Thursday 10 October 2013

Komunis dan Titip Rindu Buat Ayah

Dua tokoh komunis dunia, Lenin dan Stalin
kali ini aku ingin bercerita sedikit tentang sejarah dan keluargaku. Bukan, ini bukan sejarah keluargaku yang akan menceritakan siapa buyut-buyutku. Ini benar-benar tentang sejarah  seperti yang kau baca di buku-buku. Inspirasi tulisan ini bersumber dari dua hal, yang pertama adalah karena tulisan Kang Abik dalam novel Bumi Cinta pada bagian ke-11, yang kedua adalah dari cerita keluargaku, Ayahku.


Pada bagian ke-11 novel Bumi Cinta, diceritakan tentang catatan kelam yang telah dituliskan para pemimpin komunis dunia, yaitu Lenin dan Stalin. Dengan didasari ideologi komunis dari Karl Marx dan dengan slogan "tanah", "roti" dan "perdamaian", Lenin menggerakkan partai Bolshevik yang radikal untuk memberontak dan mengambil alih kekuasaan Rusia dengan cara kekerasan. Serangan pertama gagal. Lenin menganggap kegagalan ini karena kekerasan yang digunakannya kurang maksimal. Maka pada bulan Nopember 1917, pemberontakan ke-2 dilancarkan dengan kekerasan yang lebih gila.
Perlu diketahui, Lenin lebih kejam dari Karl Marx. Jika Karl Marx hanya menggunakan kediktatoran proletariat sesekali saja, Lenin mempraktikkan kediktatoran total.

Kekejaman Lenin terus mewarnai tanah Soviet dengan tinta kelam. Keluarga Tsar Nicolas Romanov dihabisi dengan cara yang biadab dan keji. Keluarga Tsar dan pengikutnya yang disekap di pegunungan Ural dibangunkan pada tengah malam. Lalu dibawa ke gudang di bawah tanah. Mereka dipukuli sampai mati. Kaum perempuan diperkosa kemudian dicincang. Tsar dan keluarganya pun ikut dicincang, dibakar hidup-hidup, lalu bangkainya dibuang ke sumur.

Setelah Lenin mati karena digerogoti penyakit, kediktatoran dilanjutkan oleh penerus Lenin, yaitu Stalin.
Stalin memerintah dengan kekejaman yang berada di atas kekejaman zaman Lenin. Jutaan nyawa melayang di ujung telunjuk Stalin. Bahkan ketika tentara Soviet memasuki Jerman, tak kurang dari 2 juta perempuan diperkosa oleh tentara Soviet, dan itu menjadi pemerkosaan terbesar dalam sejarah peradaban umat manusia di muka bumi.

Kisah mengerikan lainnya pada zaman Stalin adalah kisah anak gadis Alikhanova. Gadis berumur 16 tahun itu dibawa ke tempat investigasi sang Ayah, dan diperkosa di hadapan sang Ayah. Setelah itu, gadis itu dibunuh dengan cara yang keji. Dan sang Ayah dipaksa menandatangani seluruh pengakuan keji, bahwa anak gadisnya telah dibebaskan dari tahanan, namun tewas karena melindaskan diri pada kereta api. Na'udzubillah...

Begitulah sedikit kisah tentang dua orang pemimpin komunis yang telah membuat catatan kelam. Di satu sisi mereka dielu-elukan, dianggap pahlawan, namun lihatlah di sisi lain. Betapa banyak air mata yang telah tumpah demi mewujudkan impian mereka, betapa banyak darah yang mengalir sia-sia, betapa perih sakit yang diderita rakyat yang tak berdosa. Sejatinya, mereka tidak pernah menang! Mereka hanya mencoret sejarah peradaban manusia dengan tinta menjijikkan.

Lalu di Indonesia, kita pun memiliki sejarah kelam yang dilukis para komunis, oleh PKI. Dalam novel Bumi Cinta, Ayyas teringat tentang kakeknya, seorang Imam Mushola dan petani miskin, juga ikut menjadi korban PKI. Ia digorok ketika melaksanakan shalat subuh berjamaah.

