Showing posts with label Resensi Buku. Show all posts
Showing posts with label Resensi Buku. Show all posts

Wednesday, 20 May 2015

Kesanku [Resensi]: Novel Assalamualaikum Beijing!




Seperti kemarin,
pagi ini aku terbangun
dan menemukan wajahnya
di sisi pembaringan.
Seperti kemarin,
dia mengejutkanku dengan senyum
dan dengan nada yang nyaris sama
ditikamnya rasa percayaku, “Saya suamimu!” katanya.
Dan seperti kemarin,
aku memandangnya dengan keraguan yang terus menggelepar.
Jika benar laki-laki itu takdirku,
kenapa potretnya tak membekas dalam ingatan?

Novel dengan sampul depan menampilkan gambar seorang wanita yang tengah menyusuri The Great Wall ini, kubeli sehari yang lalu, tepatnya di bazarnya Bunda Asma Nadia. Sabtu, 25 Januari kemaren Bunda Asma membedah bukunya Twitografi Asma Nadia di kampus AKA Bogor, jadinya beliau juga menggelar bazar buku dan ransel seusai menyampaikan materi.


Kabar yang lebih menyenangkan lagi, Pak Isa Alamsyah juga turut hadir. Selain menemani Bunda Asma, beliau juga sudah punya jadwal kopdaran bareng anggota Komunitas Bisa Menulis yang berdomisili di Bogor dan sekitarnya. Rasanya belum hilang nih seneng dalam hati ketika bisa ngobrol dalam jarak tak lebih dari satu meter dengan keduanya, sharing secara intens antar sesama anggota KBM, foto-foto bareng, dan dapat tanda tangannya Bunda.

Kopdar Komunitas Bisa Menulis Bogor

Komunitas Bisa Menulis
Asma Nadia sedang menjelaskan kualitas ransel
Baiklah, lupakan sejenak tentang kebahagiaan di hari itu. Sekarang aku mau berbagi kesan nih tentang bukunya Bunda yang berjudul Assalamualaikum Beijing!, sudah pada punya? Kalau sudah alhamdulillah, dan kalau belum semoga tulisan ini bisa menjadi bahan pertimbangan yang baik.

Sebelumnya aku ingin memberi tahu terlebih dahulu, bahwa aku tidak menyinopsiskan Assalamualaikum Beijing dalam tulisan ini, jika ingin tahu sinopsisnya, silakan klik di sini. BACA JUGA: FILM RELIGI TERBARU TENTANG ISLAM & TERORISME, BULAN TERBELAH DI LANGIT AMERIKA (SYUTING DI NEW YORK).

Saat menyampaikan materi, Bunda Asma telah memberi tahu bahwa novel ini adalah satu-satunya novel cinta yang beliau tulis. Aku membenarkan. Coba lihat novel-novel Bunda yang sebelumnya, seperti Cinta di Ujung Sajadah, Emak Ingin Naik Haji, Rumah Tanpa Jendela, dan lain-lain. Meskipun ada selipan tentang cinta di dalamnya, tetap saja cinta bukan menjadi main theme dalam novel-novel tersebut. Dan Assalamualaikum Beijing benar-benar novel cinta murni! Tentang bagaimana seseorang mengolah patah hati, tentang cinta sepihak, tentang kebutaan cinta, dan tentunya tentang kesetiaan. Ya, kesetiaan, sesuatu yang sulit dipercaya adanya oleh banyak orang di abad ini.


Siapa saja tokohnya?

Asma, seorang gadis yang disebut-sebut sangat enerjik, cerdas, punya prinsip yang tegas, pandai mengolah cuaca hati, pandai mengambil sikap, dan memiliki fisik: ayu [tetapi tidak cantik], berkulit cokelat, tidak tinggi, dan bermata besar. 

Ra, mantan kekasihnya Dewa. 

Zhongwen, seorang pemuda China yang ditemui Asma saat ia melakukan perjalanan kerja ke Beijing. Sekaligus laki-laki yang memiliki kesetiaan yang menakjubkan itu.

Dewa, laki-laki yang sebenarnya luar biasa setia, hanya nasib membawa jalan hidupnya pada sebuah pernikahan yang menjadi mimpi buruk. Menurutku Dewa ini terlalu ambisius dan egois. 

Anita, wanita cantik yang menjadi istri Dewa. Aduh, meskipun aku tidak pernah membenarkan Anita, sebagai wanita aku cukup prihatin dengan kenyataan yang diterimanya.

Tokoh-tokoh kecil lainnya ada Sekar, Ridwan, Bayu, dan para orangtua dari berbagai pihak.


Alurnya bagaimana?

