Tuesday, 31 December 2013

Inspirasi Fashion Muslimah Ketika Liburan ala Dian Pelangi dan Indah Nada Puspita

Fashion for Walking around the City

Ini buat kamu-kamu yang punya rencana liburan ke kota. Meskipun nggak jalan ke kota-kota Luar Negeri, but kamu bisa tetap fresh dengan fashion yang tepat. Hmm...nggak punya baju-baju mahal kayak yang di foto? Tenang aja, namanya juga inspirasi, kamu bisa berkreasi sekreatif-kreatifnya. Check it out!



Pink in Black?
Jeans, cream in black?

Beach Style


Pilihlah jilbab langsung (bergo) agar posisi jilbab tidak berubah. Hindari jilbab yang mengenakan peniti atau jarum jika kamu akan bermain air. Air laut akan menyebabkan peniti menjadi berkarat dan merusak bahan jilbab.

Jilbab yang menggunakan peniti juga akan lebih mudah bergeser sehingga susah untuk merapikannya dengan kondisi angin yang cukup kencang. Pilihlah jilbab polos dengan aneka warna yang bisa disesuaikan dengan pakaianmu, sehingga kamu tetap tampil menarik.

Gunakan tunik dengan bahan yang lembut, seperti bahan katun yang dapat menyerap keringat sehingga nyaman dikenakan. Hindari warna putih karena akan terlihat transparan dalam kondisi basah.

Agar aktivitas main air kita lebih aman sebaiknya kenakan tank top sebelum kamu mengenakan kaos, sehingga saat kondisi kaos basah tank top dapat melapisi tubuh agar tidak transparan. Pilih tank top dengan bahan yang halus agar nyaman dan tidak terasa panas saat dikenakan.

Kenakan bawahan yang berwarna gelap. Legging adalah pilihan terbaik karena simpel dan nyaman untuk digunakan. Jika kamu tidak nyaman menggunakan legging, maka lapisilah legging dengan celana pendek aneka warna. Atau jika kamu tidak berencana bermain air, kamu bisa menggunakan rok dengan dalaman berupa legging. Pilihlah rok yang berbahan ringan.

Hindari penggunaan celana denim karena bahannya termasuk berat dan akan memakan banyak tempat di tasmu. Bahan chiffon juga harus dihindari karena terlalu ringan sehingga mudah tertiup angin.

Apabila banyak kegiatan di air, lebih baik kenakan pakaian renang khusus muslimah atau kenakan wetsuit. Pakaian tersebut biasanya dilengkapi oleh penutup kepala atau dive hood. Bahannya yang elastis akan menempel di kulit sehingga kamu tidak perlu khawatir akan tersingkap.




Clasic Town

Fresh?

Cream with black

Yellow and Blue

Garden

Tabrak warna

Casual with Smooth Brown!
Biasa tapi kece, ya?
Can You Guess What is Color of Her Dress

Sumber: The Merchant Daughter and Fashion in HeadScarves

Saturday, 28 December 2013

Renungan Sepanjang 2013



Sumber: klik di sini

 Pernahkah di saat kamu merasa telah berjalan terlalu jauh, kamu merasa lelah, merasa apa yang kamu cari tidak kamu temukan sejauh ini? Teruslah berjalan, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu, karena di depan sana, sekejap lagi, kebahagiaan sedang menantimu.

Aku tidak tahu dari mana aku mendapatkan kalimat di atas, hanya kepingan-kepingan ingatan yang akhirnya kurangkai sedemikian rupa. Tak ada tujuan khusus, seperti menginspirasi orang lain dan sejenisnya, tidak sama sekali, aku hanya berharap kalimat tersebut bisa menyemangati diriku sendiri, itu sudah cukup. 

Di detik-detik terakhir kebersamaan kita dengan tahun 2013, aku tiba-tiba ingin sekali menuliskan hal ini. Sudah sejak lama aku berharap tangan ini mampu bersahabat dengan hati dan pikiran untuk menciptakan sebuah tulisan tentang hal-hal yang mengusikku sepanjang  tahun. Tapi, seringkali kuurungkan, karena aku merasa, kalimatku pasti tidak akan pernah mampu menyampaikan apapun. Semua akan sia-sia. Kalimatku justru akan mengundang tawa. Dan aku selalu kehilangan keberanian.

