Wednesday 25 December 2013

Ceritaku di Angkot Kampus Dalam: Dari Balai Pustaka Sampai ke India



Sumber: klik di sini


Pukul 05.30 pagi tadi aku sudah rapi dan segera meninggalkan kontrakan dengan tas ransel yang beratnya lumayan. Laptop, minuman, buku, jas almamater komunitasku, dan celana ganti. Tujuanku tentu saja Dramaga, karena ada dua rapat yang harus kuikuti. Yang pertama dengan kru majalah dan kedua dengan panitia Semarak Ulang Tahun CSS MoRA IPB. Rapat dengan kru majalah dimulai pukul 06.00, jadi aku sudah yakin bakal terlambat. Jarak Baranang Siang-Dramaga minimal bisa ditembus dalam waktu hampir satu jam, belum lagi urusan macet dan angkutan yang ngetem seenak jidat. Awalnya aku berniat untuk izin tidak mengikuti rapat dengan kru majalah karena waktunya yang terlalu pagi, tapi mengingat jalanan di depan sana yang akan semakin ramai seiring matahari yang semakin tinggi, dan aku paling fobia soal menyebrang jalan, jadi kuputuskan untuk berangkat pagi sebelum jalanan ramai.


Perjalanan dari Baranang Siang hingga Laladon bisa dibilang sangat lancar. Udara masih sejuk, angkotnya juga tidak ngetem di stasiun, dan supirnya menyetir tidak ugal-ugalan. Hanya butuh dua puluh menit aku sudah tiba di Laladon, selanjutnya aku harus berganti trayek angkot, yaitu angkot biru jurusan Kampus Dalam. Hampir lima menit aku menunggu angkot Kampus Dalam itu keluar dari kandangnya. Tentu saja aku jadi orang pertama yang duduk di sana. Wah, pasti lama sekali ngetemnya. Tak beberapa lama pak supir yang tadinya keluar datang dan duduk di belakang stirnya.

“Kalau liburan mah sepi, Neng. Malam tadi yang ramai, sampai pukul 02.00 Bapak ngantarin anak-anak. Katanya pada pulang nonton. Memang ada film apa, ya?” Tanya Bapak Supir yang kutebak berumur di atas enam puluh tahun.

“Ada 99 Cahaya di Langit Eropa, ada juga Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Pak.” Jawabku sambil sibuk dengan ponsel.

“Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk itukan cerita lama, Neng. Pernah diterbitkan di BP. Pernah difilmin juga dulu. Neng tahu BP?”

Aku menggelengkan kepala. Tertawa sambil mengatakan tidak. Selanjutnya Bapak itu seperti kecewa. Ia menanyakan jurusanku dan tahun lulus SMA. Ia juga sempat menceritakan kembali kronologi tenggelamnya kapal Van Der Wijk. Ada juga beberapa konferensi dan pertemuan-pertemuan jaman dulu yang ia sebutkan dan aku lupa namanya.

“Kok bisa nggak tahu BP? Coba ingat-ingat lagi. Tahu novel Salah Asuhan karya Abdul Muis?”

“Tahu dong, judulnya aja, Pak.”

“Novel Siti Nurbaya? Azab dan Sengsara? Layar Terkembang? Di Bawah Lindungan Kakbah? Belenggu?”

Aku kembali mengatakan bahwa itu judul novel-novel yang sering muncul di buku bahasa Indonesia dulu dan aku hanya sekadar tahu, belum pernah membacanya. Bapak itu tersenyum sambil geleng-geeng kepala. Ia kemudian menyebutkan nama-nama pengarang novel-novel tersebut, dan sedikit tentang Si Penulis.

“Kalau buku Habis Gelap Terbitlah Terang oleh Armijn Pane?”

“Tahu, Pak. Itu kumpulan surat-suratnya RA. Kartini, bukan?”

“Nah, gitu pintar. Jadi Habis Gelap Terbitlah Terang itu bukan novel, melainkan cuma berisi surat-suratnya Kartini untuk teman-temannya yang pindah ke Belanda. Kalau sekarang isi buku ini lebih dikenal dengan pelopor emansipasi wanita. Jadi sudah tahu apa kepanjangan BP?”

Sejauh percakapan kami, jujur aku merasa heran dengan Bapak Supir ini, ia tampaknya hapal di luar kepala tentang novel-novel lama itu. Jarang sekali ada supir yang memiliki minat seperti Bapak ini.

“Hmm...BP? Balai Pustaka!!!” ucapku sumringah, bahagia seperti seseorang yang mampu menjawab soal terakhir pada kuis Who Wants To Be Millionare saja. 

“Kok bisa kepikiran ke Balai Pustaka?”



“Ya..hmm...nyambung aja ke sana. Lagipula kayaknya nama Balai Pustaka itu nggak asing. Benar kan, Pak?”

Bapak itu tersenyum lagi dan mengangguk. Aku berucap ‘yess’. 

“Percaya nggak kalau Bapak ini pensiunan Balai Pustaka?”