Alurnya maju. Hanya saja dikemas dalam metode penceritaan yang zigzag. Dari setiap bab bagian awal ceritanya masih acak, begitu. Bab pertama tentang Dewa yang mengungkapkan penghianatannya, lalu bab dua tentang kedatangan Asma di Beijing. Kelihatan tidak nyambung memang, tapi nanti semua kisah akan disatukan, kok.


Sebenarnya ini novel sedih, happy, lucu atau datar aja, sih?
 
Haru. Ya, menurutku begitu. Sepanjang jalan cerita, hatiku terasa rintik-rintik menikmati alur dan pergolakan batin setiap tokohnya. Aku menangis  pada saat kisah Mush’ab bin Umair. Tentu aku sudah pernah membaca kisah ini, tapi tetap saja ketika diingatkan kembali aku tak kuat membendung aliran sungai yang berhulu di mataku. Lagipula memang semua kisah para syahid dalam perang uhud sangat menguras air mata.


Bagian mana yang membuatmu paling terkesan?

Perkenalan Asma dengan Zhongwen dan pembicaraan mereka ketika di kafe.

“Yes, you have a gift in learning new language, Ashima.”
“Asma.”
“Ashima,”
Lelaki itu tersenyum lembut, bersikeras tidak mengubah panggilannya. Tidak juga memberitahu arti kalimat terakhir yang diajarkannya, walaupun Asma meminta berulang kali. Yang penting, menurut Zhongwen, kalimat itu bukan sesuatu yang tidak pantas diucapkan seorang gadis terhormat.
“Just practise, Ashima.”
“Asma.”
“No,” lelaki itu menggeleng,
“Forever you are Ashima, for me.”
Senyum simpatiknya muncul. Perdebatan selesai.


Seandainya novel ini difilmkan?

Ya, kemaren Bunda Asma juga memberi tahu kalau novel ini sudah menjadi incaran beberapa PH film. Nah, aku jadi berandai-andai nih, siapa yang cocok jadi pemerannya?

Hmm...kayaknya yang jadi Asma bagusnya Nirina Zubir, deh. Soalnya ketika Bunda Asma menuliskan tentang Asma yang “...tinggi tidak, putih tidak, cantik tidak...” dan salah satu narasi yang menggambarkan Asma: ayu, tetapi tidak cantik, spontan imajinasiku tertuju pada sosok Nirina Zubir. Lagipula Nirina masih cocok kok memerankan wanita 25 tahun yang belum menikah.

Bagaimana pilihanku? Cocok, kan?
Kalau yang jadi Zhongwen siapa, ya? Aku nggak suka film Korea, China atau Thailand soalnya. Dan aku juga nggak pengagum cowok bermata sipit. Malah yang muncul dalam bayanganku adalah mukanya Jackie Chan dan Bruce lee. Haduh! Tapi biarpun begitu, kayaknya aku punya satu kandidat deh [hasil googling], dan dia adalah Jon Foo [hahaha]. You know why? Soalnya wajahnya nggak Cina-Cina amat, malah mirip sama Orlando Bloom [itu lho yang jadi Legolas di film The Lord of The Ring]. 

Mirip Orlando, kan?
Selanjutnya yang jadi Dewa itu??? Hmm...Boy Hamzah. Yeah! Tepat sekali. Ganteng, jangkung, rambut panjang menyentuh bahu, semua kriteria masuk, deh! Om Boy jadi cowok egoisan dikit dalam Assalamualaikum Beijing nggak apa-apa, ya? [merasa jadi sutradara, hoho].


Terakhir, who wants to be Anita? Loading...jeng, jeng, jeng, server error [hihihi]. Kalau Rianti Catwright? Meskipun awalnya sebel sama si Anita, tapi dia istri yang berbakti kok. Dan Rianti sendiri udah pernah ngebuktiin akting kerennya di Ayat-Ayat Cinta, saat dipoligami itu, lho. Kayaknya feel-nya nggak jauh-jauh bedalah sama gejolak batinnya Anita yang tidak pernah dicintai. Selain itu kriteria tubuhnya Rianti kayaknya memang cocok sebagai Anita.


Okay, at last, apa sih kelemahan novel ini?

Narasi yang kebanyakan. Penilaian ini bersifat opini pribadi aja lho, ya. Kalau kamu tipe penyuka novel dengan narasi panjang dan sedikit dialog, tampaknya kamu bakal cinta mati sama novel ini. Aku sendiri nggak terlalu suka novel yang banyak narasi, bagiku dialog lebih mendekatkan pembaca pada masing-masing tokoh. Aku sekalian bisa ngebayangin saat mereka ngomong. Kalau kepanjangan narasi dan deskripsi, malahan aku bacanya loncat-loncat nggak jelas.

