Tuesday, 25 September 2012

Kali Ini Tentang Sedekah

"Sungguh, sedekah memiliki pengaruh yang luar biasa untuk menolak berbagai macam bencana, sekalipun pelakunya adalah seorang pendosa, zalim. atau bahkan kafir. Allah akan menghilangkan berbagai macam bencana dengan perantaraan sedekah tersebut".
   Aforisme diatas adalah dari Syaikh kita Ibn Qoyyim Al Jauziyah, aku menemukanya disudut notebook coklatku, buku catatan yang terisi penuh dengan hadist, Ayat Al qur'an dan catatan penting saat kuliah atau hal-hal lain. Ucapan Syaikh besar diatas membuatku termenung, betapa dahsyatnya pengaruh sedekah sehingga bisa menolak berbagai macam bencana. Dan satu hal yang lebih mengagumkan hal itu berlaku untuk semua manusia tak terkecuali mereka yang setiap harinya bergumul dengan dosa. Wallahu'alam...
 
      Aku kembali melihat diriku, selama ini aku terlalu egois sehingga tidak mau memikirkan mereka yang berkekurangan disekitarku, atau yang lebih sederhanaya lagi aku sering membuang muka saat ada peminta-minta yang menghampiriku. Sedekah adalah jual beli yang dilakukan dengan Allah SWT, lalu mengapa aku sering merasa sayang untuk mengulurkan sedikit bantuan untuk mereka? aku tau, selama ini aku disibukkan oleh fikiranku sendiri. Aku merasa bahwa aku ini seorang pelajar, uang saja masih meminta dari orang tua jadi tak harus bersedekah. Aku tak berfikir alangkah baiknya jika aku menyisihkan sedikit uang jajanku untuk mereka. Ingatanku kembali melayang ke waktu beberapa bulan lalu, saat aku masih menjalani hari-hari matrikulasi, aku dan 19 temanku yang juga Mahasantri penerima scholarship PBSB (Program Beasiswa Santri Berprestasi) ditempatkan di wisma YPI (Yayasan Pendidikan Islam) milik Kementrian Agama RI di Ciawi, Bogor. Diwisma itu begitu dekat dengan pasar ciawi, jadi setiap sore menjelang berbuka kami akan berkeliling pasar membeli berbagai camilan untuk berbuka. Setiap aku melewati trotoar Toko-toko, aku selalu menemukan seorang ibu-ibu dengan pakaian lusuh duduk bersimpuh disudut trotoar, ia menengadahkan tangan pada semua orang yang melewatinya tak terkecuali padaku dengan sorot pandangan yang penuh harap. Dan seperti biasa aku pasti pura-pura tak melihatnya. Aku beranggapan bahwa ibu itu sehat, kenapa ia tidak bekerja saja. Intinya aku menganggapnya wanita pemalas. Aku tak mau berfikir positif padanya. Sekarang aku baru menyesal telah memupuskan harapanya padaku waktu itu. Kenapa aku tak berfikir bahwa ia adalah wanita yang tiada pilihan ditengah sulitnya hidup di tengah perkotaan?
    Aku akan mengutip sebuah kisah dari satu buku berjudul "Sejuta Pelangi", kisah yang menggambarkan kekayaan hati seorang penjual kelontong di atas kursi roda. Begini kisahnya:
     Sore yang teduh. Gerimis dan bau tanah basah. Senja yang sempurna. Tepat pukul 16.57 aku berjalan melewati jalan setapak yang biasa kulalui sepulang kuliah. Tak lama lagi aku akan sampai di sebuah jalan besar menuju rumahku. Sore kali ini memang berbeda, sebab gerimis datang bersama teduh Matahari yang beranjak pergi meninggalkan bumi.
    Di kejauhan, tampak seorang kakek tua renta bersandar di tepi trotoar yang akan kulewati. Cukup lama aku mengamatinya dari kejauhan. Jelas sekali ia kelaparan. Keriput di wajahnya menceritakan luka yang berkepanjangan.
  " Ah...Dimana keluarganya, anaknya?" Tanyaku dalam hati
   Aku mulai merogoh sakuku sekiranya ada uang receh yang bisa kuberikan kepadanya. Memang tak banyak, karena biasanya uang receh yang tersisa dikantongku adalah sisa membayar angkutan umum.Aku hanya menemukan empat keping uang logam 500 Rupiah.
   "Ah...ini pasti cukup" Pikirku. Toh, dia sama seperti pengemis lainya di pinggir jalan, Dan uang 2 Ribu Rupiah selalu cukup untuk seorang pengemis.
   Ketika tepat berada disampingnya, aku memasukkan koin logam kedalam sebuah peci yang kakek itu gunakan untuk menadah uang. Tanpa melihat lagi, aku langsung berjalan pergi.
    "Dia pasti senang mendapat tambahan uang" Pikirku
    Baru beberapa langkah aku berjalan, dari tikungan muncul seorang bapak paruh baya. Dia duduk di atas kursi roda yang begitu usang. Ketika kuperhatikan lagi, subhanallah, bapak itu memangku sesuatu! barang dagangan yang dia pangku dengan bambu diatas kursi rodanya. Diikatkanya bambu tersebut pada kursi rodanya dan dia mulai menjajakan daganganya.
   "Kelontong, ember, sapu, kain pel.."
   "Sapu lidinya, dek..." Sapanya ketika menghampiriku
   Saat itu aku bisa melihatnya dengan jelas, Bapak itu lumpuh tapi Ia tetap berdagang, mencari nafkah tanpa menggadaikan harga diri. Sikapnya membuatku kagum bercampur haru melihatnya. Kau tahu apa yang lebih mengejutkanku lagi? Bapak itu menghampiri pengemis yang tadi kuberi uang receh, lalu ia mengeluarkan uang dari sakunya sebesar 20 Ribu Rupiah, dan memberikan kepada pengemis itu seraya berkata, " Bapak belu makan kan? ini uang buat bapak makan, sisanya untuk bapak sarapan besok."
   GLEK...!!!
   Kakiki terpaku, kaku menyaksikan peristiwa itu. Hatiku tertampar, aku malu! bagaimana bisa seorang pedagang kelontong keliling yang cacat itu, tulus memberikan uang sebegitu berlipatnya dari jumlah yang kuberikan, kepada seorang pengemis. Padahal, mungkin ia lebih membutuhkanya, karena mungkin hanya uang selembar itu yang ia miliki. Lalu aku? Aku sudah merasa cukup dengan hannya memberi 2 ribu Rupiah, padahal didompetku masih ada 2 lembar uang 50 ribu dan 2 lembar uang 20 ribu.
   Aku kalah...aku kalah peduli, kalah tulus, kalah ikhlas,kalah memberi dari seorang pedagang kelontong yang cacat.
    Hari itu Allah menamparku dengan cara yang paling halus...
    Begitulah kisahnya, semoga bisa diambil hikmahnya...
    Aku teringat pada suatu sore yang hampir mendekati maghrib, aku baru pulang kuliah dengan menumpang sebuah angkutan umum. Hari itu ada praktikum di kampus IPB dramaga, jadi membutuhkan waktu lama untuk sampai di kosan. Dari balik jendela, aku melihat seorang ibu paru baya duduk didepan sebuah trotoar. Pakaiannya lusuh, dan yang lebih menyentuh hatiku ia tengah memberikan susu formula pada anaknya yang masih bayi, di sampingnya duduk seorang anak laki-laki yang kuperkirakan berumur 7 Tahun. Ya Allah.... dimana suaminya? mengapa begitu tega menelantarka anak dan istrinya sebegitu menyedihkan. Betapa hari-hari mereka dipenuhi dengan lara yang berkepanjangan. Anak nya yang pertama itu pasti ingin jajan dan mainan seperti anak laki-laki lainya, pasti ia juga ingin bersekolah. Aku teringat adikku... aku bersyukur aku dan adikku berada dalam keluarga yang utuh dengan seorang ayah yang begitu menyayangi kami.

