“Di
dunia ini, ada beberapa hati yang benar-benar tidak ingin disakiti, namun untuk
membuatnya tersenyum, engkau justru akan melukai diri sendiri.”
Malam ini aku bertemu Alena. Kami duduk di sebuah cafe
yang menghadap selat tempat kapal-kapal pesiar hilir mudik. Dari sini, kami
bisa menyaksikan deretan lampu di seberang sana. Cahayanya yang jatuh di atas
air menciptakan warna-warni menakjubkan.
Di atas meja, duduk dua gelas teh panas yang disajikan
dalam gelas berbentuk tulip, dan dua piring dessert berbahan kacang almond menjadi
pelengkap.
“Ada apa, Mariam? Aku melihatmu murung sepanjang hari
ini.” tanya Alena padaku.
Aku menggeleng, berusaha tersenyum. “Aku mengenal seorang lelaki, Alena. Dia temanku semasa sekolah dasar. Seorang mualaf. Dulunya dia beragama Budha, dan alhamdulillah sekitar 3 tahun lalu ia memutuskan ber-Islam. Keluargaku tahu tentangnya, karena memang rumah kita tidak begitu jauh. Dulu, semasa ia belum Muslim, saat liburan akhir semester yang bertepatan dengan Idul Fitri, biasanya kami sama-sama pulang. Dan meskipun ia bukan Muslim, ia selalu menemaniku silaturrahim ke rumah guru-guru kami dulu. Ia sering bertanya padaku tentang Islam, dan aku menjawab berdasarkan apa yang kutahu. Lalu, ketika ia menelepon dengan pembukaan sebuah salam, air mataku hampir saja menetes. Ada keharuan yang tiba-tiba datang. Tapi setelah itu, kami jarang berkomunikasi. Ia fokus dengan kuliahnya, dan aku fokus dengan kuliahku. Hingga kami sama-sama berhasil menyelesaikan pendidikan satu tahun lalu.” Aku mengambil jeda. Pandanganku yang pias tertuju pada selat yang berubah menyedihkan—di mataku.
“Lalu?” Alena mulai tidak sabar.
“Satu tahun terakhir kami kembali menjalin komunikasi.
Meskipun aku tak pernah memberikan balasan panjang atau perhatian lebih dalam
setiap komunikasi kami, tapi aku merasakan ada sesuatu yang berbeda. Hingga
malam tadi semuanya terjawab. Awalnya hanya bermula dari pertanyaan kecilnya, ‘Kapan
kamu menikah?’. Tapi kemudian pertanyaan itu justru berujung ia yang berterus
terang. Ia mengaku mengharapkanku. Katanya agar bisa menguatkan Islam-nya. Tapi
jika tidak berjodoh, dia akan mengikhlaskan.”
Mata Alena membesar. “Kau sungguh-sungguh, Mariam?”
Aku mengangguk.
“Lalu kau jawab bagaimana?” tanya Alena lagi.
Sejenak aku diam. Akhir-akhir ini aku dibingungkan oleh
tawaran-tawaran yang aku sendiri tidak mengerti cara menanggapinya. Baru saja
beberapa hari lalu, saat perjalanan menuju kota ini, seorang teman Ayah
menawarkan apakah aku tertarik dengan putranya. Artinya sudah dua orang teman
dekat Ayah yang menawarkan sebuah ikatan keluarga. Tapi lagi-lagi, aku tak
bisa membuat keputusan tegas. Kini aku paham betapa rumit menjadi seorang wanita usianya mulai merangkak di atas kepala dua.
“Sulit, Alena. Di satu sisi hatiku sama sekali tidak
tersentuh olehnya. Dia hanya kuanggap sebagai seorang teman. Namun di sisi
lain, aku kasihan padanya.”
“Kalau begitu katakan padanya dengan tegas, bahwa dia
tidak boleh mengharapkanmu lagi!” Kini Alena memberikan sebuah saran dengan
serius.
“Kenapa?” Aku tidak mengerti.
Alena mendekap kedua tanganku, “Mariam sayang, kau tidak
boleh menerima seseorang karena kasihan. Hubungan seperti itu justru akan
menyiksa dirimu dan dirinya. Percayalah. Pernikahan bukan perkara main-main—yang
apabila kau tak suka—kau bisa mengakhiri dengan mudah. Aku dan Ahmet menikah
karena kami saling mencintai. Karena itu pula kami sanggup menghadapi segala macam
ujian dalam rumah tangga. Jika kamu menerima dia karena kasihan, maka hubungan
kalian selanjutnya akan mudah diruntuhkan. Kau tahu kenapa? Karena kau tidak
punya cinta sebagai pondasinya!”
Aku tertunduk. Sungguh, aku sendiri tidak menyukai
diriku yang seperti ini. Sejauh ini teman-teman mengenalku sebagai seseorang
yang mudah kasihan, tidak tegaan, hingga seringkali mengorbankan kebahagiaan
sendiri demi kebahagiaan orang lain. Aku benci diriku yang tidak mampu tegas.
“Kau benar, Alena.” Ucapku lirih.
Air mataku kini sudah hampir luruh. Inilah yang paling
aku takutkan. Inilah kenapa sejak awal aku selalu tidak mau memberi kesempatan.
Inilah kenapa aku pilih menghindar. Karena ternyata di dunia ini ada beberapa
hati yang benar-benar tidak ingin disakiti, namun untuk membuatnya tersenyum,
engkau justru akan melukai diri sendiri.
No comments:
Post a Comment