Ide cerita yang biasa aja. Ya soal kesetiaan seperti kesetiaannya Zhongwen ini aku sudah pernah tahu beberapa tahun lalu. Saat secara nggak sengaja jalan ke kamar teman [masih di Pesantren dulu], mereka lagi nonton film Korea, jadinya ikutan lihat juga sebentar, ya ceritanya tentang betapa setianya sang suami mengurusi istrinya yang sakit-sakitan dan gampang hilang ingatan. 


Finally?

Kamu harus baca novel ini juga, kawan! Biar nggak gampang galau, bisa move-on dengan cepat, nggak bunuh diri ketika mendapati kenyataan pernikahan yang telah siap justru dibatalkan, nggak asal menerima tawaran cewek, nggak berpikir instan, nggak pengecut, dan tentunya percaya kalau cinta sejati itu masih ada!

Tuesday, 20 January 2015

[RESENSI] Ada Apa dalam Buku Bulan Terbelah di Langit Amerika?



Akhir-akhir ini berita tentang penembakan di salah satu majalah kontroversial Charlie Hebdo sedang menjadi trend berita internasional. Lagi-lagi Islam ditunjuk sebagai pelaku penembakan yang menewaskan 12 orang tersebut. Isu terrorism kembali muncul ke permukaan, tak ubahnya tanaman yang daunnya mulai kuning satu saja, maka banyak orang yang panik, mencari-cari cara menemukan air untuk segera menyiramnya. Seolah-olah isu ini tak boleh hilang, karena seluruh dunia sebenarnya tahu, jika tanpa isu ini Islam tentu akan merebak cepat merengkuh hati seluruh penduduk negara-negara Barat. 

Bulan Terbelah di Langit Amerika, aku merasa menjadi satu-satunya orang yang beruntung ketika memutuskan untuk membeli dan membacanya dalam kondisi sekarang ini. Tema yang diangkat bukanlah hal baru, tapi selalu dibutuhkan untuk memupuk kebanggaan sebagai Muslim. Lihatlah, aksi-aksi teroris yang jumlahnya tidak sedikit dan hampir semuanya menyeret Islam membuat muslim banyak menerima deskriminasi. Belum lagi pemberitaan di media-media Barat yang seolah berlomba untuk memojokkan Islam, selalu memuat gambar-gambar seram di bawah judul berita mereka. Sungguh jika tanpa keimanan yang kuat, keyakinan yang tak mampu ditembus, semua itu sangat mudah meluluh lantakkan kepercayaan diri seorang Muslim. Bahkan mungkin ada beberapa Muslim di luar sana yang mulai bertanya-tanya, benarkah Islam adalah agama pembawa kedamaian?

Nah, menjawab pertanyaan tersebut,  buku garapan Hanum Salsabiela dan Rangga Almahendra ini sangat kurekomendasikan untuk dibaca. Suami istri yang memiliki dua misi berbeda saat mendatangi Negeri Patung Liberti ini pada akhirnya bertemu di satu jalan cerita.  Ketika Rangga disibukkan oleh presentasinya dan impian menikmati setiap sudut Amerika Serikat bersama sang istri, perhatian Hanum justru tersita penuh oleh misinya menjawab sebuah pertanyaan “Akankah dunia lebih baik tanpa Islam?”.

Menuliskan tentang Islam di Negeri Paman Sam, tentu tidak akan pernah melupakan peristiwa kehancuran menara kembar di tahun 2001. Tak ada yang membantah, bahwa sejak peristiwa tersebut Islam justru berkembang pesat di negara adidaya tersebut. Tapi di lain sisi, jutaan kebencian pun tertanam dalam hati penduduk Amerika terhadap Islam. Sebagai akibatnya, tak sedikit Muslim yang bermukim di sana menerima perlakuan yang tidak bersahabat. Untuk Indonesia sendiri bisa terlihat dari sulitnya seseorang yang memiliki nama berbau Islam untuk masuk atau melanjutkan pendidikan di Amerika.

Kebencian non Muslim dan ujian untuk para Muslim pasca tragedi WTC itulah yang kemudian menemani perjalanan Hanum dalam buku ini. Kedua hal tersebut diwakili oleh Jones yang menjadi anti Islam sejak meninggalnya sang istri, dan Azima Hussein yang menjalani kehidupan tidak mudah sejak meninggalnya sang suami. Baik istri Jones atau suami Azima, keduanya sama-sama tewas dalam tragedi WTC yang juga menewaskan ribuan manusia lainnya. 

