Saturday 7 February 2015

Praktik Kerja Lapangan & Kenapa Puyuh



Bersama teman kelas (dari semester 1-6, kita semua satu kelas) ketika kunjungan ke area keramba jaring apung Kepualauan Seribu.
Rasanya baru kemaren sore aku datang ke kota Hujan ini. Umurku masih 16 tahun kala itu, datang seorang diri ke pulau Jawa, tanpa pernah sekali pun bepergian dengan pesawat sebelumnya. Tidak ada keuarga yang menangisi keberangkatanku di bandara Pekanbaru, tak ada pula yang menjemputku di bandara internasional Soekarno Hatta. Mereka hanya mengantar sampai pelabuhan pulauku, selebihnya aku mengurus keberangkatan seorang diri.

Kedatanganku yang seorang diri itu dan tanpa keluarga yang menjadi tempat jujukan, rasanya tidak lagi menjadi masalah besar saat itu. Situasi yang sama juga pernah kualami saat umurku 13 tahun, saat aku memutuskan menyambung sekolah di pesantren yang jauh dari pulau. Jika di umur 13 tahun aku sanggup berangkat sendirian, menumpang di rumah orang, dititipkan ke sana-sini, pulang satu tahun sekali, maka saat umur 16 tahun seharusnya aku tidak terkejut lagi. 

Saat pertama kali kedatangan di pesantren, kulihat teman-teman diantar sang ibu hingga ke kamar, dijenguk setiap bulan, sementara aku tidak mendapatkan itu semua. Jadi seharusnya, saat dua minggu pertama di kota Bogor, aku tidak perlu sedih lagi meski dititipkan di kosan mereka yang tidak kukenal. 

Semua itu bukan karena orangtua tidak pernah menyayangiku, tapi karena memang pilihanku sendiri. Saat Bapak ingin mengantar, aku yang bilang tidak usah padanya. Selagi aku bisa menghadapinya seorang diri, rasanya aku tidak perlu menyusahkan kedua orangtuaku. Terkadang aku menilai diriku seorang penakut, terlebih saat ingin menyeberang jalan, tapi setelah kuingat-ingat, aku sudah melewati banyak ketakutan dengan cukup berani. Tidak pernah menyangka aku akan sampai sejauh ini.

Sekarang, kota Hujan ini sudah seperti rumah bagiku. Ada jalan Malabar yang merekam perbincanganku bersama teman-teman saat pulang dan pergi kuliah, warung bakso Bantolo yang sudah menjadi langganan sejak semester satu, kosan Bagunde yang sempat kami tempati selama setahun, dan kini menjadi basecamp teman-teman lelaki sesama penerima beasiswa dari Kementrian Agama; gema suara 19 orang temanku yang berjuang bersama sejak awal semester juga masih memenuhi langit kota ini, lalu sayup-sayup suara teman-teman kelas yang berasal dari pulau Meranti, mereka tidak pernah absen berbahasa Melayu meski sedang berada di lingkungan kampus sekali pun, meski lipandang aneh oleh mahasiswa dari jurusan lain; ada pula Bogor Trade Mall dan Botani Square yang selalu menjadi tujuan setiap uang bulanan meluncur ke tabungan. Saat kulihat kota ini, di sanalah kulihat diriku sendiri. 
Ya, para alaiers yang baru keluar dari pesantren
Wujudku di semester pertama
Ini bareng 19 teman di PBSB (Program Beasiswa Santri Berprestasi/Beruntung) dari Kementrian Agama, saat masa matrikulasi
Yeah, masa laluku yang anggun sekali. Pengen banget bisa pake rok lagi. Bener kata Mbak Tia Yusnita, memulai itu mudah, istiqomah yang susah.
Ini sih waktu MKMB (Masa Pengenalan Kampus Mahasiswa Baru) IPB. Aku kelihatan banget lagi dongkol, ya?
Kayak gini nih setiap habis praktikum
Sejak awal Februari ini, sebuah awal baru akan dimulai. Ya, aku akan berangkat untuk melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL). Aku belum memakai seragam toga, juga belum berjabat tangan dengan pak Rektor, tapi rasanya dari sinilah kehidupanku akan berubah. Aku merasa diriku bukan lagi seorang anak lugu yang pantas merengek ini itu pada orang tuaku, dari sini juga aku dituntut memiliki aura ‘kakak’ seperti yang kulihat dulu pada gadis-gadis dewasa. 

Aura 'kakak' inilah yang hingga kini tak pernah kupahami. Jika dulu saat umurku di bawah 10, aku menganggap gadis berumur 19-25 di desaku adalah sosok yang dewasa, sehingga kami selalu rebutan untuk menyalami tangan mereka, dekat-dekat dengan mereka, lalu kenapa saat aku sampai di umur itu, aku tidak merasa seperti mereka? Aku masih merasa diriku adalah sosok yang sama seperti belasan tahun lalu.

