|
Bersama teman kelas (dari semester 1-6, kita semua satu kelas) ketika kunjungan ke area keramba jaring apung Kepualauan Seribu. |
Rasanya baru
kemaren sore aku datang ke kota Hujan ini. Umurku masih 16 tahun kala itu, datang
seorang diri ke pulau Jawa, tanpa pernah sekali pun bepergian dengan pesawat
sebelumnya. Tidak ada keuarga yang menangisi keberangkatanku di bandara
Pekanbaru, tak ada pula yang menjemputku di bandara internasional Soekarno
Hatta. Mereka hanya mengantar sampai pelabuhan pulauku, selebihnya aku mengurus keberangkatan seorang diri.
Kedatanganku
yang seorang diri itu dan tanpa keluarga yang menjadi tempat jujukan, rasanya tidak lagi
menjadi masalah besar saat itu. Situasi yang sama juga pernah kualami saat
umurku 13 tahun, saat aku memutuskan menyambung sekolah di pesantren yang jauh
dari pulau. Jika di umur 13 tahun aku sanggup berangkat sendirian,
menumpang di rumah orang, dititipkan ke sana-sini, pulang satu tahun sekali,
maka saat umur 16 tahun seharusnya aku tidak terkejut lagi.
Saat pertama
kali kedatangan di pesantren, kulihat teman-teman diantar sang ibu hingga ke
kamar, dijenguk setiap bulan, sementara aku tidak mendapatkan itu semua. Jadi seharusnya,
saat dua minggu pertama di kota Bogor, aku tidak perlu sedih lagi meski
dititipkan di kosan mereka yang tidak kukenal.
Semua itu
bukan karena orangtua tidak pernah menyayangiku, tapi karena memang pilihanku sendiri.
Saat Bapak ingin mengantar, aku yang bilang tidak usah padanya. Selagi aku bisa
menghadapinya seorang diri, rasanya aku tidak perlu menyusahkan kedua
orangtuaku. Terkadang aku menilai diriku seorang penakut, terlebih saat ingin
menyeberang jalan, tapi setelah kuingat-ingat, aku sudah melewati banyak
ketakutan dengan cukup berani. Tidak pernah menyangka aku akan sampai sejauh
ini.
Sekarang, kota
Hujan ini sudah seperti rumah bagiku. Ada jalan Malabar yang merekam
perbincanganku bersama teman-teman saat pulang dan pergi kuliah, warung bakso
Bantolo yang sudah menjadi langganan sejak semester satu, kosan Bagunde yang
sempat kami tempati selama setahun, dan kini menjadi basecamp teman-teman
lelaki sesama penerima beasiswa dari Kementrian Agama; gema suara 19 orang temanku yang berjuang bersama sejak awal semester juga
masih memenuhi langit kota ini, lalu sayup-sayup suara teman-teman kelas yang
berasal dari pulau Meranti, mereka tidak pernah absen berbahasa Melayu meski sedang berada di
lingkungan kampus sekali pun, meski lipandang aneh oleh mahasiswa dari jurusan lain; ada pula Bogor Trade Mall dan Botani Square yang
selalu menjadi tujuan setiap uang bulanan meluncur ke tabungan. Saat kulihat
kota ini, di sanalah kulihat diriku sendiri.
|
Ya, para alaiers yang baru keluar dari pesantren |
|
Wujudku di semester pertama |
|
Ini bareng 19 teman di PBSB (Program Beasiswa Santri Berprestasi/Beruntung) dari Kementrian Agama, saat masa matrikulasi |
|
Yeah, masa laluku yang anggun sekali. Pengen banget bisa pake rok lagi. Bener kata Mbak Tia Yusnita, memulai itu mudah, istiqomah yang susah. |
|
Ini sih waktu MKMB (Masa Pengenalan Kampus Mahasiswa Baru) IPB. Aku kelihatan banget lagi dongkol, ya? |
|
Kayak gini nih setiap habis praktikum
|
Sejak awal
Februari ini, sebuah awal baru akan dimulai. Ya, aku akan berangkat untuk melaksanakan Praktik Kerja
Lapangan (PKL). Aku belum memakai seragam toga, juga belum berjabat tangan
dengan pak Rektor, tapi rasanya dari sinilah kehidupanku akan berubah. Aku merasa
diriku bukan lagi seorang anak lugu yang pantas merengek ini itu pada orang
tuaku, dari sini juga aku dituntut memiliki aura ‘kakak’ seperti yang kulihat
dulu pada gadis-gadis dewasa.
