Friday, 23 January 2015

Mereka Bilang Aku Tinggal di Turki?


Sejak aku memposting sekian tulisan tentang keinginanku untuk berkunjung ke Turki, entah mengapa banyak pula email yang masuk dan komentar-komentar yang beranggapan salah. Mereka menyangka aku sekarang sedang berkuliah di Turki, sudah menikah dengan pria Turki, atau ada juga yang bilang aku sedang kerja di Turki. Beberapa bulan lalu, inbox emailku kedatangan dua buah email curhatan yang panjangnya udah kayak jalan lintas Sumatra. Suka sih bacanya, tapi sedih juga karena secara tidak langsung mereka menyakitiku. Secara, aku aja pengen ke sana.


Beberapa hari lalu, lagi-lagi kedatangan email yang isinya meminta aku untuk jadi tour giude keluarganya selama jalan-jalan di Turki tidak lama lagi. Dia menyangka aku mahasiswa Indonesia yang sedang berkuliah di sana (pengennya juga gitu). Akibatnya harus menjelaskan lagi bahwa aku cuma suka sama negara itu, bukan tinggal di sana.



“Lho, bukannya di blog mbak bilang begitu, ya? Saya kira mbak Sofia sedang kuliah di Turki. Apa saya yang bacanya kecepatan?” balasnya.

Aku cuma bisa meringis. Perasan di semua postinganku yang berbau Turki, gak pernah deh aku bilang sedang tinggal di Turki, kuliah di sana, atau menikah dengan orang sana. Ini menyimpulkan dari mananya?

Dan tadi, lagi-lagi sebuah komentar di salah satu postingan masuk ke emailku, intinya seorang wanita ini pengen cerita secara personal (aku terka sih tentang hubungannya dengan pria Turki), jadi dia minta alamat email gitu. Aduh, emang dia gak baca kalau postingan itu jelas-jelas kuberi judul COPY-PASTE, ditambah keterangan kalau itu benar-benar dicomot 100% dari wordpress-nya seseorang, kukasih link blognya malah. Di paragraf pertama lho! Memangnya gak dibaca? Sepertinya postingan yang satu itu memang harus dihapus, lagian aku postingnya jadoel, udah lupa kapan tepatnya.

Setelah mengalami kejadian-kejadian aneh inilah, aku sadar betapa repotnya Mbak Sri Zehra pemilik grup belajar bahasa Turki gratis. Kurasa inbox facebooknya beliau lebih penuh dengan curhatan ketimbang yang serius menanyakan pelajaran. Sama nasibnya kayak Mbak Rahma, perempuan satu anak yang sekarang tinggal di Istanbul, sekaligus punya segudang cerita kehidupannya di wordpress, juga kebanjiran pertanyaan dan curhatan seputar asmara. 

Yang bikin pusing, kebanyakan para curhaters itu (rata-rata para wanita) gak baca keterangan atau tulisan dengan detail. Contohnya, Mbak Rahma udah pernah posting tentang sifat pria Turki yang kebanyakan pencemburu, ini dan itu, termasuk si mertua yang umumnya suka mencampuri kehidupan keluarga anaknya. Ini udah panjang lebar dijelaskan, eh di komentar bermunculan lagi pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya udah ada jawabannya. Kan, lagi-lagi mbak Rahma harus menjelaskan. Pantas kalau mereka sampai kualahan.

Jadi, saranku untuk siapa pun yang mau curhat asmara ke siapa pun itu, sebaiknya dibaca dulu dengan seksama meski dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Kita bertanya aja udah ngerepotin orang lho, so kalau bisa jangan bikin narasumber jadi makin kerepotan. Aku sih gak ngalamin seutuhnya kayak Teh Sri dan Mbak Rahma, tapi banyaknya email salah sangka yang datang beberapa bulan terakhir, sedikit sebanyaknya buat aku jadi ngerti bagaimana rasanya. Semoga habis ini gak ada lagi email yang salah sangka masuk ke inbox-ku. Sama-sama berdoa ya, moga bisa jalan-jalan ke Turki suatu saat nanti.