Aku diam sejenak. Masak iya ada pensiunan penerbit segitu besarnya yang menjadi supir angkot? 

“Bisa jadi, Pak. Soalnya Bapak tahu banyak tentang buku-buku dan penulisnya.”

“Percaya, nggak?” tanyanya lagi seolah dia hanya meminta kepastianku.

“Percaya.” Jawabku akhirnya

“Nah, kalau Neng percaya, ini Bapak tunjukkan kartu identitas Bapak ketika bekerja di BP.”

Bapak itu mengulurkan kartu kecil berwarna biru. Aku membolak-balikkannya sejenak lalu memberikannya kembali padanya. 

“Dua puluh tahun Bapak bekerja di BP, Neng. Dari tahun 1990 hingga 2010. Sudah tahu tentang BP sampai akar-akarnya. Dulu kita karyawan BP hidup makmur, Neng. Gajian 15 kali dalam setahun, bahkan pernah sampai 16 dan 17 kali. Bagaimana coba bisa sampai gajian 15 kali?”

“Gajian setiap bulan selama setahun, 12 kali. Tiga kali lagi...hmm...nggak tahu saya, Pak.”

Kemudian dengan penuh semangat Bapak itu menguraikan bahwa tiga sisanya adalah: uang THR, uang ketika ada hal-hal yang berhubungan dengan sekolah seperti ujian, dan yang ketiga ketika??? (Aduh, maaf aku lupa).

“Nggak ada yang bisa memberi kenyamanan pada karyawan seperti di BP. Yang bisa nyamain ketika itu cuma Pertamina, Neng. Tapi sayang, Balai Pustaka harus ditutup, bangkrut. Kita para karyawan diberi pesangon setelah setahun kemudian. Pesangonnya lumayan banyak, ratusan juta. Tapi keterlambatan itu membuat karyawan kesal dan kecewa. Bapak sendiri sedih mengenang penerbit tertua itu harus tutup atas nama bisnis tanpa air mata. BP itu saksi perjalanan literasi Indonesia, Neng. Ia yang memonopoli penerbitan buku pada masa kolonialisme. Saksi perjuangan tokoh-tokoh bermisi literasi yang menggerakkan Indonesia melalui sastra.” kenang Bapak itu dengan mata menerawang.

Bapak itu selanjutnya menceritakan tentang dirinya. Ia yang disuruh skolah PGRI oleh orang tuanya namun tidak mau. Dan perjalanan hidup akhirnya membawanya sebagai supir angkot. Ia juga mengatakan bahwa ia berteman baik dengan Taufik Ismail, bahkan pernah berkali-kali menginap di rumah sastrawan dan budayawan itu. Ia menyebutkan nama istri Bapak Taufik yang kemudian aku tahu bahwa wanita itu telah meninggal. Bapak Supir itu juga bilang bahwa ia sudah sering mengantarkan Bapak (aku lupa namanya) kemana-mana. Yang jelas orang yang disebutkannya ini pernah memimpin BP dan beberapa jabatan bergengsi lainnya hingga jadi Dubes. Bapak itu juga menceritakan sebab-sebab gulung tikarnya BP oleh ‘seseorang alumni IPB’. Yang jelas Bapak Supir itu menceritakan dengan detail hanya saja aku tidak kepikiran untuk merekam, jadinya lupa deh hal-hal detail seperti nama, tahun, dan beberapa hal lain. Bahkan aku tidak sempat menanyakan nama Bapak Supir berkaca mata itu.

Percakapan tentang BP selesai. Waktu menunjukkan pukul 06.30 dan masih aku sendiri yang duduk di kursi belakang angkot itu. aku mulai resah. Tapi sebisa mungkin tidak kuperlihatkan.

Selanjutnya Bapak itu menunjukkan foto ketiga anaknya. Bapak ini sudah tua, tapi anak paling tuanya aja masih duduk di bangku SMP. Aku tiba-tiba dihinggapi rasa kasihan.

“Ini anak Bapak yang perempuan. Mirip orang India, kan?”

Aku mengangguk. Menjawab iya.

“Bapak kan dari Aceh. Di Aceh itu ada tiga jenis orang selain Aceh asli, mata sipit keturunan China, Kulit putih mata biru keturunan Eropa dan kulit agak gelap hidung mancung keturunan India. Masih ingatkan tentang kerajaan Islam pertama di Indonesia?”

“Samudra Pasai.” Jawabku cepat dan dibetulkan oleh Bapak itu.

“Ngomong-ngomong soal India, siapa aktor favoritnya Neng?”

“Hmm...Aamir Khan.”