Baik, lupakan sejenak tentang kehidupanku. Kita membahas tentang tempat belajarku tiga bulan ke depan saja.  Ia adalah sebuah peternakan puyuh bernama Slamet Quail Farm di Cikembar Sukabumi. Bapak pernah bertanya padaku, “Kenapa pilih di puyuh? Kenapa tidak seperti temanmu yang dari Bandung itu, PKL di dinas?”

Kurasa kamu pun akan bertanya seperti itu. Sejak jaman purbakala, keputusanku untuk kuliah di pertanian memang hanya dianggap keren oleh sesama anak IPB saja. Di luar sana, pertanyaan-pertanyaan seperti, “Kenapa pilih pertanian, pilihan sendiri atau bagaimana?” sudah biasa kudapatkan. Belum lagi respon penduduk kampung yang memuji namun menurutku adalah sebuah ejekan, “Lha yo bagus ambil pertanian, biar nanti bisa bantu-bantu tanam jagung di kampung.”

Bagi penduduk kampungku, termasuk orang tuaku, kesuksesan adalah berhasil menjadi pegawai negeri. Itu saja. Mereka mengirim anak mereka untuk berkuliah, diwisuda, kembali ke kampung untuk mengajar, ikut tes CPNS, lulus, dan sukses! Jadi, saat mengetahui aku mendapat beasiswa melanjutkan kuliah di pertanian, meski itu di pulau Jawa, bagi mereka biasa saja.

Untungnya orang tuaku hanya sekadar memiliki anggapan yang sama, namun di lain sisi mereka memberiku dukungan penuh. Termasuk saat kujabarkan alasan mengapa aku memilih puyuh, Bapak mengatakan apa pun yang aku pilih ia akan mendukung dan mendoakannya. 

Berikut adalah alasanku memilih belajar selama 3 bulan di peternakan puyuh milik Pak Slamet Wuryadi ini:

1. Pak Slamet sendiri adalah ketua Asosiasi Peternak Puyuh Indonesia dan memiliki kisah inspiratif di balik kesuksesannya kini. Sejak ia memberikan kuliah singkat satu tahun lalu, aku langsung jatuh cinta pada unggas mungil yang diternakkannya. Dahulunya di tahun 1992, saat datang berkuliah di diploma IPB, Pak Slamet hanya membawa 4 potong celana, 4 potong baju, serta uang 175 ribu rupiah. Dan sekarang, asetnya sudah milyaran rupiah. Termasuk satu buah rumah besar yang akan kami tempati selama PKL nanti, dia menyediakannya gratis. Menurut Pak Pram (staf di Slamet Quail Farm, masih ada beberapa rumah lagi milik Pak Slamet yang tidak ditempati. Pak Slamet pernah ditawari pemerintah Belanda untuk mengambil S3 di Belanda, tapi ia menolak dan memilih melanjutkan ke IPB. Ia juga pernah ditawari untuk membangun peternakan puyuh di Malaysia dengan gaji 50 juta per bulan, namun ia tolak mentah-mentah tawaran dari pengusaha Malaysia tersebut. 
 
Pak Pram yang pake topi, Pak Slamet yang pegang puyuh (foto diambil Juni 2014, waktu kunjungan ke sana)
2. Jumlah permintaan puyuh lebih besar dari pada penawaran. Puyuh yang tersedia baru mencukupi 15%  untuk kebutuhan nasional. Menurut data bulan Desember 2013,  permintaan telur puyuh untuk wilayah Jabotabek, Banten, dan Priangan Timur saja mencapai 14 juta butir per minggu, dan  baru bisa dipenuhi sebanyak 3,5 juta butir. Jadi, masih terjadi kekurangan pasokan telur puyuh sebanyak 11 juta butir per minggu.
 
Ini telur dalam mesin tetas (dok.pribadi)
3. Selain dimanfaatkan telur dan dagingnya, kotoran puyuh juga masih memiliki sumber protein yang tinggi, yaitu sebesar 28% (analisis laboratorium IPB), sehingga bisa dimanfaatkan sebagai alternatif untuk pakan ikan dan pupuk kandang. Bahkan untuk pakan lele, kotoran puyuh tersebt tidak perlu diolah lagi. Cukup langsung ditebarkan ke kolam.

Lele yang lagi melahap kotoran puyuh. Hmm...yummi (Dok.pribadi)
4. Puyuh dapat bertelur cepat, cukup dengan pemeliharaan selama 45 hari saja. Pakan per hari per ekornya cukup dengan 20-22 gram, dan mampu menghasilkan telur dengan berat 11 gram. 

5. Usaha puyuh bisa dimulai meski hanya memiliki lahan sempit. Karena kandangnya pun dibuat bertingkat.
 
Ini wujud kandang puyuh (Dok.pribadi)
6. Meski stok dalam negeri kurang, namun tak ada impor. Korporasi belum masuk ke peternakan puyuh. 