Tuesday, 20 January 2015

[RESENSI] Ada Apa dalam Buku Bulan Terbelah di Langit Amerika?



Akhir-akhir ini berita tentang penembakan di salah satu majalah kontroversial Charlie Hebdo sedang menjadi trend berita internasional. Lagi-lagi Islam ditunjuk sebagai pelaku penembakan yang menewaskan 12 orang tersebut. Isu terrorism kembali muncul ke permukaan, tak ubahnya tanaman yang daunnya mulai kuning satu saja, maka banyak orang yang panik, mencari-cari cara menemukan air untuk segera menyiramnya. Seolah-olah isu ini tak boleh hilang, karena seluruh dunia sebenarnya tahu, jika tanpa isu ini Islam tentu akan merebak cepat merengkuh hati seluruh penduduk negara-negara Barat. 

Bulan Terbelah di Langit Amerika, aku merasa menjadi satu-satunya orang yang beruntung ketika memutuskan untuk membeli dan membacanya dalam kondisi sekarang ini. Tema yang diangkat bukanlah hal baru, tapi selalu dibutuhkan untuk memupuk kebanggaan sebagai Muslim. Lihatlah, aksi-aksi teroris yang jumlahnya tidak sedikit dan hampir semuanya menyeret Islam membuat muslim banyak menerima deskriminasi. Belum lagi pemberitaan di media-media Barat yang seolah berlomba untuk memojokkan Islam, selalu memuat gambar-gambar seram di bawah judul berita mereka. Sungguh jika tanpa keimanan yang kuat, keyakinan yang tak mampu ditembus, semua itu sangat mudah meluluh lantakkan kepercayaan diri seorang Muslim. Bahkan mungkin ada beberapa Muslim di luar sana yang mulai bertanya-tanya, benarkah Islam adalah agama pembawa kedamaian?

Nah, menjawab pertanyaan tersebut,  buku garapan Hanum Salsabiela dan Rangga Almahendra ini sangat kurekomendasikan untuk dibaca. Suami istri yang memiliki dua misi berbeda saat mendatangi Negeri Patung Liberti ini pada akhirnya bertemu di satu jalan cerita.  Ketika Rangga disibukkan oleh presentasinya dan impian menikmati setiap sudut Amerika Serikat bersama sang istri, perhatian Hanum justru tersita penuh oleh misinya menjawab sebuah pertanyaan “Akankah dunia lebih baik tanpa Islam?”.

Menuliskan tentang Islam di Negeri Paman Sam, tentu tidak akan pernah melupakan peristiwa kehancuran menara kembar di tahun 2001. Tak ada yang membantah, bahwa sejak peristiwa tersebut Islam justru berkembang pesat di negara adidaya tersebut. Tapi di lain sisi, jutaan kebencian pun tertanam dalam hati penduduk Amerika terhadap Islam. Sebagai akibatnya, tak sedikit Muslim yang bermukim di sana menerima perlakuan yang tidak bersahabat. Untuk Indonesia sendiri bisa terlihat dari sulitnya seseorang yang memiliki nama berbau Islam untuk masuk atau melanjutkan pendidikan di Amerika.

Kebencian non Muslim dan ujian untuk para Muslim pasca tragedi WTC itulah yang kemudian menemani perjalanan Hanum dalam buku ini. Kedua hal tersebut diwakili oleh Jones yang menjadi anti Islam sejak meninggalnya sang istri, dan Azima Hussein yang menjalani kehidupan tidak mudah sejak meninggalnya sang suami. Baik istri Jones atau suami Azima, keduanya sama-sama tewas dalam tragedi WTC yang juga menewaskan ribuan manusia lainnya. 