     Membahas tentang sedekah, ada sebuah pertanyaan yang muncul dibenakku.
    "Apakah semua sedekah harus dengan finansial?"
    Allah maha pemberi hidayah, ditengah kebingunganku itu Ia mengirimkan jawaban melalui sebuah Hadist Rasulullah SAW yang tertulis di bagian pojok sebuah halaman Notebook ku.
    
   "Setiap anggota tubuh manusia mempunyai kesempatan untuk bersedekah tiap hari. Yaitu, mendamaikan orang-orang yang berselisih adalah sedekah, menolong orang naik kendaraan adalah sedekah, setiap langkah yang anda lakukan untuk pergi shalat adalah sedekah, dan menyingkirkan sesuatu yang membahayakan di jalan umum adalah sedekah".(HR.Muslim)

   Hmm...Begitu rupanya, jadi tidak ada alasan bagi setiap manusia untuk tidak bersedekah. Begitu banyak peluang bagi kita mendapatkan pahala sedekah setiap harinya tanpa perlu memiliki banyak uang. Tapi, begitu banyak mereka yang terus mencari-cari alasan dengan dalih tak punya uang, hidup yang serba kekurangan dan sebagainya. Satu garis besar yang bisa kuambil dari hadist di atas adalah SEDEKAH TIDAK HARUS BERBENTUK UANG.