“Kalau Bapak itu bukan levelnya, Neng. Mungkin soal umur. Bapak kenalnya Dharmendra yang sekarang anaknya juga jadi artis, Bobby Deol dan Sunny Deol. Terus Amitabh Bhachan, Dev Anand, Rekha, Hema Malini, Rishi Kapoor, Annil Kaporr...” sebutnya dengan nama-nama lainnya yang aku tidak ingat. Hebat! Bahkan Bapak ini tahu tentang kehidupan para artis jaman dulu itu, semua judul filmnya hingga lagu-lagunya, bahkan juga nama-nama grup dancer yang mengiringi lagu-lagunya. Aku hanya mangguk-mangguk karena memang tidak tahu. Berbeda kalau Bapak itu bercerita tentang Aamir Khan, Shahrukh Khan, Salman Khan, Abhisek Bachan, Uday Copra, Imran Khan, Aditya Roy Kapoor, Ajay Devgan, Jirmy Sergil, Arjun Rampal, Kajol, Preity Zinta, Kareena Kapoor, Rani Mukherjee, Katrina Kaif, Shraddha Kapoor, dan artis-artis yang sekarang masih eksis. Aku pasti paling nyambung.
 
Sumber: klik di sini

“Tahunya kuch kuch ho ta hai ya, Neng?”

“Abis yang Bapak sebutkan itu artis-artis dan film-film yang eksis sebelum saya lahir, sih.” Ucapku yang membuat Bapak itu terkekeh.

“Bahasa India itu akar bahasanya dari bahasa Urdu, Neng. Terus dicampur-campur sama bahasa Inggris. Tahu kenapa?”

“Biar keren aja lah, Pak.” Jawabku sekenanya.

“Karena India bekas jajahan Inggris.” Ucap Bapak itu membuatku malu setengah pingsan. Aduh, ketahuan banget sih o’on-nya.

“Hayo, ada tahu bahasa India nggak?”

Aku kembali menggeleng.

“Dibilangin bahasa India itu mirip sama bahasa Inggris. Coba ya, ‘saya’ bahasa Inggris-nya apa?”

“I [ai].”

“Yang lain?”

“Me [baca: mi]”

“Nah, kalau bahasa India-nya ‘saya’ itu ‘me [baca: me]’. Kalau ‘kamu’ apa?”

“Tum.” Jawabku sambil tertawa.

“Kok pinter?”

“Iya, dong.”

“Bapak itu suka sama film India karena jalan ceritanya itu tidak jauh berbeda dengan kenyataan. Anak Polisi jadi penjahat. Anak penjahat jadi Polisi. Kasus sengketa tanah.”

Bapak itu terus bercerita sementara hatiku mulai gelisah. Sekarang sudah tepat pukul 07.00 dan itu artinya aku sudah pasti terlambat satu jam. Baru setelah sepuluh menit kemudian angkot terisi oleh empat mahasiswa lain dan Bapak Supir itupun segera tancap gas menuju Kampus Dalam. 

Biarpun ngetemnya lama, tapi aku merasa dapat pengetahuan dari Bapak itu. Karena pembicaraan tadi aku jadi tertarik untuk mengetahui tentang Balai Pustaka. Tadi sehabis maghrib aku sudah membacanya di internet. 
 
Sumber: klik di sini
Kita tak memerlukan juru selamat untuk membuat Balai Pustaka terus hidup. Negara sudah abai literasi. Uang terus jadi godaan di dunia perbukuan. Nasib Balai Pustaka seolah takdir: selesai setelah melalui jalan waktu. Kita masih bisa menaruh buku-buku terbitan Balai Pustaka edisi lawas di rak. Buku-buku itu bakal bercerita, mengingatkan akan sejarah bahasa dan napas sastra di Indonesia. Kita juga bisa mengenang Balai Pustaka dari petikan-petikan biografi para tokoh sastra. Balai Pustaka bukan sekadar institusi penerbitan, buku, perpustakaan. Balai Pustaka adalah Indonesia dalam selebrasi bahasa dan pesan.”

Tulisan di atas cukup membuatku terharu. Semoga Bapak Supir itu dan semua pekerja di Balai Pustaka dahulu selalu berada dalam perlindungan-Nya. Melalui tangan dan pemikiran merekalah sastra Indonesia bisa seperti sekarang. Balai Pustaka adalah sejarah literasi yang agung, tempat penulis legendaris negeri ini membesarkan karyanya, tempat buku-buku yang merekam kisah-kisah masa lalu Indonesia, dan tempat para sastrawan kita berjuang dengan senjata kata. Semoga kita bukan termasuk dari mereka yang mengabaikan sejarah.


 Bogor, 25 Desember 2013




8 comments:

  1. hhmmm Balai Pustaka emang terkenal sampai sekarang....sayang sekali kalau sekarang kurang perhatian

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bukan cuma kurang perhatian Mas, tapi udah tutup. Miris banget memang . . .

      Delete
  2. dulu, sewaktu SMA, saya suka membaca novelnya BP, contohnya Salah Asuhan dan Siti Nurbaya, bahasanya indah.. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. waah...berarti saya aja nih yg nggak pernah baca novel2 lama. Makasih kunjungannya :)))

      Delete
  3. Azab dan sengsara, Di bawah lindungan kabah, siti nurbaya, Belenggu...itu bacaan saya waktu SD-SMP. *Ketauan deh umur saya hehehe :))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Berarti kalau Mak Dwina yang ketemu sama si Bapak Supir pasti nyambung banget... Maksih mak udah berkunjung :)))

      Delete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...