Ada beberapa pertanyaan yang nantinya akan terjawab setelah membaca buku ini,

Kenapa Julia Collins mengenakan turtle neck tinggi hingga menyentuh dagu dan telinga? Bagaimana detik-detik terakhir suami Azima menjemput ajalnya? Apa yang ingin ia berikan pada sang istri di hari itu? Benarkah istri Jones meninggal saat ia benar-benar sudah berada di puncak usaha untuk menyelamatkan diri? Benarkah Colombus adalah orang pertama yang menemukan benua Amerika? Benarkah Thomas Jefferson, pembelajar ilmu multidisiplin  dan meraih summa cumlaude untuk semua disiplin ilmu yang ia pelajari hingga menjadi presiden Amerika sekaligus pencipta The Jefferson Bible, juga memiliki dan mempelajari Al quran? Benarkah pahatan wajah nabi Muhammad saw ada di dinding Mahkamah Agung Amerika Serikat dengan judul lukisan ‘The Great Law Givers on Earth”? Dan benarkah potongan surah An Nisaa’ ayat 135 tertulis di gerbang Fakultas Hukum Universitas Harvard?

Menggetarkan. Ya, jangankan melihat atau mendengarkan langsung, membacanya saja sudah membuat hati bergetar. Siapa yang menyangka sebuah negara raksasa yang paling disegani di abad ini pada kenyataannya begitu dekat dengan Islam secara tidak langsung. Belum lagi saat membaca kalimat-kalimat Jefferson yang dipahat pada patungnya yang menghadap White House, semua orang rasanya tidak akan percaya.

Jefferson Memorial, dalam bangunan ini terdapat patung Jefferson. (Sumber: http://www.destination360.com)
“Harus ada cara untuk mengurangi jumlah penduduk dunia di negara-negara itu, anak muda,” ucap Pak Tua yang duduk di samping Rangga dalam bus menuju Washington DC.
“Maksudmu program pembatasan kelahiran?” Rangga bertanya baik-baik.
“Itu terlalu konvensional. Kita memerlukan cara yang efektif. Al quran-mu juga mengajarkan teori ini. Ehm, perang, perang, dan perang.”
“Kamu salah, Pak!” sergah rangga.
“Bukan demikian menginterpretasikannya. Kamu salah besar!” lanjut Rangga lagi.
Bagaimana Rangga bisa menjelaskan kesalah pahaman penafsiran Al quran oleh si Bapak Tua di atas? Dan bagaimana Hanum bisa menemukan satu titik terang bahwa dunia tidak akan lebih  baik tanpa Islam? Sebaiknnya langsung baca saja di bukunya.

Berbeda dengan dua buku sebelumnya, 99 Cahaya di Langit Eropa dan Berjalan di Atas Cahaya, yang merupakan catatan perjalanan sesungguhnya (fakta), Bulan Terbelah di Langit Amerika merupakan gabungan fakta dan fiksi. Akibatnya, pembaca tidak mampu membedakan mana yang benar-benar dialami oleh pasangan penulis dan mana yang hanya imajinatif. Menurutku, kejadian yang benar-benar fiktif itu berada di ending cerita. Karena terlalu manis dan dirasa cukup jauh untuk mencapai akhir seindah itu. Mungkin itu juga yang menjadi kekurangan buku ini dan membuat  beberapa pembaca setia agak kecewa. But, overall aku sangat menikmatinya.

Bagi teman-teman yang ingin memiliki buku setebal 346 halaman terbitan Gramedia Pustaka Utama ini bisa didapatkan di toko-toko buku dan Gramedia dengan harga Rp 75 000. Selamat membaca dan menemukan banyak hal menggetarkan. Semoga apa pun yang kita pilih untuk dibaca, bisa memperkaya pengetahuan dan memupuk keimanan kepada Allah swt. 
Demi matahari dan cahaya siangnya.
Demi bulan apabila mengiringinya.
Sungguh beruntung orang yang senantiasa menyucikan jiwa.
Pancarkan Islam. Tebarkan salam. Sinarkan kedamaian.
Semoga kedamaian, rahmat, dan berkah Allah menyertai kamu sekalian (hal 335).
Lots of Love
Sofia


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...