Bogor, 25 September 2012
  
 

Friday, 21 September 2012

Betapa Kasih Sayang yang Sempurna (kudedikasikan untuk mereka para orang tua yang berjuang siang dan malam)

Bapak, Ibu, Adikku (baju ungu), dan adik sepupuku
    Kisah ini adalah kisahku, kuambil dari catatan harian yang kutulis pada 05 Desember 2011 lalu. Sambil mengisi kekosonganku (hari ini tidak ada jadwal kuliah), aku kembali membongkar kardus yang berisi kumpulan buku ku. Kegiatan itu berakhir pada sebuah buku coklat, buku yang setia mendengarkan keluh kesah, impian, dan kebahagiaanku sepanjang 2011. Aku membuka lembar demi lembar diary itu, kubaca tulisan demi tulisan yang kutulis setahun yang lalu. Ada beberapa catatan yang membuatku tersenyum saat membacanya, namun ada juga yang membuatku dadaku terasa sesak karena catatan yang kutulis dengan berurai air mata saat itu. Dengan membaca kembali catatan harianku itu, aku tersadar kembali betapa dulu aku begitu berambisi untuk kuliah (saat itu aku tidak tau bagaimana caranya untuk melanjutkan pendidikan ditengah ekonomi keluargaku yang tak mungkin cukup menguliahkanku), aku juga ingat kembali beberapa mimpi-mimpiku yang sama sekali belum kuraih. Setelah lembaran itu hampir mencapai akhir, aku tergugu pada sebuah catatanku tentang keluargaku. Aku sungguh tak mampu membendung lagi air mata ini untuk mengalir deras membanjiri pipi saat membacanya. Aku merindukan ayah, ibu, dan adikku...
    disini aku ingin menuliskan kembali catatanku itu, semoga ada manfaatnya untukku dan sahabat semuanya.
   
    05 Desember 2011
    Bismillahirrahmanirrahim
    Besok ujian Fiqh, Fisika dan Grammar. Mohon doanya ya sahabatku...
    Malam ini aku merindukan keluarga, ingat masa kecilku bersama bapak dan ibu. Kenangan bersama bapak, sungguh tak mungkin kulupakan. aku punya beberapa cerita sedih sewaktu bersamanya sahabat, cerita yang selalu membuatku menangis saat mengingatnya. waktu itu aku masih kecil, umurku sekitar 10 tahun. Sewaktu dirumah tak ada beras sama sekali, harga kelapa murah sekali saat itu. Bapak meminjam sepeda motor tetangga (waktu itu kami tidak punya sepeda motor sama sekali) untuk pergi kerumah toke kelapa dengan maksud untuk meminjam uang. Aku yang masih kecil merengek-rengek ingin ikut, kerena memang aku sangat dekat dengan bapak. Akhirnya ia mengajakku setelah mendengar rengekkanku. Bukan tanpa halangan menempuh jarak 9 Km menuju rumah toke kelapa itu. Jalan aspar yang pecah disana sini, miring dan sempit (bahkan sampai sekarang pun masih begitu) ditambah jalan tanah gambut yang becek luar biasa dimusim hujan. Sesampai dirumah toke kelapa itu, yang kami dapat hanyalah menelan ludah, karena toke itu juga belum ada uang (katanya). Akhirnya kami pulang dengan kecewa, tapi ditengah perjalanan saat masih dijalan tanah gambut yang becek (memang saat itu sedang musim hujan), sepeda motor yang kami tumpangi tiba-tiba mati, bapak berusaha menghidupkanya namun hasilnya nihil. Sedihnya lagi, hujan tiba-tiba tercurah lebat dari awan-awan diatas sana. terakhir, ditengah derasnya hujan bapak mendorong sepeda motor itu dan aku didudukkan diatas sepeda motor.
   Bapak juga pernah membonceng aku dengan sepeda tua menempuh 10 Km, hanya untuk memuaskan aku untuk melihat pasar minggu di kecamatan. Aku memang belum bisa membahagiakanya. Dulu waktu kecil aku sering duduk ditengkuknya saat pergi/pulang dari suatu tempat, aku pernah menendang-nendangnya saat keinginanku tak dikabulkan dan banyak lagi kenakalanku. Bapak tak pernah begitu marah padaku hingga sekarang, umurku sudah 16 tahun. Pernah bapak marah sedikit besar padaku karena aku tak mau ikut shalat maghrib padahal teman-teman mengajiku yang kebetulan mengaji dirumahku dengan bapak, mereka semua shalat. Karena itu bapak marah dan memukulku dengan tali pinggang sekolahku, itu sama sekali tidak sakit. Namun, karena aku memang manja, malamnya aku langsung demam tinggi. Sejak itu bapak tak pernah memukulku.

