. Kebutuhan hidupnya sehari-sehari didapat dari Baitul Mal. Suatu hari istrinya ingin sekali makan manisan. Ia mengungkapkan hal tersebut pada Abu Bakar. Namun Abu Bakar tidak punya uang selain jatah yang setiap hari didapat dari Baitul Mal. Akhirnya sang istri meminta izin untuk menyisihkan sedikit demi sedikit uang dari pembelajaan setiap hari, dan Abu Bakar pun mengizinkannya. Dalam beberapa hari uang tersebut sudah terkumpul. Istrinya menyerahkan uang tersebut kepada Abu Bakar untuk dibelikan bahan-bahan manisan. Abu Bakar berkata, ‘Dari pengalaman ini sekarang saya tahu bahwa, kita mendapatkan gaji yang berlebihan dari Baitul Mal.’ Oleh karena itulah uang yang dikumpulkan sang istri dikembalikan ke Baitul Mal dan dia mengurangi gajinya untuk selanjutnya sebanyak yang dikumpulkan oleh istrinya setiap hari. Apa hikmah yang bisa kau dapatkan dari kisah ini, Rahma?”

Aisiya diam selama beberapa saat. Tiba-tiba pikirannya terlempar jauh ke Tanah Air dimana pejabat saling berlomba memakan uang rakyat, mengumpulkan kekayaan pribadi, sementara si kaya terus saja khusyuk hidup dalam kemewahan, dan si miskin sibuk pula menghalalkan segala cara untuk mendapatkan rupiah, tidak peduli jalan tersebut halal atau haram.

“Kau benar, Mustafa. Sebab dari kemunduran ummat Islam saat ini adalah karena kita begitu mencintai dunia, sehingga mengabaikan hak-hak Allah dan kaum Muslimin.” Kata gadis itu tanpa menjawab pertanyaan terakhir Mustafa.

“Alhamdulillah atas karunia Allah yang telah memberimu pemahaman. Perlu kita ingat kembali, Rahma, pada masa khalifah Umar ibn Khattab, tidak ada lagi satu Muslim pun yang mau menerima sedekah. Bukan karena hidup mereka berkecukupan, namun karena mereka merasa cukup atas nikmat Allah. Dalam masing-masing dada ummat tertancap keyakinan bahwa Yaumil Hisab pasti akan terjadi. Yang dalam sehari hanya bisa makan satu kali, takut untuk makan dua kali. Mereka takut akan beratnya hisab. Tapi iman ummat Islam saat ini begitu lemah. Jangankan haqqul yakin tentang surga neraka dan hisab, kisah-kisah seperti ini saja mereka anggap sebagai dongeng yang tidak mungkin pernah terjadi.” 

***

Pukul 11 siang, lima orang tersebut meninggalkan rumah Mustafa. Seperti sebelumnya, Aisiya mengambil jarak beberapa meter di belakang. Diam-diam ia terus memperhatikan keakraban empat orang lelaki yang berjalan di depannya.

Entah mengapa, ia merasakan keharuan di dalam kalbu. Melihat empat orang tersebut, ia seperti melihat sebuah keajaiban Allah yang diturunkan ke bumi. Tiba-tiba matanya kabur. Ia ingin menangis. Ia rindu kehidupan pada masa Rasulullah salallahu’alaihi wassalam dan para sahabatnya. Andai saja ia tercipta sebagai sebutir pasir yang ada di bawah kaki Muhammad salallahu’alahi wassalam, tentu hal itu akan seribu kali lebih baik daripada kehidupannya saat ini. Mengenggam iman di abad ini terasa bagaikan menggenggam bara api. Mengamalkan agama sesuai sunnah dianggap aneh dan bahkan disesatkan. 

Apa yang tersisa dari masyarakat saat ini adalah saling memuji dan bangga apabila mereka berhasil membangun rumah paling besar, perhiasan paling indah, kendaraan paling mahal, dan seterusnya. Seolah semuanya lupa bahwa hidup hanyalah sekedip mata. Hari ini muda, tak terasa esok telah senja. Hari ini sehat, esok terbaring tak berdaya. Mereka terus berkata satu sama lain bahwa ‘Life is a journey’, tapi di sisi lain mereka tak memperlakukan hidup itu layaknya perjalanan yang memiliki tujuan.

Mereka terus berjalan melewati pasar Bascarsija yang kini padat. Tak hanya masyarakat lokal, pasar ini juga menjadi magnet bagi turis Mancanegara yang berkunjung ke Sarajevo. Barang-barang yang dijual di pasar ini, mulai dari sayur-mayur, buah-buahan, pernak-pernik, pakaian, hingga karpet, semuanya menjelma warna-warni yang indah dipandang mata. 

Tak jarang Aisiya mendapati wajah-wajah jelita Muslimah Bosnia dalam balutan kerudung yang trendi. Mereka hilir mudik pasar untuk sekadar jalan-jalan atau berbelanja. Tak ada lagi wajah sedih atau berkabung, mengisyaratkan bahwa Muslim Bosnia kini telah bangkit dari luka peperangan. Meski kenangan pahit akan kehilangan orang-orang tersayang maupun tempat tinggal itu tak pernah bisa pergi dari ingatan, namun hidup harus terus berlanjut. Karena hakikatnya, hidup adalah tentang menanti giliran. Cepat atau lambat, masing-masing akan menghadap Sang Pencipta. Segala sesuatu adalah amanah yang Allah titipkan. Dan bagi mereka yang mafhum akan hal ini, tentu kehilangan tidak akan pernah memadamkan semangat yang tertancap di dalam dada.


2 comments:

  1. Pencerahan di siang hari. :) hati rasanya sejuk.

    ReplyDelete
  2. Setuju banget. :D Semuanya adalah amanat Allah yang dititipkan. :)

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...