Di tahun ini aku tidak lagi memakai himar lebar seperti selama beberapa waktu di Pesantren dulu. Bodoh? Ya, sebelum kalian yang mencaci-makiku, aku lebih dahulu melakukannya, bahkan dalam setiap waktuku. Aku ingin mempertahankannya, tapi keadaan memaksaku untuk berhenti bertahan. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku mengakui bahwa lingkungan sangat mempengaruhi kepribadian seseorang. Dosa? Kurasa untuk hal yang satu ini, itu bukan hak manusia untuk menentukan, biarlah Tuhan yang menilai. Aku hanya bisa berdoa suatu saat nanti aku bisa memakainya kembali. Aku telah membuktikan, bahwa himar lebar itu begitu menjaga diriku, menjaga perilakuku. 

Di tahun ini, aku memenangi lomba menulis cerpen yang diadakan di kampusku. Dua cerpenku juga dimuat di Annida-online dalam waktu bersamaan. Senang? Ya aku senang, sangat senang. Karena aku seperti mendapat pengakuan bahwa aku memang mampu di bidang ini.

Di tahun ini aku memenangi beberapa lomba blog dengan hadiah yang lumayan. Senang? Tentu saja. Tapi tahukah di lain sisi aku juga kesal. Karena kesibukanku dengan blog, aku jadi melupakan tujuan awalku, aku jadi malas menulis fiksi. Padahal cita-cita terbesarku adalah menjadi novelis bestseller, bukan blogger ternama. Meskipun keduanya sama-sama berada dalam lingkup dunia tulis menulis, namun keduanya memiliki perbedaan dan hanya aku sendiri yang merasakannya. 

Aku melupakan banyak hal, termasuk ucapan-ucapan Paulo Coelho yang tertulis di sebuah kertas di mading kamarku.

Orang-orang sukses, setiap saat dalam kehidupan mereka, melakukan apa yang mereka impikan.

Hanya ada satu hal yang membuat mimpi mustahil untuk dicapai: rasa takut akan kegagalan.

Jika Anda ingin sukses, Anda harus menghormati satu aturan yaitu  jangan  pernah berbohong kepada diri sendiri.

Ketika sesorang benar-benar menginginkan sesuatu, seluruh alam semesta bersatu untuk menolong orang itu untuk meraih impiannya.  

Di tahun ini, dunia kampusku menjelma suatu tempat yang menyakitkan bagiku. Mata kuliah yang sama sekali tidak menarik minatku dan teman-teman yang ‘gila’. Bayangkan betapa frustasinya dirimu ketika dicekoki mata kuliah yang tidak kamu minati dan di saat yang sama teman-temanmu berlomba-lomba meraih nilai paling tinggi. Aku mampu! Bahkan di atas mereka aku mampu! Buktinya di semester pertama aku mampu. Tapi sekarang, bukan soal mampu atau tidak mampu, melainkan soal mau atau tidak. Aku memilih tidak mau. Aku tidak mau merelakan otakku bekerja keras demi suatu hal yang sama sekali tidak membahagiakanku. IPK tinggi menjamin kebahagiaan? Ya, aku juga dulu berpikiran demikian, tapi setelah aku raih IPK di atas 3,5, aku tetap tidak bahagia. Aku justru merasa menjadi seorang budak yang memperoleh nilai tinggi dari tuannya. Aku ini pekerja. Dosen menyuruhku ini, aku laksanakan dengan baik meskipun sama sekali tidak mendatangkan manfaat bagiku, kemudian dosenku akan memberi upah berupa nilai. Apa bedanya aku dengan seorang budak?

Kamu tidak tahu berterima kasih! Tidak semua orang bisa kuliah gratis sepertimu! 

Siapa bilang aku tidak berterima kasih, aku sangat-sangat-sangat berterima kasih kepada pemberi beasiswa ini. Aku tidak menyalahkan mereka sama sekali. Aku hanya menyalahkan diriku setiap hari. Mengapa kamu ambil beasiswa ini? Mengapa dulu kamu terlalu pengecut? Mengapa dulu kamu tidak berani mengambil keputusan? Tapi setidaknya ada satu hal yang membuatku bahagia, orangtuaku di kampung halaman sana bangga pada diriku karena beasiswa ini. Orang-orang di kampung halaman sana berubah mengkerut dan menelan kembali ludah yang mereka keluarkan dahulu.

“Hah, Sofi tidak usah melanjutkan ke MTs. Tamatan MTs itu tidak akan bisa jadi apa-apa, tidak akan bisa kuliah di kampus bergengsi.” 