Ada beberapa pertanyaan yang nantinya akan terjawab setelah membaca buku ini,

Kenapa Julia Collins mengenakan turtle neck tinggi hingga menyentuh dagu dan telinga? Bagaimana detik-detik terakhir suami Azima menjemput ajalnya? Apa yang ingin ia berikan pada sang istri di hari itu? Benarkah istri Jones meninggal saat ia benar-benar sudah berada di puncak usaha untuk menyelamatkan diri? Benarkah Colombus adalah orang pertama yang menemukan benua Amerika? Benarkah Thomas Jefferson, pembelajar ilmu multidisiplin  dan meraih summa cumlaude untuk semua disiplin ilmu yang ia pelajari hingga menjadi presiden Amerika sekaligus pencipta The Jefferson Bible, juga memiliki dan mempelajari Al quran? Benarkah pahatan wajah nabi Muhammad saw ada di dinding Mahkamah Agung Amerika Serikat dengan judul lukisan ‘The Great Law Givers on Earth”? Dan benarkah potongan surah An Nisaa’ ayat 135 tertulis di gerbang Fakultas Hukum Universitas Harvard?

Menggetarkan. Ya, jangankan melihat atau mendengarkan langsung, membacanya saja sudah membuat hati bergetar. Siapa yang menyangka sebuah negara raksasa yang paling disegani di abad ini pada kenyataannya begitu dekat dengan Islam secara tidak langsung. Belum lagi saat membaca kalimat-kalimat Jefferson yang dipahat pada patungnya yang menghadap White House, semua orang rasanya tidak akan percaya.

Jefferson Memorial, dalam bangunan ini terdapat patung Jefferson. (Sumber: http://www.destination360.com)
“Harus ada cara untuk mengurangi jumlah penduduk dunia di negara-negara itu, anak muda,” ucap Pak Tua yang duduk di samping Rangga dalam bus menuju Washington DC.
“Maksudmu program pembatasan kelahiran?” Rangga bertanya baik-baik.
“Itu terlalu konvensional. Kita memerlukan cara yang efektif. Al quran-mu juga mengajarkan teori ini. Ehm, perang, perang, dan perang.”
“Kamu salah, Pak!” sergah rangga.
“Bukan demikian menginterpretasikannya. Kamu salah besar!” lanjut Rangga lagi.
Bagaimana Rangga bisa menjelaskan kesalah pahaman penafsiran Al quran oleh si Bapak Tua di atas? Dan bagaimana Hanum bisa menemukan satu titik terang bahwa dunia tidak akan lebih  baik tanpa Islam? Sebaiknnya langsung baca saja di bukunya.

Berbeda dengan dua buku sebelumnya, 99 Cahaya di Langit Eropa dan Berjalan di Atas Cahaya, yang merupakan catatan perjalanan sesungguhnya (fakta), Bulan Terbelah di Langit Amerika merupakan gabungan fakta dan fiksi. Akibatnya, pembaca tidak mampu membedakan mana yang benar-benar dialami oleh pasangan penulis dan mana yang hanya imajinatif. Menurutku, kejadian yang benar-benar fiktif itu berada di ending cerita. Karena terlalu manis dan dirasa cukup jauh untuk mencapai akhir seindah itu. Mungkin itu juga yang menjadi kekurangan buku ini dan membuat  beberapa pembaca setia agak kecewa. But, overall aku sangat menikmatinya.

Bagi teman-teman yang ingin memiliki buku setebal 346 halaman terbitan Gramedia Pustaka Utama ini bisa didapatkan di toko-toko buku dan Gramedia dengan harga Rp 75 000. Selamat membaca dan menemukan banyak hal menggetarkan. Semoga apa pun yang kita pilih untuk dibaca, bisa memperkaya pengetahuan dan memupuk keimanan kepada Allah swt. 
Demi matahari dan cahaya siangnya.
Demi bulan apabila mengiringinya.
Sungguh beruntung orang yang senantiasa menyucikan jiwa.
Pancarkan Islam. Tebarkan salam. Sinarkan kedamaian.
Semoga kedamaian, rahmat, dan berkah Allah menyertai kamu sekalian (hal 335).
Lots of Love
Sofia


Monday, 21 April 2014

Resensi Novel: The Chronicles of Ghazi (Sebuah Kejujuran Tentang Sejarah yang Mengharukan)

Sumber: klik di sini
Di satu belahan bumi, lahir seorang lelaki yang kelak akan menjadi pemimpin terbaik kaum Muslim. Di belahan bumi yang lain, lahir pula lelaki yang akan menjadi salah satu manusia terkejam dalam sejarah.

Muhammad Al-Fatih dan Vlad III Dracula menjadi wakil dari pertarungan haq dan bathil. Antara Kesultanan Usmani dan Kerajaan Eropa Timur, dan takdir mereka sudah digariskan untuk berbenturan sejak kelahirannya. Dan ini adalah kisah mereka.