Coba teman-teman kembali membaca ulang sejarah. Ketika PKI menculik dan membunuh dengan keji para perwira TNI kita. Ketika rakyat yang tak tahu apa-apa digiring ke pinggir danau, disuruh membentuk satu shaf panjang, lalu diberondong senjata. Padahal mereka hanya para petani, para buruh, para seniman, yang awalnya membubuhkan tanda tangan sekadar demi sebuah janji. Janji bantuan berupa perlengkapan tani atau sedikit uang. Mereka tidak pernah tahu bahwa tanda tangan itu adalah persetujuan mereka menjadi pengikut PKI.

Teman-teman, sejarah ini mungkin tak ada bekasnya dalam hatimu. Karena kau tak merasakan sendiri derita para tumbal PKI. Namun berbeda denganku, Kakekku adalah salah satu korban kekejian komunis. Cerita tentang Kakek selalu mengalir dari lisan Ayah dan bibik (adik Ayah satu-satunya) dengan air mata menggenang di pelupuk mata. Aku memang tak pernah tahu sosok Kakekku. Jadi sangat kecil kemungkinan aku bisa merasakan derita kakekku. Tapi, nyatanya aku tak mampu menahan sesak di dadaku ketika mengetahui kisah itu. Aku menangis. Bukan karena nasib Kakek, melainkan karena aku kasihan pada Ayah. Laki-laki yang mencurahkan kasih sayang dengan sempurna padaku dan keluargaku. Laki-laki yang dulu memandikanku, mengajariku membaca Alquran, mengantarkanku ke sekolah, mencarikan obat ketika aku sakit, mengantar dan menjemputku di pelabuhan, menasehatiku sambil menepuk pundakku. Aku merasakan derita yang melukai Ayah.

Kakek adalah ketua perkumpulan ketoprak di salah satu desa di Punung, Pacitan sana. Karena dijanjikan akan mendapat bantuan berupa alat-alat musik baru, kakek pun menanda tangani sebuah kertas. Tak tahunya, ia dimasukkan ke dalam anggota PKI. Ketika ada perintah pembersihan habis PKI dan pengikutnya,  dari pemerintahan Soeharto. kakek mengetahui dari teman-temannya, bahwa ia termasuk ke dalam daftar sebagai anggota PKI.

Beberapa teman-teman Kakek yang tertangkap terlebih dahulu, telah menghadap Tuhan, meninggalkan anak-istri. Apa peduli pemerintah kala itu? Tidak ada! Karena pemerintah hanya terpaku pada daftar di atas kertas. Siapapun yang tertulis di sana, berarti dia adalah anggota PKI, dan harus dimusnahkan dari muka bumi. Ah, kekejaman komunis memang harus dibalas dengan kejam juga, tapi aku tak setuju dengan keputusan pemerintah kala itu. Karena ada ribuan pribumi yang sebagian tak tahu tulis baca harus mati dengan hina. Seolah mereka adalah pembunuh dan pembuat onar di mana-mana. Padahal setiap harinya mereka hanya tahu soal sawah, kambing, dan singkong di kebun. Ada juga yang hanya sebagai buruh kasar. Mereka tak mungkin paham pada urusan partai yang berantai ke mana-mana.

Tapi, apa mau dikata? Keputusan sudah dibuat, dan ribuan pribumi kenyataannya telah mati. Tak ada yang perlu dibahas, kecuali tinggal sekadar mengenangnya kembali.

Kembali pada Kakekku. Setelah bermusyawarah dengan keluarga (Ayah berumur 7 tahun, dan bibik berumur 3 tahun kala itu), diputuskan Kakek harus meninggalkan rumah sebelum para petugas menemukannya. Kakek pergi dengan pakaian sekadarnya dalam buntalan kain. Aku tak bisa membayangkan betapa sedihnya Ayahku waktu itu. Umurnya masih 7 tahun. Masih kelas satu SD. Ayah mengantarkan kepergian Kakek hingga di depan pintu. Tak ada yang tahu ke mana tujuan Kakek saat itu. Yang jelas ia akan mencari tempat yang aman.