Begitu kalimat-kalimat yang dulu aku terima. Aku kala itu berumur 13 tahun. Aku yang setiap malam menangisi nasibku karena Bapak yang ‘memaksaku’ melanjutkan ke MTs. Padahal semua teman-teman SD-ku melanjutkan ke SMP paling bergengsi di sana. 

Di tahun ini aku lolos seleksi Kampus Fiksi dari Diva Press. Dan Insya Allah pada bulan September tahun depan aku akan mengikuti pelatihan menulis di Yogya. Tiga hari tiga malam. Gratis. Senang? Ya aku senang. Semoga ini adalah salah satu rambu-rambu yang diberikan Tuhan untuk mempermudah jalanku meraih tujuan. 

Masih banyak hal yang belum sempat kutuliskan, tapi setidaknya hal-hal di atas sudah mewakili keseluruhannya. Kecewa, bahagia, sedih, tawa, tangis, marah, kesal, semua sudah menjadi ramuan hidup yang akan selalu menemani waktu kita di dunia ini. Dan mereka yang terbaik adalah yang mampu meramu itu semua menjadi hal yang bermanfaat untuk diri sendiri dan sesama. 

Jangan pernah lelah, karena kelelahan adalah sahabat kegagalan. Semoga kita diberi ketabahan dan kekuatan untuk bisa menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Bukankah orang yang beruntung adalah mereka yang hari ini lebih baik daripada hari kemaren?
 
Sumber: klik di sini

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Segala Puji bagi Allah, Tuhan seluruh Alam.
Semoga Allah melimpahkan rahmat dan keselamatan kepada junjungan kami nabi Muhammad SAW, beserta para keluarga dan sahabatnya. 

Ya Allah, segala yang telah kukerjakan selama tahun ini dari apa yang menjadi larangan-Mu, sedang kami belum bertaubat, padahal Engkau tidak melupakannya dan Engkau bersabar (dengan kasih sayang-Mu), yang sesungguhnya Engkau berkuasa memberikan siksa untuk saya, dan Engkau telah mengajak saya untuk bertaubat sesudah melakukan maksiat. 

Karena itu ya Allah, saya mohon ampunan-Mu dan berilah ampunan kepada saya dengan kemurahan-Mu. Segala apa yang telah saya kerjakan, selama tahun ini, berupa amal perbuatan yang Engkau ridhai dan Engkau janjikan akan membalasnya dengan pahala, saya mohon kepada-Mu, wahai Dzat Yang Maha Pemurah, wahai Dzat Yang Mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan, semoga berkenan menerima amal kami dan semoga Engkau tidak memutuskan harapan kami kepada-Mu, wahai Dzat Yang Maha Pemurah. Dan semoga Allah memberikan rahmat dan kesejahteraan atas penghulu kami Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan keselamatan kepada junjungan kami Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan sahabatnya.

Ya Allah Engkaulah Yang Abadi, Dahulu, lagi Awal. Dan hanya kepada anugerah-Mu yang Agung dan Kedermawanan-Mu tempat bergantung. Dan ini tahun baru benar-benar telah datang. Kami memohon kepada-Mu perlindungan dalam tahun ini dari (godaan) setan, kekasih-kekasihnya dan bala tentaranya. 

Dan kami memohon pertolongan untuk mengalahkan hawa nafsu amarah yang mengajak pada kejahatan, agar kami sibuk melakukan amal yang dapat mendekatkan diri kami kepada-Mu wahai Dzat yang memiliki Keagungan dan Kemuliaan. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan keselamatan kepada junjungan kami Nabi Muhammad SAW, beserta para keluarganya dan sahabatnya. Dan Segala puji milik Allah, Tuhan seluruh alam. Amin yaa rabbal ‘alamin

Wednesday, 25 December 2013

Ceritaku di Angkot Kampus Dalam: Dari Balai Pustaka Sampai ke India



Sumber: klik di sini


Pukul 05.30 pagi tadi aku sudah rapi dan segera meninggalkan kontrakan dengan tas ransel yang beratnya lumayan. Laptop, minuman, buku, jas almamater komunitasku, dan celana ganti. Tujuanku tentu saja Dramaga, karena ada dua rapat yang harus kuikuti. Yang pertama dengan kru majalah dan kedua dengan panitia Semarak Ulang Tahun CSS MoRA IPB. Rapat dengan kru majalah dimulai pukul 06.00, jadi aku sudah yakin bakal terlambat. Jarak Baranang Siang-Dramaga minimal bisa ditembus dalam waktu hampir satu jam, belum lagi urusan macet dan angkutan yang ngetem seenak jidat. Awalnya aku berniat untuk izin tidak mengikuti rapat dengan kru majalah karena waktunya yang terlalu pagi, tapi mengingat jalanan di depan sana yang akan semakin ramai seiring matahari yang semakin tinggi, dan aku paling fobia soal menyebrang jalan, jadi kuputuskan untuk berangkat pagi sebelum jalanan ramai.