Novel yang memiliki judul asli The Cronicles of Ghazi, Perseteruan Hidup-Mati Dracula & Muhammad Al-Fatih ini ditulis oleh Ust. Felix Y. Siauw dan Sayf Muhammad Isa. Merupakan novel series yang menceritakan peperangan yang dipimpin dua anak manusia seperti yang dijelaskan di atas. Penceritaannya mudah dicerna karena bebas dari deretan tanggal dan tahun, sangat berbeda dengan buku sejarah seperti yang kita temui. Kenapa aku menyebutnya sebagai novel? Karena memang penyajian sejarah ini berbentuk novel, persis seperti kamu membaca novel heroik. Bedanya, ini adalah kisah nyata.

Sunday, 5 January 2014

Movie Review [Indonesia]: Dhoom 3



sumber: klik di sini


Sudah pada tahu dong bagaimana hebohnya para Bollywood lovers di akhir 2013 lalu. Apalagi kalau bukan rilisnya DHOOM 3. Kali ini Dhoom  membawa seorang aktor Bollywood favoritku, Aamir Khan. 

Aku sendiri sebenarnya pengen banget nonton ke bioskop langsung, tapi karena tidak ada diputar di bioskop kota Bogor, terpaksa aku memendam keinginan ini. Ya, aku bukan orang yang fanatik banget kalau urusan film—seperti sampai rela menempuh jarak Bogor-Jakarta. Kalau tidak memberatkanku, ya aku datangi, dan kalau memberatkanku, ya sudah, nunggu kasetnya saja—walau bajakan. Hehe

Nah, akhirnya aku selesai juga menonton film yang kutunggu-tunggu ini. Bagaimana bisa, bukannya masih gencar-gencarnya di bioskop? Memang! Tapi kayak nggak tahu aja, ssstt.... temenku lho yang beli kasetnya, aku cuma ikutan nonton—ngeles.


So, setelah menonton, bagaimana menurutmu?

Brilian! Ini bukan lagi film Bollywood, melainkan film Hollywood. Baik akting, budget, lokasi, jalan cerita, semuanya oke. Penonton akan menemukan banyak sekali kejutan yang tidak tertebak sebelumnya. Meskipun awalnya aku beranggapan bahwa film ini serius, tapi nyatanya tidak, semua dikemas apik dan menyenangkan—kecuali satu hal, mengapa harus ada Katrina Kaifnya? Hiks.


Apa yang paling kamu suka?

Hmm...sebenarnya banyak sekali. Cuma ada yang berada di urutan atas dalam hatiku, dan itu adalah chemistry antara Sahir dan Samar. Oh, siapa mereka? Mau tahu? Mereka adalah Aamir Khan, si Pencuri sekaligus pemain sirkus. Ya, Sahir dan Samar itu ceritanya kembar, namun memiliki karakter yang berbeda. Aku kagum sama aktingnya Aamir yang bisa membawa penonton menganggap bahwa Sahir dan Samar adalah dua orang yang berbeda. Sahir yang ‘dark’ dan misterius, sementara Samar rada-rada idiot dan jujur. 

Tapi, meskipun begitu, bukan berarti mereka bermusuhan, mereka sangat dekat. Sahir terkesan begitu menyayangi Samar. Sahirlah yang mengikatkan tali sepatu Samar setiap kali Samar akan bepergian di hari Minggu—Samar tidak bisa mengikat tali sepatu. 

Puncak kekagumanku berada di akhir film ini, yaitu ketika Samar memutuskan untuk tidak melepas tangan Sahir. Ah, sebuah persaudaraan yang indah. 


Bagaimana dengan Jay dan Ali?

Menurutku Jay lebih keren di Dhoom 3 ini, perkembangannya sangat pesat sekali jika dibandingkan dirinya dalam Dhoom—sekuel pertama. Di Dhoom, ia masih culun, di Dhoom 2 sudah rada-rada cool, dan di Dhoom 3 benar-benar cool. Ali? Tidak ada yang berubah dari dirinya. Selalu terkagum-kagum melihat aksi cerdas si pencuri, dan selalu tidak fokus pada tugasnya jika sudah melihat wanita. 


Katanya ada Katrina Kaif? Bagaimana dia?

Kalau nggak seksi, bukan Katrina! (sumber: klik di sini)
 
Untung deh dia aktingnya nggak banyak. Cuma muncul sekali-kali saja. Biarpun aku nggak terlalu suka dengan cewek ini—karena selalu over sexy, aku tetap memuji penampilan dance-nya dalam Dhoom 3 ini. Pasti sulit sekali melakukan adegan jungkir balik plus akrobat yang kayak begitu. But, she kissed Samar, and Samar is Aamir. Menyebalkan, ya?


