|
Sumber: klik di sini |
Pukul 05.30 pagi tadi
aku sudah rapi dan segera meninggalkan kontrakan dengan tas ransel yang
beratnya lumayan. Laptop, minuman, buku, jas almamater komunitasku, dan celana
ganti. Tujuanku tentu saja Dramaga, karena ada dua rapat yang harus kuikuti.
Yang pertama dengan kru majalah dan kedua dengan panitia Semarak Ulang Tahun
CSS MoRA IPB. Rapat dengan kru majalah dimulai pukul 06.00, jadi aku sudah
yakin bakal terlambat. Jarak Baranang Siang-Dramaga minimal bisa ditembus dalam
waktu hampir satu jam, belum lagi urusan macet dan angkutan yang ngetem seenak
jidat. Awalnya aku berniat untuk izin tidak mengikuti rapat dengan kru majalah
karena waktunya yang terlalu pagi, tapi mengingat jalanan di depan sana yang
akan semakin ramai seiring matahari yang semakin tinggi, dan aku paling fobia
soal menyebrang jalan, jadi kuputuskan untuk berangkat pagi sebelum jalanan
ramai.
Perjalanan dari
Baranang Siang hingga Laladon bisa dibilang sangat lancar. Udara masih sejuk,
angkotnya juga tidak ngetem di stasiun, dan supirnya menyetir tidak
ugal-ugalan. Hanya butuh dua puluh menit aku sudah tiba di Laladon, selanjutnya
aku harus berganti trayek angkot, yaitu angkot biru jurusan Kampus Dalam. Hampir
lima menit aku menunggu angkot Kampus Dalam itu keluar dari kandangnya. Tentu
saja aku jadi orang pertama yang duduk di sana. Wah, pasti lama sekali
ngetemnya. Tak beberapa lama pak supir yang tadinya keluar datang dan duduk di
belakang stirnya.
“Kalau liburan mah
sepi, Neng. Malam tadi yang ramai, sampai pukul 02.00 Bapak ngantarin
anak-anak. Katanya pada pulang nonton. Memang ada film apa, ya?” Tanya Bapak
Supir yang kutebak berumur di atas enam puluh tahun.
“Ada 99 Cahaya di
Langit Eropa, ada juga Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Pak.” Jawabku sambil
sibuk dengan ponsel.
“Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijk itukan cerita lama, Neng. Pernah diterbitkan di BP. Pernah difilmin
juga dulu. Neng tahu BP?”
Aku menggelengkan
kepala. Tertawa sambil mengatakan tidak. Selanjutnya Bapak itu seperti kecewa. Ia
menanyakan jurusanku dan tahun lulus SMA. Ia juga sempat menceritakan kembali
kronologi tenggelamnya kapal Van Der Wijk. Ada juga beberapa konferensi dan
pertemuan-pertemuan jaman dulu yang ia sebutkan dan aku lupa namanya.
“Kok bisa nggak tahu
BP? Coba ingat-ingat lagi. Tahu novel Salah Asuhan karya Abdul Muis?”
“Tahu dong, judulnya
aja, Pak.”
“Novel Siti Nurbaya?
Azab dan Sengsara? Layar Terkembang? Di Bawah Lindungan Kakbah? Belenggu?”
Aku kembali mengatakan
bahwa itu judul novel-novel yang sering muncul di buku bahasa Indonesia dulu
dan aku hanya sekadar tahu, belum pernah membacanya. Bapak itu tersenyum sambil
geleng-geeng kepala. Ia kemudian menyebutkan nama-nama pengarang novel-novel
tersebut, dan sedikit tentang Si Penulis.
“Kalau buku Habis Gelap
Terbitlah Terang oleh Armijn Pane?”
“Tahu, Pak. Itu
kumpulan surat-suratnya RA. Kartini, bukan?”
“Nah, gitu pintar. Jadi
Habis Gelap Terbitlah Terang itu bukan novel, melainkan cuma berisi
surat-suratnya Kartini untuk teman-temannya yang pindah ke Belanda. Kalau sekarang isi buku ini lebih dikenal dengan pelopor emansipasi wanita. Jadi sudah tahu
apa kepanjangan BP?”
Sejauh percakapan kami,
jujur aku merasa heran dengan Bapak Supir ini, ia tampaknya hapal di luar
kepala tentang novel-novel lama itu. Jarang sekali ada supir yang memiliki
minat seperti Bapak ini.
“Hmm...BP? Balai
Pustaka!!!” ucapku sumringah, bahagia seperti seseorang yang mampu menjawab
soal terakhir pada kuis Who Wants To Be Millionare saja.
“Kok bisa kepikiran ke
Balai Pustaka?”
“Ya..hmm...nyambung aja
ke sana. Lagipula kayaknya nama Balai Pustaka itu nggak asing. Benar kan, Pak?”