Aura 'kakak' inilah yang hingga kini tak pernah kupahami. Jika dulu saat umurku di bawah 10,
aku menganggap gadis berumur 19-25 di desaku adalah sosok yang dewasa, sehingga kami selalu
rebutan untuk menyalami tangan mereka, dekat-dekat dengan mereka, lalu kenapa
saat aku sampai di umur itu, aku tidak merasa seperti mereka? Aku masih merasa
diriku adalah sosok yang sama seperti belasan tahun lalu.
Baik, lupakan
sejenak tentang kehidupanku. Kita membahas tentang tempat belajarku tiga bulan
ke depan saja. Ia adalah sebuah
peternakan puyuh bernama Slamet Quail Farm di Cikembar Sukabumi. Bapak pernah
bertanya padaku, “Kenapa pilih di puyuh? Kenapa tidak seperti temanmu yang dari
Bandung itu, PKL di dinas?”
Kurasa kamu
pun akan bertanya seperti itu. Sejak jaman purbakala, keputusanku untuk
kuliah di pertanian memang hanya dianggap keren oleh sesama anak IPB saja. Di luar
sana, pertanyaan-pertanyaan seperti, “Kenapa pilih pertanian, pilihan sendiri
atau bagaimana?” sudah biasa kudapatkan. Belum lagi respon penduduk kampung
yang memuji namun menurutku adalah sebuah ejekan, “Lha yo bagus ambil
pertanian, biar nanti bisa bantu-bantu tanam jagung di kampung.”
Bagi penduduk
kampungku, termasuk orang tuaku, kesuksesan adalah berhasil menjadi pegawai
negeri. Itu saja. Mereka mengirim anak mereka untuk berkuliah, diwisuda,
kembali ke kampung untuk mengajar, ikut tes CPNS, lulus, dan sukses! Jadi, saat
mengetahui aku mendapat beasiswa melanjutkan kuliah di pertanian, meski itu di
pulau Jawa, bagi mereka biasa saja.
Untungnya orang
tuaku hanya sekadar memiliki anggapan yang sama, namun di lain sisi mereka
memberiku dukungan penuh. Termasuk saat kujabarkan alasan mengapa aku memilih
puyuh, Bapak mengatakan apa pun yang aku pilih ia akan mendukung dan mendoakannya.
Berikut adalah
alasanku memilih belajar selama 3 bulan di peternakan puyuh milik Pak Slamet
Wuryadi ini:
1. Pak Slamet
sendiri adalah ketua Asosiasi Peternak Puyuh Indonesia dan memiliki kisah
inspiratif di balik kesuksesannya kini. Sejak ia memberikan kuliah singkat satu
tahun lalu, aku langsung jatuh cinta pada unggas mungil yang diternakkannya. Dahulunya
di tahun 1992, saat datang berkuliah di diploma IPB, Pak Slamet hanya membawa 4
potong celana, 4 potong baju, serta uang 175 ribu rupiah. Dan sekarang, asetnya
sudah milyaran rupiah. Termasuk satu buah rumah besar yang akan kami tempati
selama PKL nanti, dia menyediakannya gratis. Menurut Pak Pram (staf di Slamet
Quail Farm, masih ada beberapa rumah lagi milik Pak Slamet yang tidak
ditempati. Pak Slamet pernah ditawari pemerintah Belanda untuk mengambil S3 di
Belanda, tapi ia menolak dan memilih melanjutkan ke IPB. Ia juga pernah
ditawari untuk membangun peternakan puyuh di Malaysia dengan gaji 50 juta per
bulan, namun ia tolak mentah-mentah tawaran dari pengusaha Malaysia tersebut.