Bagaimana dengan lagu-lagunya?
 
Ini ada dalam lagu Malang! Serem, ya! (sumber: klik di sini)
Aha, bahkan sebelum filmnya rilis pada 20 Desember kemaren, aku sudah terlebih dahulu memiliki lagu-lagunya. Dhoom Machale Dhoom remix version, Malang, Kamli, Tu Hi Junoon, dan Bande Hain Hum Uske. Kalau soal yang paling asik, aku memberi bintang empat untung Malang dan bintang tiga untuk Dhoom Machale Dhoom, sedangkan soal yang paling sedih aku memberi bintang empat untuk Bande Hain Hum Uske. Masih terbayang saat Sahir dan Samar berpegangan tangan dengan damainya—mereka mengeluarkan air mata, dan lagu Bande Hain Hum Uske inipun mendayu-dayu, lagu ini adalah kalimat—pesan lebih tepatnya—Ayah mereka yang mereka hapal.


Adegan kejar-kejarnya masih keren, nggak?
 
Ini nih motor kerennya si Sahir!
Sebenarnya nggak jauh berbeda dari Dhoom 2, tetap kejar-kejaran pakai motor keren dan kejar-kejaran di kanal. Bedanya sih, mungkin ada adegan-adegan yang mengejutkan saja. Nggak enak juga kalau aku kasih tahu, ntar yang belum nonton malah nggak seru. Oh iya, tahu nggak merek motor yang mereka gunakan? Sahir menggunakan BMW K 1300 R, sedangkan Jay dan Ali menggunakan BMW S 1000 RR. Itu semuanya motor mahal, cuy...! Wajarlah kalau film garapan Aditya Copra ini mengahabiskan dana 23 juta USD, selain karena pemain-pemainnya memang pemain mahal, syutingnya di Chicago, ternyata motornya juga nggak kalah mahal. Eh, tapi tahu nggak berapa duit yang mereka dapatkan setelah tayang selama 2 minggu? 487 milyar dan masuk ke dalam lingkaran film berpendapatan 250 crore! Wow!


Finally?

You should watch it, guys!





Saturday, 4 January 2014

Review-Novel Pembunuhan Atas Roger Ackroyd--The Murder of Roger Ackroyd


Baru kemaren aku menuliskan tentang novel Agatha Cristie yang pertama kubaca, judulnya ‘Pembunuhan di Balik Kabut’. Sekarang aku sudah gregetan pengen cepet-cepet menulis kembali tentang novel [masih Agatha Cristie] yang baru saja selesai kubaca ‘Pembunuhan atas Roger Ackroyd’. 

Memang sih, kemaren aku bilang sedang membaca ‘Mayat Misterius’, tapi kubatalkan karena sebuah tulisan di blog fanatiknya Mom Agatha [Agatha Cristie Book Review] yang memberi peringkat bintang empat untuk ‘Pembunuhan atas Roger Ackroyd’. Langsung deh aku meluncur mencari ebook-nya dan segera menamatkan.

Jujur nih kukatakan kalau sekarang aku masih shock sama ending novel ‘Pembunuhan atas Roger Ackroyd’ ini. Walaupun sejak awal aku sudah siap sedia ‘pasti ini bakal berujung dengan hal-hal yang mengejutkan’. 

Tapi aku sama sekali tidak menemukan celah untuk mencurigai ‘dua orang’ yang menurutku apabila salah satu dari mereka pelaku sebenarnya, akan membuatku frustasi [sanking nggak nyangkanya]. 

Nah, karena tidak ada celah untuk menduga-duga itulah, aku membatalkan kecurigaanku pada ending yang kutakutkan tersebut. ‘Tidak mungkin dia, pasti yang lain, atau malah kejadiannya lebih mengejutkan lagi.

‘Pembunuhan atas Roger Ackroyd’ ini bercerita di sebuah desa bernama King’s Abbot. Di desa ini hanya terdapat dua rumah besar yaitu King’s Paddock [rumah yang diwariskan Alm Tuan Ferrars kepada isterinya—Nyonya Ferrars], dan Fernly Park [rumah Roger Ackroyd—berumur lima puluhan dan seorang industriawan yang sukses dalam bisnis pembuatan roda kereta]. 

 Setelah teman-teman mengetahui dua rumah besar di King’s Abbot, ada baiknya aku memperkenalkan para tokoh novel ini terlebih dahulu, mengingat betapa banyak tokoh yang harus diingat karena berperan hingga akhir.