Perjalanan dari Baranang Siang hingga Laladon bisa dibilang sangat lancar. Udara masih sejuk, angkotnya juga tidak ngetem di stasiun, dan supirnya menyetir tidak ugal-ugalan. Hanya butuh dua puluh menit aku sudah tiba di Laladon, selanjutnya aku harus berganti trayek angkot, yaitu angkot biru jurusan Kampus Dalam. Hampir lima menit aku menunggu angkot Kampus Dalam itu keluar dari kandangnya. Tentu saja aku jadi orang pertama yang duduk di sana. Wah, pasti lama sekali ngetemnya. Tak beberapa lama pak supir yang tadinya keluar datang dan duduk di belakang stirnya.

“Kalau liburan mah sepi, Neng. Malam tadi yang ramai, sampai pukul 02.00 Bapak ngantarin anak-anak. Katanya pada pulang nonton. Memang ada film apa, ya?” Tanya Bapak Supir yang kutebak berumur di atas enam puluh tahun.

“Ada 99 Cahaya di Langit Eropa, ada juga Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Pak.” Jawabku sambil sibuk dengan ponsel.

“Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk itukan cerita lama, Neng. Pernah diterbitkan di BP. Pernah difilmin juga dulu. Neng tahu BP?”

Aku menggelengkan kepala. Tertawa sambil mengatakan tidak. Selanjutnya Bapak itu seperti kecewa. Ia menanyakan jurusanku dan tahun lulus SMA. Ia juga sempat menceritakan kembali kronologi tenggelamnya kapal Van Der Wijk. Ada juga beberapa konferensi dan pertemuan-pertemuan jaman dulu yang ia sebutkan dan aku lupa namanya.

“Kok bisa nggak tahu BP? Coba ingat-ingat lagi. Tahu novel Salah Asuhan karya Abdul Muis?”

“Tahu dong, judulnya aja, Pak.”

“Novel Siti Nurbaya? Azab dan Sengsara? Layar Terkembang? Di Bawah Lindungan Kakbah? Belenggu?”

Aku kembali mengatakan bahwa itu judul novel-novel yang sering muncul di buku bahasa Indonesia dulu dan aku hanya sekadar tahu, belum pernah membacanya. Bapak itu tersenyum sambil geleng-geeng kepala. Ia kemudian menyebutkan nama-nama pengarang novel-novel tersebut, dan sedikit tentang Si Penulis.

“Kalau buku Habis Gelap Terbitlah Terang oleh Armijn Pane?”

“Tahu, Pak. Itu kumpulan surat-suratnya RA. Kartini, bukan?”

“Nah, gitu pintar. Jadi Habis Gelap Terbitlah Terang itu bukan novel, melainkan cuma berisi surat-suratnya Kartini untuk teman-temannya yang pindah ke Belanda. Kalau sekarang isi buku ini lebih dikenal dengan pelopor emansipasi wanita. Jadi sudah tahu apa kepanjangan BP?”

Sejauh percakapan kami, jujur aku merasa heran dengan Bapak Supir ini, ia tampaknya hapal di luar kepala tentang novel-novel lama itu. Jarang sekali ada supir yang memiliki minat seperti Bapak ini.

“Hmm...BP? Balai Pustaka!!!” ucapku sumringah, bahagia seperti seseorang yang mampu menjawab soal terakhir pada kuis Who Wants To Be Millionare saja. 

“Kok bisa kepikiran ke Balai Pustaka?”



“Ya..hmm...nyambung aja ke sana. Lagipula kayaknya nama Balai Pustaka itu nggak asing. Benar kan, Pak?”

Bapak itu tersenyum lagi dan mengangguk. Aku berucap ‘yess’. 

“Percaya nggak kalau Bapak ini pensiunan Balai Pustaka?”

Aku diam sejenak. Masak iya ada pensiunan penerbit segitu besarnya yang menjadi supir angkot? 

“Bisa jadi, Pak. Soalnya Bapak tahu banyak tentang buku-buku dan penulisnya.”

“Percaya, nggak?” tanyanya lagi seolah dia hanya meminta kepastianku.