7. Tiap penjual cash and carry. Jadi tidak ada sistem bawa dulu bayar kemudian. 

8. Pemeliharaan puyuh cukup mudah dan bisa dikerjakan oleh perempuan. Inilah alasan terbesar aku memilih puyuh, karena aku merasa tidak akan sanggup mengerjakan hal-hal yang memerlukan banyak tenaga, contohnya di perkebunan kopi, ternak sapi, atau membangun perkebunan buah. Ya, meski semua itu bisa dilakukan oleh pegawai laki-laki, aku tetap saja merasa tidak mampu dalam hal finansial. Bagi pemilik modal besar, membangun peternakan dan perkebunan besar bukan suatu masalah, tinggal keluar uang, sebulan kemudian usaha sudah berjalan. Tapi bagi yang memulai dari awal dengan modal terbatas, kita harus ikut turun tangan terlebih dahulu. Tidak sebatas jadi direktur atau manajer yang tinggal duduk di kantor. Karena itulah aku memilih puyuh, meski aku nantinya akan memulai dari awal perlahan-lahan, aku tetap bisa turun langsung mengurus kandang puyuh. Insya Allah...
 
Baik, rasanya sudah terlalu panjang. Semoga kapan-kapan bisa bercerita lagi tentang puyuh dan sedikit tentang pengalamanku. Mohon doanya, semoga PKL-ku dilancarkan dan bisa menyerap ilmu sebanyak-banyaknya. Semoga kesuksesan menyertai kita semua. 

“Silahkan berbicara apapun tetapi ingatlah apa yang kita sampaikan akan di hisab” (Salah satu pesan Pak Slamet merujuk pada Surah Qaf ayat 18).

Selamat PKL teman kelas, sampai jumpa di bulan Mei :)
Pembaretan sebelum PKL oleh Prof. Bintoro
Ini teman-teman terbaik (Foto diambil saat pelepasan PKL Diploma IPB angkt.49)

14 comments:

  1. Terharu dengan kisah hidupmu dek, eh kaka sofi... :D Semoga PKL nya dilancarkan ya. Usaha Puyuh memang sangat berpeluang. Tapi kok saya nggak pernah berani coba telur puyuh, geli deh hihihii
    Ditunggu kabar selanjutnya ya sukses selalu

    ReplyDelete
  2. ya ampun umur 13 udh brani prgi sndrian, aku mah ampe skrang blum brani sndrian kk. salut salut.
    semoga PKL ny brjalan lancar kk! :)

    ReplyDelete
  3. ambil satu telur puyuhnya kan nggak apa2 ya..boleh2 saja kan ??? hehehe

    ReplyDelete
  4. Wah serunyaa ya. Ini sih oengalaman hiduo yang layak banget ditulis di blog ^_^

    ReplyDelete
  5. Happy PKL!
    Semoga dapat banyak pengalaman berharga dan bisa berguna untuk karir di masa depan.
    Semoga PKL nya dipermudah, lancar dan mendapat hasil terbaik
    Amiiinn

    ReplyDelete
    Replies
    1. aammiinn.... mas aul kok gak doain saya sih hehehehe saya juga baru kemaren lulus sidang PKL hehehehe (mau ngasih info aja) takut di bilang sok kenalhehehe

      salam kenal....semua :-)

      Delete
  6. Wah, perjuangan utk kuliah hebat, ya.
    Saya suka telur puyuh tapi ga bisa makan banyak takut kolesterol dan lgs muncul jerawat :)

    ReplyDelete
  7. pengembara pencari ilmu yang handal.... semngattt mba... saya aja yang cowo belum pernah..mengalami kayak mba... wah hebat salaut mba. BTW kapan nih make baju Toganya boleh lah share fotonya nanti. hehehe

    semoga lancar..... n mendapatkan hasil yang terbaik buat mba..aammiinn...

    salam kenal mba.

    ReplyDelete
  8. Aku juga jd suka sama puyuh shob, jadi pengen punya puyuh dirumah trus coba meliharanya :)
    telur nya digulai enak bangett, =))
    sukses ya shofi buat PKL nya. semoga segera mengenakan Toga juga, Amiiin :)

    ReplyDelete
  9. Pengalamannya kok agak mirip denganku, ya? *Bukan puyuhnya, tapi tentang pengembaraan mencari ilmu di masa muda :). Sukses buatmu ya, Mbak... Semoga PKL-nya lancar. Menarik nih tentang peternakan puyuhnya... Aku jadi ingat adik yg masih SMA, lagi PKL di perikanan tapinya :)

    ReplyDelete
  10. Aura 'kakak' inilah yang hingga kini tak pernah kupahami. lalu kenapa saat aku sampai di umur itu, aku tidak merasa seperti mereka? Aku masih merasa diriku adalah sosok yang sama seperti belasan tahun lalu."
    saya jg ngerasain itu waktu sma ngliat kakak kelas yg udah kuliah, tp pas udah kuliah perasaan kok ga ada dewasa2nya :))
    smoga lancar PKLnya :)

    ReplyDelete
  11. Tetangga saya ada yang pernah memelihara burung puyuh, tapi banyak yang mati karena kaget dengan suara petasan.

    ReplyDelete
  12. selamat PKL ya tante dan Om....

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...