  • Dokter James Sheppard—seorang dokter yang tinggal bersama kakaknya, paruh baya dan bisa memperbaiki peralatan elektronik, pokoknya kehidupannya wajar-wajar sajalah, layaknya seorang dokter di sebuah desa kecil.
  • Hercule Poirot—dia ini tetangga barunya Dokter Sheppard, bertubuh kecil, punya niat awal datang ke King’s Abbot buat menghabiskan masa pensiun, hobi menanam labu, dan ternyata kemudian diketahui bahwa dia ini dulunya berprofesi sebagai seorang detektif.
  • Roger Ackroyd—sudah sedikit dijelaskan di atas, dia ini dulunya pernah menikah dengan seorang wanita bernama Paton [seorang janda yang memiliki anak laki-laki], tapi beberapa tahun kemudian, Nyonya Paton meninggal karena kebanyakan minum alkohol.
  • Nyonya Ferrars—seorang janda yang memiliki hubungan khusus dengan Tuan Roger [tentu saja setelah istrinya meninggal]. Nah, Nyonya Ferrars ini awalnya menikah dengan Tuan Ferrars, tapi Tuan Ferrarsnya meninggal [diduga karena alkohol juga]. Tapi beberapa waktu kemudian Nyonya Ferrars mati bunuh diri.
  • Ralph Paton—anak tirinya Tuan Ackroyd
  • Nyonya Cecil Ackroyd—dia ini ipar Tuan Roger yang datang dari Kanada.
  • Flora atau yang dikenal sebagai Nona Ackroyd—keponakannya Tuan Ackroyd [anaknya Nyonya Cecil], dia ini ditunangin sama Ralph Paton.
  • Parker—ketua pelayan di Fernly Park
  • Raymond—sekretarisnya Tuan Ackroyd
  • Nona Russel—pembantu di Fernly Park [jabatannya: pengatur rumah tangga]
  • Hector Blunt—temannya Tuan Ackroyd yang kebetulan sedang menginap di Fernly Park
  • Ursula Bourne—pembantu di Fernly Park [tapi setelah perjalanan panjang diketahui bahwa dia ini istrinya Ralph—menikah diam-diam]
  • Caroline—kakaknya dokter Sheppard, punya hobi menggosip dan mengorek-ngorek informasi.

Itulah mereka para tokoh yang wajib dikenal saat teman-teman membaca novel ini, memang sulit sih mengingat nama-nama mereka yang disebut saja susah, but akan ingat dengan sendirinya seiring bertambahnya lembar yang teman-teman selesaikan. 

Ceritanya, pada malam itu [kalau nggak salah malam Jumat], Dokter Sheppard diundang oleh Tuan Ackroyd untuk makan malam di Fernly Park. So, pada jam setengah delapan kurang beberapa menit, si dokter ini pun datang memenuhi undangan tersebut. Ketika itu ia membawa sebuah tas hitam dan ketika ditanya sebabnya, ia mengatakan bahwa seorang dokter harus selalu siap sedia akan sebuah kelahiran [maksudnya, kalau tiba-tiba ada yang memanggil buat membantu persalinan, kapanpun dokter Sheppard ini harus siap—intinya tas itu berisi peralatan medis]. 

Sebelum acara makan malam dimulai, Parker meminta dokter Sheppard menunggu di ruang tamu. Nah, ketika si dokter baru saja membuka gagang pintu ruang tamu ia mendengar bunyi pintu yang ditutup dari dalam ruang tamu. Saat dibuka, ia hampir bertabrakan dengan Nona Russel. Di ruang tamu itu juga terdapat meja perak yang berisi barang-barang antik, jadi si dokter menunggu makan malam dimulai sambil melihat benda-benda di dalam meja perak bersama Nona Flora.

Okay, cerita berlanjut, setelah selesai makan malam, Tuan Ackroyd meminta Dokter Sheppard masuk ke ruang pribadinya. Ia meminta agar si dokter mengunci pintu dan memastikan bahwa jendela telah terkunci rapat. Di ruangan itu, Tuan Ackroyd menceritakan perihal sebab kegelisahan dalam beberapa waktu terakhir [tepatnya setelah kematian Nyonya Ferrars]. 

Ia mengatakan bahwa sebelum mati bunuh diri, Nyonya Ferrars sempat menemuinya dan mengakui bahwa kematian Tuan Ferrars bukan disebabkan oleh alkohol, melainkan karena Nyonya Ferrars sendiri yang telah meracuninya. Kalau melihat hal ini, kita tentu berangapan bahwa kematian Tuan Ferrars tentu bukan hal yang melatar belakangi bunuh dirinya Nyonya Ferrars, kan? So, apa dong? 