“Percaya.” Jawabku akhirnya

“Nah, kalau Neng percaya, ini Bapak tunjukkan kartu identitas Bapak ketika bekerja di BP.”

Bapak itu mengulurkan kartu kecil berwarna biru. Aku membolak-balikkannya sejenak lalu memberikannya kembali padanya. 

“Dua puluh tahun Bapak bekerja di BP, Neng. Dari tahun 1990 hingga 2010. Sudah tahu tentang BP sampai akar-akarnya. Dulu kita karyawan BP hidup makmur, Neng. Gajian 15 kali dalam setahun, bahkan pernah sampai 16 dan 17 kali. Bagaimana coba bisa sampai gajian 15 kali?”

“Gajian setiap bulan selama setahun, 12 kali. Tiga kali lagi...hmm...nggak tahu saya, Pak.”

Kemudian dengan penuh semangat Bapak itu menguraikan bahwa tiga sisanya adalah: uang THR, uang ketika ada hal-hal yang berhubungan dengan sekolah seperti ujian, dan yang ketiga ketika??? (Aduh, maaf aku lupa).

“Nggak ada yang bisa memberi kenyamanan pada karyawan seperti di BP. Yang bisa nyamain ketika itu cuma Pertamina, Neng. Tapi sayang, Balai Pustaka harus ditutup, bangkrut. Kita para karyawan diberi pesangon setelah setahun kemudian. Pesangonnya lumayan banyak, ratusan juta. Tapi keterlambatan itu membuat karyawan kesal dan kecewa. Bapak sendiri sedih mengenang penerbit tertua itu harus tutup atas nama bisnis tanpa air mata. BP itu saksi perjalanan literasi Indonesia, Neng. Ia yang memonopoli penerbitan buku pada masa kolonialisme. Saksi perjuangan tokoh-tokoh bermisi literasi yang menggerakkan Indonesia melalui sastra.” kenang Bapak itu dengan mata menerawang.

Bapak itu selanjutnya menceritakan tentang dirinya. Ia yang disuruh skolah PGRI oleh orang tuanya namun tidak mau. Dan perjalanan hidup akhirnya membawanya sebagai supir angkot. Ia juga mengatakan bahwa ia berteman baik dengan Taufik Ismail, bahkan pernah berkali-kali menginap di rumah sastrawan dan budayawan itu. Ia menyebutkan nama istri Bapak Taufik yang kemudian aku tahu bahwa wanita itu telah meninggal. Bapak Supir itu juga bilang bahwa ia sudah sering mengantarkan Bapak (aku lupa namanya) kemana-mana. Yang jelas orang yang disebutkannya ini pernah memimpin BP dan beberapa jabatan bergengsi lainnya hingga jadi Dubes. Bapak itu juga menceritakan sebab-sebab gulung tikarnya BP oleh ‘seseorang alumni IPB’. Yang jelas Bapak Supir itu menceritakan dengan detail hanya saja aku tidak kepikiran untuk merekam, jadinya lupa deh hal-hal detail seperti nama, tahun, dan beberapa hal lain. Bahkan aku tidak sempat menanyakan nama Bapak Supir berkaca mata itu.

Percakapan tentang BP selesai. Waktu menunjukkan pukul 06.30 dan masih aku sendiri yang duduk di kursi belakang angkot itu. aku mulai resah. Tapi sebisa mungkin tidak kuperlihatkan.

Selanjutnya Bapak itu menunjukkan foto ketiga anaknya. Bapak ini sudah tua, tapi anak paling tuanya aja masih duduk di bangku SMP. Aku tiba-tiba dihinggapi rasa kasihan.

“Ini anak Bapak yang perempuan. Mirip orang India, kan?”

Aku mengangguk. Menjawab iya.

“Bapak kan dari Aceh. Di Aceh itu ada tiga jenis orang selain Aceh asli, mata sipit keturunan China, Kulit putih mata biru keturunan Eropa dan kulit agak gelap hidung mancung keturunan India. Masih ingatkan tentang kerajaan Islam pertama di Indonesia?”

“Samudra Pasai.” Jawabku cepat dan dibetulkan oleh Bapak itu.

“Ngomong-ngomong soal India, siapa aktor favoritnya Neng?”

“Hmm...Aamir Khan.”