Waktu berlalu. Beberapa bulan setelah kepergian Kakek. Ayah kecilku menemani sang Ibu berbelanja di pasar Punung, Pacitan. Di tengah hiruk pikuk pasar itulah, Ayah bertemu kembali dengan Kakek. Tak lama. Kakek hanya sempat menyelempangkan selembar sarung di bahu Ayah dan mencium keningnya, setelah itu Kakek kembali menghilang entah ke mana. Itulah pertemuan terakhir Ayah dengan ayahnya. Selanjutnya jalan hidup berliku yang dilalui Ayah dan Bibik masih panjang, tak cukup jika kuceritakan di sini, hingga pada umur 16 tahun Ayah dan Bibik menyusul sang Ibu ke Sumatra. Ke pulau kecil bernama Penyalai.

Hingga sekarang, tak ada yang tahu kabar Kakek. Apakah beliau masih hidup, atau sudah mati, tak ada yang tahu. Ayah dan Bibik telah menganggap Kakek sudah meninggal. Setiap mengirim doa arwah, nama Kakek selalu disebutkan. Harapanku, apabila beliau masih hidup, semoga beliau hidup dalam mencintai dan dicintai-Nya, dan apabila sudah meninggal, semoga ia meninggal dalam khusnul khotimah. Aamiiin...

Ayah, tahukah, aku telah menulis surat untukmu dalam jurnal harianku. Surat yang tak mungkin kuberikan padamu. Dan tak mungkin kau membacanya. Surat itu hanya sekadar curahan hatiku ketika aku benar-benar bingung, ketika aku membutuhkan kekuatan darimu. Tak mudah hidup jauh darimu, Ayah. Tapi aku paham, hidupmu jauh lebih keras dari apa yang kualami sekarang. Tapi kau tetap kuat, kau tetap menebar manfaat untuk orang-orang di sekitarmu.

Ayah, kemaren peci birumu terbawa dalam tasku. Aku sudah menyucinya dan menggantungkan di dinding kamarku. Apabila aku sedang bingung, takut, sedih, ataupun senang, aku selalu mengambil peci itu dan berbicara sendiri, seolah-olah kau sedang duduk di sampingku, mendengarkanku, menasehatiku, atau memberi selamat padaku.

Sumber klik di sini
Ayah, aku tak akan lupa pada semua nasehatmu. Aku juga tak akan melepas mimpimu yang pernah kau ceritakan, mimpimu adalah mimpiku juga, Ayah. Mimpi keluarga kita.

Semoga Allah swt selalu mencurahkan cinta-Nya padamu, Ayah...

Ayah, doakan aku selalu.

Bogor, 11 Oktober 2013
(Lagu "Titip Rindu Buat Ayah" Ebiet G Ade menemani proses penulisan)

3 comments:

  1. Kasiiian yaa Kakek nya Shofy..
    Kasiian nya Ayah Shofy yang menanti kedatangan ayah, terlebih juga mencemaskan keadaan kakek saat itu.. kejinya merek (PKI)
    Aku baru tau sekarang, kalo Shofy bs terlahir dan besar di Pulau penyalai karena Ayah dan bibik Shofy merantau ke sana...
    Lanjutkan Cerita nya lagi dong Fhy di lembaran baru... tentang Nenek/Ibu ayah Shofy di penyalai...
    kan belum ada di ceritakan kenapa nenek bisa singgah dahulu di penyalai.
    *aduh, kepo deh jadinya*

    di akhir cerita nya sedih bangett say, Aku ikutan menangiss.. :'((((
    Baik** disana yaah Nakkk... Kamu putriku yg hebatt, dan Ayah percaya Kamu pasti BISA... melewati perjalanan kuliah dan kesuksesan kelak menantimu..

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...