Masalahnya ada satu orang yang mengetahui tentang kejahatan Nyonya Ferrars ini menjadikan hal ini sebagai senjata untuk memeras Nyonya Ferrars. Jadinya si Nyonya Ferrars ini frustasi dan bunuh diri. Nah, sebelum bunuh diri, Nyonya Ferrars sempat menuliskan surat untuk Tuan Ackroyd yang berisi nama orang yang selama ini telah memerasnya. Tuan Ackroyd membaca surat itu di hadapan Dokter Sheppard, hanya saja ia tidak mau membaca nama seseorang yang telah memeras Nyonya Ferrars tersebut. 

Selanjutnya, pada jam 9.40 Dokter Sheppard meninggalkan ruangan itu. 

Aku memegang pegangan pintu dengan bimbang. Aku menoleh ke belakang dan bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang lupa kulakukan. Aku tak tahu apa lagi yang belum kulakukan. Sambil menggelengkan kepala aku keluar dan menutup pintu di belakangku.

Setelah Dokter Sheppard tiba di rumahnya beberapa saat, ia menerima panggilan telepon yang mengaku sebagai Paker dan memberi tahu bahwa Tuan Ackroyd telah meninggal. Dokter Sheppard segera melajukan mobilnya, kembali ke Fernly Park. Bersama Parker ia mendobrak pintu kamar Tuan Sheppard dan menemukan sebuah belati telah tertancap di lehernya.

Huaaa...panjang sekali jika aku harus menceritakan kronologinya. Sedikit gambaran awal tragedi pembunuhan itu seperti yang kuceritakan di atas. Novel ini bersudut pandang orang pertama, yaitu Dokter Sheppard berperan sebagai aku. Dialah yang bercerita dalam novel ini. Dan hingga akhirnya ia menyelesaikan tulisannya sebagai draf laporan untuk Poirot. 

Novel ini menceritakan penelusuran oleh Dokter Sheppard bersama sang detektif Tuan Poirot terhadap kasus pembunuhan misterius Tuan Ackroyd yang terjadi dalam rentang waktu 09.45-10.00 [setidaknya begitulah yang kita sangka]. Bahasanya mengalir dan seperti novel misteri lainnya—terkesan dibawa kemana-mana dan memang begitu seharusnya karena pembaca dituntut untuk berpikir.

Satu hal yang membuatku keki setengah pingsan adalah ending yang mengejutkan dan brilian. Aku mengakui, Mom Agatha sangat jenius dalam menulis kisah ini. Sebenarnya aku sangat ingin menceritakan endingnya di sini kepada teman-teman semua, tapi aku rasa sayang. Biarlah teman-teman membacanya sendiri dan merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan ketika sampai di akhir cerita. 

Jadi tidak seru kalau kubocorin sekarang. Yang pasti kalau pembaca jeli, ada banyak hal yang patut dicurigai terhadap ‘seseorang’ yang paling dekat dengan pembaca sejak awal. Memang ada rasa kehilangan di akhir cerita, bahkan aku sempat menangis juga—setidaknya ada dua hal yang mengharukan pada novel ini, yaitu kisah cinta Nona Ursula-Ralph, dan yang kedua tentunya ending dari novel ini sendiri.

Saranku, jika teman-teman adalah tipe seorang pembaca yang tidak mau dikalahkan oleh jalan cerita novel misteri, sebaiknya bacalah novel ini dengan sangat sangat sangat teliti. Bahkan selisih 5 menit yang tertulis di sana bisa menjadi referensi teman-teman buat menjatuhkan keputusan terhadap seseorang. Teliti juga setiap narasi yang tertulis—salah satunya mungkin tentang dictaphone yang beberapa waktu lalu sempat ditawarkan pada Tuan Ackroyd oleh sebuah perusahaan.

Novel ini memang brilian, sekali lagi aku mengakuinya. Bukan hanya trik-triknya, melainkan lebih kepada pengolahan dan penyajian cerita oleh Mom Agatha. Ia bisa membuat novel dengan kasus yang diceritakan dalam sudut pandang yang ‘aneh’. Wajar saja kalau banyak kalangan yang mengatakan bahwa novel ini merupakan salah satu novel terbesar Mom Agatha. Dan aku sendiri harus berterima kasih pada blog ini Agatha Cristie Book Review, yang telah merekomendasikan dengan bintang empatnya.

Buat teman-teman yang belum membaca, jangan sampai ketinggalan, ya. Ini novel klasik, lho. Terbit pertama kali saja pada tahun 1926—hayoo, udah lahir belum?, dijamin deh nggak bakal kecewa. Bisa di-download gratis kok ebook-nya, jadi nggak ada alasan dong buat ketinggalan. Selamat membaca dan selamat menemukan kejutan!


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...