    Bapak adalah satu-satunya laki-laki di Dunia ini yang mencintaiku dengan sempurna, dia selalu berusaha yang terbaik untukku. aku punya tekad, suatu saat nanti saat aku punya cukup uang, aku ingin mengajaknya ketanah suci. Dia selalu bilang padaku, bahwa ia begitu ingin kesana, walau aku tau ia tak punya cukup uang untuk itu. Hingga kini, ia selalu berusaha membuatku bahagia dan mandiri, walau aku selalu mengecewakanya. Ia tak pernah memarahiku, ia hanya menasehatiku bila aku salah.
    Selanjutnya adalah ibu, Ia memang sedikit pemarah, tapi dengan sifatnya itu aku bangga lahir dari rahimnya. ibu  rela tidak tidur semalam penuh saat aku sakit, dia juga wanita yang menagis saat asmaku kambuh. Ia juga wanita hebat dan pekerja keras. Aku sungguh kasihan saat melihatnya kekebun, mengangkut kelapa dan sebagainya. Ia sama sekali belum pernah ke kota, ia belum pernah masuk ke mall atau ketempat wisata (begitu juga bapak dan adikku). Ia tak pernah memanjakanku, tapi dengan begitu aku bisa memasak, mencuci, dan mengurus rumah. Ia mengajariku segala sesuatu,mengeja, membantu mengerjakan PR, membuat bunga, dan sebagainya. Ialah guruku yang pertama...
   Sewaktu aku kecil, ia selalu mendandaniku dengan ikat rambut yang berwarna-warni, memakaikanku baju kembang saat ada acara pesta pernikahan tetangga di Kampung, dan memberikan yang terbaik semampunya. Dulu aku sering dibelikan mainan alat-alat memasak dari plastik, mungkin Ia ingin aku mencintai dunia wanita itu sejak kecil... aku juga sering main tanah saat menunggunya mencuci baju di Parit saat hari minggu, ia juga sering membawa gantungan baju untuk memukulku saat aku berenang lama di Parit atau menjaring ikan-ikan kecil di parit. Hingga sekarang, aku belum bisa membahagiakanya....
    Terakhir, adikku Ilham. Aku sangat menyayanginya. Aku selalu ingin ia menjadi baik dan lebih, lebih, lebih baik dariku. Aku ingin bisa menyekolahkanya, aku tak mau ia kesulitan kuliah seperti yang kualami. bahkan aku ingin menyekolahkanya setinggi-tingginya. Aku ingin setamat SD ia masuk Pesantren di Jawa, aku ingin ia pandai berbahasa Arab dan Inggris (ini adalah cita-citaku yang belum terwujud), aaku ingin ia menjadi hafidz Al-Qur'an (ini impian bapak untuk aku dan adikku), aku ingin ia kuliah di Timur tengah....
   Kadang aku menangis saat mengingat waktuku bersamanya, tanganya pernah melepuh (waktu itu umurnya baru 1 tahun beberapa bulan, baru belajar berjalan) saat main masak-masakan bersamaku (kami memasak tanah yang dicampur air didalam kaleng susu hingga adonan mainan itu mendidih), ia juga pernah jatuh kebawah tangga hingga bibirnya berdarah saat aku disuruh ibu menjaganya (ibu pergi berjualan kue), aku juga sering memaksanya belajar dengan durasi lama dan terus membentak mengajarinya. Hingga ia memohon pelan " wes mbak.... eham kesel, sesok meneh yaaa???" ("sudah mbak, eham capek, besok lagi yaa???"), aku juga pernah memaki-makinya dengan kata-kata kotor, juga mengunci semua pintu saat bertengkar denganya, sesudah semua pintu terkunci biasanya ia akan menangis ketakutan diluar rumah dan memohon padaku agar membukakan pintu untuknya. Aku merasa menjadi kakak yang paling jahat bila mengingat masa-masa itu...
   Sekarang... Ia sudah besar, Ilham sudah kelas 5 SD... Ia adikku satu-satunya, ia juga sangat pintar dan penurut. Ia selalu mendapat peringkat 1 di kelasnya dari kelas 1 hingga sekarang. Tiga tahun lebih aku hidup jauh dari keluarganya, 3 tahun aku di Pesantren hanya 4 kali aku pulang. dan sekarang aku semakin jauh dari mereka, kita berbeda pulau... terpisahkan selat sunda. Mereka tetaplah orang-orang yang paling kurindukan di Sumatra sana... kini, aku kan berfikir ribuan kali saat ingin memarahi adikku, aku selalu menyuapinya makan saat aku pulang di liburan idil fitri, aku ingin ia menjadi laki-laki yang shaleh dan bertanggung jawab pada semua tindakanya. semoga aku bisa menyekolahkanya... amien


     Pekanbaru
      sofy

  Lembaran itu kututup kembali... Rindu semakin tersa menyesak dalam dada ini.  Semoga aku bisa meraih mimpiku di Pulau Jawa ini dan membahagiakan mereka. amien....
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...