|
Pak Pram yang pake topi, Pak Slamet yang pegang puyuh (foto diambil Juni 2014, waktu kunjungan ke sana) |
2. Jumlah
permintaan puyuh lebih besar dari pada penawaran. Puyuh yang tersedia baru
mencukupi 15% untuk kebutuhan nasional. Menurut
data bulan Desember 2013, permintaan
telur puyuh untuk wilayah Jabotabek, Banten, dan Priangan Timur saja mencapai
14 juta butir per minggu, dan baru bisa
dipenuhi sebanyak 3,5 juta butir. Jadi, masih terjadi kekurangan pasokan telur
puyuh sebanyak 11 juta butir per minggu.
|
Ini telur dalam mesin tetas (dok.pribadi) |
3. Selain
dimanfaatkan telur dan dagingnya, kotoran puyuh juga masih memiliki sumber protein
yang tinggi, yaitu sebesar 28% (analisis laboratorium IPB), sehingga bisa
dimanfaatkan sebagai alternatif untuk pakan ikan dan pupuk kandang. Bahkan
untuk pakan lele, kotoran puyuh tersebt tidak perlu diolah lagi. Cukup langsung
ditebarkan ke kolam.
|
Lele yang lagi melahap kotoran puyuh. Hmm...yummi (Dok.pribadi) |
4. Puyuh dapat
bertelur cepat, cukup dengan pemeliharaan selama 45 hari saja. Pakan per hari
per ekornya cukup dengan 20-22 gram, dan mampu menghasilkan telur dengan berat
11 gram.
5. Usaha puyuh
bisa dimulai meski hanya memiliki lahan sempit. Karena kandangnya pun dibuat
bertingkat.
|
Ini wujud kandang puyuh (Dok.pribadi) |
6. Meski stok
dalam negeri kurang, namun tak ada impor. Korporasi belum masuk ke peternakan
puyuh.
7. Tiap penjual
cash and carry. Jadi tidak ada sistem bawa dulu bayar kemudian.
8. Pemeliharaan
puyuh cukup mudah dan bisa dikerjakan oleh perempuan. Inilah alasan terbesar
aku memilih puyuh, karena aku merasa tidak akan sanggup mengerjakan hal-hal
yang memerlukan banyak tenaga, contohnya di perkebunan kopi, ternak sapi, atau
membangun perkebunan buah. Ya, meski semua itu bisa dilakukan oleh pegawai
laki-laki, aku tetap saja merasa tidak mampu dalam hal finansial. Bagi pemilik
modal besar, membangun peternakan dan perkebunan besar bukan suatu masalah,
tinggal keluar uang, sebulan kemudian usaha sudah berjalan. Tapi bagi yang
memulai dari awal dengan modal terbatas, kita harus ikut turun tangan terlebih
dahulu. Tidak sebatas jadi direktur atau manajer yang tinggal duduk di kantor. Karena
itulah aku memilih puyuh, meski aku nantinya akan memulai dari awal
perlahan-lahan, aku tetap bisa turun langsung mengurus kandang puyuh. Insya Allah...
Baik, rasanya
sudah terlalu panjang. Semoga kapan-kapan bisa bercerita lagi tentang puyuh dan
sedikit tentang pengalamanku. Mohon doanya, semoga PKL-ku dilancarkan dan bisa
menyerap ilmu sebanyak-banyaknya. Semoga kesuksesan menyertai kita semua.
“Silahkan
berbicara apapun tetapi ingatlah apa yang kita sampaikan akan di hisab” (Salah
satu pesan Pak Slamet merujuk pada Surah Qaf ayat 18).
|
Selamat PKL teman kelas, sampai jumpa di bulan Mei :) |
|
Pembaretan sebelum PKL oleh Prof. Bintoro |
|
Ini teman-teman terbaik (Foto diambil saat pelepasan PKL Diploma IPB angkt.49) |