Bapak itu tersenyum
lagi dan mengangguk. Aku berucap ‘yess’.
“Percaya nggak kalau
Bapak ini pensiunan Balai Pustaka?”
Aku diam sejenak. Masak
iya ada pensiunan penerbit segitu besarnya yang menjadi supir angkot?
“Bisa jadi, Pak. Soalnya
Bapak tahu banyak tentang buku-buku dan penulisnya.”
“Percaya, nggak?”
tanyanya lagi seolah dia hanya meminta kepastianku.
“Percaya.” Jawabku akhirnya
“Nah, kalau Neng
percaya, ini Bapak tunjukkan kartu identitas Bapak ketika bekerja di BP.”
Bapak itu mengulurkan
kartu kecil berwarna biru. Aku membolak-balikkannya sejenak lalu memberikannya
kembali padanya.
“Dua puluh tahun Bapak
bekerja di BP, Neng. Dari tahun 1990 hingga 2010. Sudah tahu tentang BP sampai
akar-akarnya. Dulu kita karyawan BP hidup makmur, Neng. Gajian 15 kali dalam
setahun, bahkan pernah sampai 16 dan 17 kali. Bagaimana coba bisa sampai gajian
15 kali?”
“Gajian setiap bulan
selama setahun, 12 kali. Tiga kali lagi...hmm...nggak tahu saya, Pak.”
Kemudian dengan penuh
semangat Bapak itu menguraikan bahwa tiga sisanya adalah: uang THR, uang ketika
ada hal-hal yang berhubungan dengan sekolah seperti ujian, dan yang ketiga
ketika??? (Aduh, maaf aku lupa).
“Nggak ada yang bisa
memberi kenyamanan pada karyawan seperti di BP. Yang bisa nyamain ketika itu cuma
Pertamina, Neng. Tapi sayang, Balai Pustaka harus ditutup, bangkrut. Kita para
karyawan diberi pesangon setelah setahun kemudian. Pesangonnya lumayan banyak,
ratusan juta. Tapi keterlambatan itu membuat karyawan kesal dan kecewa. Bapak
sendiri sedih mengenang penerbit tertua itu harus tutup atas nama bisnis tanpa
air mata. BP itu saksi perjalanan literasi Indonesia, Neng. Ia yang memonopoli
penerbitan buku pada masa kolonialisme. Saksi perjuangan tokoh-tokoh bermisi
literasi yang menggerakkan Indonesia melalui sastra.” kenang Bapak itu dengan
mata menerawang.
Bapak itu selanjutnya
menceritakan tentang dirinya. Ia yang disuruh skolah PGRI oleh orang tuanya
namun tidak mau. Dan perjalanan hidup akhirnya membawanya sebagai supir angkot.
Ia juga mengatakan bahwa ia berteman baik dengan Taufik Ismail, bahkan pernah
berkali-kali menginap di rumah sastrawan dan budayawan itu. Ia menyebutkan nama
istri Bapak Taufik yang kemudian aku tahu bahwa wanita itu telah meninggal.
Bapak Supir itu juga bilang bahwa ia sudah sering mengantarkan Bapak (aku lupa
namanya) kemana-mana. Yang jelas orang yang disebutkannya ini pernah memimpin
BP dan beberapa jabatan bergengsi lainnya hingga jadi Dubes. Bapak itu juga
menceritakan sebab-sebab gulung tikarnya BP oleh ‘seseorang alumni IPB’. Yang
jelas Bapak Supir itu menceritakan dengan detail hanya saja aku tidak kepikiran
untuk merekam, jadinya lupa deh hal-hal detail seperti nama, tahun, dan
beberapa hal lain. Bahkan aku tidak sempat menanyakan nama Bapak Supir berkaca mata itu.
Percakapan tentang BP
selesai. Waktu menunjukkan pukul 06.30 dan masih aku sendiri yang duduk di
kursi belakang angkot itu. aku mulai resah. Tapi sebisa mungkin tidak
kuperlihatkan.
Selanjutnya Bapak itu
menunjukkan foto ketiga anaknya. Bapak ini sudah tua, tapi anak paling tuanya
aja masih duduk di bangku SMP. Aku tiba-tiba dihinggapi rasa kasihan.
“Ini anak Bapak yang
perempuan. Mirip orang India, kan?”
Aku mengangguk. Menjawab
iya.
“Bapak kan dari Aceh. Di
Aceh itu ada tiga jenis orang selain Aceh asli, mata sipit keturunan China,
Kulit putih mata biru keturunan Eropa dan kulit agak gelap hidung mancung
keturunan India. Masih ingatkan tentang kerajaan Islam pertama di Indonesia?”
“Samudra Pasai.” Jawabku
cepat dan dibetulkan oleh Bapak itu.
“Ngomong-ngomong soal
India, siapa aktor favoritnya Neng?”