“Kalau Bapak itu bukan levelnya, Neng. Mungkin soal umur. Bapak kenalnya Dharmendra yang sekarang anaknya juga jadi artis, Bobby Deol dan Sunny Deol. Terus Amitabh Bhachan, Dev Anand, Rekha, Hema Malini, Rishi Kapoor, Annil Kaporr...” sebutnya dengan nama-nama lainnya yang aku tidak ingat. Hebat! Bahkan Bapak ini tahu tentang kehidupan para artis jaman dulu itu, semua judul filmnya hingga lagu-lagunya, bahkan juga nama-nama grup dancer yang mengiringi lagu-lagunya. Aku hanya mangguk-mangguk karena memang tidak tahu. Berbeda kalau Bapak itu bercerita tentang Aamir Khan, Shahrukh Khan, Salman Khan, Abhisek Bachan, Uday Copra, Imran Khan, Aditya Roy Kapoor, Ajay Devgan, Jirmy Sergil, Arjun Rampal, Kajol, Preity Zinta, Kareena Kapoor, Rani Mukherjee, Katrina Kaif, Shraddha Kapoor, dan artis-artis yang sekarang masih eksis. Aku pasti paling nyambung.
 
Sumber: klik di sini

“Tahunya kuch kuch ho ta hai ya, Neng?”

“Abis yang Bapak sebutkan itu artis-artis dan film-film yang eksis sebelum saya lahir, sih.” Ucapku yang membuat Bapak itu terkekeh.

“Bahasa India itu akar bahasanya dari bahasa Urdu, Neng. Terus dicampur-campur sama bahasa Inggris. Tahu kenapa?”

“Biar keren aja lah, Pak.” Jawabku sekenanya.

“Karena India bekas jajahan Inggris.” Ucap Bapak itu membuatku malu setengah pingsan. Aduh, ketahuan banget sih o’on-nya.

“Hayo, ada tahu bahasa India nggak?”

Aku kembali menggeleng.

“Dibilangin bahasa India itu mirip sama bahasa Inggris. Coba ya, ‘saya’ bahasa Inggris-nya apa?”

“I [ai].”

“Yang lain?”

“Me [baca: mi]”

“Nah, kalau bahasa India-nya ‘saya’ itu ‘me [baca: me]’. Kalau ‘kamu’ apa?”

“Tum.” Jawabku sambil tertawa.

“Kok pinter?”

“Iya, dong.”

“Bapak itu suka sama film India karena jalan ceritanya itu tidak jauh berbeda dengan kenyataan. Anak Polisi jadi penjahat. Anak penjahat jadi Polisi. Kasus sengketa tanah.”

Bapak itu terus bercerita sementara hatiku mulai gelisah. Sekarang sudah tepat pukul 07.00 dan itu artinya aku sudah pasti terlambat satu jam. Baru setelah sepuluh menit kemudian angkot terisi oleh empat mahasiswa lain dan Bapak Supir itupun segera tancap gas menuju Kampus Dalam. 

Biarpun ngetemnya lama, tapi aku merasa dapat pengetahuan dari Bapak itu. Karena pembicaraan tadi aku jadi tertarik untuk mengetahui tentang Balai Pustaka. Tadi sehabis maghrib aku sudah membacanya di internet. 
 
Sumber: klik di sini
Kita tak memerlukan juru selamat untuk membuat Balai Pustaka terus hidup. Negara sudah abai literasi. Uang terus jadi godaan di dunia perbukuan. Nasib Balai Pustaka seolah takdir: selesai setelah melalui jalan waktu. Kita masih bisa menaruh buku-buku terbitan Balai Pustaka edisi lawas di rak. Buku-buku itu bakal bercerita, mengingatkan akan sejarah bahasa dan napas sastra di Indonesia. Kita juga bisa mengenang Balai Pustaka dari petikan-petikan biografi para tokoh sastra. Balai Pustaka bukan sekadar institusi penerbitan, buku, perpustakaan. Balai Pustaka adalah Indonesia dalam selebrasi bahasa dan pesan.”

Tulisan di atas cukup membuatku terharu. Semoga Bapak Supir itu dan semua pekerja di Balai Pustaka dahulu selalu berada dalam perlindungan-Nya. Melalui tangan dan pemikiran merekalah sastra Indonesia bisa seperti sekarang. Balai Pustaka adalah sejarah literasi yang agung, tempat penulis legendaris negeri ini membesarkan karyanya, tempat buku-buku yang merekam kisah-kisah masa lalu Indonesia, dan tempat para sastrawan kita berjuang dengan senjata kata. Semoga kita bukan termasuk dari mereka yang mengabaikan sejarah.


 Bogor, 25 Desember 2013




Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...