“Hmm...Aamir Khan.”
“Kalau Bapak itu bukan
levelnya, Neng. Mungkin soal umur. Bapak kenalnya Dharmendra yang sekarang
anaknya juga jadi artis, Bobby Deol dan Sunny Deol. Terus Amitabh Bhachan, Dev
Anand, Rekha, Hema Malini, Rishi Kapoor, Annil Kaporr...” sebutnya dengan
nama-nama lainnya yang aku tidak ingat. Hebat! Bahkan Bapak ini tahu tentang
kehidupan para artis jaman dulu itu, semua judul filmnya hingga lagu-lagunya, bahkan juga nama-nama grup dancer yang mengiringi lagu-lagunya.
Aku hanya mangguk-mangguk karena memang tidak tahu. Berbeda kalau Bapak itu
bercerita tentang Aamir Khan, Shahrukh Khan, Salman Khan, Abhisek Bachan, Uday
Copra, Imran Khan, Aditya Roy Kapoor, Ajay Devgan, Jirmy Sergil, Arjun Rampal,
Kajol, Preity Zinta, Kareena Kapoor, Rani Mukherjee, Katrina Kaif, Shraddha
Kapoor, dan artis-artis yang sekarang masih eksis. Aku pasti paling nyambung.
|
Sumber: klik di sini |
“Tahunya kuch kuch ho
ta hai ya, Neng?”
“Abis yang Bapak
sebutkan itu artis-artis dan film-film yang eksis sebelum saya lahir, sih.” Ucapku
yang membuat Bapak itu terkekeh.
“Bahasa India itu akar
bahasanya dari bahasa Urdu, Neng. Terus dicampur-campur sama bahasa Inggris. Tahu
kenapa?”
“Biar keren aja lah,
Pak.” Jawabku sekenanya.
“Karena India bekas
jajahan Inggris.” Ucap Bapak itu membuatku malu setengah pingsan. Aduh,
ketahuan banget sih o’on-nya.
“Hayo, ada tahu bahasa
India nggak?”
Aku kembali menggeleng.
“Dibilangin bahasa
India itu mirip sama bahasa Inggris. Coba ya, ‘saya’ bahasa Inggris-nya apa?”
“I [ai].”
“Yang lain?”
“Me [baca: mi]”
“Nah, kalau bahasa
India-nya ‘saya’ itu ‘me [baca: me]’. Kalau ‘kamu’ apa?”
“Tum.” Jawabku sambil
tertawa.
“Kok pinter?”
“Iya, dong.”
“Bapak itu suka sama
film India karena jalan ceritanya itu tidak jauh berbeda dengan kenyataan. Anak
Polisi jadi penjahat. Anak penjahat jadi Polisi. Kasus sengketa tanah.”
Bapak itu terus
bercerita sementara hatiku mulai gelisah. Sekarang sudah tepat pukul 07.00 dan
itu artinya aku sudah pasti terlambat satu jam. Baru setelah sepuluh menit
kemudian angkot terisi oleh empat mahasiswa lain dan Bapak Supir itupun segera
tancap gas menuju Kampus Dalam.
Biarpun ngetemnya lama,
tapi aku merasa dapat pengetahuan dari Bapak itu. Karena pembicaraan tadi aku
jadi tertarik untuk mengetahui tentang Balai Pustaka. Tadi sehabis maghrib aku
sudah membacanya di internet.
|
Sumber: klik di sini |
“Kita tak memerlukan juru selamat
untuk membuat Balai Pustaka terus hidup. Negara sudah abai literasi. Uang terus
jadi godaan di dunia perbukuan. Nasib Balai Pustaka seolah takdir: selesai
setelah melalui jalan waktu. Kita masih bisa menaruh buku-buku terbitan Balai Pustaka
edisi lawas di rak. Buku-buku itu bakal bercerita, mengingatkan akan sejarah
bahasa dan napas sastra di Indonesia. Kita juga bisa mengenang Balai Pustaka
dari petikan-petikan biografi para tokoh sastra. Balai Pustaka bukan sekadar
institusi penerbitan, buku, perpustakaan. Balai Pustaka adalah Indonesia dalam
selebrasi bahasa dan pesan.”
Tulisan di atas cukup
membuatku terharu. Semoga Bapak Supir itu dan semua pekerja di Balai Pustaka
dahulu selalu berada dalam perlindungan-Nya. Melalui tangan dan pemikiran
merekalah sastra Indonesia bisa seperti sekarang. Balai Pustaka adalah sejarah
literasi yang agung, tempat penulis legendaris negeri ini membesarkan karyanya,
tempat buku-buku yang merekam kisah-kisah masa lalu Indonesia, dan tempat para
sastrawan kita berjuang dengan senjata kata. Semoga kita bukan termasuk dari
mereka yang mengabaikan sejarah.
Bogor, 25 Desember 2013